Monday, August 30, 2010

Yang Tak Terselesaikan

Semua ini rasanya sudah terlampau gelap. Sedari dulu. Aku tak peduli, sama sekali tak ingin peduli. Tentang bagaimana hidup ini harus berlalu dan terlewati..

Sore itu gerimis menyapa lembut kota ini. Aku baru pulang. Gerimis pelan berubah menjadi butiran raksasa, lagi lagi kehujanan. Cuaca agak menggila akhir akhir ini. Panas terik yang berlangsung seharian ditimpa hujan badai di sore hari. Bahkan cuacapun mulai lebay..

Aku melintasi satu per satu pengendara yang menepi. Ruko ruko kosong mulai berjamur di kota ini, masih baru. Keberadaannya yang dinilai strategis membuat para investor tak pikir dua kali untuk turut mengeksploitasi. Hujan makin lebat, jarak pandang kian tipis. Aku tak peduli, tidak pada intonasi hujan yang meninggi, pada lampu jalan yang berkedip merah sejak tadi, atau pada jerit sejumlah anak berseragam putih-biru yang tengah menggigil dingin di ruko kosong.

“Awas!!!,”

Sepenggal kata itu sempat sedikit menyusup ke telinga. Sayang, kedatangannya sedikit lebih lambat dari jeritanku. Aku menjerit, terhempas lantas terpental ke trotoar. Bising suara penanti hujan di ruko kosong kian menggema. Berdengung di tengah tatapan nanarku. Darah bersimpul di sudut kacamataku yang retak. Dari kejauhan, sayup gaungan –entah ambulance atau mobil polisi- meraung.

Lantas gelap yang membekas. Diiringi sedikit ayunan, derek kereta troli dan getaran sepanjang jalan. Sakit terasa menggerayangi. Pelan ia menyentuh ujung kaki, bergerilya ke lutut, pinggul, dada, hingga kerongkongan. Sakit yang teramat sangat. Yang lantas sibuk berbisik di kepalaku adalah sepenggal sepenggal ceramah yang dulu kerap diputar Abah* dari tape tuanya.

“Ajal pasti akan datang… diriwayatkan dalam hadist nabi… rasanya seperti hewan yang dikuliti hidup hidup..”

Suara tape tua itu seakan direwind, berulang sepotong sepotong. Aku lupa bagaimana lengkapnya. Ceramah itu kerap kudengar semasa tinggal di rumah Abah, kala masih kanak kanak, belasan tahun silam. “Aku mati?” bisikku. Aku sulit menggambarkan apakah aku berbisik, bergumam atau berteriak. Lidahku kelu, tidak ada satupun desibel yang terlontar.

Pertanyaan itu terjawab. Aku akhirnya mendengar lantunan al-quran dan merasakan hal klise yang hanya kulihat di komik komik jepang. Aku melayang, benar benar melayang. Bisa kulihat aku yang terbujur tengah diarak, menuju liang kuburan. Ah! Itu Dimas, Irfan, Rahma, Qonita.. aku mulai mengingat ingat wajah yang melingkar di tepi tanah basah berlubangi itu.

Sayang, tidak ada yang berurai airmata. Sembabpun tidak. Mereka hanyalah kawan kerja, yang bahkan tidak tau apa nama belakangku. Aku terus menengok ke bawah, mencari wajah wajah yang basah. Ibu, ayah, kakak. Ah, rupanya mereka masih sayang padaku.

Atau jangan jangan mereka menangisi masalah yang kutinggalkan? Aku teringat anak kecil bersepeda yang kuhantam ketika meregang nyawa. Tiba tiba semuanya menjadi flashback. Bentakan bentakanku pada mereka, tuntutan tuntutan yang terkadang tak tercerna logika. Semuanya berputar, menyisakan sedikit pilu di sudut pikiranku. Semacam menyesal.

