Wednesday, September 28, 2011

Perspektif

Darimana simpulan didapat? Seperti apa perspektif terbentuk? Apakah betul betul berasal dari kesadaran diri, stimulasi berfikir dan yang sering disebut self conscious? Bagaimana dengan pihak ketiga? vektor, perantara, lingkungan sekitar, pendapat orang lain, kecondongan berfikir, dan sejumlah kausal kausal lain yang mampu membentuk -bahkan mempengaruhi- sebuah sudut pandang dan simpulan?

Dari sini saya belajar mengenai perspektif itu relatif. Selain relatif, saya belajar bahwa asumsi itu tidaklah murni berasal dari apa yang disebut sebagai self conscious. Postingan kali ini akan mengarah pada apa yang tengah saya amati belakangan ini. Indonesia rupanya tengah mengalami masalah pelik dengan terorisme dan radikalisme agama. Terakhir kabar, saya mendengar mengenai situs situs propagandis berbau agama yang tengah marak dan akan diblokir oleh keminfo.

Sejak awal penciptaannya hingga masa manusia yang berada di era paleotikum percaya bahwa tuhan adalah api, petir, air, bahkan pohon dan batu. Zaman berlalu, peradaban kian maju, manusia mulai percaya bahwa tuhan adalah matahari dan dewa dewa. Dewa dewa dalam ujud mirip manusia dan binatang yang disucikan. Keyakinan ini melebar sejak abad satu hingga sembilan, bermunculanlah agama agama semitik (agama yang berasal dari daerah timur) seperti yahudi, kristen, islam dan lain sebagainya.

Kemudian sampailah manusia di era post-modern. Gejolak sains dan penemuan penemuan ilmiah pada awal abad 16. Porosnya ada di negara negara eropa. Ledakan ilmu pengetahuan membuat agama agama semitik yang mulai kuat saat itu mendapat goncangan cukup berat hingga menimbulkan pertikaian. Selebrasi ilmu pengetahuan di negara itu tidak bisa dibendung dan merambah ke benua benua lain hingga akhirnya perspektif orang orang barat (atau sederhananya: Negara Maju) saat ini terhadap apa yang kita sebut sebagai ateisme, sekularisme, liberalisme menjadi biasa saja.

Membebaskan definisi tuhan. Kira kira begitu sebutan saya atas apa yang orang orang so-called berpendidikan ini lakukan. Mereka membebaskan tuhan dari lingkup baku ajaran agama yang tertuang dalam kitab kitab kanon. Ada yang membebaskannya dari ritual, ada yang membebaskannya dari ujud, dan ada yang membebaskan tuhan ke titik nol. Ditiadakan.

Ini disebabkan sejak era post-modern bangsa eropa-amerika telah mengalami gejolak mereka sendiri. Mulai kasus Ku Klux Klan sampai perang salib dan sebagainya. Bentangan masa sejak abad 16 hingga 2011-lah, sepertinya, yang berkontribusi besar dalam pembentukan sudut pandang kaum maju hingga tidak lagi mempermasalahkan soal eksistensi ketuhanan lantaran mereka telah mengalaminya sejak berabad lampau.

Meski kemudian, teori reltivitas yang saya percayai mengharuskan saya untuk meletakkan kemungkinan kemungkinan masih adanya sikap radikalisme, antisekularis dan lain sebagainya di negara negara dengan sejarah peradaban yang mencapai belasan abad itu. Dengan persentase yang sangat kecil, tentunya.

Waktu, ternyata juga mampu mempengaruhi sebuah perspektif.

Saya kemudian mencoba mengkomparasikan fenomena tersebut di Indonesia, negara dengan usia sejarah yang tidak sampai empat abad, dimulai sejak masa prakolonial. Indonesiapun mengalami perkembangannya sendiri. Saat negara maju sudah "berdamai" dengan ledakan ilmu pengetahuan dan pengaruhnya atas konsepsi ketuhanan, Indonesia baru memulai fase animismenya. Lalu berjalan menjadi dinamisme, hingga akhirnya islam masuk melalu pedagang Arab dan masa kolonial dari Belanda yang mengusung triteologi Gold, Glory, Gospel (kristen)nya.

Menurut saya, inilah yang kemudian menyebabkan Indonesia baru memulai ledakan ilmu pengetahuannya sekarang, sejak era milenium.

Mengapa saya menyebut pasca 2000? Apakah saya menampik fakta bahwa selebrasi ilmu pengetahuan membuat sejarah mencatat soal Achdiat K Miradja dan buku Ateisnya, PKI dan tudingan Komunis, hingga Siti Djenar di era Wali Songo? Kalau boleh saya menyebut, sejak masa nyaris merdeka hingga orde baru selesai, kita baru memulai percikan perubahan konsepsi ketuhanan. Ini adalah era post-modernnya kita.

Percikan yang terus meletup dan akhirnya meledak di era sekarang. Sejak munculnya tokoh Gus Dur sebagai bapak pluralisme hingga pengukuhan Jaringan Islam Liberal di tahun 2002, rasa rasanya sejak itulah terjadi peralihan dari post-modern menjadi modern. Tren melawan arus, gelombang mahasiswa sayap kiri, hingga meluasnya penganut pluralisme, liberalisme dan sekularisme.

Dan saat ini dengan mudahnya saya menemukan kelompok anarki dalam atribut punk dan kelompok kelompok pemuda. Sungguh berbeda dari empat puluh tahun silam.

