Monday, January 28, 2013

Miss Havisham, or Should I Call You Eleanor Rigby?


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqq9vfW4S23z3VVpG7eY92mJ1u-6Xs8Lg8yeg4d2LWGrgnKw9SsGwULu0N27Jw_AIsoISn4HmLoDxFk5p22PeS-5fJDMyPNk0OMB3wHalV26rBdiPd8V7paRX_L49LAMy8J9QWeEffqr1r/s1600/great_expectations_by_charles_dickens.jpg
Google, what else did you expect?
Menemukan novel ini berkat lagu the Beatles - Eleanor Rigby. Seperti yang saya tulis di sini, bisa jadi inilah lagu milik beatles yang paling saya suka. Lagu tentang orang orang yang kesepian.

Apa yang lebih sepi dari duduk diam dan tidak berbicara kepada siapapun selama 40 tahun? Ms. Havisham adalah perempuan yang mewarisi seluruh harta ayahnya -seorang earl- dan ibunya meninggal saat ia masih bayi. Tanpa saudara, Ms. Havisham menghabiskan masa mudanya di kastil (catatan; setting di tahun 1891) dan akhirnya jatuh cinta pada Compeyson (Compassion?) pria yang mengejar hartanya.

Kerabatnya sudah memperingatkan perempuan muda itu soal Compeyson. Tapi namanya cinta, Ms. Havisham keukeh dan akhirnya ditinggalkan di altar. Dua puluh menit sebelum pukul sembilan, pernikahannya. Patah hati, Ms. Havisham mengurung diri di dalam kastilnya, mematikan semua jam dan duduk di sebuah kursi di depan perapian hingga tua tanpa melepas gaun dan kerudung pernikahannya.

Hingga kemudian ia meninggal setelah ujung gaunnya terkena percikan api dari perapian. Iya, ini spoiler.

Yang mengurus kehidupan Ms. Havisham adalah anak angkatnya, Estella. Anak angkatnya lalu dititipkan ke pengacaranya dan kembali ketika Estella sudah dewasa. Anak angkatnya tumbuh menjadi perempuan cantik, dan Miss Havisham mengajarinya untuk mematahkan hati setiap pria yang menyukainya.
But as she grew, and promised to be very beautiful, I gradually did worse, and with my praises, and with my jewels, and with my teachings, and with this figure of myself always before her a warning to back and point my lessons, I stole her heart away and put ice in its place.
Lalu, well, tidak ada akhir yang bahagia untuk novel berjudul Great Expectations ini. Miss Havisham mati setelah menderita luka bakar, Estella menikah dengan pria yang tidak dicintainya hanya karena ingin membuat Pip, pria yang jatuh cinta padanya patah hati (dan berhasil, Pip mengalami penderitaan yang sama seperti Miss Havisham, membuat perempuan itu tersentuh dan meminta maaf)

Sejak awal hingga pertengahan novel ini bercerita tentang Pirrip -Pip- dengan sudut pandang orang pertama serba tahu. Sampai akhirnya Pip bertemu dengan Estella dan darinyalah kisah tentang ibunya, Miss Havisham meluncur. Dickens, seolah ikhlas membiarkan Pip sang tokoh utama tidak menjadi semenarik Miss Havisham. Sebab setelah membaca Great Expectations, yang akan senantiasa diingat adalah Miss Havisham, bukan Pip.

Dan konon miss Havisham adalah tokoh nyata bernama Eliza Emily Donnithorne (1827–1886) dari sydney. Ia ditinggalkan di altar pada hari pernikahannya. Emily menutup semua jendela dan duduk diam dengan tetap mengenakan gaun pengantin sementara makanan dan kue untuk pesta dibiarkan membusuk. Namun sebuah pintu, yang kerap digunakan calon pengantin prianya saat datang ke rumah Emily, dibiarkan terbuka. Dengan harapan pria yang dicintainya itu akan kembali dan menikah dengannya.

