Friday, October 08, 2010

Rumah Jungkir bin Sampit





Rumah Bubungan Tinggi

Akulturasi Seni Bangunan Belanda

Sampit, di tahun 1940-an merupakan kota pelabuhan tempat puluhan kapal asing bertambat. Sungai Mentaya sejak dahulu menjadi singgahan warga asing, keberadaan kilang penggergajian terbesar di Asia pun (NV Bruynzeel Dayak Houtbedrijven) turut mengambil andil dalam identiknya Sampit sebagai kota Pelabuhan.

Rusnani Anwar, Sampit

(sebelumnya, biar ga bingung, saya jelasin silsilahnya dulu. Sampit memiliki anak bernama Jungkir, Jungkir menempati rumah milik Sampit. Dahri adalah cucu Sampit (anak Jungkir) dan Hendrawanto dalam artikel ini adalah keturunan ke empat. Cicit Sampit)

Menyibak sejarah Sampit secara kasatmata dapat dilakukan hanya dengan melintasi tepian sungai Mentaya, dari sungai Pemuatan Baamang hingga sungai Hilir di Ketapang. Terdapat puluhan rumah tua dengan arsitektur khas Belanda masih berdiri di sana. Tahun 1948, invansi Belanda ke kota Sampit ditandai dengan pendirian kilang penggergajian kayu. 2000 lebih warga Sampit dinaungi oleh kilang yang dikenal dengan sebutan brengsel itu.

Secara otomatis, kilang itu menjadi pusat denyut aktivitas warga Sampit, tak mengherankan jika rumah-rumah kuno serta bangunan tua hanya bisa dilihat di seputaran Taman Kota dan daerah tepian Sungai Mentaya. Dahulu, pusat kota ada di sekitaran brengsel, dari rumah sakit, gereja, perumahan, sampai pasar malam berdiri di sana. Informasi ini dihimpun dari cerita para orang-orang tua yang menghabiskan hidupnya di kota Sampit.

Hingga sekarang, sisa-sisa kemegahan arsitektur Belanda itu dapat dilihat dari gereja katolik Santo Joan Don Bosco. Gereja dengan paroki pertama Pastor Leonardus Bernsen ini didirikan pada 5 Mei 1952. Gedung tersebut baru dipugar pada Januari 2009 lalu. Nuansa bangunan Eropa begitu kentara dari gereja Katolik satu-satunya di wilayah Sampit itu.

*Dahri, cucu Sampit*


Bangunan lain adalah rumah Jungkir bin Sampit di kawasan Baamang Tengah. Ia adalah pemilik tanah kawasan Brengsel. Pada tahun 1948, konon beliau meminjamkan (atau menyewakan?) tanah tersebut kepada para Belanda pendiri kilang penggergajian itu. Tidak ada yang mengetahui kapan Jungkir dilahirkan ataupun meninggal. Beliau sudah menjadi semacam wali, orang yang paham betul akan ilmu agama. Tak ayal, kuburannyapun dianggap keramat.

Rumah miliknya itu berada di kawasan Baamang Tengah, tepat di pinggir sungai Mentaya. Sejak berdiri di tahun 1930an hingga sekarang, rumah tersebut tidak pernah direnovasi. “Hanya sekali, atapnya diganti menjadi seng, dulunya sirap,” ujar Hendrawanto, keturunan ketiga dari Jungkir bin Sampit yang saat ini menjadi juru kunci makam sekaligus penjaga rumah peninggalan almarhum.

Rumah dengan arsitektur khas Belanda itu dikenal dengan nama Rumah Bubungan Tinggi. Bubungan adalah sebutan lokal untuk atap rumah, rumah tua seperti itu lantas menjadi khas dengan mencampurnya gaya bangunan Banjar dan Belanda. Rumah bubungan tinggi berdiri dengan bagian berumahan yang tidak terlalu tinggi layaknya rumah Betang khas dayak. Tinggi berumahan hanya sekitar satu meter, undakan dari batu disusun untuk menapaki ruang beranda.

Percampuran gaya bangunan Banjar dapat dilihat pada dapur dan peletakkan kamar. Rumah-rumah khas Banjar biasanya memiliki kamar di bagian depan rumah. Di rumah Jungkir, hal serupa terlihat dari ketiga kamar utama yang berada di samping beranda depan. “Kakek saya itu asli Bati-Bati, Banjarmasin,” ujar pria 34 tahun ini. Sayang, Koran Ini tidak berkesempatan bertemu dengan keturunan terakhir dari Jungkir bin Sampit. Dahri, anak kelimanya telah dipanggil yang maha kuasa tahun lalu, di usia 85 tahun.

