Negara ini tidak perlu menjadi kaya. Tidak perlu menjadi makmur. Sebab simpulan kaya dan makmur kerap diambil dari lingkar dalam ibukota dan apa yang terlihat di televisi. Kita melihat deretan iklan properti dengan harga milyaran ditawarkan secara kredit ratusan juta seolah punya rumah semewah itu sama nilainya seperti kreditan panci. Sebab pemandangan ini diperlihatkan setiap hari, maka diam diam kita mengamini bahwa negara ini dalam keadaan baik baik saja.
Negara ini hanya perlu menjadi stabil. Tanpa kesenjangan strata sosial yang terlampau melambung. Stabil dalam pemerataan pendidikan, perputaran subsidi, dan bantuan bantuan pemerintah. Masih ingat program raskin? pembagian beras dengan harga murah ini sudah berhenti sejak tahun lalu. Kenapa bangsa yang dulunya swasembada beras ini sampai harus disubsidi beras impor dengan label denotatif berupa beras miskin?
Pertanian tidak stabil, gagal panen musim kering sementara solusi irigrasi yang memadai tak kunjung keluar dari dinas pertanian dan peternakan. Ditambah penduduk desa sudah ogah jadi petani, padi mereka tidak dihargai setimpal di tangan tengkulak untuk alasan biaya transportasi ke kota melambung tinggi. Urusan beras berkelindan dengan BBM. Mending jadi buruh di Jakarta dengan UMK 1,2 juta atau royo royo jadi TKI ke luar negeri.
Atau ini, Bantuan Langsung Tunai. Pemberian uang tunai ke rakyat miskin ini digelar dalam rangka mengatasi kenaikan bahan makanan. Sejak 2010 program ini dihentikan padahal kemarin saya main ke pasar harga ayam negeri tembus 35 ribu perkilogram. Lalu apa yang bisa diharapkan dari program pemerentah lain seperti Jamkesda dan Jamkesmas?
Sistem kerja Jaminan Kesehatan Masyarakat ini seperti kita ngutang dengan RSUD. Tapi nantinya akan dibayar pemerentah melalui Askes. Mari kita lihat sampai kapan program seperti ini bertahan dengan hutang rumah sakit yang kian membengkak sebagai akumulasi dari Jamkesmas. Untuk Jamkesda dan Kartu Jakarta Sehat, pembayaran klaim rumah sakit dibebankan pada APBD daerah masing masing. Walau ujung ujungnya dari duit APBN juga.
Apakah program ini berhasil? jika asumsi 'berhasil' diambil dari definisi pemerentah, bisa jadi iya. Sebab dari segi serapan ke masyarakat dan anggaran yang ludes disalurkan, memang memenuhi target. Masalahnya, kita diajak lupa untuk mengetahui bahwa definisi berhasil yang sebenarnya adalah menstabilkan hidup masyarakat. Kondisi stabil tentu lebih baik dibanding seminggu pesta pora lalu lapar sebulan kemudian, bukan?
Harga makanan yang semakin tinggi adalah imbas dan akan berimbas ke banyak hal. Harga BBM, infrastruktur jalan yang ajrut ajrutan, banyaknya pos distribusi, hingga kesulitan memenuhi gizi. Saya kira, solusi paling awal untuk menstabilkan negara ini adalah dengan menurunkan harga makanan seterjangkau mungkin. Selama susu, daging, buah dan sayur masih menjadi komoditas mahal, maka sulit untuk bergerak dan membuat hidup lebih berkualitas.
Naif memang jika ingin membandingkan rasio harga makanan di indonesia dan di amerika, tapi gemes rasanya melihat warga miskin di sana bisa tinggal di apartemen dua kamar dan makan makanan lengkap setiap hari dengan dibantu jaminan sosial. Sementara di sini, warga kelas bawah tetap menikmati petak 3 kali 6 dibagi dua dan makan daging setahun sekali setelah berjejal mengantri saat idul adha. Dengan atau tanpa serunut bantuan pemerentah.
Jika dengan gaji buruh, katakanlah 1,2 juta sebulan digunakan untuk membeli makanan lengkap, berapakah sisanya? mari berhitung dan katakan jika ada sisa untuk sekedar menabung dana pendidikan. Negara ini tidak kekurangan sapi, tidak kekurangan padi. Kita cuma kehilangan semangat untuk terus bergerak. Sebab seberkeringat apapun, harga akan terus naik dan upah minimun tetap dibayarkan seminimum mungkin. Sementara dalam televisi, rumah rumah mewah dijual dengan harga milyaran dan ditawarkan secara kredit
ratusan juta seolah punya rumah semewah itu sama nilainya seperti kreditan panci.
Jadi sebelum melangkah ke persoalan pemerataan pendidikan, jaminan kesehatan hingga penjualan mobil elektrik mewah bikinan Indonesia, mari kembali ke persoalan paling pelik namun dihadapi setiap hari; pengentasan lapar dan kecukupan gizi.
Nani, setelah beli sebungkus nasi campur seharga 12 ribu.