Maka sekarang lihatlah, indonesia tengah menikmati masa merdekanya. Kini begitu mudah menemukan buku buku Karen Amstrong, Stephen Hawking, hingga Madilog Tan Malaka menjadi bacaan setiap orang dan (bahkan) menjadi sumber studi. Masing masing mulai membebaskan tuhan dari koloni koloni kanon. Dalam perjalanannya, tentu, akan ada perlawanan. Sisa sisa dari era post-modern. Indonesia tengah mengalami eranya sendiri. Melawan radikalisme, menentang upaya agamaisasi dan lain sebagainya.

Mungkin, setelah satu-dua abad gejolak ini menggeliat dan terus menjadi udara yang menebar perspektif, negara ini akan menemukan kemerdekaannya sendiri. Setelah faktor dari sudut ketiga -waktu- menelusup untuk kemudian membentuk simpulan bahwa apa yang tabu di masa lalu, telah sedikit terbebas di saat ini, dan menjadi lepas sepenuhnya di masa mendatang.

Apa yang kita lihat sekarang adalah proses. Dengan harga yang mahal sejarah ini akan tercatat. Puluhan teror bom bunuh diri, laskar jihad dan upaya upaya perlawanan frontal dari yang tidak mengkehendaki ledakan ilmu pengetahuan ini terjadi. Yang tidak mengharapkan Indonesia menjadi tanah laknat jajahan antek kafir Amerika.

Namun, bisakah kita menghentikan udara?

Saya menempatkan diri dalam perspektif tidak setuju, empat tahun lalu. Saat masih mengkonsumsi Sabili, Eramuslim dan buku buku yang disebut sebagai pencerahan islami. Namun sekarang sudut pandang saya berbeda, semenjak membuka diri untuk berhenti membaca Sabili dan memulai petualangan imaji dalam Madilog dan Grand Design hingga mengantarkan saya pada simpulan ini. Simpulan bahwa saya saat ini, empat tahun berselang, saya menyetujui sekulerisasi dan pluralisme. Dengan alasan yang sudah saya jelaskan di sini.

Inkonsistensi? Tidak tetap pendirian? Peragu?

Saya menyebutnya perspektif yang mengalami perubahan seiring dengan masuknya vektor dan kausal kausal dari sudut ketiga. Bukan sepenuhnya self-conscious. Bagi saya, tidak akan ada simpulan yang bisa diambil tanpa sumber. Tidak ada sudut pandang tanpa bercampurnya bias, pendapat dan diskusi tak berkesudahan.

Yang ada hanya ketidaktahuan, kealpaan, bukan sudut pandang.

Saturday, September 24, 2011

Separates

Saya tengah betul betul merindukan moral support dalam wujud pukpuk di kepala dan kawan berbicara dalam bentuk nyata. Satu dua masalah tengah singgah pada saya dan juga keluarga. Kakak sedang dalam masalah dan saya merupakan yang paling sibuk mempersiapkan segala kebutuhan beliau.

Kakak memerlukan dukungan besar dan rasanya tenaga saya habis untuk menjadi penyemangat beliau. Semoga masalah ini cepat selesai. Agak sedih rasanya menemukan ruang tengah selalu dipenuhi argumen dan pekikan sesekali.

Kemudian, saya dihadapkan pada kenyataan bahwa naskah novel Senja Merah tidak kunjung mendapat tanggapan resmi. Dalam postingan sebelumnya, saya menulis bahwa Senja Merah ditanggapi oleh Media Kalimantan, namun tanggapan itu baru sebatas pemberitahuan seorang kawan bahwa penerbit yang bersangkutan menganggap naskah saya menarik. Belum ada kelanjutan. Rasanya seperti terus berdebar debar dan kehabisan tenaga.

Dua hal di atas menguras energi saya hingga batas maksimal.

Hanya pada saat seperti ini, saya mendambakan kawan yang mampu mendengarkan tanpa banyak bertanya. Kepala saya rasanya sudah tidak sanggup menampung lebih banyak pertanyaan tentang kenapa kok bisa kapan bagaimana gimana. Dan sialnya, saya tengah jomblo dan sudah dua tahun tidak memiliki kehidupan sosial.

Pacarin saya, anyone?

Seminggu terakhir sudah mencoba menahan nahan untuk tidak menulisnya di manapun. Hingga akhirnya tercetus juga postingan berisi keluh kesah ini. Saya setidaknya memetik satu hikmah dari masa muda saya, bahwa menyimpan masalah dalam kepala sendirian itu tidak baik.

Dan sekurang kurangnya, blog, pada akhirnya adalah satu satunya kawan di mana saya bisa curhat tentang apa saja tanpa harus mendengarkan pertanyaan kok bisa kenapa kapan bagaimana gimana. Dan blog tidak pernah sekalipun melontarkan kalimat bijak sok dewasa atas setiap posting bernada keluh dari saya.

Sebab, bagi saya, kalimat kalimat bijak dan berpanjang panjang nasehat bukanlah tanggapan terbaik dari setiap lontar isi kepala saya. Senyum, dan tepukan ringan di bahu lalu saya kembali membicarakan hal hal ga penting. Apapun, agar semuanya tertinggal di belakang, bukan bergelayutan dalam kerangjang kenangan berjejalan dengan kalimat kalimat nasihat sok bijak.

Aih, Nani yang hedonis…

Thursday, September 22, 2011

Dawn

Terbangun di subuh hari selalu membuat saya gelisah. Gelisah ingin tidur lagi, dan gelisah terhadap terlalu banyak hal yang saya pikirkan. Kebiasaan lama, mengawang-menerawang membiarkan banyak hal mengisi kepala. Baik nyata maupun harapan.