Tiba tiba aku merasakan tarikan yang kuat, dari belakang. Tepat ketika aku menyatakan menyesal. Punggungku seperti terbakar, panas. Tarikan itu tak kunjung berhenti, lapis demi lapis awan kulewati. Pandangan akan tanah pemakaman kian mengabur, meninggalkan titik kecil yang kian lama kian menghilang.

Seakan gravitasi terbalik, aku yang sedari tadi ditarik ke atas tiba tiba jatuh ke bawah. Terjerembab. Aku melihat batu batu raksasa bertumpuk. Tebing curam, langit yang merah dan bulan – atau matahari- bergumpal, satu, dua.. lima jumlahnya. Aku berpijak pada tanah, yang entah mengapa begitu liat, seakan mengisap. Aku yang sedari kecil terintegrasi dengan doktrin surga-neraka langsung berasumsi apa yang kulihat sekarang bukan surga.

Gambaran fisik surga yang kukenal adalah lautan madu dengan ribuan bidadari. Lamunan itu buyar ketika sesosok hitam menghampiriku. Pikiranku melayang pada sebuah komik mengenai shinigami, dewa kematian. Ia berjubah hitam panjang. Dengan wajah yang hampa, hanya ada hamparan lubang hitam di tempat seharusnya wajah sosok ini berada.
“Imelda Ningrum?” suaranya berat, mengingatkanku pada seorang penyanyi bariton yang kerap tampil di televisi.

“I. iya,” kurasakan dingin yang amat sangat ketika makhluk tak berwajah ini menatapku.

Ia lantas menjentikkan jarinya –atau sesuatu mirip jari- yang panjang kurus berwarna kelabu. Sebuah perkamen melayang mendekatinya. Aku tersungkur, siapapun dia, ia telah mendorongku dengan sentakan udara dingin. Sosoknya tiba tiba menjadi terlihat begitu tinggi. Lama aku tidak merasakan perasaan ini. Aku merasa takut.

(ini ditulis pas kelas tiga SMP. Jelang lebaran, bertahun tahun sesudahnya aku nemu. Masih mengorek ngorek isi otak untuk mencari kenangan mengenai tulisan ini. Lanjutannya apa ya..)

Penyebab Candu Musik Gila Itu..

Coretan Nani

Oke, aku mau sedikit mendongeng, tentang bagaimana aku bisa suka dengan musik ini. Dulu, musik yang ku tau terbatas pada Mtv atau radio. Dan kita semua tau, bagaimana isi lagu di media mainstream. Mereka mengejar rating, memuaskan pasar, dan mencoba memukul rata ‘selera’ penikmatnya.

Aku, terbiasa menjadi berbeda. Ini berlebihan? Well, kurasa ada hubungannya dengan astronomi, aku capricorn bos! Hehe, kelas satu SMA, tahun 2007, aku masih ingat, waktu itu liburan kenaikan. Nani masih berupa anak SMA polos umur 15 tahun yang imut imut dan setengah mati menggemari Muse. Kenapa Muse? Karena itu satu satunya musik keras yang ku kenal saat itu.

Lalu aku kenal seseorang. Namanya Andre, anak Malang. Datang ke Sampit untuk bekerja, darinya aku kenal Burgerkill. Aku masih ingat, lagu Burgerkill pertama yang ku dengar adalah Berkarat dan Anjing Tanah, masing masing album Dua Sisi dan Beyond Coma and Despair. Percaya atau tidak, aku jatuh cinta pada pandangan pertama (sama Burgerkill, bukan Andre ^^)

Waktu itu aku berontak. Berontak dengan etika, berontak dengan tata laku, berontak pada aturan. Orang tuaku memang bukan seorang kolot, dalam artian gemar mengekang anak dan membatasinya dengan jam malam. Mereka memberikan kebebasan penuh, kebebasan yang bertanggung jawab, kalo kata Pembukaan UUD 1945. Ini salah satu yang kusyukuri, punya orang tua yang G4oL AbHeSss.

