Atmosfer gembira penuhi kampungku.
Semua senang, akhirnya jalan ini di aspal, Juli tanggal satu.
Lepas diaspal, lantas disiring, kami senang menggebu-gebu.
Katanya ini hadiah dari pemerintah daerah, atas nama bapak anu.
Konon beliau berterimakasih sudah terpilih lagi jadi bupati di kotaku.
Kami ga peduli, mau duitnya punya bapak anu atau hasil menang judi tinju.
Yang penting tak ada lagi banjir, tanah retak, sasana gulat lumpur, dan arena offroad melintang sepanjang jalan masuk kampungku.
Seorang pekerja melepas penat di depan rumahku, seraya menanti ransum pangan yang sedari ditunggu.
Kutanya namanya, beliau Supiansyah dari kota Banjarbaru.
Sudah tua, usianya enampuluh satu.
Tubuh rentanya hanya terbalut kulit, kurus kering, namun masih mampu memecah batu.
Tangannya berdarah, dibalut seadanya dengan secarik kain berdebu.
Tangannya tertimpa batu.
Cucunya yang seusiaku akan menikah hari minggu.
Beliau tinggal dengan sang cucu, istrinya sudah meninggal bertahun-tahun lalu.
Beliau bilang beliau sedih karena akan hidup sendiri di kontrakan itu.
Darahnya merembes di sela sela kain, beliau pukul pukul dengan kayu seakan tak ada rasa sakit disitu.
Segera aku masuk kerumah, kubuatkan es teh dan sepiring nasi, juga beberapa perban dan kain kacu.
Bergegas aku keluar, tapi beliau sudah tak ada di teras, rupanya waktu istirahat udah kelar, mandor koar koar tak bisa menunggu.
Kulihat kakek tadi, beliau sedang mendorong argo berisi batu.
Langkahnya terseok di tahah berkerikil, tanpa sepatu.
Kulihat darah di tangannya masih merembes, menetes di sela sela teriakan mandor, memburu waktu..
No comments:
Post a Comment