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kabar bahwa novel Senja Merah yang saya tulis mendapat tanggapan dari Media Kalimantan, sebuah koran sekaligus (penerbit?) yang ada di Banjarmasin. Kabar ini, yang paling banyak mengisi subuh-mengawang awang saya :D

Membayangkan kelak, saya bisa memperkenalkan diri sebagai penulis dengan tulisan yang dikaryakan kepada orang orang baru. Atau, mengatakan pada tuan hujan bahwa saya menulis buku, yang menurutnya; "Penulis itu hebat. Menuangkan isi pikiran dalam bentuk lisan tuh susah, apalagi menulisnya"

Lagi, saya suka menya menye sendiri akhir akhir ini. Berkat postingan sebelumnya, saya sukses menyerahkan diri dalam dekapan kenangan. Membuai, menenangkan dan rasanya nyaman. Menjebak. Harus menghentikan kebiasaan tidur sampai larut malam. Dan juga kebiasaan tidur awal lalu terbangun tengah malam lalu terjaga hingga pagi :|

Sedang menyukai Goro Goro milik Putu Wijaya. Buku yang sudah lama tersimpan dan akhirnya sempat dibaca sampai habis minggu lalu. Putu Wijaya, jika disampirkan dengan Seno Gumira (penulis kesukaan saya selama ini), memiliki unsur tata bahasa yang lebih baku. Tidak senyastra Gumira dan tidak segamblang Wiji Thukul. Goro Goro hadir dengan bahasa yang nyaris seperti contoh contoh kalimat di KBBI. Tentang pak Amat dan kritik sosial-pemerintah-sistem-lingkungannya.

Yang menarik, meski menggunakan gaya bahasa ter"kalem" jika dijajarkan dengan buku buku yang saya baca selama ini, Goro Goro tetap mampu memikat untuk dibaca sampai tuntas. Walaupun harus memakan waktu seminggu untuk seorang pembaca lamban seperti saya.

Saya adalah reviewer yang buruk. Sebenarnya ingin bisa menulis resensi yang baik atas buku-musik-film yang tengah saya baca-dengar-tonton dan sukai (atau tidak). Tapi review saya selalu terhenti di titik "memberikan informasi seputar author-musisi-aktor". I'm bad on memorizing name and numbers. Saya selalu lupa berapa award yang V for Vendetta menangkan, kapan Goro Goro diterbitkan, apakah Putu Wijaya masuk dalam angkatan '66 atau '45 bersama Chairil Anwar dan W.S Rendra. Juga di mana Adele dilahirkan.

Yang pasti, simpulan saya, Goro Goro milik Putu Wijaya adalah kumpulan cerpen (?) dengan tokoh utama tunggal yang menarik. Satu satunya kritik adalah jumlah halaman yang terlalu banyak. Untuk pemalas seperti saya, membaca 485 halaman yang isinya huruf semua adalah pekerjaan besar untuk dilakukan.

Entah lantaran membaca halaman tentang transmigrasi di Goro Goro atau pengaruh hal lain, saya jadi semakin memikirkan tentang pergi dari kota ini. Tentang kawan yang telah menginjakkan kakinya di kota asing, negara asing. Sayapun ingin, sekedar duduk diam dan mengamati laju waktu di suatu sudut kota lain. Keinginan ini makin kuat, semoga akhir tahun saya bisa pergi.

Sepertinya tulisan ini harus saya akhiri sebelum isi kepala saya tertumpah semuanya. Harus kembali tidur, matahari mulai terbit dan corong masjid mulai meredakan suaranya.

Sampai jumpa!

Saturday, September 17, 2011

Settle Down

Saya dipaksa kakak untuk memfoto dan mengedit foto anak beliau, beberapa hari yang lalu. Baru selesai tadi siang, foto foto ini, membuat saya sedikit banyak berfikir tentang masa depan.

Meski saya tau masih terlalu jauh untuk saya memikirkan kehidupan berumah tangga di usia yang bahkan belum kepala dua. Saya mencoba untuk membayangkan seperti apa saya sepuluh, duapuluh tahun mendatang. Alih alih mendapat gambaran samar tentang seorang suami dan satu-dua anak gembul yang lucu lucu, saya malah membayangkan diri saya tengah duduk di suatu taman di Austria, sendirian.

Dengan tas besar di samping saya.

Saya bukan bermaksud ingin menghabiskan umur dengan menjadi backpacker dan tidak membangun apa yang orang sebut sebagai tujuan hidup bagi setiap perempuan di seluruh dunia. Menikah. Saya sendiri gagal menemukan alasan kenapa menikah harus disebut sebagai tujuan akhir sementara di sisi lain pernikahan justru membawa banyak 'masalah' baru dan bukan sesuatu yang bisa disebut sebagai 'akhir'.


Kembali ke kalimat awal paragraf di atas. Saya pernah memiliki bucket list dan semacam keinginan untuk bisa berkeliling dunia suatu saat nanti. Duduk di taman di sebuah bukit di Austria, minum kopi sambil memandang hujan di luar sebuah jendela restoran di Manhattan, atau sekedar bermain hujan di jalanan Tokyo.