Yah maklumlah, aku masih abege labil, umur baru 15 tahun, nggak pernah meluhat dunia luar. Aku sempat jadi anak emo, doyannya Mychemical Romance, Saosin, Paramore, The Faders, de el el. Soalnya, band band itu terlihat jauh lebih keren ketimbang band band populer yang ada saat itu (baca ; Radja, ST12, Kangen Band). Maka waktu itu, aku doyan pakai item item, kalau ngomong, nuansanya gelaapp banget, kadang malah makan beling, khas anak emo gitu.

Sejak dikenalkan dengan Burgerkill (sebenarnya si Andre juga ngasih liat band band lokal lain, kayak Jeruji, Jasad, Aphyxiate, tapi waktu itu yang bener bener bikin suka cuma BK), aku mulai tau, kalau ada kok, band yang cadas tapi nggak lebay. Aku sebut MCR cadas saat itu, musiknya enak (ini memang harus diakui), sayang behave personil, aksi panggung, tema yang diusung, serba lebay. (aku masih nggak ngerti, kenapa ada cowok yang bisa pakai eyeliner pas manggung, full make up pula! *ampun om om personil KISS*)

Andre akhirnya pulang ke Malang akhir tahun 2007. Tahun 2007-2008, di Sampit hanya ada dua warnet. Rin Rin dan Ron Ron. Cuma dua warnet, kecepatannya? Bahkan lebih lambat dari siput lumpuh. Tapi untuk saat itu, bisa internetan juga sudah sukur. Waktu itu masih belum ada yang namanya internetan lewat hape. Cuma segelintir yang bisa, aku termasuk ke dalam golongan yang nggak bisa. Hape saya waku itu Nokia 3100, mana bisa internetan T_T

Berhubung waktu itu aku hanya kenal Burgerkill, maka hanya keyword ‘Burgerkill’ saja yang ku ketik di mesin pencari Google. Pelan pelan, aku mulai mendownload lagunya, baca baca fanpagenya, meng-add Myspacenya (waktu itu Facebook belum ada, aku cuma punya Friendster sama Myspace). Jadi bisa dibilang, masa-masa kelas 2 SMA, aku disebut Anwar, Anak Warnet.

Di Sampit, mulai bermunculan warnet sejak pertengahan 2008. Mulai dari Planet, Salmonet, Robi-net, Nabila, sampai yang paling sering kusambangi sampai sekarang, warnet X-Cool. Di warnet itu juga aku pertama kali kenal Kimung, eks-bassist Burgerkill yang menjadi penulis dan juga pioneer komunitas Ujung Berung Rebels. Kenalnya, pas aku mencoba mencari contact person untuk pembelian buku biografi Ivan Scumbag, vokalis Burgerkill yang meninggal di tahun 2006.

Aku masih ingat, nomornya Simpati, ujungnya ada 222-nya atau gimanaa gitu. Aku kira itu nomor publisher buku yang bersangkutan. Ternyata malah terkoneksi dengan penulisnya. Seorang kawan menyebutnya ‘Doa Seorang Fans Yang Di’ijabah Oleh Tuhan’. Hahaha
Proses berkenalan dengan Kimung-lah yang sangat berkontribusi untuk pengembangan pengetahuan metal selanjutnya. Secara kontinyu, Kimung kala itu tidak jenuh mengirimi kaset kaset metal. Isinya beragam, mulai dokumenter, lagu lagu rekaman, hingga zine zine milik uberebels. Sayang, waktu itu aku belum punya komputer, alhasil kaset kaset berformat data CD itu berulang-ulang ku putar di warnet. CD-R sangat rentan rusak, kawan. Kaset2 yang telah menempuh jarak ribuan kilometer itupun rusak tanpa sempat mengenal dunia luas. Hiks.

