Friday, October 29, 2010

I'm Barely Bare Because of Bored

Ga tau juga kenapa bikin judul postingan kaya gitu. Kalo disingkat jadi IBBBB noh (err.. so?)

Saya bosenbosenbosenbosenbosenbosen!

Film the Social Network premiere bentar lagi. Pengen nonton -_-

Pengen nontooonnnnnnnnnn!

Ehm. Ini lebay.

Let see my newest picture. Taken on Kamar Hitam. With a bunch of light and few hatred.

Ah.. Saya memang cantik! :P

Petrus

Ayahku digiring melalui pasar dan selokan

Bau amis menyengat di setiap langkahnya menuju pengadilan

Ayah tak dibela, ayah tak punya daya upaya

Babak belur ayah dihakimi massa,

Diseret tubuh rentanya menuju penjara

Ayahku mencuri

Seekor ayam milik tetangga

Alasannya sederhana, ayah tak lagi bisa bekerja

Tubuhnya sudah renta

Negara ini terlalu buta untuk mengasihaninya

Demi aku agar tak lagi mengeluhkan lapar padanya

Maka ayah berdarah-darah kakinya terinjak beling di belakang kandang ayam tetangga

Bukan ayam bangkok, pejantan atau bekisar yang mahal harganya

Hanya ayam buras biasa, putih warnanya

Ditenteng ayah menengahi adzan subuh yang mulai bergema

Kami senang, emak memasak dengan riang, ayah ke mushola menghadap tuhan

Di subuh buta pula ayah dihajar masa, darah dikakinya berlipat banyaknya

...

Ayah telah pulang dari penjara

3 tahun lamanya

Beliau tak berubah, tetap sayang padaku

Hanya saja tubuhnya telah dirajah paksa oleh sipir penjara

DS 1098 NK tercetak di lengannya

Ayah bilang itulah identitas narapidana

Tubuh rentanya semakin tirus

Semakin kurus

Suatu senja

Kampung kami di kunjungi para bertopeng rajut warna hitam bersenjata

Bersenapan

Mereka geledah semua rumah

Mencari pengkhianat bangsa

Atau dalam versi mereka

Memburu mereka para pengancam kedudukan mutlak presiden negara

Ayah memintaku bersembunyi di bawah meja

Mereka masuk ke bilik kami

Seorang bertopeng rajut hitam todongkan senjata pada ayah

Sebuah suara letusan sederhana membuatku menjadi yatim selamanya

Ayah jatuh berdegum ke lantai tanah

Kaku tubuh tirusnya bersimbah darah

Seorang bertopeng berteriak pada kawanannya

“Dia Bertato! Dia Dalangnya!”


Rusnani Anwar, dalam sebuah malam, Agustus silam.

*petrus, sisa-sisa kesejahteraan

Sajak Tiga

Aku Datang Menjelang,
Mencentang Gamang,
Lalu Perlahan Menghilang…

Berdiri Disini.
Merentang Sepi,
Lantas Pergi Tak Berperi.

Menjadi Ada,
Mengemban Tiada.
Ada Aku Ingin Jadi Tiada.

Bertuak Asa
Mencandu Rasa.
Kamu Bagai Heroin Raksasa.

Direntas Kabut
Menyulam Kalut
Tak Payah Kau Kusebut.

Mencinta Gelap
Mencerca Terang
Lama Pengap Kau Tak Juga Hilang.

Menyusup Angin
Gerogoti Dingin
Hilang Peluh Kusibak Ingin.

Menjadi Aku.
Menjadi Ada.
Menyusup Angin.



Ada Aku Menjadi Angin.


Rusnani Anwar, sebuah sore, suatu Sabtu.

Silogisme

Dunia kita terbagi atas tatanan benar salah.
Atas simpulan pragmatis dengan dogma dosa-pahala
Atas destinasi surga neraka.
Dengan doktrin hitam putih.
Berkebalikan, berkesimpulan.

Nilai-nilai moral yang di junjung adalah dengan menjadi sama maka manusia akan bahagia dunia akhirat
Dengan tertata maka dunia akan damai sentosa
Dengan menata maka akan ada seorang pemimpin yang berkelayakan untuk mengatur kita semua

Lalu dibangunlah sebuah negara dengan konstitusi luar biasa
Dengan undang-undang dan pasal-pasalnya.
Menjadi putih berarti warga yang baik,
Menjadi hitam berarti sebuah penyangkalan atas konkritas suatu tatanan sempurna
Berkebalikan, berkesimpulan.

Lalu bagaimana yang dengan yang mendobrak batasan dan memilih tidak menjadi apa-apa?
Menjadi abu-abu misalnya.
Bauran warna dari solidnya hitam-putih
Atau menjadi banci misalnya
Probabilitas opsi lain atas doktrin pria-wanita

Salah?

Bagaimana bisa.
Ia bauran dari dosa dan pahala.
Jadi, yang manakah kita?



Rusnani Anwar, dalam sebuah kebimbangan.

Cruelty

Saya, menghabiskan banyak waktu untuk membaca jejak sejarah Indonesia yang berdarah. Satu dari sekian tetes darah yang tercetak menjadi jejak itu adalah Insiden Dili. Pemerintah mencoba memperhalus perbahasaannya menjadi Insiden. However, universe already know it as Butchered.

Pembantaian Dili.

Ini yang saya temukan dalam buku Saksi Mata milik Seno Gumira :

Kalimat ini, ada di dalam cerpen Kepala di Pagar Da Silva.

Saya jadi berimajinasi. Mereka reka, apa ini nyata atau hanya fiksi -layaknya kebanyakan cerpen- Atau, memang ada semacam kekejian seperti itu di masa lalu. Membaca ini, saya jadi teringat kala kerusuhan Sampit, 2001 silam. Berdesakkan dalam bak truk, samar saya melihat di perempatan jalan Tidar-Cilikriwut, mayat tanpa kepala, disandarkan ke drum di tengah jalan. Tempat dimana kepala seharusnya berada di ganti dengan bantal.

Dan mayat tanpa kepala itu, dilucuti bajunya, digambari dengan torehan pisau. Dan dipertontonkan. Saya sama sekali tidak mengerti konsep berpikir macam apa yang 'memperbolehkan' manusia melakukan hal sekeji itu.

Menurut saya adalah keji, ketika seseorang melakukan pembantaian tanpa menghargai sejarah hidup orang tersebut. Terhukum mati saja langsung dikuburkan dan diurus sesuai agamanya lepas ditembak.

Apa pembenaran atas tindakan seperti itu? Dili, Marsinah, Tanjung Priuk, Pulau Buru, Kedung Ombo dan mungkin jutaan kasus kecil lain yang tak terungkap ke publik terkait kekejian manusia terhadap sesamanya. Saya, sekali lagi sulit menemukan pembenaran atas ini.

Atau mungkin, konsep 'gelap mata' benar adanya :)

Sulit menemukan siapa/apa yang keji, sebenarnya. Ingin menuding Orba dan Soeharto sebagai dalang dari vandalisme dan pelanggaran HAM di negara ini, sulit rasanya. Soeharto, sama halnya seperti paham komunis, bersifat abstrak. Ia semacam simbol dari sesuatu. Apa Soeharto yang keji? atau pahamnya yang keji? atau justru kepanjangan tangannya yang keji?