Dan susah melihat diri saya sendiri membayangkan soal settle down, having nice marriage tanpa sebelumnya mengimajinasikan hal hal di atas :D

Eniwei, ini keponakan saya yang baru berusia 4 bulan. Akhir akhir ini sudah tidak begitu rewel lagi, tidak seperti saat pertama ia dan kakak tinggal di rumah. Menghabiskan hari sambil mengunyel unyel gumpalan lemak seperti ini rupanya bisa sangat menyenangkan. Sebentar lagi Oktober tiba, saya dan kakak mulai merencanakan untuk membangu usaha di rumah. Outlet pengisian pulsa dan rental komputer, mungkin laundry, dalam sebulan dua bulan ke depan.

Sementara saya, akan memulai pencarian kerja dan menebar lamaran ke mana mana. Sekedar menjadi juru ketik, cukuplah. Tidak bisa bermuluk muluk jika yang kamu kantongi hanya ijazah SMA :D kalau ada kabar mengenai bursa kerja, mohon kasih tau saya ya!


Repost : Telepon Tuhan

Sore itu kuseduh segelas kopi. Kuaduk pelan dan kusesap aromanya beberapa saat. Harum, kalau ini sebangsa teh, pastilah namanya teh poci atau teh melati. Kulirik bungkusnya, tanpa nama, putih keabuan tanpa marka. Kuangkat bahu sepintas, tak penting apa namanya, yang penting aku tau ini kopi.


Sebentar, darimana aku bisa tahu bahwa yang sedang kusesap baunya ini adalah kopi? Karena warnanya hitam pekatkah? Ah, aspal juga warnanya hitam. Oli juga, air got, dan berputarlah nama nama cairan berwarna hitam di kepalaku. Sendok kecil masih berdenting sesekali saat berbentur dengan dinding gelas.


Kuletakkan gelas berisi kopi (atau sesuatu –apapun itu-yang kuanggap sebagai kopi) di atas meja dekat telepon. Berseberang dengan meja kecil bermahkota telepon, ada televisi, tengah menyala. Suaranya pelan, kumatikan sekalian. Kulirik telepon bertombol belasan itu. Kopi masih mengepul, urung kuminum. Gagang telepon berderit gaung, gegas kupencet beberapa digit nomor. Tut.. tut..


“Halo,” aku bersuara kala nada ‘trek’ terdengar di ujung sana.

Masih diam, kuulang mengucap halo.


“Hey, kamu rupanya, lama betul tak menyapa” suaranya masih sama, selalu sama, menyejukkan dan semilir.

“Saya kangen” ujarku.


Aku sudah nyaris lupa kapan terakhir aku menghubunginya. Rasa rasanya sejak aku berhenti meminum kopi. Atau sejak aku melupakan aroma teh melati. Entahlah, suaranya kini mengetuk kepalaku.

“Ah kamu, kalau kangen kenapa tak pernah menelpon?”


Aku kini terkikik mendengar jawabannya, dia benar, bagiku kata kangen sudah seperti rutinitas semata. Setiap hari aku mengatakan kangen nyaris kepada semua hal. Lama lama kangenku menjadi blur, antara kangen sungguhan atau kangen basa basi.


“Saya sedang sibuk, dunia sedang seru akhir akhir ini,” sahutku.

Aku lantas mereka reka kejadian terakhir dalam hidupku. Kantor, rumah, buku buku, kantor, rumah, buku buku. Ya ya, seru sekali rupanya, aku melengus sendiri.


Suara di seberang sana kini memintaku diam dan mendengarkannya. Aku terlalu sayang pada pemilik suara hingga jangankan membantah, bernafaspun rasanya tidak kulakukan saat menikmati suaranya.

“Aku mengerti, kamu terlalu sibuk memikirkan sesama manusia dan kompleksitas mereka, bukan?”

Suaranya berjeda, ada nada tanya. Entah retorik entah sungguhan menanti jawab.


Aku diam, bisa kudengar nafasnya di gagang telepon. Ah bahkan mendengar nafasnya saja, aku sudah mabuk kepayang, diam dalam diam. Kini aku dan dia sama sama diam. Aku menjawab pertanyaannya dengan menggeleng pelan. Aneh, meski kami berbicara lewat telepon, dia bisa tau bahwa aku tengah menggeleng.

Dia memang selalu memukauku dengan segala keanehannya.


“Lalu kamu sedang berfikir tentang apa?” cecarnya setelah melihatku menggeleng

“Saya memikirkan kapan saya naik pangkat, kapan saya bisa membangun rumah yang lebih besar dan kapan buku buku itu habis saya baca” jawabku. Aku tidak pernah mampu berbohong padanya.


Kini nafasku yang terdengar di gagang telepon. Tunggu, darimana aku tau bahwa ini adalah nafasku bukan nafasnya? Apa yang membuat nafas kami begitu berbeda padahal keduanya hanyalah soal menghirup dan menghela semata? Telepon bergeresak, kusepak kabel biru yang melalar keluar jendela. Kini geresaknya hilang, berganti suara.


“Kamu membuatku sedih…” ucapnya yang kemudian disusul kebekuan suara, nafasnyapun tak terdengar.

Aku panik, tak pernah kubayangkan lebih lebih kuniatkan untuk membuatnya sedih. Jemariku kini melilit lilit kabel ulir yang menautkan gagang telepon dan papan plastik berisi belasan nomor. Kini kudengar nafasku sendiri, berderu deru nyaring memburu. Sekarang aku mengerti apa yang membedakan nafasku dan nafasnya. Nafasnya selalu sama, lembut teratur menentramkan jiwa. Nafasku bermelodi, kadang tinggi kadang lambat kadang tak ada sama sekali. Rupanya nafas bukan hanya soal menghirup dan menghela semata. Ada nyanyian di sana.


