Mama adalah misteri terbesar dalam hidup saya. Saya hidup dan berkutat dengan beliau puluhan tahun lamanya dan sampai hari ini, saya tidak memahami beliau. Mama sosok yang pendiam, bayangkan saja saya, lalu pikirkan kemungkinan paling jauh dari itu. Mama yang saya ingat di tahun tahun sebelum kematiannya, banyak duduk di ruang tamu lalu menerawang jauh. Diam mematung sambil sesekali menegur keponakan agar tidak bermain ke jalan.
Dari mama saya belajar soal tough love. Beliau yang mencubit, memukul, menceburkan ke dalam bak mandi, memukul, mencubit dan memukul lagi tanpa banyak kata. Saya nyaris tidak pernah mendengar mama ngomel, kecuali pada keponakan, cucu pertama kesayangannya. Ketika marah beliau memilih untuk diam atas alasan yang baru saya tau dari kakak, kemarin
"Kata mama, kalau lagi marah diam saja. Dengan diam yang lagi marah dengan kita akan serba salah. Dengan diam kita tidak mengeluarkan kata kata yang seharusnya tidak dikatakan"
Marah terbesar mama adalah saat saya SMA, dua malam saya tidak pulang karena karena saya memang sedemikian kacaunya. Pulang pulang membawa tujuh tindikan di telinga kiri dan omelan nyaring soal kenapa keluarga kami sedemikian miskin hingga saya tidak bisa punya apa yang teman teman saya punya. Marah yang sedemikian keras hingga beliau menangis, menangis sedemikian memilukan hingga setiap saya mengingat kejadian itu, saya merasa pintu surga tertutup dan tidak akan pernah saya memasukinya.
Tapi mama memaafkan saya semudah suguhan nasi goreng bawang di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah. Menyiapkan dasi dan topi untuk mengikuti apel hari Senin dan tanpa banyak kata, memaafkan saya dengan menanyakan soal ujian kenaikan kelas.
Saya lupa apa momentumnya, namun kegiatan bolos dan begadang hingga larut bahkan menghilang itu saya tinggalkan begitu saja saat jelang kelulusan SMA. Bosan mungkin, atau karena diam diam saya sayang pada mama dan ingin menghargai beliau dengan cara saya.
Drama drama yang saya lontarkan kepada beliau sepanjang masa hidupnya, sudahlah sangat besar untuk ditanggung perempuan dengan riwayat penyakit sebanyak beliau. Pun saya senantiasa dimaafkan, diperhatikan dan disayangi dengan cara beliau.
Mama yang sedemikian pendiam dan tertutupnya, hingga saya anaknya sendiri tidak tau sedikitpun kisah masa muda beliau. Apa warna kesukaannya, apa makanan favoritnya, siapa artis idolanya, siapa mantan mantan pacarnya, seperti apa masa kecilnya, apa yang ia lakukan sebagai hobi, atau sesederhana; apa yang sedang beliau pikirkan?
Mama yang saya kenal adalah perempuan mandiri yang bisa melakukan banyak hal sendirian. Beliau suka mendengarkan lagu lagu keroncong dan hapal nomor nomor klasik dari Sam Saimun maupun Ismail Marzuki. Mama memiliki masa kecil yang keras karena harus menjadi sulung dari 6 orang adiknya dengan rentang usia masing masing 2 tahun di keluarga yang miskinnya minta ampun. Ia suka warna hijau, mungkin. Mengingat warna cat rumah yang beliau inginkan saat saya tawarkan untuk mengecat ulang seluruh rumah adalah warna itu.
Saya tidak dibesarkan dengan ciuman, pelukan atau usapan bangga di kepala sejak kecil. Saya tidak terbiasa dininabobokan sebelum tidur atau dihadiahi mainan saat jadi juara kelas. Mama yang kaku ditambah abah yang sedemikian tradisionil membuat saya tidak memiliki momentum momentum afeksional yang bisa saya rekam dan implementasikan ulang sebagai perwujudan kasih sayang. Saya tidak tau apakah ini karena saya anak tengah (reference: middle child syndrome) atau memang seperti itulah pola didik yang diterapkan mereka.
Toh saya akhirnya tumbuh, 23 tahun lamanya dengan baik baik saja. Mama mengajarkan saya untuk berkemauan keras, tidak banyak mengeluh dan kuat. Kalau bukan karena mama, mengingat seperti apa saya di masa muda, mungkin saat ini saya sedang cengo netekin anak kedua dengan daster gombrong instead of being, you know, wanita karir.