Sepertinya, konsep 'gelap mata' bukan hanya monopoli orde baru. Kekejian,

cruelty,

Nampaknya memang bersarang dalam pikiran tiap manusia..

Thursday, October 28, 2010

Diam

Langkahnya terseok,
meningkahi kucur merah dari lubang menganga di pangkal kakinya
Sesekali ia mengeram, jatuh bersimpuh
Darah masih mengalir, bertambah deras dari lubang telinga
Liurnya menetes, merah juga warnanya, geraham bungsu hingga taring remuk semua
Matanya mengerjap, terik matahari merangsek masuk
Kali ini darah masih di sana, kepalanya tersayat delapan

Nafas memburu, meregang nyawa
Dicengkramnya lengan kiri, melepuh bekas setrika
Wenggini coba menghapus tattonya
Pun tetap jua sepatu lars dan todongan senjata kejutkan pagi
Di sela nafas yang sepenggal sepenggal
Tetes liur bercampur darah dari lidahnya yang dipotong
Menggumam gumam tanpa suara

“Aku takkan mengaku..”


Rusnani Anwar, dalam lesakkan insiden dili milik Seno Gumira

Ke-Benar-an

Betapa sulitnya kebenaran tegak di negeri ini
Pemimpin pemimpin lalim silih berganti
Berserabut menutupi
Lalim pemimpin sebelumnya

Betapa sulitnya mencari pembenaran di negeri ini
Atas tangis para ibu yang kehilangan anak lelakinya
Atas tangis para istri yang ditinggal mati suami

Betapa sulitnya sampaikan kebenaran di negeri ini
Terlampau lama tuli, terlampau lama mengidap penyakit hati
Dengus mendengus, ludah meludah pada onggokan kalimat kebenaran, dikebiri

Betapa sulitnya menjadi benar di negeri ini
Terpapar peluru
Tertikam sangkur tak bertuan
Tercekat racun

Mati




Rusnani Anwar, dalam sebuah resah atas ketiadaan adil
dalam peringatan kematian Munir.

Medan Perang Terasa Menjemukan

Ada kalanya, ketika kematian menjadi semacam lelucon.

Mayat mayat tak bernyawa menjadi semacam mainan.

Ada kalanya, kematian menjadi semacam guyon

Beberapa mengencingi malaikat maut

Padanya ditunjukkan seringai kebal senjata

Ada kalanya, tubuh tubuh kaku berserak

Lemas dan perlahan disetubuhi

Tertawa tawa, meningkahi sorai bersenjata

Pesing desing mesin Jepang

Gagahi langit subuh buta

Pun terdengar juga, sayup adzan

Mayat mayat tak bernyawa

Dicabik dan disayat

Dimakan

Kadang kala jemu menunggu

Mayat mayat bercelana jeans

Didandani dengan segumpal ilalang kering

Atau cemoreng arang

Mayat mayat busuk tunarupa

Dibuang

Atau ditinggalkan

Kala serdadu beranjak, meninggalkan lokasi perang

Mencari cari (lagi)

Mayat mayat bercelana jeans yang bisa

Dijadikan mainan

Siang memanggang

Medan perang terasa begitu menjemukan



Rusnani Anwar, dalam candu film Atonement, Kiera Knightly.

Wednesday, October 27, 2010

Senja Merah

Sore itu aku teringat, sepotong senja merah
Yang berpendar, sesekali berkeriap, angin terbangkan awan kecil
Seperti gulali

Sepuluh tahun lalu, ya, ya, sepuluh tahun lalu
Aku masih kanak kanak dengan sepatu kuning bergambar kartun
Kala peluru berdesing, pria berparang berlarian, darah tumpah
Di pelabuhan

Ya, ya, sepuluh tahun lewat
Saat badan badan tunakepala
Dibuang ke tepian sungai
Amis menguar ke udara

Laki laki berseragam, sibuk berbalas tembak
Dengan senjata rakitan dan tebasan parang
Sesekali, asap pekat mengepul di sudut sudut kota

Sesekali, tubuh tumbang bersimbah darah
Kadang berlubang, kadang terpenggal
Nafas Ayah tersengal, digendongnya aku
Puluhan berparang

Menyentakku dari gendongan, berteriak teriak
Uluh itah kia, uluh itah kia*, disoraikan ayah

Burung burung elang*
Berputar putar, magis

Ya, ya, sepuluh tahun lewat
Dan aku masih sulit terlelap
Di Minggu senja merah







*Uluh itah kia : Bahasa Dayak Ngaju, artinya “Orang kita juga”
*Burung Elang yang berputar putar di atas rumah terbakar dimitoskan sebagai jelmaan Panglima Burung, konon, dengan adanya elang yang berputar di atas rumah, api takkan menyebar
*Jelang sepuluh tahun peristiwa kerusuhan Sampit, 18 Februari 2001

Pelajaran Cita Cita

“Mari bermain cita cita”

Seru guru itu dalam ruang kelasnya, Selasa pagi

Di sebuah sekolah kumuh,

Dengan murid murid kumuh,

Dengan dana remah remah anggaran daerah

Puluhan bocah empat SD, bergemuruh, beberapa bertepuk tangan

Satu per satu, ditanyai ingin menjadi apa

Berloncatan senang, masing masing punya jawaban

Dokter-astronot-artis-hingga presiden dilontarkan

Ada yang memukul mukul meja,

Tak sabar menunggu cita citanya terpapar

Amin diam,

Tak bergeming kala sang guru mengetuk ngetukkan ujung sepatu, menunggu

“Saya tak punya cita cita Pak, lihat nanti saja”

Gumam menggumam, tawa cela memburai seketika

Ruang kelas gaduh, Amin dihukum berdiri di depan kelas

Karena tak punya cita cita

Puluhan tahun lewat, tak ada satupun kawan kelasnya yang menjadi dokter-astronot-artis

Lebih lebih presiden

Satu satu mati, ada yang bolong kepalanya ditembak, gara gara bertatto

Ada yang mati kesetrum, kala menjaja asongan di atas atap kereta

Ada yang mati beranak, semata tak mampu ikut KB

Tak pula ada yang menjadi dokter bertatto

Astronot kemudi kereta

Atau bahkan artis dengan anak kelewat banyak

Amin, mengais sisa sisa sampah rumah mewah

Sekolahnya tak tuntas, SD-nya diratakan di tahun ke lima

Deru menderu, bisik membisik sampaikan padanya

Kawannya yang ingin jadi presiden mati

Ketangkapan warga sekampung mencuri televisi

Kais mengais, sampah yang bisa dimakan

Gumam pelan Amin tak tertangkap udara

“Hidup kok kebanyakan cita cita..”

When Everybody Grown..

Menjadi tua adalah konsekuensi waktu. Tua, adalah konspirasi semesta atas waktu. Menjadi tua, adalah keadaan yang tak tebantahkan. Semua manusia lahir, menjadi anak anak, remaja, tua, karena waktu.

Menjadi dewasa, adalah konsekuensi kondisi. Berbeda dengan waktu yang dikendalikan semesta, kondisi dikendalikan oleh faktor non fisik. Faktor yang tidak bertaraf, yang tidak berjenjang. Kondisi bersifat random, acak dan tidak terprediksi.

Karenanya, menjadi tua adalah hal yang pasti.

Menjadi dewasa (saya pinjam bahasa corny ini) adalah misteri ilahi.

