Saturday, December 31, 2011

Resolusi 20

taken from here
Kali ini saya tidak memikirkan resolusi spesifik-lenjeh-dramatik seperti biasanya. Baik untuk tahun baru dan ulang tahun ke 20, sepuluh hari lagi. Bukan menjadi pesimis atas kemungkingan tidak terwujudnya resolusi itu, tapi lebih kepada saya sudah sangat cukup puas dengan apa yang saya punya sekarang. 

Tapi tentu saja, pada dasarnya saya adalah Nani yang selalu berpengharapan sangat tinggi. Dan semoga berkekuatan cukup untuk mengejar harapan itu lebih giat lagi. Menghadapi usia 20, menuju kepala dua, menjadi ketakutan tersendiri buat saya. Saya yang belum mampu merendahkan suara dan tidak terlalu bersemangat saat menguntai cerita, belum mampu mengimbangi percakapan orang orang sekitar saya, belum menjadi apa apa...

Sisi baiknya, saya berusia 20 tahun dan sekarang sudah di Jakarta. Memiliki pekerjaan yang (sepertinya) bisa menghidupi saya. Terlepas dari kausal terakhir, hey, saya di Jakarta! imajinasi terjauh sudah direngkuh, saya tidak punya banyak alasan untuk mengeluh terhadap hidup. 

Seperti resolusi resolusi sebelumnya, saya menutup postingan kali ini dengan sederet harap. Semoga saya bisa bekerja dengan lebih baik, menahan kangen terhadap rumah dengan lebih baik lagi, semoga dapet pacar #eaaaaa, semoga 9gag engga menjarah jiwa saya lebih jauh lagi...

semoga semuanya berjalan dengan baik baik saja, dan lebih baik lagi


Thursday, December 29, 2011

Politik

Ayahku tahanan politik. Usianya 39 tahun kala namanya muncul di media nasional. Di ulang tahunnya yang ke 40, ayahku dihukum mati. Kalimat terakhirnya yang kurekam adalah "Aku mati bukan karena politik, aku hanya kurang restu" 

Ibu merupakan orang yang paling terpukul atas kematian ayah. Ia mengutuk politik yang telah menjadikannya janda. Politik adalah hal terbusuk yang pernah ada, ia menggerogoti setiap jiwa lalu membunuhnya dengan semena mena. Di mata ibu, politik berwujud serupa monster, mungkin zombie. Sebab zombie membunuh, memakan dan menggerogoti.

Aku beranjak dewasa, keingintahuanku atas politik semakin besar. Bukan sebagai tataran zombie versi ibu, bukan pula dalam konteks pembunuh ayah. Aku ingin tahu mengapa poliyik begitu membius, hingga seorang pria tinggi besar dan berpendirian kuat seperti ayahku, terhasut.

Di suatu senja, ibu berteriak senyaringnya "Jangan sakiti ibumu seperti ini. Cukup ayah yang dibawa pergi." tangisnya membanjir. Tapi aku tetap pergi, belajar politik di benua seberang. Lama sekali, bertahun tahun aku tidak pulang. Pun memberi kabar. Sekali suratku terpulangkan, ibu tak sudi membaca rentetan kata pemberi kabar dari seorang anak pembangkang.

Tapi hasratku tak bisa dibendung, rasa ingin tahuku meninggi. Selama belajar aku mengalami kekaguman luar biasa. Politik adalah tempat di mana aku bisa didengar, memiliki ideologi sendiri dan bahkan, menularkan pandangan itu kepada orang lain. Kawanku bertambah banyak, dan semuanya sepaham denganku. Sungguh, politik menjadi semacam surga.

Kepulanganku tanpa hadir ibu. Tetangga bilang beliau sudah berpindah, ke tempat yang jauh, tidak jelas di mana. Aku kehilangan fokus mencari ibu saat seorang di pemerintahan mengajakku bergabung. Akupun berpolitik. Bermain politik, menjadi politik. Beberapa tahun seusainya, aku berhasil menemukan ibu berkat kawan kawan intelku.

