Thursday, June 06, 2013

Featured : Zine Late For School #3

Penampakan LFs #3 setelah difisikkan
Beberapa waktu lalu saya menemukan Late for School melalui twitter. Kini, sebulan berselang merekapun merilis edisi ketiga. Yang dibahas edisi kali ini adalah curhatan galaw para editor pemilukada yang bakal digelar 2014 kelak. Edisi #3 mengandeng beberapa kontributor yang cukup untuk mem-boost halaman hingga berjumlah delapan. 

Tak seperti edisi sudah sudah, kali ini mereka sengaja merilis dalam versi .pdf printable. Jadi, kalau dibaca via .pdf, lumayan njelimet. Versi fisik akan segera beredar di Bloodshine Merch Jl. Ki Hajar Dewantara depan SMKN PGRI. Atau download di sini

Saya mendapat kehormatan untuk turut menulis dalam zine ini.
Click to enlarge

Paradigma Kebebasan Kotak Suara
/Sejak awal, pemilihan umum adalah akumulasi lawak sarat/ dimana birokrat, tengkulak, cukong dan militer bersejawat/

Konon, kita telah memasuki masa modern. Di mana demos dan kratos sudah diterapkan pada nyaris seluruh belahan dunia. Demokrasi menjadi bahasa modern, sebab bahasa bahasa lain sudah menemui titik kadaluarsa dan tidak lagi efisien.Haram hukumnya jika kita tak berbondong-bondong memuja berhala modern bernama kebebasan. Kebebasan memilih, meski dibatasi pilihan hasil olahan kapitalis yang berdalih telah menegakkan fatwa soal verifikasi dari persetujuan para petinggi.

Efisiensi demokrasi sesungguhnya patut dipertanyakan.Terutama terhadap negara seluas Indonesia.Seberapa banyak kertas, kotak suara, celupan tinta dan pengadaan komputer untuk pemilu elektronik yang dihabiskan hanya untuk sebuah hajat lima tahunan yang digelar bergerinjal di hamparan nusantara. Lantas terdengar sayup korporasi pencetak, penyedia tinta, suplier kotak suara yang berbahagia setelah menang tender ratusan juta.Di atas semua itu, rakyat pemilik suara musti legowo menerima kemungkinan penggelembungan suara, invaliditas pencoblosan dan harapan harapan yang tak terpenuhi. 

Lalu negara membangun pengawas pemilu, menunjuk tim investigasi, lalu KPK, dan seterusnya, dan seterusnya. Demokrasi yang konon merupakan produk modern –meski telah melalui peradaban ribuan zaman- itu, toh harus tunduk jua pada sistem olahan manusia manusia mutakhir bernama birokrasi. Pemilukada Seruyan menuai harapan sekaligus pembuktian.Bahwa roda kekuasaan serikat keluarga Darwan Ali bisa dihentikan dengan terpilihnya pasangan independent yang merogoh 53 persen suara. Harapan bahwa pemimpin baru bisa memberikan kemakmuran yang diidamkan, sekaligus pembuktian bahwa masyarakat kian cerdas dalam memilih pemimpinnya.

Sebentar. Cerdas? Apa yang menjamin bahwa birokrasi berbelit perkara kepengurusan izin, akses peradilan dan kesehatan akan terurai menjadi lebih singkat dengan terpilihnya pemimpin baru ? Ini sebenarnya semacam ilusi Jokowi, ilusi pembangunan citra dan sorotan berlebih terhadap kesuksesan program program non prioritas. Semacam ibadah televisi. Berhala rating dan deretan saf panjang menuju pemuaraan persepsi.

Atau rakyat yang sedemikian lemah daya tahannya, hingga ketika digempur oleh janji dan iming-iming soal pendidikan gratis, akses kesehatan mudah dan kemakmuran merata menjadi tak ubahnya oase di selatan Ujung Pandaran yang amit-amit gersangnya luar biasa. Sekarang warga Kotim bisa menikmati perwujudan tahun ketigadari permakmuran merata dan pendidikan gratis. Berupa patung ikan senilai 40 miliar.