Teleponku masih bungkam. Aku mulai menangis, jemariku kini mengusut lelehan airmata yang mengaliri ceruk pipi, leher hingga nyaris ke dada. Isakku rupanya tertangkap gagang telepon dan sampai ke ruang dengarnya.

“Terlalu banyak kata ‘saya’ dalam jawabmu, aku sedih, rupanya jangankan aku, orang orang di sekitarmupun tak mendapat porsi dalam pikiranmu” suaranya merdu, paling merdu,


Airmataku kering, ingin kulontarkan maaf untuknya. Tapi urung kulakukan. Saat ini tak bisa kubedakan apakah maaf yang kurasakan adalah maaf sungguhan atau sekedar maaf basa basi. Jutaan maaf kuucapkan

kepada jutaan hal setiap hari. Hingga batasan maaf sungguhan dan maaf basa basi menjadi kabur, baur.


“Aku tau kamu menyesal, oh aku terlalu menyayangimu hingga tak bisa sesaatpun menguntai benci padamu” suara paling merdu itu kembali menguar.

Heran, dia selalu bisa membaca pikiranku.


“Saya tidak suka mereka, mereka penuh benci dan prasangka” gumamku, meraih remote televisi, menghidupkannya, mencari cari kanal berita. Suara televisi kutiadakan. Aku tidak perlu suara lain jika dia yang bersuara di ujung telepon sudah mampu memenuhi segala kebutuhanku akan suara.


“Kamu tidak suka pada mereka yang penuh benci? Hahaha” dia tertawa dengan tawa paling indah yang pernah kudengar.

Heran, suara tawanya saja mampu membuatku turut senang.

“Saya tau, saya tak berbeda dengan mereka yang membenci jika bagi saya masih ada rasa tidak suka” Aku berpura pura menggerutu, ingin menarik perhatiannya.


Sejurus kemudian aku sadar, tak perlu berpura pura, dia selalu memberiku perhatian. Ah, rasa sayangnya padaku memang keterlaluan!

Lagi lagi dia seperti membaca pikiranku, kini bertanya.


“Kamu sayang padaku?” ucapnya, tanpa nada klise sama sekali.

Aku, entah, rasa rasanya sudah bermilyar kali mendapat pertanyaan seperti itu dari bermilyar hal dalam hidupku.

Hingga remang bagiku batasan atas pertanyaan klise dan pertanyaan basa basi dari tiga kata itu. Kamu-sayang-padaku?

Aku biasanya tak menjawab, sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk tidak menjawab segala hal yang masih (atau sudah) tak jelas batasannya bagiku. Tapi kali ini berbeda, pertanyaannya sama sekali tidak terdengar klise. Begitu tulus, paling tulus.


“Tentu, saya sayang padamu.” Kubiarkan suaraku terdengar menggantung, mengharap respon. Percuma, sebenarnya, dia selalu memberi respon atas semua pertanyaan dan pernyataanku. Hanya aku yang dibuai sibuk oleh keakuanku hingga lupa dan hilang perhatian atas responnya. Kali ini kucermati suaranya. Dia kembali menguntai tawa.

“Aku senang, kamu rupanya masih sayang pada dirimu sendiri. Susah ya, untuk berhenti tidak menyukai?” tanyanya lagi, kabel ulir menyentuh mulut gelas, nyaris menyentuh genang kopi (atau sesuatu yang kuanggap kopi) di atas meja. Kusentak perlahan, riak permukaannya kini tenang, tidak pula terlihat kepul asap berbau wangi dari dalam gelas. Sepertinya sudah dingin


“Televisi sedang menjualmu” kupaparkan padanya tentang iklan yang menjualnya secara grosir maupun eceran. Beserta sumber tenaga yang bisa diisi ulang dengan dicolokkan ke listrik. Juga tentang pernak pernik pendukungnya. Ada hijau, hijau sekali, putih, merah, biru hingga marka marka berbentuk kotak, gumpalan rumput berbuah, kepalan tangan hingga silangan senjara tajam.

“Saya kesal kamu dijual begitu” lanjutku

Dia tertawa lagi. Dia selalu menemukan cara untuk menertawakan apa yang kubenci dan mengundang

marahku. Dia humoris, paling humoris.


“Biarkan saja, yang menjualku justru bisa membuatku semakin terkenal. Kalau aku sudah terkenal, aku akan muncul di spanduk spanduk dekat kantormu, papan iklan di depan rumahmu, bahkan di setiap sampul buku yang kamu baca,” ujarnya, terdengar riang.

Dia melanjutkan dengan nada semakin riang


“Jadi, kamu akan menemukanku di kantor, rumah dan buku. Di setiap pikiranmu. Kamu akan selalu kangen padaku, duh, senangnya”

Aku tersipu, dia masih ingat hal hal kecil tentangku.

“Ah kamu! Saya jadi geer nih. Beberapa dari mereka selalu mencoba mengklaim bahwa kamu hanya milik mereka. Yang tidak setuju dimusuhi. Kadang, yang dimusuhi membalas mengklaim kamu. Mereka berebut kamu. Saya sebal sekali” gerutuku tak berbendung.


“Ciee.. kamu cemburu?” dia menjawab, dengan pertanyaan baru.

Wajahku terasa panas, kupingku apalagi, seperti ada yang mengigit gigit. Berkali kali kutepis anak rambut yang sebenarnya tak jatuh ke wajah. Gila, dia selalu tau cara membuatku salah tingkah. Jawaban terjujur kini tercetak di wajahku, aku bersyukur menghubunginya melalui telepon sehingga ia (kupikir) takkan bisa melihat wajahku. Aku berdehem, mencoba mengalihkan pertanyaannya.