Belajar dari pengalaman, aku mulai berinisiatif. Setiap kali kiriman datang, data itu bakal ku burning ke CD kosong harga dua ribuan. Di burning ke format audio CD, biar bisa di putar ke VCD player (aku nggak punya DVD player, jadi harus pakai format audio CD). Dan yak, nasibku memang semengenaskan itu :P

Kaset kaset hasil burning sendiri itu kunamai ‘Kompilasi Nero’. Soalnya ngeburningnya pakai software Nero ^^. Setiap kaset punya label #1, #2, #3, dst. Totalnya mencapai Kompilasi Nero #23. Hahaha, per kaset kuisi 20-25 lagu, mulai dari Fleshgod Apocalypse, Jagal, Climaxeth, Hatestroke, Dying Fetus, sampai Necrophagist. Lagu-lagu kiriman itu tidak tertampung oleh flashdisk bermemori 2 giga.

Dengan memburning kaset, maka pelan pelan aku mulai jarang main ke warnet;. Saat itu tarifnya Rp 6.000 per jam, kantong anak sekolahan mana sanggup membiayainya ^^. Untuk download lagupun, agak susah melakukannya di warnet. Mulai dari koneksi putus putus, mati lampu, sampai ngehang. Ih, cerita kaya gini mengesankan aku tua banget ya, padahal kan umur saya baru 17 tahun *korupsi umur*

Yah.. bisa dibilang, aku bersyukur bisa sampai di titik ini. Sekarang sudah jauh lebih gampang, internet dimana mana, harganya terjangkau bahkan gratis. Komunikasi keluar pulau jauh lebih mudah, sharing lagu tinggal pakai email, bukan pakai pak pos lagi. Sekarang suka ketawa aja ngeliat Kompilasi Nero di kamar, numpuk jarang diputar. Senangnya bisa menggenggam tekhnologi, hahaha (sumpah berasa tua abis ngomong gini)

O ya, salah satu yang menyenangkan dari menyukai musik adalah ketika kita menemukan kawan dengan pemikiran sama. Kalau dulu untuk sharing tentang metal aku lakukan hanya melalui YM, ceting atau telpon, kini aku punya kawan kawan hebat yang mumpuni soal musik. Aku punya kalian. (nah, ini malah kayak omongan orang mau meninggal).

Sip, cuma segini dongeng saya kali ini, bertemu lagi lain waktu, saya Margareta undur pamit dari ruang baca anda semua, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuhh..

Tulisan disumbangkan untuk zine komunitas musik sampit yang belum juga sempat terbit..

Saturday, August 28, 2010

Entah, Antara Cemas dan Gelisah



Aku seperti mengalami personal nervosa sekarang. Seperti perasaan seseorang yang tengah menunggu hukuman mati. Menanti vonis. Rasa cemas, gelisah, yang merundung seminggu belakangan bersebab tanpa sebab. Entah apa yang membuat perasaan ini menyerang. Aku merasa hidupku baik baik saja. Tidak istimewa memang, tapi baik baik saja.

Aku tidak sedang berada dalam masalah. Tidak dalam kesulitan.
Apa lantaran semuanya berlalu super normal, hingga aku merasa jenuh dengan pola yang sama?

Ah, lagi lagi jenuh yang kuteriakkan. Lagi lagi keluh yang kusuarakan.
Happy 17th fasting, all. Aku perlu suplai energi..

Thursday, August 26, 2010

Kangen Nonton Konser..

Baru nyadar kalau di Sampit (where I'm live now), lagi kering konser. Tercatat terakhir konser musik di gelar pas bulan Februari lalu, konser Kuburan, Zakies sama Drive,. Lumayan pan lamanya., hm.. di kotaku, ada beberapa nama Event Organizer besar yang langganan mengundang artis buat konser, tiga nama kalau ga salah. Dua di antaranya merangkap sebagai radio.