Cocok dibaca sambil tiduran dengan perut dalam keadaan kenyang. Kalau bisa konsen membaca sambil mendengarkan musik (saya ga pernah bisa berlaku seromantis itu, selalu bubar konsentrasinya) cobalah lagu lagu klasik semacam nomor nomor waltz dan tentu saja, Eleanor Rigby-nya the Beatles.

Sunday, January 20, 2013

Kedip Lampu Temaram Berkedok Bintang

Hidup semakin membelitkan misteri alih alih memperjelas satu-dua hal seiring pertambahan usia. Iya, soal nani bertambah tua sudah menjadi sama menjemukannya dengan berita banjir di televisi. Tapi sungguh, saya terlalu galau untuk peduli.

Pagi tak ubahnya menjadi ritme kacau berupa jeritan alarm diikuti ketergesa gesaan mandi-mengenakan pakaian-makan demi mengejar pekerjaan yang sama kacaunya dengan peta jodoh saya. Siang berupa lenguhan panjang mengantuk yang berujung pada ketergesa gesaan serupa saat jam istirahat usai. Begitu seterusnya sampai.. kapan?

Saya sempat menulis soal ini, tentang kehidupan yang menitipkan tuntutan tuntutan kepada manusia hingga akhirnya ia menuntut dirinya sendiri untuk begini dan begitu. Agar pas dalam porsinya sebagai manusia di muka bumi.

Untuk mencari dan mencari hingga menemukan rasa cukup. Settle. Namun kehidupan sesungguhnya berjalan berdasarkan pencarian itu.

Maka jelas sudah. Rasa cukup hanya bisa dicapai ketika mati. Dan yang mengklaim dirinya telah cukup sebenarnya masih mencari kematian itu sendiri.

Tuesday, January 15, 2013

Keluh Pertama di Pertengahan Januari

Di sela sela gempita warga kota Sampit lantaran anak wakil bupatinya dinikahi artis sinetron, sayur dan cabai naik ke titik tak tertolelir. Gelombang tinggi dan kapal tidak bisa melabuh. Petani lokal kewalahan memenuhi kebutuhan warga kota sehingga untuk sekedar cabaipun, harus didatangkan dari Jawa. Lalu, untuk apa otonomi daerah jika dalam kenyataannya boro boro otonom, untuk urusan pangan saja masih harus disuapi daerah lain?

Masalahnya adalah, penduduk asli kalimantan tidak terbiasa menjadi petani penjual. Kebiasaan nomaden membuat mereka membuka lahan hanya untuk konsumsi sendiri dan sesekali dibarter untuk sekotak daun sirih dan perlengkapan kinang. Satu satunya harapan adalah petani transmigran. Ribuan orang luar pulau yang masuk ditempatkan di lokasi lokasi trans dan hasil pertanian merekalah yang berputar di pasar pasar kota.

Sepuluh tahun belakangan perkebunan kelapa sawit muncul layaknya jerawat di periode PMS. Hingga tahun 2010 saja tercatat lebih dari 40 PBS di kabupaten Kotawaringin Timur yang tersebar di 13 kecamatan. Lajur produksinya merata dari perkebunan di perbatasan Barito hingga pelabuhan CPO di Bagendang. 

Tentu diperlukan pekerja yang tidak sedikit jumlahnya agar perusahaan raksasa tetap berputar. Bisa ditebak, para transmigran berbondong bondong meninggalkan lahan pertanian dan menjadi buruh kelapa sawit. Upah harian 30 ribu rupiah, tunjangan hari raya, fasilitas hidup yang ditanggung (rumah rumah petak, listrik dan air) tentu jauh lebih baik dari berkilometer jarak dari kota, tanah gersang tanpa air dan listrik serta ketidakjelasan penghasilan.

Industri akan terus berkembang bagaimanapun juga. Kebutuhan enam milyar manusia terhadap minyak goreng dan sabun mandi bergantung pada perkebunan kelapa sawit. Namun pemerentah yang mengizinkan pembukaan berhektar hektar hutan untuk diganti dengan akar lemah elaeis yang tidak mampu menggantikan fungsi pohon pohon meranti untuk menahan banjir yang harus dipertanyakan.