Ada seorang anak kecil. Usianya baru 11 tahun. Ia harus menjadi tulang punggung keluarga, menafkahi ibu dan dua adiknya dan tetap bersekolah.

Ada seorang 40 tahun, yang sibuk berfoya foya menghabiskan warisan keluarga sambil mencari istri kedua, tiga dan selanjutnya.

Contoh gamblang antara dewasa dan tua.

Saya, 18 tahun dan dua bulan lagi akan menginjak 19 tahun. Di usia ini, saya sudah masuk kategori lepas remaja dan berada di usia tanggung. Saya sembilan belas tahun dan masih gamang mengenai masa depan.

Hanya khawatir, jangan jangan kegamangan ini akan terus berlangsung hingga saya berusia 30 tahun. Saya takut menjadi tua tanpa menjadi dewasa..

Tuan Hitam Sakit, Day #2

Tuan Hitam masih sakit (ya iyalah, belum diperbaiki). Kali ini, tumor kehitam hitaman pada layar kanan atasnya kian membesar. Hiks


Juga bergaris garis merah kaya gitu -_- cobaann.. selang dua jam saja, tumor yang awalnya berwarna putih itu berubah menjadi putih..

Tuesday, October 26, 2010

Tuan Hitam, Anda Sedang Sakit

saya, secara tak sengaja menginjak Tuan Hitam saat sebelum siaran. Kamar yang berantakkan dan keterburu buruan resmi membuat Tuan Hitam batuk batuk dan pecah LCDnya. Saya coba googling tentang LCD pecah. Konon, kalau tidak segera diganti, kerusakan bisa menyebar. Oh, tidaaakkk..

Sementara, harga LCD untuk ukuran 11 inci biasanya 1 sampai 1,5 juta.

Doakan saya, semoga ada om om yang mau jalan sama saya malem ini.

*nangis guling guling*

Dunia Fisik!

Look what I found on my desk this evening:

Ini iklan pencarian kerja yang masuk ke radio. Masih ada ya, standarisasi 'berpenampilan menarik' dalam kualifikasi bekerja kayak gitu. Yang membuat saya bingung adalah, bukankah cantik atau tidak (baca : menarik atau tidak) nya seseorang itu relatif. Tergantung dari sudut pandang masing masing orang. Seseorang yang menarik bagi seseorang bisa saja menjadi tidak menggiurkan bagi orang lain (beuh bahasanye)

Jika memang ada semacam patokan 'berpenampilan menarik' dalam sebuah pekerjaan, maka akan ada yang disebut generalisasi kecantikan. Standarisasi. Ini aneh, mengingat 'menarik' adalah kata sifat yang probabilitasnya masih mengawang awang.

Saya sih, sudah tau seperti apa yang mereka cari :D

1. Kurus

2. Bersedia mengenakan kaos ketat, hak tinggi dan rok mini ketika bekerja

3. Rambut panjang, kulit mulus, make up tebal

4. Jago merayu

Hehe, ini bukan semacam generalisasi SPG yang saya buatan sendiri loh. Yang saya tau, inilah pengertian 'berpenampilan menarik' dari salah satu kualifikasi pencarian kerja di atas. Kalo gitu, kasian cewek cewek seperti saya* dong..

*Seperti saya : Gendut, jelek, kutu buku, gabisa dandan, illcommunication dan super tidak pinter ngerayu (lah, ngobrol aja saya gagu, apalagi ngerayu :P)

Dunia Angka

Kita hidup di dunia angka.

Ah, kita hidup di dunia berstandar angka.

Kita dikenalkan pada satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan sembilan sepuluh sejak baru bisa buka mata.

Lantas ayah-ibu ajarkan pada kita untuk senantiasa kejar peringkat pertama dimanapun kita berada.

Setelah dewasa, kita begitu terobsesi pada jumlah,ukuran, dan kalkulasi angka.

Kita begitu peduli pada peringkat berapa kita berada pada tatanan masyarakat , lantas terobsesi untuk mengejarnya.

konon, di dunia manusia, nilai prestise dan kehormatan seseorang ditentukan oleh para angka.

Dengan angka mereka dengan mudahnya mengkotak kotakkan manusia lainnya.

Berdasarkan jumlah harta, mereka membagi manusia menjadi miskin-kaya.

Berdasarkan urutan peringkat, mereka klasifikasikan sebagai genius-idiot-hingga goblok luar biasa.

Berdasarkan ukuran, mereka jajah dengan doktrin kurus-gemuk-seksi-culun-kutubuku dan puluhan kata sifat lainnya.

Aku terkesima, manusia memang sakti mandraguna.

Mereka bisa memberikan predikat yang mungkin tak bisa orang lain terima.

Aku pun lantas tertawa dengan dunia fisik kita.

Kulihat di pusat perbelanjaan, banyak anak anak baru lulus pada magang, berseragam SMA.

Aku masih ingat, waktu dulu disekolah, aku sangat peduli pada aturan sekolah nomor duabelas, tentang dilarangnya memodifikasi seragam sekolah, untuk mengejar prestise dan predikat “murid teladan yang patuh pada gurunya”.

Ya, dulu waktu di sekolah, kami dilarang keras mengetat ngetatkan seragam, konon katanya tidak sopan untuk standar anak SMA.

Tapi di sana kulihat seragam kecil luar biasa, pas ditanya, konon katanya itu tuntutan buat jadi pramuniaga.

Ooo, jadi peraturan itu sifatnya fleksibel ya, bisa di modifikasi dan diubah ubah meskipun objeknya itu itu saja.

Juga tentang sebuah surat pencarian kerja.

Persyaratannya sungguh membuatku tertawa.

Bagaimana tidak, persyaratan konyol itu tertera tepat di urutan pertama.

“1. Wanita, usia 17-25, berpenampilan menarik”.

Lantas baru di urutan kedua.

“2.tinggi minimal 150cm,memiliki kendaraan pribadi dan siap menerima penempatan kerja”.

Nah.. setelah juling mataku mencari, baru kutemukan di urutan lima.

“5. Melampirkan ijazah pendidikan terakhir, minimal SMA”.

Rupanya sudah berpuluh puluh tahun aku tinggal di bawah batu, hingga kaget aku melihat surat edaran pencarian kerja.

Persyaratan 1-4 adalah spesifikasi bentuk, rupa, dan penampilan fisik kita.

Baru lantas nun jauh di ujung sana, baru mereka mempertanyakan isi otakmanusia,.

Sungguh, kurasa inilah jawaban terakhirku atas kenapa aku enggan terjun ke dunia kerja.

Hahaha.

Habisnya. “berpenampilan menarik” adalah standarisasi pelecehan kaum wanita.

Makna sebenarnya bukan seberapa pandai anda “menarik” customer untuk berbelanja.

Tapi seberapa besar anda punya dada.

Seberapa menawan senyum anda.

Dan seberapa tinggi rok span itu mampu melekat pada paha.

Cuih, prostitusi besar besaran Negara kita.

Lagipula, kumohon jawab pertanyaanku, apa fungsi ukuran lingkar pinggul dan dada dalam usaha kita memerangi kelaparan dunia?.

Monday, October 25, 2010

Sulitnya Menjadi Benar di Negeri Ini

Hari ini saya menuntaskan buku Trilogi Insiden-nya Seno Gumira Ajidharma. Trilogi Saksi Mata, Jazz, Farfum dan Insiden, dan Ketika Jurnalisme dibungkam, Sastra Harus Bicara. Isinya, berorientasi pada pembantaian Santa Cruz, 12 Nopember 1991. Betapa dahsyatnya kebohongan dibangun untuk menutupi kebenaran.

