“Mari bermain cita cita”
Seru guru itu dalam ruang kelasnya, Selasa pagi
Di sebuah sekolah kumuh,
Dengan murid murid kumuh,
Dengan dana remah remah anggaran daerah
Puluhan bocah empat SD, bergemuruh, beberapa bertepuk tangan
Satu per satu, ditanyai ingin menjadi apa
Berloncatan senang, masing masing punya jawaban
Dokter-astronot-artis-hingga presiden dilontarkan
Ada yang memukul mukul meja,
Tak sabar menunggu cita citanya terpapar
Amin diam,
Tak bergeming kala sang guru mengetuk ngetukkan ujung sepatu, menunggu
“Saya tak punya cita cita Pak, lihat nanti saja”
Gumam menggumam, tawa cela memburai seketika
Ruang kelas gaduh, Amin dihukum berdiri di depan kelas
Karena tak punya cita cita
Puluhan tahun lewat, tak ada satupun kawan kelasnya yang menjadi dokter-astronot-artis
Lebih lebih presiden
Satu satu mati, ada yang bolong kepalanya ditembak, gara gara bertatto
Ada yang mati kesetrum, kala menjaja asongan di atas atap kereta
Ada yang mati beranak, semata tak mampu ikut KB
Tak pula ada yang menjadi dokter bertatto
Astronot kemudi kereta
Atau bahkan artis dengan anak kelewat banyak
Amin, mengais sisa sisa sampah rumah mewah
Sekolahnya tak tuntas, SD-nya diratakan di tahun ke lima
Deru menderu, bisik membisik sampaikan padanya
Kawannya yang ingin jadi presiden mati
Ketangkapan warga sekampung mencuri televisi
Kais mengais, sampah yang bisa dimakan
Gumam pelan Amin tak tertangkap udara
“Hidup kok kebanyakan cita cita..”
No comments:
Post a Comment