“Kamu sedang sibuk?” tanyaku, mengambil sepotong koran dari bawah meja. Koran pagi tadi, kulipat kecil dan kukipas kipaskan pada wajahku yang merah padam.

“Hihihi, aku tidak pernah sibuk, engga seperti kamu yang sibuk terus sampai lupa buat kangen padaku,”

“Ah. Iya deh saya minta maaf,” aku kembali memasang nada merajuk padanya.

Dia kembali tertawa, “Eh, jadi kamu engga cemburu nih sama mereka yang sibuk memperebutkanku?”

Aku bergumam gumam.


Aku mengalihkan pandangan yang sedari tadi terfokus pada genangan kopi dalam gelas. Aku menatap televisi, ada ratusan orang tengah berteriak teriak sambil memukuli pria bercelana sarung. Pria itu tersungkur, wajahnya tunarupa. Bilur biru di sekujur tubuh. Aku melihat balok kayu dan laras besi menghujani tubuh si pria bercelana sarung. Sumpah serapah mengalun disela teriakan teriakan. Aneh, padahal televisi sudah kutiadakan suaranya, namun masih saja jeritan si pria bercelana sarung saat meregang nyawa hinggap di kupingku. Mungkin juga hinggap di gagang telepon, tersampaikan padanya.


“Mereka meneriakkan namamu saat membunuh pria itu,” bisikku pelan. Begitu pelan hingga aku ragu ia bisa mendengar kata kata yang bahkan tak sampai ke kuping kiriku itu.

“Siapa bilang itu namaku?” ia menjawab dengan tenang.

“Tapi televisi bilang itu kamu, namamu” aku lantas terdiam. Kata kata itu meluncur mendahului otakku untuk memikirkan maksudnya apa.

Dia masih di sana, menjawab dan terus merespon setiap nafasku.

“Jadi sekarang kamu lebih sayang televisi nih dibanding aku?”

“Huh! Nanti lama lama kamu bisa berhenti kangen padaku. Soalnya kamu fikir aku sudah ada di televisi,”


Aku tau dia hanya bercanda, tak pernah merajuk. Tidak sepertiku yang begitu mudah ngambek dan mogok menelponnya kala dia (kuanggap) tidak meresponku.

“Kalau suatu saat, mereka tau bahwa saya selalu menelepon kamu, lantas telepon ini diambil karena saya dianggap merebut kamu dari mereka, gimana?” lega, apa yang mengganggu pikiranku sejak melihat televisi tadi kini sudah kutanyakan.


Tut… tut… tut…

Telepon terputus tiba tiba.


Kutarik tarik kabel biru yang menjalar lewat jendela. Kupencet pencet tombol redial. Setengah putus asa kuguncang guncang papan plastik berisi belasan nomor. Tak sengaja tersenggol gelas kopi, prang! Pecah di lantai ubin. Aku kini menangis sejadinya, genangan pekat kopi bercampur lelehan airmata. Teleponku padanya tak pernah diputus (atau mungkin terputus) tiba tiba. Genangan kopi yang tak sempat terminum itu merembes ke karpet, perlahan mengalir hingga menyentuh steker listrik untuk televisi. Aku melihat percikan bunga api, perlahan membesar lantas terdengar letupan.


Televisi hitam, korslet.

Telepon berdering. Aneh, kabel biru yang menjalar di jendela telah kucabut. Bergegas kutempelkan

gagangnya ke kuping kanan.

“Dasar cengeng,” dia tertawa, aku merengut sambil menyeka airmata.

“Jangan lakukan lagi, saya kira kamu meninggalkan saya” suaraku tertahan tahan, mengisak isak.


“Habisnya, kamu selalu berbicara tentang televisi. Aku kan jadi cemburu,”

Aku menatap layar televisi yang hitam. Tidak lagi kulihat iklan yang menjualnya secara grosir maupun eceran. Beserta sumber tenaga yang bisa diisi ulang dengan dicolokkan ke listrik. Juga tentang pernak pernik pendukungnya. Yang berwarna hijau, hijau sekali, putih, merah, biru hingga marka marka berbentuk kotak, gumpalan rumput berbuah, kepalan tangan hingga silangan senjara tajam.

Tidak pula kulihat pria bercelana sarung yang dipukuli sampai mati oleh ratusan orang yang meneriakkan namanya di sela hujan sumpah serapah. Ruang tengah rumahku kini begitu tenang. Aku kini mengerti, bahwa dia hanya cemburu.


Bahwa dia ternyata tak ingin aku membenci orang lain karena televisi. Aku tersenyum, kuucapkan selamat malam padanya.Menuju tidur.

“Baiklah, kamu harus tidur, aku akan sangat kangen padamu. Hm.. sebelum kamu tidur, aku boleh ucapkan sesuatu?” aku menghela nafas, kusiapkan diri untuk menerima ucapannya.

“Apa itu?”


Suaranya nyaris samar. Antara udara malam dan aku yang kian mengantuk.

“Kamu tidak perlu melaporkan semua kebencian yang menguar di televisi padaku. Percayalah, aku sudah tahu

bahkan sebelum pria bercelana sarung itu mati dipukuli orang orang yang meneriakkan, kata televisimu, namaku. Aku sudah tahu bahkan sebelum iklan tentangku dimuat di televisimu. Kamu tidak membenciku karena ini, kan? Aku tahu bahwa kamu takkan menganggapku telah membiarkan mereka saling membunuh karena memperebutkanku. Aku tahu, dan aku akan bekerja dengan caraku.,”

Senyumku semakin lebar saat dia mengucapkan selamat tidur untukku. Kututup telepon dan mengulangi kata katanya.