Sekali lagi, ini menunjukkan indikasi paranoia berlebih dari pemerintah. Ada obsessi yang begitu besar terhadap kekuasaan. Dan betapa besar kebutaan nurani yang terjadi untuk memenuhi obsessi tersebut.

Seno, bermetafor dalam cerpennya. "Maling Ayam itu kini diadili, diseret tentara berkuda dan namanya menjadi buron di mana mana". Metafora yang menggambarkan bentuk ketakutan pemerintah kala itu. Maling ayam digunakan untuk menyebut mahasiswa pengunjuk rasa tak bersenjata yang diperlakukan layaknya teroris kelas dunia. Ditembak mati, dikepung, dipukul disiksa dianiaya.

Juga tertulis mengenai Penembakan Misterius (yang kemudian dikenal sebagai Petrus). Soeharto, dalam bukunya secara implisit mengatakan bahwa hal tersebut diperlukan sebagai shock theraphy. Ya, masyarakat memang geger dibuatnya. "Kadang dengan mobil jeep, mayat mayat bertato dilempar di tengah keramaian, seperti pasar, lantas menghilang"

Menjadi benar, adalah momok mengerikan bangsa ini. Kebenaran, layaknya udara, siapa yang sanggup memberikan sensor atasnya?

"Jurnalisme adalah fakta. Upaya menutupinya disebut politik. Sastra, adalah kebenaran. Dan upaya untuk menutupinya tak lebih dari tindakan dungu."

Secara keseluruhan, saya suka buku ini. Mungkin penilaian saya tidak objektif. Saya sudah terlanjur suka dengan Mira Sato ini sejak lama.

Tapi, bukankah tidak ada yang namanya penilaian objektif?

Toh akhirnya menjadi pendapat subjek penilai juga.

Sunday, October 24, 2010

How I Spend My Saturday Night

I decided to go in to some banging concert. I found myself enjoyed the show. I also met Ayu, one of my old pals. Fun, we spend the night with seeing punk kids doing pogo. I take the risk, my ear kinda deaf, but its worth for the joyful that I get there!


P.S : Dear Ayu, your "muka-sangar" pose was fail. as I always said : Smile, though your heart is aching, Smile, though your heart is breaking. (wait, this is Frank Sinatra song, isn't?)

Plus, I made a review for that banging-pogo-hangover- concert, read here

F-U-N!

Boneka Tanah #2


Sedari siang mendung sudah menggelayut. Sesekali hujan, basah. Saya sudah wanti wanti, jangan jangan gelaran musik keras di sanggar bakal sepi. Hujan masih menemani saya ketika pulang siaran, sore jam lima. Prediksi saya meleset, lepas Isya sanggar dipadati massa. Beberapa malah berdiri di luar sanggar. Bukan, bukan lantaran penuh, takut masuk, kata mereka :D

Dua puluh tiga Oktober, Malam Minggu, satu lagi sejarah musik keras ditorehkan. Jam tujuh malam, saya mendatangi venue. Super bising. Saya tak sempat bertanya urutan penampil. Hanya saja saya tau, dua band yang saya nanti nantikan belum main. Headquarter dan Destroyer. Masing masing dari Palangkaraya dan Sampit.

Bukan bermaksud mengkomparasi, tapi Boneka Tanah #2 lebih terasa lebih masif dan sarat distorsi dibanding gelaran serupa sebelumnya, LokalKarya 15 September silam (baca reviewnya di sini). Mungkin lantaran konsepnya beda kali ya ^^

Boneka Tanah #2 di usung berbentuk parade nonstop musik keras selama rentang 3 sore hingga11 malam. Gempuran punk kental memenuhi rongga dengar selama nyaris delapan jam! Salut untuk Kunjui Entertainment sebagai penyelenggara.



Saya mendengar 20 nama yang akan tampil malam itu. Hanya 14 yang terpublikasi, Mereka adalah:

Revolushit – Banjar Baru

Ronksokan – Banjar Baru

Deafness – Banjar Baru

Bad Simple – Pangkalan Bun

Kadaluarsa – Palangka Raya

The Tenjec – Palangka Raya

Al Chico – Sampit

Headquarter – Palangkaraya

Jalur Ijo – Palangkaraya

MakingLoveintheSky – Sampit

Destroyer – Sampit

Pushink Everyday – Sampit

The Buntard – Sampit

Salmon – Sampit

Big Pim Pim – Sampit



Sisanya mungkin menyusul secara kolektif. Yang pasti, malam itu dahaga saya akan gigs musik keras terbayar. Tuntas! Yang juga menarik adalah acara ini minim publikasi. Hanya sebatas tagging facebook dan mouth to mouth (nulis gini saya kok jadi kebayang napas buatan yak). Tapi jika dilihat dari pengunjung yang datang (non scene), jumlahnya cukup menakjubkan.

Nama nama yang menggempur panggung sendiri benar benar lintas provinsi. Karenanya tidak berlebihan jika saya sebut ini panggung musik keras se Kalselteng. Boneka Tanah #2 tak ubahnya menjadi ajang reuni kawan lama, dan tentu saja, wadah untuk berkenalan dengan kawan kawan baru.

Panggung di dominasi lantunan punk. Mulai dari punk core, straight edge, melodic, punk rock, hingga pure punk merajai di malam itu. Saya hanya sempat meng-capture acara sebentar, tak sampai tiga jam. Masih terlampau lelah lepas tiga hari bergumul nonstop dengan pekerjaan di Sampit-Palangka. Jam 10.30 malam, saya putuskan untuk beranjak. Berat, karena The Buntard tengah meraung di belakang saya. Apa boleh buat, badan sudah tak bisa berkompromi, saya sukses tewas di kasur lepas acara.

Meski hanya sempat menikmati Big Pim Pim, Headquarter, Destroyer, Revolushit, dan Al Chico (Mungkin juga beberapa nama lain yang terlewat, saya masih belum terlalu familiar dengan scene punk kota ini), saya sudah merasa terpuaskan. Terlepas dari berbagai kendala teknis dan segala kekurangan fisik acara, ingin rasanya saya acungi puluhan jempol untuk kawan kawan penyelenggara.

Dan kawan kawan dari luar kota yang sudah sudi memberikan hiburan, kenangan, dan kawan baru bagi kami di Sampit. Terima Kasih! Kita harus bertemu lagi lain kali, di panggung dan gigs selanjutnya!



Band yang saya harapkan tampil, justru batal dengan alasan tak ada drummer. Padahal, Voldeath saya yakini mampu memberi sentuhan lain di gigs ini dengan alunan Burgerkill dan Triviumnya.

Tapi tak apalah, lagu lagu Marjinal, Netral dan Limb Bizkit yang dibawakan malam itu sangat stunning. Pun halnya dengan lagu lagu milik sendiri yang diteriakkan seluruh band malam itu. Distorsi tak berjeda menjejali kuping saya. Kontan, sepanjang jalan pulang saya berkali kali mengindahkan klakson kendaraan lain. Bahasa banjarnya : Bangang wa ai :D

Di tengah tengah bising penampil, listrik sempat turun dan tak mampu menyala. Dua kali. Tapi pedal drum terus berdentum, tingkah stik masih berpolah di antara simbal. Crowd ber-sing a long menggantikan vokalis yang microphonenya mati. Tetap berpogo, tetap bernyanyi. Saya sangat salut dengan semangat kawan kawan ini. Tak terbayang lelah menembus provinsi pada siang hari dan menghajar panggung malam hari seperti itu.