Entah ini ada korelasinya dengan ditutupnya beberapa stasiun radio lantaran tersandung masalah perizinan oleh KPI (walah bahasanya koran banget boss).. atau alasan lain. Denger denger sih, biaya ngedatengin artis itu ga murah. Belum lagi tanggung jawab ke sponsor, De el el.

Sebagai masyarakat awam sih, aku ga ngerti tentang masalah birokrasi ke sana. Ngarepnya cuma biar konser musik bisa di adain sesering mungkin. Kayak 2009 lalu, dalam setahun nyaris belasan konser di gelar. Baik yang skala kecil sampai setaraf Mulan Jameela (believe me, untuk takaran kota sekecil Sampit, Mulan Jameela udah besar banget).

Atau jangan jangan ini efek dari menjamurnya acara musik televisi? sehingga para artis berfikir untuk tidak perlu jauh jauh ke pulau lain untuk menarik atensi masa terhadap karya karya debutan mereka. Dan kemudian management yang menaunginya mengkatrol harga si artis lebih tinggi karena stasiun tivi sudah membayar mereka dengan harga yang sama seperti sekali konser di wilayah terpencil. Kalau ini benar kejadian, kasian kami dongg..

hm, it just a random talk.. sedikit kangen pergi beramai ramai ke stadion 29 November untuk menonton konser. Meski si artis bukan pujaan, tapi cukup untuk memuaskan dahaga hiburan..


(atau ya berkesempatan poto bareng artis macam gini :P)

Wednesday, August 25, 2010

Back to Black

Setelah nyaris 12 jam ngerasain punya rambut berwarna seperti istrinya Raul Lemos, aku akhirnya mengembalikan si rambut ke habitat aslinya. Bayangkan, dalam sehari rambut ini harus menerima empat botol pewarna. Bahan kimia itu menodai kesucian rambutku!!! (jgderrrr!!)

Sebenarnya, aku suka dengan warnanya, merah maroon kecoklatcoklatan gimanaaa gitu..
Tapi, unfortunately, abah go mad. Beta dimarahi :'(. Apa boleh buat, bagi seorang muslim, mengubah ciptaan tuhan itu merupakan tindakan dosa. (eh BTW, aku ke salon buat ngelurusin rambut juga termasuk tindakan mengubah ciptaan tuhan kan?). Ah sudahlah, berhubung aku anak yang taat dan berbakti kepada abah tercinta. Rambut inipun kembali ke warna aslinya ^^

here my recent face.

sebelumnya (pas lagi warna coklat)


(yak, aku memang punya tampang seidiot ini)

Fuhh... selamat menunaikan ibadah puasa, semuanya! semoga puasa hari ini dilancarkan. Lanjut siaran duluuu :D

Tuesday, August 24, 2010

Insiden Cat Rambut

Aku memutuskan buat ngewarnain rambut ini. Alasannya sih lantaran udah bosan sama warna hitam. (eh, sebenarnya rambutku lebih ke warna merah kebakar matahari ^^ dan rusak gara gara keseringan dicatok, hehehe).

Niatnya sih warna brunette. atau maroon. coklat coklat gimanaaa gituu.. eksperimenpun dimulai. Seorang kawan merekomendasikan pakai Shasha aja, soalnya ga tahan lama. In case aku bosen, tinggal keramas sepenuh hati, pelan pelan bisa ilang,,

Well, eksperimen begin.. (jeng jeng)

Mari Mewarnai Rambut Agar Menjadi Seperti Anne Hattaway di Get Smart (MMRAMSAHGS)

Bahan bahan yang diperlukan :

1. (Shasha warna Chocolate Brown)

2. (bleaching)

3. (sisir semir)

HASILNYA?????

(bukan, ini bukan aku, seperti INILAH seharusnya rambutku)


DAN WARNA RAMBUT SAYA SEKARANGGG

T_T

Yep, tiba tiba aku merasa mirip seperti mantan istrinya Raul Termos.