Sisanya, aroma bangunan Belanda melekat kental pada tiap sudut rumah Jungkir ini. Atap yang berbentuk kerucut, daun pintu dan jendela yang tinggi-ramping dan pintu rangkap dua yang kerap kita lihat di film-film kuno Indonesia. Bukan berarti lantas rumah ini mengambil gaya bangunan Betawi, namun seperti itulah bentuk rumah yang sedang tren di zaman itu.


*ruangan inilah yang menjadi kamar Jungkir*

Tinggi bangunan bisa mencapai lima meter. Itu belum ditambah tinggi bubungan. “Dua meteran mungkin, tinggi plafon ke puncak atap,” papar Hendrawanto. Bangunan utamanya juga tinggi sekali, plafon bisa difungsikan sebagai loteng tempat penyimpan barang. Zaman dulu, mayoritas penduduk Sampit adalah warga Banjar, tidak mengherankan jika rata-rata penghuni rumah kuno ini merupakan orang dari provinsi selatan Kalimantan.
Rumah Jungkir bin Sampit ini memiliki cerita unik. Dulunya, rumah ini berdiri di kawasan brengsel. Namun, ketika Belanda mendirikan kilang penggergajiannya, Belanda bernegosiasi dengan Jungkir untuk memintanya pindah dari kawasan itu. Akhirnya, rumah itu dipindah pada tahun 1948, dengan syarat, tidak boleh barang satu pakupun berubah letaknya. “Pihak Belanda setuju, rumah ini dibongkar, lalu dibangun ulang, sama persis,” terangnya.

Karenanya, hingga saat ini masih dapat terlihat di dinding dan plafon rumah Jungkir, bekas paku yang dicabut dan dipasang kembali. “Kalau tidak dibongkar, lubang bekas paku jumlahnya hanya dua, di rumah ini, lubangnya ada empat,” ujar Hendrawan seraya menunjukkan bekas lubang paku dinding rumah almarhum kakeknya itu.


*rumah Jungkir, tampak depan*

Hanya segelintir barang peninggalan Jungkir bin Sampit yang tertinggal, antara lain meja hias, lemari dan meja kopi bundar. Semuanya berbahan dasar kayu jati dengan ukiran khas sekali, menambah nilai antik dari barang-barang kuno tersebut. Rumah seluas 10 25 meter itu kini mulai renta dimakan usia.

Lantai meranti yang menyanggah sejarah itu lapuk, bahkan, bagian dapur rumah ini sudah tidak bisa lagi dipijaki. Dinding-dinding termakan rayap dan menjadi hunian serangga. Saat ini, nyaris tidak ada lagi rumah bubungan tinggi yang bentuknya sama persis seperti awal pembangunannya. Sebagian besar telah diperbaiki, dipugar, dibongkar hingga dibangun ulang. Hanya rumah milik Jungkir inilah yang bertahan dengan bentuknya yang otentik sejak delapan puluh tahun silam.

Kuburan Jungkir yang tepat berada di depan rumahnya setiap hari dikunjungi banyak orang. Dari sekedar berziarah hingga memohonkan doa kepada Allah melalui almarhum, dilakoni pengunjung yang jumlahnya akan belipat ganda di hari besar agama Islam itu. Sosok Jungkir semasa hidupnya memang terkenal agamis. “Beliau itu pemuka agama di zamannya, tak pernah lepas sembahyang,” ungkap Hendrawanto seraya menunjukkan sajadah yang dulu biasa digunakan Jungkir untuk menunaikan ibadah shalatnya.

Terbuat dari tikar purun, usia sajadah itu bahkan lebih tua dari usia rumahnya. Seratus tahun bahkan lebih sajadah itu sudah dipakai sebagai alas sholat oleh Jungkir. Berlubang bagian atas sajadah itu lantaran seringnya Jungkir bin Sampit bersujud menghadap tuhan. Saking tuanya usia sajadah itu, purun yang terjalin menjadi lembaran itu rapuh rasanya saat dipegang, hati hati sekali, Hendrawanto mengembalikan sajadah milik kakeknya itu ke dalam lemari yang berusia sama tua dengan sajadah itu.

Hendrawanto berharap agar pemerintah dapat membantunya memelihara peninggalan kakeknya ini. Ia adalah keturunan terakhir dari salah seorang tokoh Sampit. Hendrawanto mengaku keberatan jika harus membiayai pemugaran bangunan seluas itu seorang diri. Padahal, kakeknya beramanat untuk terus merawat rumah tersebut tanpa mengubah bentuk aslinya. “Ditawar berapapun, saya tidak mau menjual rumah ini, sudah amanat dari kakek,” tutup Hendrawanto. (***)


*Makam Sampit*

*Diterbitkan di Surat Kabar Harian Radar Sampit, 9 Februari 2010*

No comments:

Post a Comment