"Saya kangen ibu," Ibu mendelik, beliau sulit percaya sebab wajahku terlalu sumringah untuk seseorang yang tengah merindu. Wajahku memang aneh belakangan ini, mungkin lantaran senyumku selalu berlebihan. Senyum itu berharga banyak, untuk menunjukkan keramahan pada calon pemilih, petinggi, penguasa.. atau mungkin aku terlalu sering melihat senyumku sendiri di papan papan besar pinggir jalan.

Tapi ibu tetap memelukku. Sebenci apapun beliau terhadap politik yang sudah menjadikannya janda, aku tetaplah anaknya. Bertahun tahun kemudian ibu selalu hadir dalam kepentingan politikku. Ia berdiri di belakangku saat pidato, saat aku menjadi ketua partai. 

Ia juga hadir, tersenyum, saat aku menjadi presiden.

Tahun berlalu dan hubunganku dengan ibu baik baik saja. Aku bahkan sudah menarik kesimpulan bahwa kebenciannya terhadap politik sudah sirna. Aku memang tak mampu menghapus status jandanya, tapi setidaknya aku memberinya rumah besar dengan banyak pelayan untuk diajak bicara. Sehingga ia tidak benar benar kesepian. Yang aku tidak tau, sediam apapun ibu atas ulahku, ia tak pernah setuju aku berkawan dengan politik.

Di suatu sore, aku ditawan. Dalam sebuah bangsal di pulau buangan aku diinterogasi. Tentang keinginan terselubungku mengubah haluan negara. Mengkiblatkan ideologi ke muka benua asing tempatku bersekolah dulu. Aku tak mampu melawan, sebab itu ada benarnya walau tak sepenuhnya benar. Lagipula, dengan semua ikatan dan siksaan itu, tak sanggup rasanya aku melawan. Bersuarapun tidak, lidahku telah diiris oleh catut dan bayonet..

Usiaku menjelang 35 saat media nasional mendengungkan namaku berminggu minggu. Enam bulan setelahnya, puluhan bersenjata berbaris di depanku tepat sebelum kantong berwarna hitam membungkus kepalaku. Aku tau aku akan mati. Presiden termuda akan dieksekusi mati. Entah insting apa. aku seperti melihat ibu di atas genting. Walau kutau, sungguh, itu mustahil adanya.

Semua prejudis ibu akan politik menguar. Namun aku tetap anaknya yang bandel. Aku tersenyum dan menggumam gumam..

"Aku mati bukan karena politik, aku hanya kurang restu"

Dan rupanya, itu kalimat terakhir yang direkam anak lelakiku.

Jakarta, 29 Desember 2011.

Monday, December 26, 2011

Mereka Tidak Lagi Membaca Koran

"Kulihat di koran, orang orang saling membunuh" ujarnya, suatu pagi saat sepucuk koran kupungut dari halaman depan selepas dilempar dengan penuh emosi oleh pengantar koran yang sepertinya hari ini lagi lagi anaknya terancam tak makan.

"Oh ya?" kubalas dengan tatapan biasa seperti biasa seperti pagi pagi biasa yang kami lewati dengan biasa di teras biasa tempat kami berbincang biasa sebelum akhirnya kami memutuskan untuk berkemas dan berangkat bekerja. Seperti biasa.

Ia menepis tangannya sendiri, merebut koran dari genggamanku. Dibentangnya halaman pertama, aku berdesis, jijik.

Dari dalam koran keluar darah, menetes netes merah kehitaman. Darah terus mengalir hingga menggenang di ubin teras kami yang berwarna abu abu. "Apa ini?!" Pekikku nyaring saat tangannya terus membolak balik halaman koran yang sempat kukepit itu. Darahnya terus mengalir, warnanya kian pekat, teras kami banjir darah. Aku menjerit naik ke atas kursi. Kupukul pukul lengannya yang duduk sambil membuka buka koran di sampingku. Wajahnya datar, darah menggenang semata kaki.

"Ini darah" Jawabnya singkat, kini diremas remasnya koran hingga membentuk bulatan, lantas melemparkannya menembus pagar rumah kami. Tangannya berlumuran darah, tapi tak diindahkannya, ia malah menjumput kue kering yang kubawakan untuknya. "Koran itu darah" lanjutnya sambil mengunyah.

