Monday, October 19, 2015

World After 85 Scale

Two IGD visits, numerous times of doctor appointment and I'm still a sad, sad fat girl.

 I'm cursing A LOT lately, especially during night because I'm hungry as fuck. 

Kondisi tubuhpun menurun drastis, saya sangat sangat mudah lelah. Satu lembur saja mampu membuat saya dan dokter langganan keluarga ketemu. Rasanya nyaris delapan kali saya bolak balik dokter untuk keluhan keluhan ringan seperti demam, flu, sakit kepala, pingsan gegara kurang tidur, maag hingga yang paling mutakhir, jatuh dari motor gegara somehow saya kehilangan fungsi gerak.

https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/e9/d7/a7/e9d7a7cd215d4f036c5be0f6e555fc18.jpgLalu beberapa kejadian paska ditasbihkannya niatan diet itu, dua bulan tepatnya, saya kembali berdiri di atas timbangan badan sambil menggumamkan sejumlah umpatan dan voila. Satu onspun tidak berkurang. Saya tetap seorang perempuan kelewat gendut dengan berat 85 kilo.

Saya kira saya bakal menangis sejadinya, atau kecewa hingga ubun ubun, atau menyalahkan pemprogram diet saya. Nyatanya tidak. Oke, saya menghabiskan sekurangnya 3 jam untuk menangis tapi tidak sedikitpun berpikir untuk menyalahkan siapa siapa. Yang salah mungkin cuma kepala saya yang dua bulan belakangan sedemikian ngototnya menolak makan. Sampai kolaps, sampai kudu berkunjung ke IGD lantaran maag akut.


Lalu kemarin malam, kawan saya berkomentar betapa kuyunya saya sekarang. Kurus engga layu iya. Sayapun sadar, dulu saya selalu bersemangat, siap menjelajah ke kebun kebun kami yang jauhnya ratusan kilometer. Atau dihajar lembur hingga pukul 3 subuh, pernah saya lakoni dan baik baik saja. Sekarang jangankan pergi ke kebun, sekadar menjalani rutin penulisan berkas saja saya nyaris hilang sadar. Ditambah kondisi kabut asap yang kiat parah, saya merasa stress dengan perubahan kondisi tubuh ini.

DAN KAGA KURUS KURUS JUGAK HIH!

Saya masih belum menemukan titik henti. Maksudnya, its a sad sad world of eatless day and night tapi setidaknya saya merasa 'sedang melakukan sesuatu' dan 'sedang menuju sesuatu'. It gave me a purpose in life and I think I'll take it. Mengingat hidup saya adalah pointless routine from A to B and nothing to do in between, saya lakoni saja lah. Until the end of the line.


19 Oktober 2015
Keras kepala untuk soal beginian ada baiknya kali ya

Thursday, October 08, 2015

World From 85 Kg Scale

Saya lahir, tumbuh, dan menjalani hidup sebagai perempuan gendut. Gendut banget, malah. Saya ingat kala SMA bagaimana sebutan sebutan dan joke joke klasik soal orang gendut lekat dengan keseharian saya. You know lah, when Idul Adha comes and they're asking about "Eh kok ini satu ga dikurbanin" and others cetek jokes.

Saya tidak menyebutnya sebagai bullying. Saya toh tidak depresi walopun setiap hari adalah living hell, saya tidak lantas menyayat nadi atau menerjunkan diri ke sungai walopun keinginan untuk itu melintas sesekali. Saya memiliki kawan baik, sekolah dengan normal, lulus dengan nilai cukup dan menjalani hidup layaknya perempuan (gendut) normal pada umumnya.

Mungkin puncaknya adalah tahun ini, belum pernah scale saya mentok di angka 85. Berat paling 'ringan' saya adalah saat wartawan dulu, 72 kilo. Bayangkan saja, perempuan dengan tinggi cuma 158 beratnya 85 kilo. I'm so fat I can't even see my toe when I looked down.

https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/34/f4/4c/34f44cb3422f6b24405a28bbb55b28fa.jpgTerlepas dari perkara kesulitan jodoh yang sudah mengikuti sejak era remaja, saya baru ngeh soal limitasi limitasi aktivitas yang tidak bisa saya lakukan karena bertubuh besar. Saya tidak bisa lari tanpa merasa bakal meninggal sebentar lagi, saya tidak bisa melepas kuatir saat pergi ke kondangan dan kursinya kursi plastik ringkih bekas dipakai bertahun tahun itu, saya tidak bisa sembarangan minta bonceng tanpa mempertimbangkan kondisi motor pembonceng, saya tidak bisa makan es krim, donat, cake coklat atau basically makanan enak manapun di tempat umum tanpa merasa semua orang menatap saya dan bilang "Look how those pig eating her heart attack"

