Judulnya ga enak banget :P
Saya bukan anak seniman, bukan anak yang terlahir dan diarahkan untuk mencintai seni.
Saya tak pernah mengikuti kursus musik ataupun les les tari. Satu satunya moment paling berseni dalam hidup saya hanyalah ketika ujian praktek kelulusan. Saya mempresentasikan tarian sebagai syarat lulus.
Dan nilai seni di ijazah saya 6,5.
Seni, bukan sesuatu yang mampu saya lakoni.
Satu satunya prestasi seni yang pernah saya dapat:
Umur sepuluh tahun, yang saya gambar adalah sekotak gedung asimetris berbulu rimbun.
Yang kemudian dikasi judul : Gedung BRI Sampit
Hadiahnya setengah lusin gelas berstampel BRI. Dan gila, thats the proudest moment of my life. To seeing my mom smiling happily. :D
Yang masih saya ingat, selepas acara lomba itu, sekolah mendaftarkan saya ke semacam program rehabilitasi pasca konflik. Di hotel Borneo (FYI, hotel ini ketika kerusuhan terjadi menjadi basecamp suku yang bertikai. Banyak ditemukan potongan kepala di hotel ini. GILA aje yang ngadain program rehabilitasi pasca konflik di tempat kaya gituan). Saya masih ingat, kami ditanya macam macam.
Yang masih saya ingat, seorang terapis (itu kali ye bahasanya) bertanya pada saya:
Nan, menurut Nani, abah Nani sekarang perilakunya gimana?
Dalam hati saya jawab : "Ayah saya udah ga doyan makan beling lagi.."
Yang saya tangkap sih, mereka mencoba melihat sudut kejiwaan kami pasca kerusuhan 2001. Semacam angket disuruh diisi. Pertanyaannya macem macem. Selepas ditanyai macam macam, kami dikasi donat dan teh kotak. Lalu pulang.
Reaksi ibu, saat saya ceritakan perihal itu yang tak akan saya lupakan. Ibu seperti marah, kecewa, sedih dan gugup (?)
"Mereka kira derita kita bisa dijual"
No comments:
Post a Comment