Aku bisa melihat darah yang menggenang semata kaki di teras kami. Menggenang begitu tenang, tanpa riak. Ia menyeruput teh yang kuseduh, kakinya berkecipak, memainkan genangan darah. Matanya menerawang jauh, menembus pagar dan menuju gumpalan koran yang ia lempar .

"Atas nama apa saja, manusia bisa membunuh sesamanya.." ia mendesah kali ini. Aku menatap jemari kakiku sendiri yang terlipat di ujung kursi, masih jijik dengan genangan darah di teras kami. "Apa maksudmu?"

"Aku melihatnya, kemarin sepulang bekerja, senja menggantung dan seorang perempuan terjun dari jembatan penyeberangan," ia menyeruput kopinya, menghela nafas. Begitu kuat hingga menimbulkan riak pada genangan darah di mata kakinya.

Dalam helaan lain ia menguntai kalimat "Dari atas jembatan aku melihat darah yang mengalir dari hidung, telinga, mulutnya tak berapa lama setelah ia menghantam aspal. Lalu dua mobil menggilasnya hingga jalanan benar benar terkejut dan berhenti berlari,"

"Dia mati, tentu saja." telunjuknya mengarah jauh "Dan itu, merekamnya. Merekam tubuh wanita muda yang terjun dari jembatan penyebrangan dengan rentetan kalimat dan foto tanpa sensor etika"

Aku tiba tiba menggigil. Setengah bergidik. Betapa lembaran kertas itu sudah merekam banyak nyawa..

Thursday, December 22, 2011

Perpindahan

Saya tidak pernah benar benar mengerti tentang konsep transformasi. Apa yang sesungguhnya telah berubah, atau diubah, atau setidaknya, yang dicoba untuk dirubah. Saya juga kesulitan memahami apakah saya benar benar telah mengalami fase perubahan. Setidaknya dangan banyak sekali resolusi dan harapan harapan untuk berubah, saya -seharusnya- sudah menjadi sesuatu yang lain. Tidak sepenuhnya menjadi asing. Tapi.. berubah.     
Tapi jauh di dalam sana, saya merasa sama. Saya tetap menjadi individu yang tidak suka menjadi disukai. Menjadi orang yang tidak pandai berbicara. Saya tetap saya, hanya dalam wujud -ah ga juga, saya tetap sama seperti dulu. secara harfiah maupun analogi- dan sedikit gaya bicara.     
Yang berubah hanyalah titik. Layaknya hukum fisika yang merangkum tentang teori teori perpindahan, maka saya mengalami itu. Saya berpindah. Dari titik A ke titik B. 

Sesederhana itu.

Monday, December 19, 2011

Resensi Film: 3 Hati dua dunia, satu cinta


taken from here
“Dia cakep banget Cid, anaknya sopan lagi. Umi demen, tapi lu harus tau, dia beda sama kita…”

Perbedaan menjadi tema besar dalam film garapan Benni Setiawan (Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku) berjudul 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta ini. Seakan menegaskan tema tersebut, film ini merangkum begitu banyak perbedaan sepanjang 98 menit. Mulai dari status sosial, agama, suku, hingga kesenjangan pendidikan membuat Rosid (Reza Rahardian) dan Delia (Laura Basuki) harus berjuang sekuatnya untuk memenangi hati orangtua masing masing. Mampukah?


Meski memiliki tema yang cukup sensitif, film ini disajikan dengan ringan. Hadirnya lelucon segar yang disampaikan oleh beberapa cameo menggiring penonton untuk tidak mengerutkan kening untuk memahami drama yang dibangun.