Saya tidak pergi ke kolam renang karena semua lipatan lemak akan terlihat, tidak membeli baju online karena ukurannya pasti ga akan muat, saya tidak bisa menggunting kuku kaki saya sendiri karena terhalang paha yang besar saat ditekuk, saya tidak bisa jongkok tanpa merasa semua tekanan darah pergi ke kepala, saya tidak bisa ikut kemah karena semua orang akan protes mengenai jumlah orang di satu tenda harus dikurangi agar saya bisa muat di dalamnya. Saya sangat sangat tidak suka foto grup. Atau selfie. Go to my phone gallery dan isinya melulu savingan meme dari 9gag.

Saya ngeh soal "Iya, Nani ga selayaknya orang orang normal pada umumnya"

Menjadi gendut sepanjang hidup menjadikanmu pemalu. Saya tau, kamu pasti bilang "Ah temenku si A gendut banget tapi lucu kok, pede aja lagi" dan percayalah soal ini: Kamu tidak tau apa apa soal temanmu itu. Jauh di bawah lapisan pelawak (ini seriusan, orang orang gendut memang jarang marah saat dihina bukan karena mereka ga sensitif, tapi kita tabah menjalani hidup dan udah bosen sama jokes yang begitu) dan sikap outgoing orang gendut, ada insekuritas yang jika dijabarkan kamu bakal menyesal sudah pernah ngatain orang gendut.

Saya sendiri sering mendapat komentar soal betapa pedenya saya dengan tubuh sebesar ini, betapa saya jago memilih baju dan terlihat oke walaupun gendut, betapa santainya saya menanggapi lelucon soal kegendutan saya, betapa lucu dan menyenangkannya nongkrong bareng saya. Sebab saya tidak merutuki kondisi itu di depan orang, saya tidak mengeluhkan soal betapa sakit hati rasanya saat ada yang menyetarakan saya dengan hewan hewanan yang menurut orang lucu untuk diucapkan. Saya tidak bicara soal "Hey, aku tersinggung kalau kamu pura pura gempa saat aku berjalan". Saya tagging along, ketawa (getir) dan orang akan melihat becandaan itu tidak memberikan efek apapun terhadap saya. Dulu saat SMA, saat pulang setelah mendapati hinaan seperti itu, saya akan makan dan menangis. Tidak ada yang lebih dramatis dari makan dan menangis, percayalah.

Menjadi gendut membuatmu frigid. Saya mendapati istilah ini dari kakak saya sendiri, dalam versinya, frigid adalah orang yang sangat sangat tertutup dari kegiatan seksual. Saya rasa kembali ke titik pemalu itu tadi, insekuritas dan ketidakpedean yang sangaaaaat besar membuat saya senantiasa merasa akan tertolak. Ditambah dengan bayangan mengerikan soal dilihat semua lipatan lemak itu saat telanjang, saya meninggalkan rutinitas seksual jauh di belakang.

Dari sudut pandang orang yang senantiasa gendut, dunia ini tentu tidak adil. Kenapa dengan mudahnya perempuan perempuan kurus mendapatkan lelaki pujaan saya, pekerjaan idaman saya, melakukan kegiatan kegiatan impian saya. Saya menjadi sinis terhadap industri media yang memuja model model bertubuh langsing, sinis terhadap laki laki yang memuja model model tersebut.

Sisa kewarasanlah yang membuat saya menjauh dari genangan feminazi :)))

Sekarang, saya 23 dan mencapai titik terendah dalam sejarah penimbangan berat badan. Paska ditimbang, saya sempat menangis dan bengong sepanjang jalan. Kalau kawan saya tidak menegur, saya mungkin sudah memuntahkan makan malam saya saat itu. Saya tau saya gendut, tapi tidak pernah menyangka akan segendut itu saja. 85 lantas menjadi titik mula. Saya sedang (ingin) serius diet. Tidak ada motivasi naif seperti "Aku tuh gapapa gendut asal sehat aja" di balik niatan ini. 


Pengen kurus dan menjadi normal. That's all. 




Oktober 8th, 2015



Di sela batuk demam pilek dan sarapan liquid.