Well, ini dia satu lagi pentas musik keras di kota Sampit. Kami akan terus bergerak. Cacat musik di kota ini terlampau besar. Kami tak akan kalah besar, kami terus menindas dan bergerak. Semoga saya berkesempatan menikmati gigs serupa, lagi dan lagi.

Hanya ada tiga kata untuk malam itu :

Distorsi, Lonang, dan Kawan Lama!



Lonang : Sejenis minuman keras lokal, terbuat dari air hasil sulingan. Berwarna bening, kerap di campur minuman energi serbuk untuk menambah rasa (atau kamuflase?), harga 0,5 liternya hanya 10-20 ribu. Minum dua liter dijamin mabok, plus kembung.

Ngomong ngomong, kenapa juga saya harus ngejelasin tentang lonang?

Saturday, October 23, 2010

Apa Kita Akan Menjadi Tua dan Kesepian?

Saya satu mobil bersamanya, saat dalam perjalanan pulang. Usianya mungkin 80 tahun, keturunan China. Sepanjang jalan, beliau sibuk mengoceh dan sesekali mengajak saya berbicara (bukan sesekali juga sih, SERINGkali!)

Beliau bertanya mengenai apa yang saya lakukan di sana. Lantas merembet ke perkara pekerjaan dan apakah saya kuliah. Begitu saya mengatakan saya tidak kuliah. Berbagai nasehatpun dimuntahkan wanita berkacamata itu. Mulai dari saya yang telah menyia nyiakan usia lah, hingga orang tua saya yang tidak memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan.

Awalnya, saya sungguh merasa nenek ini annoying. Menyebalkan, cerewet dan terlalu banyak bicara. Sayapun tinggalkan pembicaraan dengan beliau ketika seorang ibu ibu masuk ke dalam mobil. Dari kursi depan, saya menangkap banyak perbincangan dua orang di kursi tengah itu.

Beliau, rupanya orang Surabaya yang tengah mengunjungi anaknya di Palangkaraya. Sayang, di Palangkaraya anak dan menantunya sibuk bekerja hingga tak punya banyak waktu untuk menjamunya. Selang seminggu di Palangkaraya, beliaupun bergerak ke Sampit, mengunjungi anak tertuanya.

Telepon berdering, beliau berkata : "Ama (sebutan untuk nenek dalam literasi China) mau ke Sampit" jeda "Oh ya kah sayang? papah lagi ke Jakarta? ngapain?" jeda "Kamu mau berangkat les? ya udah nanti Ama hubungi mamah kamu aja,"

Mati. Beliaupun kembali mengobrol mengenai sulitnya hidup di Surabaya sendirian sementara anak anak dan keluarga tinggal berjauhan. Suaminya telah meninggal. Anak perempuannya tinggal di New York.

Mobil menepi di Kasongan, seorang pria masuk, terlihat terburu buru. Si nenek bertanya "Kamu orang mana?" pada sang pria. Saya coba menerka kenapa nenek bertanya kesukuan si pria. Sempat terbersit diagnosa rasis dari dalam benak saya. Kemudian saya mengerti, ketika pria itu bilang "Uluh itah". Artinya, ia cukup kampungan hingga tak mengerti caranya masuk ke barisan belakang mobil (ia ingin lompat ke dalam tanpa menekuk kursi tengah)

Perbincanganpun berlanjut, antara nenek berkacamata dan ibu ibu berjilbab. Si nenek rupanya tengah berkeliling, mengunjungi satu satu keluarganya yang tersebar di mana mana. Yang saya tangkap,

Beliau hanya kesepian

Karenanya sepanjang jalan sibuk berkenalan dan meminta nomor handphone ibu ibu berjilbab. Karenanya sepanjang jalan sibuk mengobrol dan selalu ingin didengarkan.

Ah, betapa mengerikannya menjadi kesepian. Saya jadi berfikir, sepanjang sisa perjalanan itu. Usia kadang menjadi perihal menakutkan. Ketika lahir, tumbuh menjadi bayi, anak anak hingga remaja, semua orang mencurahkan perhatian pada kita. Orangtua dengan segala kekhawatirannya atas pertumbuhan kita. Para guru yang mencemaskan kredibilitas kemampuan berfikir kita.

Tapi apa yang terjadi setelah kita melewati usia remaja? Kita siap dinobatkan menjadi dewasa. Dewasa adalah saat di mana kita di anggap cukup cerdas untuk berfikir dan memilah mana baik mana buruk mana manfaat mana yang tak berfaedah. Karenanya, perhatian atas kita semakin memudar. Kitapun mencari perhatian itu dari lawan jenis.

Di usia dewasa, kitapun merasa memerlukan orang yang bisa memperhatikan kita dan mendengarkan ocehan kita. Karenanya, di usia dewasa, orang orang dewasa memutuskan untuk menikah. Lantas memiliki anak, dan beranjak tua.

Kita, akan sampai pada fase di mana secara perlahan, orang orang yang se usia satu per satu di panggil tuhan. Satu di antara orang itu bisa jadi kawan, tetangga, atau bahkan, orang yang kita putuskan untuk menjalani hidup dengannya. Betapa mengerikannya usia ini. Kita menunggu, menunggu waktu.

Sambil mengulur ulur dan menunggu, orang orang yang dulu memberikan perhatian, menghilang. Anak anak kita? cucu cucu kita? bagaimana?

Di usia ini, kita akan menyadari bahwa kita ini tidak lebih dari sesosok tua pengganggu yang banyak mengoceh. Perlahan kita menjadi pikun, tak mampu bergerak bebas, menjadi beban.

Tak lebih menjadi renta yang menjadi beban anak menantu, kesepian, dan menunggu waktu.

Foto saya temukan di Kaskus, dalam perbincangan bersama agan agan, ditemani cendol dan petromax.

How I Spend My Friday Night

Radio menjadi event organizer untuk acara Gathering Retailer Philips. Dan saya terdampar di acara tersebut lepas lima jam berkendara dari Palangkaraya. 

foto dengan mata jereng, kurang tidur dan pantat keram :D Terbayar!

Friday, October 22, 2010

Postingan Dengan Pantat Keram

Yuhuuuu.. saya menuntaskan liburan ke Palangkaraya. Dan yang menyenangkannya, look what I found on Book's City Palangkaraya Mall : 

Trilogi Insidennya Seno Gumira!!! :D dan juga buku populer milik radityadika. Too bad, I ain't got enough time to exploring Palma, lain kali, toko buku itu bakal saya ubek ubek lagi sepenuh hati. Malamnya, saya memutuskan untuk menginap di sana. Dan besoknya, untuk pertama kalinya, anak kampung ini makan di KFC aseli. Dan menikmati menu goceng, panas krispi serta pepsi aseli seperti iklan di tipi. Gratis pula :D

(dan jika kalian bertanya makhluk seperti apa yang belum pernah naik eskalator, maka silahkan liat poto saya sepuasnya. Karena keperjakaan -belum-pernah-naik-eskalator- itu sudah direnggut Palma)

Ah, sudah ah, postingan kali ini di dasari rasa udik ugal ugalan dari sesosok anak kampung)


P.S : Since I was born until now, Saya tidak pernah ke bioskop. Silahkan tertawa. 