Dan abah (we called Ayah as Abah on banjar language) ga tau kalau aku ngecat rambut. FYI, abah seorang agamis. Dan yak, beliau marah, aku diancam ga dapet baju lebaran ntar (ancaman ini cuma berhasil buat anak TK, abah..)


Off today! pesan moral : Jangan pernah percayai insting anda dalam mewarnai rambut. Percayakan pada salon salon terdekat.

(Oh.. suddenly i miss my black hair)

Hobi Murahan Itu..

Mengenai hobi, konon blog merupakan tempat untuk menuliskan jurnal pribadi. Berhubung aku adalah pribadi yang sungguh narsis, maka kali ini sesuatu yang super ga penting bakal kutulis (silahkan klik close bar, aku sendiri nyaris muntah pas ngetik ini)

Sejak SD, aku suka membaca, hobi murahan, kata kawan kawan. Yep, murahan karena membaca tidak memerlukan banyak modal. Tidak seperti hobi yang lain, golf, scubadiving, bungeejumping (buset, ada gitu anak SD hobinya nyelam??)

Hobi membaca bersublimentasi menjadi hobi menulis. Hobi yang sudah murahan itu bertransformasi menjadi sesuatu yang sepuluh tingkat lebih murahan. Cukup bermodal kertas dan pena, hobi itu bisa tersalurkan. Oh dear, its me, Nani si Murahan. (loh?!)

Well, selama aku merasa senang, kenapa tidak. Maka mimpi mimpi besarpun bertumbuhan dari hobi itu. Sejak empat tahun lalu, aku bertekad untuk bisa menghasilkan duit dari hobiku itu. Menulis sesuatu yang kusuka, dan dapat duit. Mimpi orang miskin,,

Tuhan memang maha baik, mimpiku untuk menjadi penulis di dengar dan diwujudkan pada Desember 2009. Sejak itu aku tercatat sebagai wartawan di SKHU kotaku. Bangga? jelas. Aku semacam super excited dengan segala keterwujudan itu. Aku bisa menulis sebanyak yang aku mau, dan dibayar untuk itu.

Hanya saja, kata Mario Teguh, kalau bermimpi jangan kelamaan. Aku terlalu lama dibuai mimpi, hingga menjadi makhluk yang gemar bermuluk muluk. Gemar mengeluhkan ketidakselarasan ingin dan kenyataan. Akhirnya, menulis di SKHU itu tidak lagi menjadi hobi.

Aku tidak lagi menulis karena aku suka menulis.
Aku menulis karena menulis itu merupakan kewajiban, suatu keharusan.

Dengan semua target dan tenggat itu.

Ya, aku merasa terbebani. Seorang kawan bilang "Sesuatu yang sudah menjadi beban ga bagus untuk dilanjutkan".

Maka aku berhenti, untuk 'menyelamatkan' hobiku.
Sebulan sudah lewat, banyak yang terjadi selama tujuh bulan bekerja di sana.
At least, aku sudah sempat jalan-jalan ke banyak tempat, dan dibayari. Dan berkesempatan menjadi wartawan di umur 17 tahun. As PR PT. Axia TBK said : "The youngest journalist". hohohoho

Sekarang, aku kembali seperti dulu. Seorang anak perempuan 18 tahun yang gemar mengeluh dan menulis dengan bahasa sok nyastra. ^^ apa boleh buat, sudah hobi..

Aku benci kemiskinan yang dieksploitasi di negeri ini
Mereka tertuang dalam tivi-reality.
Orang orang miskin berurai airmata, mengiba akan nasibnya
Aku benci derita bertubi yang dihiperbolisasi
Semata demi rating dan ketenaran si televisi
Aku muak dengan televisi
Ah, tidak, aku muak dengan budak televisi
Apa boleh buat, pantatku terpaku oleh gemerlap silau kemiskinan yang diksploitasi.