Sosok Abah dalam film ini akan mencuri banyak perhatian. Karakter yang begitu polos sekaligus tegas (walau pada akhirnya, luluh juga) berhasil mengingatkan penonton pada perjuangan seorang ayah untuk memastikan anaknya bahagia (dalam film ini, standar “bahagia” Rosid adalah hasil reka sang Abah)


Sayang, upaya untuk menampilkan perbedaan sebagai pembalut film terkesan berlebihan. Rosid seakan hadir sebagai pembaharu ajaran islam yang begitu dibenci (adegan penyerangan ormas islam ke hunian Mahdi) namun sekaligus dianggap biasa saja (reaksi masyarakat selepas penyerangan)


Secara keseluruhan, film ini mampu mengangkat isu yang tengah ramai di negara kita ­–agama- dalam sebuah sajian romantis berbalut puisi puisi W.S Rendra. Sebuah tontonan yang menghibur dan memberikan pesan baik untuk mempertahankan ingin dan terus memperjuangkannya. (*)

Tuesday, December 13, 2011

Moving

Saya akan pindah ke Jakarta. Bekerja sebagai publicist di sebuah production house.
Yea, surprise!
Sabtu siang saya tiba di Jakarta, bertemu dengan orang orang baik yang membuat saya batal berburuk sangka tentang ibukota. Kawan kawan lama yang hanya saya kenal di dunia maya. Saya yakin setiap makhluk hidup memiliki instingnya sendiri. Saya, berpendapat bahwa walaupun mereka belum pernah saya temui dalam absensi fisik, mereka orang orang baik.
Dan selama di Jakarta, saya menemui simpulan bahwa pertemanan bukanlah soal intensitas hadir dan berbicara :D
Eniwei, Minggu sore saya bertemu dengan pemilik production house dan kami berbicara banyak. Long story short, saya diterima dan mulai bekerja Senin depan. Di Jakarta.
Hidup di Jakarta sudah masuk dalam bucket list saya sejak beberapa tahun lalu. Berbulan bulan belakangan saya semakin intens memikirkan probabilitas untuk hidup di Jakarta atau Bandung. Apapun, asal keluar dari kota kecil ini. Tidak ada yang salah dengan Sampit, tempat yang menghidupi saya sejak lulus SMA. Saya hanya berespektasi lebih tinggi. Tentang mimpi
dan keharusannya untuk dipenuhi. Saya ingin hidup dari apa yang saya sukai.

Jadi, mari menyilangkan jari dan doakan saya akan baik baik saja!

Tuesday, December 06, 2011

Kepala Sang Demonstran

Rumah sakit itu tiba tiba terkenal. Seorang dokternya berhasil menemukan cara untuk melihat isi pikiran manusia. Dokter itu hanya perlu memenggal kepala orang yang sudah mati (atau yang masih hidup pun tak apa, kalau dia memang benar benar ingin dilihat isi pikirannya). Dokter itu kemudian menjadi sangat terkenal. Banyak kasus pembunuhan berantai dan perampokkan yang memakan nyawa bisa diselesaikan berkat tampilan gambar dari kepala korban.

Apa yang dilakukan si dokter sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Banyak dukun dan jejampi kampung yang bisa melakukan hal serupa. membaca isi kepala orang. Tapi si dokter menjadi fenomena. Tentu saja, lantaran gelar dokternya, dan betapa mudahnya teori si dokter dicerna logika.

Di negara itu, orang orang menjadi sangat paranoid dan ketakutan hingga tak mudah percaya pada apapun yang tak berbukti nyata.

Ketenaran si dokter dengan cepat menyebar kemana mana. Si dokter kemudian dipekerjakan oleh negara untuk membantu polisi. Si dokter awalnya menolak, ia mengatakan bahwa dirinya bukan detektif yang bisa digunakan untuk mengungkap kejahatan. Tapi tolakan itu berubah menjadi anggukan mesum dan mata berbinar kala menatap tumpukkan uang di atas meja.

Resmi sudah, si dokter bekerja untuk negara. Polisi kerap datang ke rumah sakit. Para berseragam itu biasanya sudah memenggal kepala mayat untuk dibaca oleh si dokter. “Biar bapak tak usah repot,” ujar seorang polisi seraya menyerahkan kantong kresek berisi dua buah penggalan kepala.