Have a lullaby day!

Tuesday, October 19, 2010

Karena Kata tak Sekedar Lingua

Saya, dijejali jutaan istilah sastra, kala sekolah dulu. Diksi, koreksio, repetisi, analidip, pleonasme, dan mungkin ribuan istilah lain yang masih terburai di perguruan perguruan tinggi. Tempat yang tak akan sempat saya singgahi.

"Setiap manusia terlahir menjadi kritis, cerdas dan banyak bertanya. Sekolah merusaknya,"

Demikian kutipan kalimat yang saya temukan entah dimana. Saya rasa, entah.

Mungkin benar mungkin salah. Saya rasa sekolah bukan hal yang salah, sistemnya yang perlu di kritisi. Sistem yang memarjinalkan sekolah sehingga berjejalan murid baru dalam satu ruang kelas, berebut bangku. Sistem yang mengajarkan rasa trauma sebagai solusi terbaik penanggulangan kesalahan.

Saya masih ingat, kelas dua SMP. Saya terlahir sebagai seseorang yang lemah berhitung, saya sangat bodoh matematika. Seorang guru matematika, meminta saya maju ke depan kelas untuk menuliskan pekerjaan rumah saya di papan tulis. Dan salah.

Saya, dipaksa berdiri di depan kelas seraya mendengarkan rentetan serapah dari sang guru. Mungkin emosi, mungkin si guru tengah banyak masalah. Saya, dibilang dungu, tak bisa berhitung dan tidak akan sukses bermatematika sampai kapanpun.

Yang paling menyakitkan, seuntai kata.

"Kalau berhitung seperti ini saja tak bisa, jangan sekolah!"

Jujur, sejak itu saya benci matematika. Dan nilai 100 yang saya dapat pada tes selanjutnya hanyalah semacam pembuktian, bahwa saya tak bodoh matematika. Saya hanya tak berminat dengan manipulasi angka.

Sistem ini, saya rasa masih berlanjut hingga generasi pedesaan saat ini.

Saya sebut pedesaan, karena sistem pembelajaran kota-desa sangat berbeda. Di kota, murid tak perlu pontang panting mencari buku pegangan. Tak perlu memfotokopi setiap kali ada ulangan. Dan tak perlu patungan 500 rupiah untuk membayar kertas guru yang di fotokopi.

Well, thanks for 70-30 policy, Soeharto. kami timpang sementara warga Jakarta bisa memiliki segalanya.

Karenanya, saya seperti masih merasa ragu saat ini. Untuk melanjutkan pendidikan.

Apakah saya belajar kelak lantaran saya harus belajar? atau bisakah saya hanya mempelajari hal yang saya sukai?

Bisakah saya menjadi penulis yang baik, dengan mempelajari sastra dan sejarah kebudayaan, tanpa intervensi logaritma dasar dan matematika 101?

Saya Belum Siap Jadi Ayam

Di suatu sore yang cerah, abah membaca Borneo News. Semacam koran dengan basis Palangkaraya. Abah, dengan sangat khilafnya membaca berita mengenai konsumsi beras Kalteng yang dinyatakan tinggi. (baca lengkapnya di sini)

Dan lihatlah apa yang abah beli tadi pagi.

Kira kira ini kronologis kejadiannya : 

Jam delapan pagi, aku siaran. Kelar jam 12 siang. Rumah sepi, sms emak masuk, ngasih tau kalau mereka sedang ke Pelangsian. 

Aku tinggal tidur.

Bangun bangun, buka kulkas, shock. Jagung di mana mana.

Aku : "Err... Mak, ini apa?" (nunjuk nunjuk ke karung di samping kulkas, emak tengah sibuk membongkar dan menjejalkannya ke dalam kulkas)

Emak : "Jagung," (jawabnya singkat sambil di iringi tatapan 'menurut loh')

Aku : "Abah.. maksudnya apa ini?" (aku buka rice cooker, isinya pipilan jagung yang lagi di kukus)

Abah : "Kita berhenti makan nasi, mulai hari ini di ganti jagung,"

Jgderrrrrr!!!!! petir menyambat, kilat bersahutan. Si kilat lagi ngobrol.

Aku : "Tapi, tapi.. nasinya" (mulai berkaca kaca)

Emak : "Makan jagung bagus loh, apalaagi abah kan ada diabet"

Aku : (dalam hati : Lu kate gue ayam??? dan sejak kapan jagung dinyatakan sebagai panganan bersahabat bagi penderita diabet? karbohidrat jagung lebih tinggi. Karbo=glukosa. glukosa=gula!)

Kuatkan hambamu ini, ya Tuhan.. 

Random Thouhgt

Such a tiring day. Super duper exhausted! Event pertama aku berkontribusi penuh ^^

Lot things happen today.

I’ve made some miss calculation on those amplopes.

“Aku juga seperti kamu, dulu. Jadi kru, ngurusin administrasi, piala, tapi sekedar ngasih tau ja, dunia ini bukan dunia yang menjanjikan,”

Hm.. aku tau, jika dikomparasikan, hasil super duper capekku di event itu setara dengan amplop terima kasih sekali pemberitaan. Artinya, lelah selama tiga hari tiga malam ini hasilnya sama dengan 15 menit wawancara.

Itu jika dikomparasikan dari segi materi.

Tapi jika kembali dirunut, 15 menit wawancara itu berujung rasa lelah batin, ketidaksenangan, sama sekali lost dalam kehidupan sosial, aku lebih memilih kerja keras dalam event.

Aku melihatnya sekarang, pada seorang kawan yang kini bekerja dan bergaji besar. Aku melihatnya lelah, pandangan mata yang kosong dan perubahan perlahan dari pribadi menyenangkan menjadi seorang yang seperti jenuh menjalani hidup.

Dan aku yakin, seperti itulah orang melihatku dulu.

Aku tau, ini bukan pekerjaan menjanjikan, aku hanya akan dapat duit jika ada event. Akupun tidak bisa berkata pongah bahwa “Aku merasa seperti di surga dengan pekerjaan ini” (hell no, sakit pinggang berhari hari dan berjuang melawan ngantuk itu bukan surga!). hanya saja, aku merasa dihargai. Merasa keberadaanku itu diperlukan. Bukan sebagai mesin pembuat berita, tapi lebih kepada,

Ga ada lo ga rame!

Dan ya, tanpa menyesal aku meninggalkan pekerjaan menjenuhkan berpenghasilan besar untuk sesuatu seperti ini.

Good night, wisdom wishper,

Good night, scissors and paper holder.

Good night, doubletape and weirdly-smell ink.

Good night, all. I’m off to bed ^^

Monday, October 18, 2010

Berbenah!

Sedari siang saya tengah menyortir Kompilasi Nero. Beberapa di antaranya sudah aus dan ga bisa diputar. 

Di atas adalah Kompilasi Nero. Lebih lanjut mengenai Kompilasi Nero silahkan baca postingan yang ini.

Sedih sih, lantaran harus membuang semuanya. Untungnya beberapa masih bisa di copy. Kadang repot ya nyimpan hardcopy kaya gitu. Rata rata rusak gara gara debu, kegores dan keujanan (buset)

Oia, ini dia beberapa keping Kompilasi Nero favorit:

Ah.. sedihnya harus melepas kalian, anak anakku.. :'(





Dan dua di atas adalah kaset jagoan saya. Terimakasih banyak buat Dark Vekter alias mas Arif yang udah berbaik hati ngirimin Roadrunner Unitednya :D this just become one of the most precious thing in my life!