Belum lagi suku dayak yang turun temurun tinggal di dalam hutan, membangun sandung tempat sanak saudaranya disemayamkan lalu tiba tiba diminta pindah setelah penggantian rugi seadanya dan kisruh soal legalitas istilah tanah adat. Di negara ini selembar kertas berlabel sertifikat bertanda tangan pemerentah jauh lebih berguna tinimbang fakta bahwa tulang belulang nenek moyang yang terkubur di dalam tanah.

 Lalu yang tinggal di pusat pemerintahan kabupaten kocar kacir kebanjiran setelah berpuluh puluh tahun rumahnya kering di semua musim. Tidak mengkonsumsi cabai dan bawang merah dan stress lantaran daging sapi mencapai 120 ribu setiap kilonya. Dengan semua sengsara sebagai efek dari kebijakan sepihak, apa lagi alasan untuk tidak membubarkan negara?

Thursday, January 10, 2013

Panduan Menjadi 21

Yang berpengharapan lebih terhadap orang lain dan Tuhan, kalau mau banyak berharap maka belajarlah soal ini; menelan rasa kecewa. Kalau ndak bisa ya sudah, berhenti berpengharapan lebih dan mulai tuntut diri untuk melakukan sebanyak banyak hal sendiri.

Doyan menyalahkan pemerentah atas ketiadaan ruang publik, wadah nyaman untuk bermain bola dan taman rindang nan penuh penjaja kue tetek? Ciptakan ruang untuk diri sendiri dan berangkatlah dari sana. Kenyamanan ruang tidak dimulai dari pembesar yang membebaskan tanah lapang. Lagian seberapa sering sih situ menggunakan ruang publik? seminggu sekali di Sabtu sore selama sekurang kurangnya 2 jam?

Yang mengaku optimis tapi tak kunjung membawa pencerahan. Eh gapapa deng. Tetaplah optimis, dunia memerlukan lebih banyak pajangan yang senyam senyum cengo buat menutupi erang kelaparan di belakang sana.

Kalau ga bisa jadi orang baik, sekurang kurangnya cobalah lebih kuat untuk tidak menjadi jahat. Kejahatan tertinggi itu adalah menyakiti dan merugikan orang lain tapi mengira sudah melakukan kebaikan. Karenanya hidup harus senantiasa sadar. Dunia ini ga lebih dari akuarium raksasa berisi vodka. 

Jangan banyak bicara hal yang tidak perlu sebab dendam susah hilang. Kalau kesel, tulis di kertas, bukan media sosial lalu bakar. Masih kesel? get a life. Ketenangan datang dari diam, bukan gemuruh murka. Hanya orang tanpa kehidupan yang membiarkan dirinya berotasi pada secuil kesal.

Kalau sudah tau tidak mampu, jangan pamer. Apalagi menawarkan diri hanya untuk dianggap mampu atau malah demi menyenangkan hati orang lain. Ingat, kejahatan tertinggi adalah melakukan kejahatan tapi mengira sudah melakukan kebaikan  Repot adalah mengerjakan sesuatu yang tidak dikuasai. Orang dengan kemampuan tidak akan pernah merasa overwhelmed.

Egois? ini adalah teknik dasar CPR. Selamatkan diri sendiri sebelum menyelamatkan orang lain. Senang sebelum menyenangkan. Bahagia sebelum membahagiakan. Damai sebelum mendamaikan. Saat tenggelam, tidak ada yang mengharapkan bantuan dari seseorang yang tidak bisa berenang. There's a thin line between helpful and stupid.

Ada empat tahun tersisa sebelum quarter life crisis dimulai. Perbanyaklah logika soal proyeksi ke depan. Jangan terjun sebelum berfikir, sebab selain tidak bisa berenang, tidak ada satupun orang yang mati dalam keadaan cantik saat tenggelam. Kembung bengkak busuk digigitin makhluk laut.