Rupanya sore tadi ada pengeboman di kantor pemerintahan. Lima orang tewas di tempat. Tiga orang di antaranya terkena paparan langsung bom sehingga tubuhnya berubah menjadi serpihan. Hanya dua potong kepala milik satpam gedung yang tersisa. Ada sekompi polisi yang datang, juga datang jendral serta Kepala Polisi. Semua penasaran, siapa pelaku pengeboman.

Polisi polisi itu lantas menunggu di luar ruangan si dokter. Sementara pimpinan mereka, ikut masuk ke dalam dan menyaksikan sendiri potongan ingatan kepala mayat itu kala menjelang ajalnya. Sore itu, seorang teroris kelas dunia tertangkap dalam pelariannya menuju negara seberang.

Berita menyebar cepat. Tentang si dokter yang berhasil mengungkap pelaku terorisme. Semua orang, terlebih wartawan, menunggu nunggu, kapan lagi si dokter melakukan aksinya. Polisi cenderung jarang membeberkan kapan ada mayat yang akan dipenggal kepalanya dan dibongkar ingatannya oleh si dokter.

Sore itu, ada mayat yang datang ke rumah sakit. Mayat itu merangkak rangkak dari kejauhan, ia berangkat sendiri. Di belakang mayat yang merangkak sendiri itu, ada puluhan wartawan yang sibuk mengambil gambar dan berteriak teriak “Ini saatnya!” kepada rekan wartawannya.

Popor

Aku lupa, mungkin September tanggal tiga. Saat puluhan berseragam menyesak di ruang tamu tanpa melepas sepatu. 

Menjamah sepenjuru rumah tanpa, menyeret orangtuaku dari kelambu.
Itu tengah malam. Hari sabtu.

Popor pertama menyentak tengkukku. Ngilu. Mereka berteriak soal aku dan konspirasi untuk menjatuhkan negara. Negara palsu.

Popor kedua menghujam perut ayahku. Kali ini teriakan mereka pertanyakan keterlibatan ayahku dalam Kelompok Petani Berontak.

Jawaban ayahku tidak menuai paham. Ibuku menjerit, seseorang menumbangkan tubuh ringkihnya. Kepala wanita itu diinjak sepatu sepatu lars hingga darah mengucur dari telinga.

Popor ketiga menghantam pelipis kananku. Pandanganku buram, yang terlihat hanya samar wajah ayahku yang kesakitan saat bayonet mengiris kupingnya.

“Kami bukan pemberontak. Kami keluarga petani..,”
Kian pelan suara ayah. Daun telinganya berlumur darah.

Selanjutnya tiada popor. Api menjilat ruang tamu.

Aku tidak mengingat apa apa saat popor selanjutnya merangsek tulang keringku.

Tiang penyangga rumah berderit. Pria berseragam berlalu dengan derum mobil bak terbuka.

Ayahku tertawa. Sebelum api menjilat tubuh kami, ia berteriak.

“Kita ini tumbal atas ketakutan petinggi”

Sunday, November 20, 2011

Tentang Ayah

Saya rasa setiap perempuan tumbuh besar dengan melihat punggung ayahnya. Meraba dan mengkomparasi laki laki yang akan singgah di hidupnya dengan sang ayah. Sayapun demikian. Betapa ayah memiliki peranan besar dalam hidup saya :)

Kala saya masih kanak kanak, ayah selalu menjadi penyelamat dari amukan ibu. Tidak ada yang salah dengan ibu saya, beliau layaknya seluruh ibu di seluruh dunia, yang sungguh pandai mendidik anak walaupun kadang sedikit keras. Ayah yang menghentikan tangisan saya saat ibu mencubit lantaran saya mangkir ngaji dan berangkat ke TK Al Quran. Ayah pula yang mengganti airmata dan bilur di tubuh saya dengan satu-dua buah arumanis, yang kemudian membuat saya batuk batuk, mengundang lagi amarah ibu :D

Ayah yang tidak pernah marah, selalu mengajari saya tentang bersyukur. Bersyukur bahwa kami masih bisa makan, memiliki rumah dan tidak kedinginan. Ini meredam semua rengekan saya atas boneka barbie dan tas bergambar sailor moon yang kala itu dimiliki semua teman perempuan di sekolah. Bersyukur bahwa saya masih bisa sekolah dan hidup dengan orangtua yang masih lengkap.