Air, Udara, Apa Kami Punya?

Siang itu panas memanggang

Kampungku lengang

Udara gerah

Lenguh mendesah

Gerombol kambing kurus

Merumput di lapangan tak terurus

Sela menyela, gerutu wanita paruh baya

Menatap langit kian biru menganga

Panas

Tercenung, anak anak legam berpeluh campur daki

Terancam tak mandi lagi hari ini

Pun tetap dikejarnya layangan, berdebu, bertelanjang kaki

Drum drum kaleng kosong

PDAM mendengus tiap kali dirongrong

Mengapa air kami diberangus

Dijawab masa tenggang telah hangus

Peluh menetes, kemarau masih singgah

Drum drum kaleng kosong, menelan ludah

Kapan hujan datang?

Kami lelah.

(Foto musim kemarau 2009. Stadiun 29 November, Sampit Expo)

Sunday, October 17, 2010

Batal Berlibur :(

Liburan saya resmi dibatalkan. Rencananya, saya mau jalan jalan lewat air hari ini (baca postingan ini). Sayangnya, rekan radio berhalangan siaran dan klimaksnya saya harus menggantikan hingga jam satu siang. Kalopun tetap dipaksakan berlibur, dipastikan sampai jam delapan malam saya masih berada di atas air. 

Well, sometimes life doesn't work in our will. 

Jadi, sebagai penebusan liburan yang gagal ini, rencananya pada tanggal 20 kelak saya bakal ke Palangkaraya. Tidak sepenuhnya berlibur sih, saya menjadi wakil radio untuk mengikuti seminar Komisi Penyiaran Indonesia cabang Kalteng. Tapi semoga sempat mencuri waktu buat sekedar jalan jalan. 
Honestly, saya ga pernah ke Palangkaraya. Dua kali ke sana hanya untuk transit dan ganti bus/travel. Semoga asik ya ^^ 
Hm, what exactly happen on me in this week? 
Saya seperti banyak menggunakan waktu untuk berfikir akhir akhir ini. Ada banyak kejadian, sebenarnya. ah, nevermind.

Enjoy your Sunday!

P.S : I spend my saturday night without movie and bunch of cemilan. Saya terjebak dalam event yang dikerjasamai radio di persimpangan Haryono MT. 

I'd rather spend my saturday night with classical movie and hot coco :P

Saturday, October 16, 2010

So, We Throw Away the Happiness for the Fake One?

Barusan di ajak chatting yahoo messengger oleh kawan lama. Dia yang sekarang sibuk mengejar karir di kota besar. Kami, berbicara mengenai keharusan sesorang bekerja.

Dia : "Gimana Nan? udah kefikir nyari kerjaan lagi?,"

Aku : "Kok nanya gitu? orang orang justru sering nanya 'kapan mau nerusin pendidikan'? loh"

Dia : "Aku kenal kamu. Kamu ga punya minat buat kuliah kan?"

Aku : "Nggak di sini, nggak dengan jurusan ini"

Dia : "Hm.."

Aku : "Oke, aku memang ga berminat buat kuliah. Eventhough lot of them said that I have potential, gift, smart-ass, and blah blah blah"

Dia : "Kamu hanya berontak pada sistem, ga ada yang salah dengan itu. Dengan atau tanpa kuliah toh kamu tetap Nani yang kritis dan pintar, toh?"

Aku : "Thanks for those baseless compliment. Tanpa izasah, orang pintar di negara ini ga ada artinya."

Dia : "'Arti' dalam konteks apa dulu?"

Aku : "Tanpa izasah tinggi kamu ga akan bisa meraih pekerjaan berarti"

Aku : "Tanpa S1, mana ada yang bisa jadi pegawai bank, PNS, atau bahkan presenter tivi"

Dia : "I see, itu pekerjaan yang kamu diam diam ingini?"

Aku : "..."

Dia : "Maka kuliahlah, di kotamu bukannya banyak kampus abal abal murah yang cepat memberikan izasah? kamu tak perlu mencari kualitas. You already have it"

Aku : "Aku berkualitas? aku berkualitas? aku berkualitas???"

Aku : "Nyesel udah muji kan? :P"

Dia : "Kita kuliah, terpaksa menelan pelajaran yang nggak disuka dan membuang puluhan kesempatan nonton konser, jalan jalan, pacaran, dan liburan demi TA, skripsi, tugas tugas dan sebagainya"

Dia : "Tujuannya : agar dapat izasah. Nan, kenapa orang ingin memiliki izasah?"

Aku : "Agar bisa bekerja,"

Dia : "Kita lalu lulus kuliah. Katakanlah dapat kerja. Dengan posisi lumayan, bergaji enam digit. apa konsekuensinya?"

Aku : "Kehilangan waktu berlibur, santai dan nonton konser?"

Dia : "Aku, lepas kuliah langsung masuk kantor. Dari jam delapan sampai empat sore setiap harinya. Belum lembur dan tak ada libur lantaran hari Minggu harus bikin laporan untuk presentasi Senin."

Dia : "Aku, kehilangan kesempatan bangun sampai siang, begadang nonton film kesukaan. Atau sekedar jalan jalan."

Aku : "Konsekuensi untuk enam digit itu ya?"

Dia : "Kadang, aku terpaksa ikut main futsal demi menyenangkan bos. Dibalik pertemanan antar kawan kantor, diam diam saling menggunjing. Dan sibuknya itu loh nan"

Dia : "Aku rasa tanpa ku kasi tau kamu udah ngerti gimana rasanya terjebak di delapan-lima seperti itu"

Aku : "Tidak ada hari minggu, setiap hari adalah target dan deadline, I got it :D"

Dia : "Salut sama kamu, berani membuang pekerjaan menjanjikan demi 'menyelamatkan' diri"

Aku : "Wh don't you?"

Dia : "I have to feed two mouth?"

Aku : "Usaha rental komikmu dulu cukup sukses kan?"

Dia : "Tidak untuk mengkredit rumah, tidak untuk membeli kendaraan dan uang sekolah anakku kelak."

Aku : "Jadi?"

Dia : "Mungkin ini disebut 'bertanggung jawab' kali ya"

Aku : "Atau penciptaan bahagia semu"

Dia : "Maaf?"

Aku : "Ah gapapa, aku cuma berfikir mengenai teori bahagia"

Aku : "Bekerja = uang. Uang = bahagia?"

Aku : "Atau justru : Bekerja = Melepas kebahagiaan murni. Uang = membeli pengganti kebahagiaan itu"

Dia : "Kurasa ada benarnya. Aku belikan istriku baju dan perhiasan demi membayar liburan kami yang batal lantaran dinas"

Dia : "Suatu saat akan kubelikan anakku sepeda demi mengganti waktu jalan jalan kami yang tak pernah ada"

Aku : "Itu yang kufikirkan dulu"

Aku : "Aku bukannya lantas mengesampingkan uang. Aku tetap perlu uang, tapi sebanyak apa? kenapa aku harus mengejar angka tinggi?"

