Perjalanan liburan saya ke Malang diiringi buku Seno Gumira Ajidharma, Lingua. Satu cerpen yang saya baca berulang ulang hingga akhirnya berujung pada posting ini.
Tentang pria yang mencintai perempuan yang tidak pernah ada.
***
Seberapa sering kita menemukan diri sendiri jatuh dan patah hati, menemukan diri sendiri mendeklarasikan cinta yang menggebu kepada lebih dari satu orang. Untuk jadian, lalu putus, jadian, putus dan seterusnya hingga kelak settle dalam pernikahan lalu bercerai, mungkin.
Seberapa sering kita menemukan diri sendiri berikrar bahwa tidak akan menemukan cinta lain selain seseorang yang kita cintai saat itu. Berikrar bahwa adalah mustahil untuk berbahagia, tertawa dan merasakan sepenuhnya hidup bersama orang lain selain dirinya.
Seberapa sering kita mencoba memahami bahwa tidak satupun perkara di dunia ini yang bisa berkekalan namun toh sepenuh hati pula kita memaksakan diri untuk berkata "inilah kekekalan perasaan yang bisa aku ikrarkan"
Kita, sesungguhnya, adalah lelaki yang mencintai perempuan yang tidak pernah ada.
Cinta adalah adjektiva, sepenuhnya merupakan sesuatu yang lepas dari nilai kepemilikian dan ia tidak semestinya dipahami sebagai nomina. Ia, layaknya energi, dapat menempati ruang mana saja dalam dimensi mana saja.
Karenanya saya percaya, bahwa besaran cinta yang telah dilimpahkan kepada seseorang di masa lalu dapat dirasakan kembali di masa mendatang. Lebih kecil, lebih besar, seimbang tergantung kepada apa nomina yang adjektiva ini bersinergi.

Tapi saya lupa soal ini; adjektiva membutuhkan nomina. Saya tidak bisa menjadi lelaki yang mencintai perempuan yang tidak pernah ada. Energi tidak dapat mengalir tanpa konduktor. Dan sebuah dansa tidak bisa dimulai jika hanya sebelah pihak yang menginginkannya.
So here we go again, another chapter of losing the idea of settling down and enjoying the love under the compromise spell. But is all okay, that's life.
No comments:
Post a Comment