Saya satu mobil bersamanya, saat dalam perjalanan pulang. Usianya mungkin 80 tahun, keturunan China. Sepanjang jalan, beliau sibuk mengoceh dan sesekali mengajak saya berbicara (bukan sesekali juga sih, SERINGkali!)
Beliau bertanya mengenai apa yang saya lakukan di sana. Lantas merembet ke perkara pekerjaan dan apakah saya kuliah. Begitu saya mengatakan saya tidak kuliah. Berbagai nasehatpun dimuntahkan wanita berkacamata itu. Mulai dari saya yang telah menyia nyiakan usia lah, hingga orang tua saya yang tidak memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Awalnya, saya sungguh merasa nenek ini annoying. Menyebalkan, cerewet dan terlalu banyak bicara. Sayapun tinggalkan pembicaraan dengan beliau ketika seorang ibu ibu masuk ke dalam mobil. Dari kursi depan, saya menangkap banyak perbincangan dua orang di kursi tengah itu.
Beliau, rupanya orang Surabaya yang tengah mengunjungi anaknya di Palangkaraya. Sayang, di Palangkaraya anak dan menantunya sibuk bekerja hingga tak punya banyak waktu untuk menjamunya. Selang seminggu di Palangkaraya, beliaupun bergerak ke Sampit, mengunjungi anak tertuanya.
Telepon berdering, beliau berkata : "Ama (sebutan untuk nenek dalam literasi China) mau ke Sampit" jeda "Oh ya kah sayang? papah lagi ke Jakarta? ngapain?" jeda "Kamu mau berangkat les? ya udah nanti Ama hubungi mamah kamu aja,"
Mati. Beliaupun kembali mengobrol mengenai sulitnya hidup di Surabaya sendirian sementara anak anak dan keluarga tinggal berjauhan. Suaminya telah meninggal. Anak perempuannya tinggal di New York.
Mobil menepi di Kasongan, seorang pria masuk, terlihat terburu buru. Si nenek bertanya "Kamu orang mana?" pada sang pria. Saya coba menerka kenapa nenek bertanya kesukuan si pria. Sempat terbersit diagnosa rasis dari dalam benak saya. Kemudian saya mengerti, ketika pria itu bilang "Uluh itah". Artinya, ia cukup kampungan hingga tak mengerti caranya masuk ke barisan belakang mobil (ia ingin lompat ke dalam tanpa menekuk kursi tengah)
Perbincanganpun berlanjut, antara nenek berkacamata dan ibu ibu berjilbab. Si nenek rupanya tengah berkeliling, mengunjungi satu satu keluarganya yang tersebar di mana mana. Yang saya tangkap,
Beliau hanya kesepian
Karenanya sepanjang jalan sibuk berkenalan dan meminta nomor handphone ibu ibu berjilbab. Karenanya sepanjang jalan sibuk mengobrol dan selalu ingin didengarkan.
Ah, betapa mengerikannya menjadi kesepian. Saya jadi berfikir, sepanjang sisa perjalanan itu. Usia kadang menjadi perihal menakutkan. Ketika lahir, tumbuh menjadi bayi, anak anak hingga remaja, semua orang mencurahkan perhatian pada kita. Orangtua dengan segala kekhawatirannya atas pertumbuhan kita. Para guru yang mencemaskan kredibilitas kemampuan berfikir kita.
Tapi apa yang terjadi setelah kita melewati usia remaja? Kita siap dinobatkan menjadi dewasa. Dewasa adalah saat di mana kita di anggap cukup cerdas untuk berfikir dan memilah mana baik mana buruk mana manfaat mana yang tak berfaedah. Karenanya, perhatian atas kita semakin memudar. Kitapun mencari perhatian itu dari lawan jenis.
Di usia dewasa, kitapun merasa memerlukan orang yang bisa memperhatikan kita dan mendengarkan ocehan kita. Karenanya, di usia dewasa, orang orang dewasa memutuskan untuk menikah. Lantas memiliki anak, dan beranjak tua.
Kita, akan sampai pada fase di mana secara perlahan, orang orang yang se usia satu per satu di panggil tuhan. Satu di antara orang itu bisa jadi kawan, tetangga, atau bahkan, orang yang kita putuskan untuk menjalani hidup dengannya. Betapa mengerikannya usia ini. Kita menunggu, menunggu waktu.
Sambil mengulur ulur dan menunggu, orang orang yang dulu memberikan perhatian, menghilang. Anak anak kita? cucu cucu kita? bagaimana?
Di usia ini, kita akan menyadari bahwa kita ini tidak lebih dari sesosok tua pengganggu yang banyak mengoceh. Perlahan kita menjadi pikun, tak mampu bergerak bebas, menjadi beban.
Tak lebih menjadi renta yang menjadi beban anak menantu, kesepian, dan menunggu waktu.
waktu terlalu angkuh untuk ditunggu, jalannya tak toleh kanan kiri. Relatifitas waktu memang mengerikan, saat kita tak sadar menjadi pikun dan beban...siapkah kita menjadi tua? sebab itu bukan pilihan :)
ReplyDelete