Aku : "Dengan menjadi penyiar seperti sekarang. It enough to feed and gave me cloth mounthly, in a propher way"

Aku : "Kufikir dulu waktu punya dua kerjaan, aku bekerja justru karena aku sayang dengan diriku sendiri"

Aku : "I want to wear a nice cloths, a good meal and all stuff. Karena kukira itu takaran rasa senangku"

Dia : "And then what happen"

Aku : "Aku mengatakan tidak pada teman teman saat mereka mengajakku jalan jalan, aku sibuk saat malam konser, aku bahkan tidak bisa hadir saar kakakku bertunangan"

Aku : "Demi gaji enam digit, demi pakaian pakaian mahal dan makanan makanan enak di rumah makan"

Dia : "Tepat."

Aku : "So, why we through away the happiness for the fake one?"

Feed Me, Dammit!

Look what I found above my refrigerator this morning

Four musketeers with lazy eyes. Don't they just adorable? 

Friday, October 15, 2010

Ayo Berlibur!!

Saya tengah merencanakan ekspedisi menyusuri sungai untuk besok. Dengan rute Mentaya-Sungai Sampit-Teluk Sampit. Diperkirakan bakal makan waktu 4-5 jam dengan perahu bermotor (baca : Kelotok)

Tentu tak hanya menyusuri sungai, saya ingin sekalian singgah di PT. Indo Balambit. Katanya sih di sana masih ada galangan kapal milik pedagang china saat berlabuh di karajaan Sampit. Pengen liat. Soalnya, galangan kapal itu merupakan bukti sejarah keberadaan karajaan Sampit. Dengan melihatnya secara langsung, setidaknya saya percaya bahwa hal itu sempat ada.

Oia, beberapa minggu lalu saya ke Antang Kalang. Melewati sungai Puring. Tercetus sebuah sajak mengenai kaum rimba (baca di sini). Dan gilanya, sepanjang sungai itu bulet bulet semak dan hutan semua. Serem aja ke sana menjelang senja gitu. Thanks for this journey, guys!

Ini beberapa foto yang saya ambil kala di sana :



Eh, yang ditengah itu foto pas di sungai Lenggana. Daerah Bagendang. Yang pertama dan ketiga itu yang sungai Puring.

Ini beberapa foto yang saya ambil pas di Bagendang :


Lupa nama jembatannya apa. Di kawasan Sungai Sampit, perlintasan Bagendang. 

Taken by Kamera Pinjaman.

Dan tentu saja, tanpa seizin yang punya rumah :D


Quiz Kotex. I'm an Artsy!

Found some kotex quiz from Diana Rikasari blog. I'm not a fan of their product, I have personal issue with an expensive things, espessially for a pad. :D

Hihi. then, I tried to fullfill some question. Simply about what kind of vacation that you desire for, what music do you like, how your bedroom suppose to be and what your daily drink (and btw, I fail to see the connection between what I used to drink and persona imaging)

For each of those question, I gave the honest answer. I love to enjoying some calm, delicate and peacefull place. I'd like to having a bedroom with queen-ekstra-large bed (my entire life spend on bed, though). And I used to drink cold-icey water everyday. Oh, I like pop-sweet-country music, btw.

Then, kotex gave me their opinion of me.

(click to enlarge)

Somehow, I feel like a bohemian-hippie-homeless girl right now. Who love to travel, love to sing, and love to writte :D

Thursday, October 14, 2010

Wiji Thukul - Aku Ingin Jadi Peluru

Nama Wiji Thukul pertama kali saya dengar bertahun lalu. Saat kelas satu SMA, kalau tak salah. Di dalam buku Membedah Kesusastraan (atau apa judul tepatnya, lupa). Seingat saya, nama Wiji Thukul dikategorikan ke dalam sastra kerakyatan dalam buku itu. Sastra kerakyatan, adalah tulisan tulisan pro rakyat dan kerap mengambil tema umum di masyarakat.

Kemiskinan.

Saya sendiri, baru berkesempatan membaca buku kumpulan puisi miliknya (Aku Ingin Menjadi Peluru) yang terbit tahun 2000 itu pada bulan lalu. Sepuluh tahun terlambat. Itupun kalau tidak seorang kawan menjualnya di pasar buku Facebook miliknya, niscaya saya tak akan pernah menyesapi keluarbiasaan buku ini (deuh lebay pisannn)

Tak perlu rasanya saya tulis mengenai biografi Wiji Tukul di postingan ini. Dunia sastra Indonesia tidak mungkin asing dengan namanya. Saya cuma ingin membagi kesan kesan saya lepas membaca buku ini.

Ada lebih dari belasan line yang saya suka dari buku ini. Secara personal, saya menyukai keseluruhan buku. Entah ada hubungan dengan kegemaran saya menulis sajak sajak getir khas orang miskin, atau memang buku ini memiliki magnitude besar yang tak pelak membuat siapapun penikmatnya suka.

Salah satu kalimat yang (jujur saja) membuat saya sedih tak karuan adalah


"Aku tak akan mengakui kesalahanku

Karena berfikir merdeka bukanlah kesalahan

Bukan dosa bukan aib bukan cacat

yang harus disembunyikan"

Merontokkan Pidato - Wiji Thukul

Betapa mengerikannya pemerintahan kala itu (tulisan berkisar antara tahun 80-90an awal). Betapa karya sastra (pun sastrawan) semacam menjadi momok kala itu. Wiji Thukul adalah penulis sajak! sajak bukan essai bukan pledoi yang bisa menumbangkan seseorang. Sajak, kemudian dicetuskan sebagai karya sastra berbasis fiksi. Negara, takut terhadap fiksi, sungguh perilaku banci.

Tapi tak bisa dipungkiri, perjuangan melalui sastra dianggap paling ampuh untuk menggalang massa kala itu. Betapa banyak orasi mahasiswa yang di 'produseri' puisi dan sajak berapi api. Kala itu, pers yang dianggap vokal turut di bredel (editor, detik, tempo). Kumpulan puisi ini, konon ditulis Wiji saat dia dalam pelarian.

Hingga akhirnya, tahun 1996, ia diputuskan sebagai 'Yang Hilang Secara Misterius'. Ia menjadi buron lantaran berpuisi. Bukti bahwa pemerintahan kala itu sungguh paranoia dan obsesif gila gilaan terhadap kekuasaan. Dan betapa mengerikannya pelanggaran HAM yang meraja kala itu. Orba, bagaimanapun merupakan bagian dari sejarah kelam perpolitikkan bangsa.

Hmm.. mungkin yang juga menarik dari Wiji adalah kejeniusannya memutar kata dan menemukan banyak hook hook menarik dalam sajaknya. Satir, getir, pahitnya kemiskinan disulap menjadi sebuah pasar malam. Penuh hiburan (dengan perpseksi miskin, tentu saja) dan rasa tergelitik untuk turut menertawakan pemerintah. Juga, tentu saja, pembangkit semangat juang nomor wahid. Mengurai kemiskinan tanpa menimbulkan kesan cengeng dan mengada ada.

Juang lepas dari miskin, Juang lepas dari pemimpin zalim.



PENGUASA KEMBALIKAN BAPAKKU!

Fitri Nganthi Wani - Putri Wiji Thukul dalam puisi Pulanglah, Pak


P.S : Masih menghasrati Nagabumi - Seno Gumira Ajidharma dan Tanah Tabu-nya Anindhita S. Juga Pledoi Sastra Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin. Ah saya ini banyak maunya!