Saturday, March 29, 2014

Mediasi Lupa

Kerusuhan 2001 adalah isu kelewat sensitif hingga media media lokal berhenti melakukan pemberitaan memorial tahunan di tahun ke sebelas paska kejadian. Hal ini terlewat begitu saja. Menjadi satu dari sekian banyak sejarah berdarah yang terjadi di negara pelupa, Indonesia. Namun apa yang tersisa paska terjadinya sebuah insiden?

Trauma.

Belasan tahun lewat seusai kejadian yang menyisakan berita berita dengan suntingan sedemikian rupa meminimalisir penggunaan etnis tertentu atau kota tertentu ini, sebuah kasus pembunuhan terjadi di Pangkalanbun, Kotawaringin Barat. Kabupaten tetangga Kotawaringin Timur -Sampit- tempat insiden 2001 terjadi.

Kronologis kejadian dapat dibaca online melalui koran Borneo News di sini dan di sini. Berita Tabengan ada di sini. Saya paling sering mendapat teguran "Sudah Nan, jangan diungkit ungkit lagi" setiap bertanya kepada orang orang di sekitar maupun beberapa pejabat yang pernah terlibat insiden 2001 saat riset penulisan memorial sebelas tahun kerusuhan beberapa tahun lalu. (baca di sini)

Saya kira kita ini bangsa yang gampang lupa. Banyak kasus kekerasan terhadap nilai kemanusiaan yang terlewat begitu saja tanpa bahasan dan penyelesaian berarti. Kita bicara ribuan orang yang meninggal sebagai efek dari insiden 2001. Kita bicara puluhan ribu rumah yang hancur tanpa ganti rugi. Semuanya diminta ikhlas, semuanya diminta legowo dan menganggap insiden 2001 tak lebih dari bencana alam yang dikirimkan Tuhan sehingga setiap yang terlibat sebagai pelaku maupun korban di dalamnya tak boleh bersuara terlalu keras, sebab tak baik mengungkit ungkit musibah seolah tak bersyukur atas nikmat yang banyak diberikan di masa sekarang, kan? (referensi kesepakatan damai dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur nomor 05 tahun 2003)

Lupa saja nampaknya tak cukup menghilangkan trauma tadi. Sebuah kasus pembunuhan atas warga Mendawai dengan pelaku dari kelurahan Madurejo ditangani sedemikian ketat seolah kasus ini berpengaruh banyak pada perdamaian dunia (atau memang iya?) sementara jika kata 'Mendawai' dan 'Madurejo' dihapuskan kasus pembunuhan ini tak akan sampai membuat Bupati turun ke lapangan dan meluluhlantakkan TKP, atau Kapolda yang terbang segera untuk menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban. Juga tidak akan sampai membuat puluhan tetua adat berkumpul dan menggagas ide untuk menyelesaikan kasus ini secara adat. Ia akan menjadi satu dari sekian banyak kasus pembunuhan biasa yang takkan lebih dari ungkapan belasungkawa kapolsek kecamatan setempat.

Jadi siapa bilang kita sudah lupa?