Bahwa;


Dia ada, Paling Ada. Dia tau, Paling Tau.



***

Ditulis di hari Minggu, enam Pebruari 2011. Hari ini tiga orang meninggal dan sedikitnya 25 Jemaah Ahmadiyah Indonesia luka luka. Penyerangan dilakukan 500an orang di masjid mereka di Cikeusik, Pandeglang Banten.

Wednesday, September 07, 2011

Hello

Life been so good so far. Saya sudah mengembalikan ritme hidup seperti semula, sebagai pengangguran purna waktu. Nothing beats the smell of late-noon sunshine after a long-comfy sleep. Saya juga tengah menimbang nimbang untuk ikut ke kampung abah Oktober ini. Selama sebulan.

Menimbang nimbang, lantaran jika saya ikut, ini artinya saya berada dalam kondisi tanpa sinyal ponsel, tanpa sinyal internet dan tanpa listrik di malam hari. Kampung abah terletak di Dusun Seberang, Desa Namun, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tanjung, Provinsi Kalimantan Selatan.

dan saya berkali kali menghela nafas saat mengetahui tempat itu bernama 'dusun'. Iya, ayahku orang dusun. Mau apa heh?!

Dan listrik hanya menyala sampai pukul lima sore yang listriknya bersumber dari PLTD sederhana dekat kantor desa. Kalau malam gelap gulita kecuali satu-dua rumah pemilik tanah yang memiliki harta berlebih untuk membeli bensin untuk menyalakan genset. Dan harga bensin di sana nyaris sepuluh ribu per liter lantaran tempatnya jauh dari peradaban.

Saya sudah membeli dan membongkar buku buku yang saya niatkan untuk dibaca selama sebulan di sana. Buku buku yang tidak pernah sempat saya baca berkat selalu terdistraksi untuk BBM-an, twitteran dan juga, ngeposting hal hal begini di internet. Dan juga nanti jika memungkinkan, saya ingin menulis satu dua tulisan fiksi seperti Wenggini dan Sloan.

Satu bulan tanpa internet adalah tantangan tersendiri buat saya :D

Eviwei, ini sudah September dan sebentar lagi nampaknya saya akan publish tulisan fiksi saya yang berjudul Senja Merah, Wenggini dan Sloan sebentar lagi. Menepati janji yang berbunyi jika sampai akhir tahun saya tidak mendapat tanggapan dari penerbit terkait kiriman naskah saya, maka tulisan itu akan saya bagikan gratis. Juga, akan berhenti bercita cita menjadi penulis karena sepertinya itu bukan bakat alami saya.

Mungkin lebih tepat jika disebut sebagai bakat 'paksaan' karena jujur saja, saat pertama kali mulai membaca dan menulis dulu, tujuan saya adalah ingin membangun impresi bahwa saya anak hebat, cerdas dan berbakat. Walaupun kemudian keterusan jadi suka, tapi saya tidak merasa cita cita itu begitu hebat dan istimewa hingga harus saya kejar sedemikian rupa dan (bahkan) melakukan segalanya demi bisa terwujud.

Walaupun sebenarnya, saya ga tau apa yang menjadi semangat saya menulis 78 halaman legal HVS Senja Merah, kalau bukan 'cita cita'

Mengenai kapan Senja Merah saya publish, nantilah. Masih berkutat dengan bagaimana-caranya-membuat-akun-di-rapidshare. Sepertinya ini saja untuk hari ini. Saya bakal kembali kapan kapan :D

Friday, September 02, 2011

September

Saya selalu suka akhir tahun. Sekarang sudah September. Selamat datang hari hari mendung dan cuaca sejuk :D September menjadi semacam pemisah antara musim kering dan musim basah. Selain itu, akhir tahun menyajikan banyak keriangan untuk saya nikmati.

Lebaran, ulang tahun kawan kawan baik, event event yang digarap radiopun biasanya memuncak di akhir tahun xD

Dan tentu saja, tahun baru hingga kemudian finalnya ulang tahun saya di 10 Januari. Saya memiliki banyak janji di tahun ini. Janji kepada orang lain dan juga diri sendiri. Self proclaimed bahwa saya akan menghilangkan semua cita cita jika nanti menginjak usia 20, janji untuk memberikan kehidupan yang lebih layak untuk saya dan orang tua.

Dan janji, untuk melupakan segalanya di belakang dan menseriusi kehidupan :D

Bulan bulan hujan di akhir tahun merupakan saat paling sempurna untuk kembali membenahi, memilah dan pelan pelan menjalankan kumpulan janji itu. Doakan sajalah, semoga beberapa hutang atas resolusi tahun tahun baru saya bisa terpenuhi.

Life been good so far. Lebaran yang lewat saya isi dengan reuni bersama kawan kawan SMA. Selama dua jam durasi silaturahmi ke rumah seorang kawan, saya mendapati bahwa saya tidak sepenuhnya bisa lepas dari menya menye masa lalu.