Saat abah melarang keras saya pergi ke Jakarta, mama justru secara implisit mendorong keinginan itu. Dalam bulan bulan selanjutnya malah mama melarang saya untuk pulang setiap saya nangis nangis nelpon bilang kangen rumah dan ga betah di Jakarta. Beliau tau saya sedang menuju apa yang saya mau, mengejar apa yang saya cita citakan. Nyatanya selepas setahun, saya toh harus pulang karena mengetahui kesehatan mama yang kian menurun.
Saya tidak dibesarkan dengan ciuman, pelukan atau usapan bangga di kepala sejak kecil. Saya tidak terbiasa dininabobokan sebelum tidur atau dihadiahi mainan saat jadi juara kelas. Mama yang kaku ditambah abah yang sedemikian tradisionil membuat saya tidak memiliki momentum momentum afeksional yang bisa saya rekam dan implementasikan ulang sebagai perwujudan kasih sayang. Saya tidak tau apakah ini karena saya anak tengah (reference: middle child syndrome) atau memang seperti itulah pola didik yang diterapkan mereka.
Toh saya akhirnya tumbuh, 23 tahun lamanya dengan baik baik saja. Mama mengajarkan saya untuk berkemauan keras, tidak banyak mengeluh dan kuat. Kalau bukan karena mama, mengingat seperti apa saya di masa muda, mungkin saat ini saya sedang cengo netekin anak kedua dengan daster gombrong instead of being, you know, wanita karir.
Saat abah melarang keras saya pergi ke Jakarta, mama justru secara implisit mendorong keinginan itu. Dalam bulan bulan selanjutnya malah mama melarang saya untuk pulang setiap saya nangis nangis nelpon bilang kangen rumah dan ga betah di Jakarta. Beliau tau saya sedang menuju apa yang saya mau, mengejar apa yang saya cita citakan. Nyatanya selepas setahun, saya toh harus pulang karena mengetahui kesehatan mama yang kian menurun.
Bicara soal ingatan ingatan yang nyelekit, saya ingat pernah pergi ke Hypermart yang waktu itu mallnya belum rampung. Beliau menanyakan soal eskalator dan saya janjikan "Iya nanti kalau sudah jadi, kita cobain naik eskalator" karena seumur hidupnya mama belum pernah saya ajak jalan jalan ke manapun. Beberapa bulan selepasnya, mama kolaps dan sampai hari ini, sesekali ingatan itu melintas tiap saya menuju lantai dua Borneo City Mall.
Saya merindukan beliau, amat sangat, setiap harinya. Ada ingatan ingatan kecil yang membuat saya mengambil satu dua menit untuk sekadar menghela nafas atau membaca al fatihah (jika ingat). Sebab kematian memang ternyata tidak semudah itu untuk dihadapi.
Hari ini 23 Nopember, adalah ulang tahun mama. Saya tidak pernah sekalipun merayakan ulang tahunnya, tidak pernah memberinya kado lebih lebih ciuman dan peluk sebagai perwujudan sayang. Karenanya saya hadiahi diri saya sendiri semua memorandum, untuk mengingat hari ini, hari di mana beliau mengulang hari lahirnya.
Dua jam bolos dan mengunjungi makam beliau di tengah hari. Membawakan banyak sekali bunga dengan harapan naif saya bisa menebus tahun tahun yang tidak terulang dengan permintaan maaf yang banyak. Saya merindukan rekanan bercerita saya yang senantiasa mendengarakan dan mendengarkan tanpa banyak bicara. Saya merindukan mama yang menjadi orang pertama pasang badan saat saya dijahili anak tetangga. Mama yang pemarah, tapi yang paling saya suka.
Mama yang selamanya adalah perempuan favorit saya.
Saya merindukan beliau, amat sangat, setiap harinya. Ada ingatan ingatan kecil yang membuat saya mengambil satu dua menit untuk sekadar menghela nafas atau membaca al fatihah (jika ingat). Sebab kematian memang ternyata tidak semudah itu untuk dihadapi.

Dua jam bolos dan mengunjungi makam beliau di tengah hari. Membawakan banyak sekali bunga dengan harapan naif saya bisa menebus tahun tahun yang tidak terulang dengan permintaan maaf yang banyak. Saya merindukan rekanan bercerita saya yang senantiasa mendengarakan dan mendengarkan tanpa banyak bicara. Saya merindukan mama yang menjadi orang pertama pasang badan saat saya dijahili anak tetangga. Mama yang pemarah, tapi yang paling saya suka.
Mama yang selamanya adalah perempuan favorit saya.
Selamat ulang tahun, mama
Maaf anakmu ini belum sekuat yang ia inginkan
No comments:
Post a Comment