Kemudian saya tau, batuk rejan ayah kambuh gara gara bekerja terlampau keras, demi memenuhi ingin saya akan boneka barbie dan tas bergambar sailormoon.

Ayah adalah yang paling bangga saat saya menjadi wartawan. Beliau menjadikan saya headline dalam setiap percakapan dengan koleganya di ruang tamu.

Ayah datang dengan menaiki kapal dari pelosok Banjarmasin ke kota sampit tanpa membawa apapun kecuali mimpi akan kehidupan yang lebih baik di tahun 70an. Ayah yang terlahir dari keluarga penyadap karet bersaudara sepuluh dan tak ingin menjadi beban orangtuanya. Beliau masih 20 tahun, saat tiba di Sampit, bekerja keras selama dua tahun (when I say 'hard' here, it means 'hard, really hard') untuk mengumpulkan modal melamar ibu.

Ayah yang berkali kali mengobarkan semangat saya untuk bekerja keras. Beliau seorang penjual minyak tanah keliling yang harusnya tau betul, bahwa batuk rejan yang kerap berujung muntah darah yang beliau idap tidaklah berjodoh dengan aroma minyak tanah yang harus dihirup setiap hari. Atau di suatu sore, kecelakaan mematahkan kaki kiri beliau saat mengantar pesanan mitan. Hanya perlu waktu tiga bulan untuk beliau istirahat di rumah untuk kembali berjualan.

Ini yang mendorong saya untuk menjadi seperti ayah. Bepergian lebih jauh lagi dari beliau, untuk kehidupan yang lebih baik. Untuk memenuhi semua janji pada diri sendiri. Untuk memastikan ayah dan ibu memiliki masa tua yang bahagia dan berkecukupan tanpa harus bekerja sama sekali.

Dan beliau masih terus membanggakan saya yang saat ini bisa mengoperasikan kompueter dan membuat desain undangan sederhana, usaha percetakan, dan saya sebagai seorang penyiar radio. 

Entah angin apa yang menyeret saya untuk menulis tentang ayah. Mungkin lantaran saya sedang dalam perdebatan pelik dengan beliau. Menulis ini untuk sekadar mengingatkan saya bahwa beliau yang terbaik, dan selalu yang terbaik :D 


Berapa banyak yang telah ayah berikan. Betapa saya belum bisa berbuat apa apa..

Wednesday, November 16, 2011

Social Media

Kadang, ada beberapa hal yang tidak laik untuk ditulis dalam sosial media. Pertama, karena terlalu personal. Sosial media adalah tempat di mana seorang asing bertemu dengan asing lainnya. Saat pertemanan menjadi semudah follow-add as friend-pin request, batasan antara hal hal pribadi sebaiknya dipertegas, antara dibagikan atau untuk konsumsi sendiri :)

Kedua, some people just not giving a shit on it. Ketika seseorang asing di halaman facebook saya -oh well, saya tipikal orang yang sulit meng-ignore permintaan pertemanan- mengenai betapa ia menderita lantaran pacarnya tidak menelpon seharian, saya, seperti yang telah disebutkan di atas, not giving any shit on it.

Pada akhirnya, sosial media menjadi tempat dengan setiap sudut berisi orang orang yang gemar memamerkan segalanya. Seni menelisik seseorang dengan menerka nerka apa makanan favortinya, siapa musisi kesukaannya menjadi hilang saat mengenal seseorang menjadi semudah membaca brosur membosankan di ruang tunggu rumah sakit.

Atau, sejauh mana kita merasa dekat dengan seseorang yang telah memodifikasi segala tentang dirinya. Maka, jadilah bijak. Berkawan baiklah dengan satu-dua orang, mereka akan mendengarkan semua keluh kesah tentang pacar yang sulit dihubungi. Atau belilah buku diary, tuliskan segala lelah di sana dan berharap ada teman khayalan yang membacanya. Just like what I did when I was young girl.