Jadilah jujur karena hidup dengan kebohongan itu berat. Termasuk di dalamnya, berbohong kepada diri sendiri. Bersikap spontan namun bersifat banyak pertimbangan dan jangan dibalik. Penyesalan bukan tambahan yang baik untuk menjalani hidup. Alasan harus selalu datang bersama keputusan. Alasan yang diciptakan setelah keputusan diambil tidak lebih dari upaya pembenaran diri. Ia hanya akan membuat dirimu terlihat menyedihkan.

Terakhir, kamu tidak berada di kehidupan siapa siapa kecuali kehidupanmu sendiri. Jadi segeralah keluar dari rumah dan miliki hidupmu sendiri.

Resolusi 21

Tahun lalu saat menggenapi usia menjadi kepala dua, saya tidak banyak berprasangka soal seperti apa hidup akan menjadi setelahnya. Setahun lalu saya berada di pencapaian tertinggi karenanya tanpa banyak watir dan keluh, saya senyam senyum saja melewati usia 20 dengan optimisme yang tingginya melebihi kepala saya.

Maka 10 Januari kali ini menjadi titik balik. Ketika semua rencana sudah tersusun matang tanpa cela, saya dengan kesadaran penuh memutar balik, merevisi dan mencentang hal hal yang sudah saya temui jawabannya untuk kemudian menjadi putusan untuk tidak meneruskan resolusi resolusi saya di tahun tahun silam.

Soal resolusi resolusian ini kian menjadi sejak saya kehilangan wadah untuk berbicara soal ingin dan keluh. Selain menuliskannya di blog, tidak banyak yang mampu saya lakukan untuk menunaikan ibadah manusia modern; curhat sekaligus pamer.

Jadi beginilah kira kira pencapaian saya di tahun silam;
  1. Keluar pulau dan tinggal di kota besar
  2. Bertemu dengan orang orang hebat
  3. Ke Bandung dan nonton Bandung Berisik
  4. Menulis untuk majalah yang dibaca penduduk Jakarta
  5. Berbicara hal hal gombal dengan audiens nyata yang mengerti
Resolusi 21;
  1. Berkompromi dan mencari pekerjaan baru
  2. Mundur selangkah dan berhitung kembali sebelum memutuskan untuk melakukan loncatan besar
  3. Moving out. Keluar dari rumah dan mencoba untuk menghidupi diri sendiri. Sekaligus mematahkan persepsi bahwa satu satunya alasan untuk meninggalkan rumah adalah dengan menikah
  4. Masuk TV
  5. Jatuh cinta
  6. Terus menulis
  7. Dan tentu saja, masih New York.
Selamat menjadi 21, Nani.

Monday, January 07, 2013

Ketahanan Pangan dan Stabilitas Negara

Negara ini tidak perlu menjadi kaya. Tidak perlu menjadi makmur. Sebab simpulan kaya dan makmur kerap diambil dari lingkar dalam ibukota dan apa yang terlihat di televisi. Kita melihat deretan iklan properti dengan harga milyaran ditawarkan secara kredit ratusan juta seolah punya rumah semewah itu sama nilainya seperti kreditan panci. Sebab pemandangan ini diperlihatkan setiap hari, maka diam diam kita mengamini bahwa negara ini dalam keadaan baik baik saja.

Negara ini hanya perlu menjadi stabil. Tanpa kesenjangan strata sosial yang terlampau melambung. Stabil dalam pemerataan pendidikan, perputaran subsidi, dan bantuan bantuan pemerintah. Masih ingat program raskin? pembagian beras dengan harga murah  ini sudah berhenti sejak tahun lalu. Kenapa bangsa yang dulunya swasembada beras ini sampai harus disubsidi beras impor dengan label denotatif berupa beras miskin?