Saya yakin kawan jauh bernama Iiw akan memperkenankan saya mengkopi paste notes di facebooknya yang bernama Persona Non Grata di sini :)

KENANG-KENANGAN

by Persona Non Grata on Wednesday, 19 August 2009 at 14:14

Apa yang dicatat dari seseorang yang telah pergi? Mungkin tidak ada sepotong pun. Atau begitu banyak yang dicatat, sehingga kita menjadi selalu terbayang dengan catatan-catatan itu: sebuah kenang-kenangan yang begitu manis. Membuat hati terasa sakit karena kita terlalu mengenangnya.

Siapa yang pergi? Siapa yang memberi kenangan? Senantiasa terjadi di dekat kita, seorang teman pergi, pindah rumah, pindah sekolah, dan kita seperti tidak tahu kapan akan bertemu lagi. Bahkan mungkin tidak akan pernah. Begitu juga dengan teman-teman yang baru kita kenal dari berbagai jaringan pertemanan dunia maya, kadang ada yang hanya lewat berlalu begitu saja namun tak jarang juga ada yang singgah dan menggoreskan kenangan walau tak lama.

Sering pula kita merasa begitu kehilangan, dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Ketika itu, teman atau saudara kita dipanggil oleh-Nya. Sejumlah kenangan manis dan pahit melintas, lalu dengan terang benderang seperti berhenti di depan mata dan kepala kita. Bagaikan sebuah televisi besar.

Puluhan, ratusan, ribuan, bahkan mungkin jutaan orang pernah merasakan sebuah suasana hati yang sama. Yaitu ketika ia harus melepas seseorang yang begitu dicintai, di sebuah stasiun kereta atau terminal udara. Ia pergi dengan lambaian tangan yang makin lama makin menghilang. Lalu yang tinggal adalah derit rel atau desing pesawat terbang. Makin lama, makin perlahan. Lalu tinggal bau – semacam asap – dan akhirnya hening. Sepi.

Kita pun pulang, menapaki perjalanan, langkah demi langkah. Lalu, bagaikan membuka album, kita mengingat kembali segala yang manis dan pahit, yang dilakukan bersama. Ada sedikit perasaan menyesal, jika itu pernah membuat teman atau pacar kita sakit atau terluka.

Pada saat itulah kita seperti menengok ke belakang. Membuka album lama itu, melihat kembali kenang-kenangan itu, menatap balik saat indah dan buruk itu, apakah bukan berarti menengok ke belakang?

Banyak orang mengatakan, menengok ke belakang itu hanyalah sebuah perbuatan menghabiskan waktu, manja. Hanyalah kelakuan melankolis, sentimentil. Kenangan-kenangan itu cuma akan membuat kita menggigil karena sedih, sementara kenangan hanyalah barang mati yang dibuang sayang.

Namun toh kita bisa melihat sendiri, betapa kenang-kenangan begitu laris diperdagangkan. Orang mengejar-ngejarnya dengan wajah penuh harap, bahkan seperti terhibur. Kaset-kaset oldies , radio yang memutar lagu lama, kartu pos tempo dulu, dandanan nostalgia, semua dijual di pasar. Dan, laku.

Otobiografi yang mengaduk peristiwa lama di sebuah kurun waktu hidup seseorang, ditulis, lalu diperbanyak. Orang memburunya. Katanya, “demi pelajaran hidup” .

Restoran dengan desain yang membangkitkan atmosfer suatu masa tertentu, tumbuh di berbagai sudut kota. Tiap malam, atau istirahat tengah hari, orang berduit berdatangan dan memuaskan perasaan nostalgianya disana. Bersama teman, keluarga, atau sendirian sembari melamun.

Lihatlah, reuni pun berlangsung dimana-mana. Reuni SD, SMP, SMU, sampai perguruan tinggi. Panitianya sibuk berat, dan selalu berharap seluruh rekannya bersedia berkumpul lagi, seolah-olah ingin mendirikan kembali kelas mereka yang telah lama bubar karena semua siswanya sudah lulus. Lalu, mereka yang diundang pun menunggu hari H reuni itu dengan ketidaksabaran yang tinggi. Satu sama lain saling menelepon, jika sempat, menanyakan banyak hal: dari keluarga, karir, sampai gaya rambut yang mungkin sudah berubah bentuk.

Toko cinderamata juga tumbuh di sana sini. Dari yang bentuknya sederhana sampai yang canggih punya. Dari yang tradisional sampai yang modern. Dari yang kekanak-kanakan sampai yang dewasa dan elegan. Semua memanjakan sebuah benda untuk dipakai sebagai kenang-kenangan. Suatu benda pemberian yang akan dioper kepada orang lain, dan diharap dapat “berusia panjang”. Orang itu akan selalu ingat dengan yang memberi, begitulah.

Lalu untuk apa semua kenang-kenangan di sekitar kita? Dalam berbagai bentuknya itu, kenang-kenangan memang membuat kita berhenti sebentar dari derap rutinitas kegiatan sehari-hari. Kita lalu menengok ke belakang, semacam introspeksi.

Kenangan itu, betapapun kurang enak dan menyakitkan, memberi pelajaran hidup. Ah, terlalu mengada-ada? Tidak. Kenangan seperti mengaduk lagi patahan-patahan perjalanan kita. Kisah sedih, menyakitkan, pahit, yang bersinggungan dengan teman, sahabat, pacar, saudara, guru, tetangga, dan entah siapa lagi, seolah terangkat kembali.

Kita tercenung untuk menyadari sebuah perjalanan. Dengan itu, kita bersiap jalan kembali, dengan langkah yang lebih kuat. Kenangan memang memberi nafas baru, karena kita menyempatkan diri berhenti sebentar dari sebuah perjalanan.[]