Dan lupakan soal e-KTP saya yang nyasar entah kemana berkat kusutnya sistem distribusi dari para camat melalui lurah dan ketua RT. Jangan bahas soal antrian panjang BBM, para pengecer minyak tanah yang terancam kehilangan pekerjaan dan melambungnya harga bawang. Semua itu bisa terentaskan dengan sibuknya bupati menyusun jadwal debat terbuka atas pembangunan patung ikan seharga 40 miliar. Beserta bonus tempat wisata. Percayalah, kita ini tengah bergerak cepat membangun Kotim.
@bakunins
Semoga edisi #4 tak berjeda terlalu lama yaaa :D
Support our local scene!


Wednesday, June 05, 2013

Kemungkinan Itu Bernama New York

Taken from here
Pergi dan berkehidupan di New York adalah keinginan terbesar dari sekian keinginan keinginan besar yang saya punya. Untuk menjadi newyorker, untuk berjalan di pagi hari lalu membeli roti untuk sarapan, atau duduk di bangku taman di suatu musim semi. Menjalankan hidup, dan menjadi hidup. Walau hingga sekarang saya belum tau apa definisi hidup itu sendiri. Sejak saya paham bahwa tidak ada yang salah dari bermimpi (yang mengada ada sekalipun), keinginan itu masih sama besarnya. Masih menjadi alasan untuk bergumam gumam dalam bahasa inggris di kamar mandi. Alasan, untuk terus mengayuh ingin dan usaha untuk bisa ke sana. Entah bagaimana.

Lalu pagi ini saya bangun tidur dengan beberapa kemungkinan untuk bisa sampai ke New York;

Scholarship
Ini adalah alasan mengapa saya belajar sedemikian kerasnya hingga lolos masuk ke SMA terfavorit kala itu. Penyebab kantuk bermalam malam untuk menghapal tensis dan verb agak kelak ketika saya melanjutkan ke perguruan tinggi jurusan ilmu bahasa inggris, saya bisa melenggang gampang dan mendapatkan scholarship untuk pertukaran pelajar. Sayangnya saya tak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi untuk alasan biaya. Dua bulan setelah mendapat ijazah saya mulai bekerja dan hingga sekarang, biaya itu tak pernah cukup. Mungkin beasiswa bukan jalan saya untuk pergi ke New York. Meski demikian, sekurangnya saya sekarang bisa berbahasa inggris dan bekerja di tempat yang baik

Paket Wisata
Ini kemungkinan paling mudah. Biaya tur ke New York selama sembilan hari kurang lebih USD 2.400. Semudah menabung selam dua tahun dan semestinya saya bisa berangkat saat ulang tahun ke duapuluh dua. Tapi posisi New York dalam kepala saya kadung menjadi wadah untuk berkehidupan. Untuk berjalan kaki di pagi hari dan membeli sarapan, untuk duduk di bangku taman saat musim semi. Bukan berlari lari kecil diburu jadwal tur dan berfoto sekenanya lalu pulang, kembali.

Green Card / Working Visa
Sejak Adam Levine memposting foto dirinya bersama mbak Ani, pembantunya, saya semacam mendapat pencerahan. Bahwa masih ada kemungkinan untuk tinggal di New York. Dengan menjadi pekerja di sana. Ini mungkin konyol, saya sebegitunya ingin berada di New York hingga tidak mempermasalahkan jika kelak bekerja menjadi babu di sana. Tau standar gaji housekeeper pemegang working visa? USD 3.500, nyaris 34 juta selama satu bulan. Uang segitu cukup untuk menyewa apartemen studio, makan normal satu bulan dan tiket bis. Selebihnya kita lihat nanti.

Rabu Siang, dalam browsing agen penyalur tenaga kerja ke Amerika