Saya lahir, tumbuh, dan menjalani hidup sebagai perempuan gendut. Gendut banget, malah. Saya ingat kala SMA bagaimana sebutan sebutan dan joke joke klasik soal orang gendut lekat dengan keseharian saya. You know lah, when Idul Adha comes and they're asking about "Eh kok ini satu ga dikurbanin" and others cetek jokes.
Saya tidak menyebutnya sebagai bullying. Saya toh tidak depresi walopun setiap hari adalah living hell, saya tidak lantas menyayat nadi atau menerjunkan diri ke sungai walopun keinginan untuk itu melintas sesekali. Saya memiliki kawan baik, sekolah dengan normal, lulus dengan nilai cukup dan menjalani hidup layaknya perempuan (gendut) normal pada umumnya.
Mungkin puncaknya adalah tahun ini, belum pernah scale saya mentok di angka 85. Berat paling 'ringan' saya adalah saat wartawan dulu, 72 kilo. Bayangkan saja, perempuan dengan tinggi cuma 158 beratnya 85 kilo. I'm so fat I can't even see my toe when I looked down.

Saya tidak pergi ke kolam renang karena semua lipatan lemak akan terlihat, tidak membeli baju online karena ukurannya pasti ga akan muat, saya tidak bisa menggunting kuku kaki saya sendiri karena terhalang paha yang besar saat ditekuk, saya tidak bisa jongkok tanpa merasa semua tekanan darah pergi ke kepala, saya tidak bisa ikut kemah karena semua orang akan protes mengenai jumlah orang di satu tenda harus dikurangi agar saya bisa muat di dalamnya. Saya sangat sangat tidak suka foto grup. Atau selfie. Go to my phone gallery dan isinya melulu savingan meme dari 9gag.
Saya ngeh soal "Iya, Nani ga selayaknya orang orang normal pada umumnya"
Menjadi gendut sepanjang hidup menjadikanmu pemalu. Saya tau, kamu pasti bilang "Ah temenku si A gendut banget tapi lucu kok, pede aja lagi" dan percayalah soal ini: Kamu tidak tau apa apa soal temanmu itu. Jauh di bawah lapisan pelawak (ini seriusan, orang orang gendut memang jarang marah saat dihina bukan karena mereka ga sensitif, tapi kita tabah menjalani hidup dan udah bosen sama jokes yang begitu) dan sikap outgoing orang gendut, ada insekuritas yang jika dijabarkan kamu bakal menyesal sudah pernah ngatain orang gendut.
Saya sendiri sering mendapat komentar soal betapa pedenya saya dengan tubuh sebesar ini, betapa saya jago memilih baju dan terlihat oke walaupun gendut, betapa santainya saya menanggapi lelucon soal kegendutan saya, betapa lucu dan menyenangkannya nongkrong bareng saya. Sebab saya tidak merutuki kondisi itu di depan orang, saya tidak mengeluhkan soal betapa sakit hati rasanya saat ada yang menyetarakan saya dengan hewan hewanan yang menurut orang lucu untuk diucapkan. Saya tidak bicara soal "Hey, aku tersinggung kalau kamu pura pura gempa saat aku berjalan". Saya tagging along, ketawa (getir) dan orang akan melihat becandaan itu tidak memberikan efek apapun terhadap saya. Dulu saat SMA, saat pulang setelah mendapati hinaan seperti itu, saya akan makan dan menangis. Tidak ada yang lebih dramatis dari makan dan menangis, percayalah.
Menjadi gendut membuatmu frigid. Saya mendapati istilah ini dari kakak saya sendiri, dalam versinya, frigid adalah orang yang sangat sangat tertutup dari kegiatan seksual. Saya rasa kembali ke titik pemalu itu tadi, insekuritas dan ketidakpedean yang sangaaaaat besar membuat saya senantiasa merasa akan tertolak. Ditambah dengan bayangan mengerikan soal dilihat semua lipatan lemak itu saat telanjang, saya meninggalkan rutinitas seksual jauh di belakang.
Dari sudut pandang orang yang senantiasa gendut, dunia ini tentu tidak adil. Kenapa dengan mudahnya perempuan perempuan kurus mendapatkan lelaki pujaan saya, pekerjaan idaman saya, melakukan kegiatan kegiatan impian saya. Saya menjadi sinis terhadap industri media yang memuja model model bertubuh langsing, sinis terhadap laki laki yang memuja model model tersebut.
Sisa kewarasanlah yang membuat saya menjauh dari genangan feminazi :)))
Sekarang, saya 23 dan mencapai titik terendah dalam sejarah penimbangan berat badan. Paska ditimbang, saya sempat menangis dan bengong sepanjang jalan. Kalau kawan saya tidak menegur, saya mungkin sudah memuntahkan makan malam saya saat itu. Saya tau saya gendut, tapi tidak pernah menyangka akan segendut itu saja. 85 lantas menjadi titik mula. Saya sedang (ingin) serius diet. Tidak ada motivasi naif seperti "Aku tuh gapapa gendut asal sehat aja" di balik niatan ini.
Pengen kurus dan menjadi normal. That's all.
Oktober 8th, 2015
Di sela batuk demam pilek dan sarapan liquid.
Seriusan? Saya ga tau gimana rasanya menjadi kamu, Nan. Tetapi, beberapa kali keluar dari toko sepatu dan merasa ditipu oleh petunjuk ukuran kaki, rasanya perkara tubuh ini susah-susah-gampang mau disikapi gimana. Terakhir, saya pesan safety shoes buat kerja seharga dua keping vinyl (dan penyesalan selalu ditaksir lewat harga itu barang jika tidak buku), lalu setelah tiba dan kucoba malah gak muat. Padahal, katalognya merekomendasikan saya pake ukuran 46 (12 EU, US) ukuran paling besar yg mereka produksi. Alhasil, sepatu itu kini menanti calon pembelinya yang punya kaki sepanjang itu. Hahaha. Sorry curhat. Yang jelas, kalo diet ketat serta super ekstra itu menurutmu baik, lakukan lah, 'til the end of the line.
ReplyDeleteI think I've found the line, Ham. it called *almost* bulimia hahaha. Saya juga agak heran sama diri sendiri saat posting itu dituliskan, entah apa yang membuat saya sebegitu berapi apinya untuk menurunkan berat badan. Begitu saya runut ke belakang, sayapun sadar bahwa itu driven by temporary emotion sajaa.
DeleteNtar juga ilang dan nani balik makan kek babi lagi.