Pertanian tidak stabil, gagal panen musim kering sementara solusi irigrasi yang memadai tak kunjung keluar dari dinas pertanian dan peternakan. Ditambah penduduk desa sudah ogah jadi petani, padi mereka tidak dihargai setimpal di tangan tengkulak untuk alasan biaya transportasi ke kota melambung tinggi. Urusan beras berkelindan dengan BBM. Mending jadi buruh di Jakarta dengan UMK 1,2 juta atau royo royo jadi TKI ke luar negeri.

Atau ini, Bantuan Langsung Tunai. Pemberian uang tunai ke rakyat miskin ini digelar dalam rangka mengatasi kenaikan bahan makanan. Sejak 2010 program ini dihentikan padahal kemarin saya main ke pasar harga ayam negeri tembus 35 ribu perkilogram. Lalu apa yang bisa diharapkan dari program pemerentah lain seperti Jamkesda dan Jamkesmas?

Sistem kerja Jaminan Kesehatan Masyarakat ini seperti kita ngutang dengan RSUD. Tapi nantinya akan dibayar pemerentah melalui Askes. Mari kita lihat sampai kapan program seperti ini bertahan dengan hutang rumah sakit yang kian membengkak sebagai akumulasi dari Jamkesmas. Untuk Jamkesda dan Kartu Jakarta Sehat, pembayaran klaim rumah sakit dibebankan pada APBD daerah masing masing. Walau ujung ujungnya dari duit APBN juga.

Apakah program ini berhasil? jika asumsi 'berhasil' diambil dari definisi pemerentah, bisa jadi iya. Sebab dari segi serapan ke masyarakat dan anggaran yang ludes disalurkan, memang memenuhi target. Masalahnya, kita diajak lupa untuk mengetahui bahwa definisi berhasil yang sebenarnya adalah menstabilkan hidup masyarakat. Kondisi stabil tentu lebih baik dibanding seminggu pesta pora lalu lapar sebulan kemudian, bukan?

Harga makanan yang semakin tinggi adalah imbas dan akan berimbas ke banyak hal. Harga BBM, infrastruktur jalan yang ajrut ajrutan, banyaknya pos distribusi, hingga kesulitan memenuhi gizi. Saya kira, solusi paling awal untuk menstabilkan negara ini adalah dengan menurunkan harga makanan seterjangkau mungkin. Selama susu, daging, buah dan sayur masih menjadi komoditas mahal, maka sulit untuk bergerak dan membuat hidup lebih berkualitas.

Naif memang jika ingin membandingkan rasio harga makanan di indonesia dan di amerika, tapi gemes rasanya melihat warga miskin di sana bisa tinggal di apartemen dua kamar dan makan makanan lengkap setiap hari dengan dibantu jaminan sosial. Sementara di sini, warga kelas bawah tetap menikmati petak 3 kali 6 dibagi dua dan makan daging setahun sekali setelah berjejal mengantri saat idul adha. Dengan atau tanpa serunut bantuan pemerentah.

Jika dengan gaji buruh, katakanlah 1,2 juta sebulan digunakan untuk membeli makanan lengkap, berapakah sisanya? mari berhitung dan katakan jika ada sisa untuk sekedar menabung dana pendidikan. Negara ini tidak kekurangan sapi, tidak kekurangan padi. Kita cuma kehilangan semangat untuk terus bergerak. Sebab seberkeringat apapun, harga akan terus naik dan upah minimun tetap dibayarkan seminimum mungkin. Sementara dalam televisi, rumah rumah mewah dijual dengan harga milyaran dan ditawarkan secara kredit ratusan juta seolah punya rumah semewah itu sama nilainya seperti kreditan panci.

Jadi sebelum melangkah ke persoalan pemerataan pendidikan, jaminan kesehatan hingga penjualan mobil elektrik mewah bikinan Indonesia, mari kembali ke persoalan paling pelik namun dihadapi setiap hari; pengentasan lapar dan kecukupan gizi.

Nani, setelah beli sebungkus nasi campur seharga 12 ribu.