Kelak (atau mungkin sudah terjadi) hal ini membuat euforik yang menyebabkan kita, perlahan kehilangan commonsenses. Saat gelandangan dan pengemis menjadi objek menarik untuk difoto dalam efek melankoli sedemikian rupa untuk dipajang dalam halaman jejaring sosial. Untuk ditautkan dengan orang orang asing yang kemudian beramai ramai memberikan komentar tentang betapa kita telah kehilangan commonsenses.

Juga ketika satu isu kemanusiaan, politik, genting nasional yang menjadi topik di setiap forum dan jejaring. Dengan ribuan threat dan diskusi tanpa satupun menuai hasil kecuali satu-dua demo dan beberapa badan amal yang tak dillirik banyak orang. Setiap orang seolah menjadi superior atas seorang lain berdasar dari berapa banyak orang orang asing yang ia jadikan teman di dunia maya.

Indonesia mungkin belum separah negara negara besar yang sudah mengenal internet sejak berpuluh tahun lalu. Dunia barat sudah menemukan eranya sendiri. Sebuah masa di mana orang bunuh diri lantaran kawan dibully di dunia maya* sebuah masa di mana begitu mudah melemparkan kata kata serapah terhadap seorang persona non grata

Tapi, ini semua hanya soal waktu

Lalu apa yang harus dilakukan? tidak menggunakan internet, berkeliling dunia dan bergabung dalam PETA, satgana, atau bahkan, menjadi aktivis anarki?

Entahlah :D

Betapa saya merindukan masa di mana setiap orang menggembok diary dan hanya memperbolehkan kawan kawan paling dekatnya untuk membaca dan mengetahui,

"Apa yang sedang kamu pikirkan?"

***

Wednesday, October 26, 2011

Dan Hidup (Harusnya) Berjalan Semudah Itu

Hujan turun seperti ditumpahkan dari bejana surga, tadi sore. Saya terjebak di jalan Ahmad Yani, menepi sambil sesekali menyeka tetesan air yang jatuh di kacamata. Gedung seberang, dipenuhi jejeran orang yang juga berteduh. Tidak jauh, anak anak bermain di kubangan air.

Hujan masih mengguyur hingga setengah jam setelahnya. Wajah wajah dewasa di gedung seberang mulai mengerutkan kening sambil melirik ke arloji masing masing. Yang lain sibuk memainkan ponsel. Entah untuk membunuh waktu, atau sekedar mencari cara untuk tidak mati gaya. Kubangan air kian ramai, nyaris sepuluh anak memekik girang kala hujan kian deras.

Setiap dewasa berwajah masam. Merutuk kecil pada hujan yang turun tiba tiba. Arloji lagi lagi dilirik. Ponsel mulai berdering, satu per satu mulai mengkalkulasi, meraba raba estimasi waktu. Akankah terlambat, masih sempatkah, penat sudah memuncak.

Namun tak satupun beranjak dan menembus hujan.

Saya tersenyum simpul dan membungkus laptop yang saya bawa dengan plastik putih pemberian pemilik rumah yang saya singgahi untuk berteduh. Merapatkan cardigan abu abu saya dan menyalakan motor. Mengendarainya sepelan mungkin, hujan terlampau lebat untuk membersihkan jarak pandang. Saya menuju rumah sambil diam diam bermain hujan.

Adakah yang bisa memberi alasan, mengapa bermain hujan di usia sekarang terasa memalukan?
***

Hmm.. Kabar terbaru dari saya adalah.. Tidak lagi bermain di twitter. Akun @rusnanianwar sudah di-deactivate. Seperti saya yang pernah setiap pulang sekolah mampir warnet demi update status dan nulis testimoni di friendster, begadang tiap malam untuk mendaki popularitas di room metal mig33, dan membeli buku "Cara Membuat Blog" di pasar malam demi membuat blog ini, pada akhirnya twitter telah menjadi satu di antara sekian mainan maya yang saya punya.

Maka layaknya atari, dingdong, gamebot, tamagochi dan mainan lainnya, di suatu waktu saya akan berhenti. Entah lantaran opsi gamebot dari A-Z terasa membosankan, dinosaurus yang saya pelihara di tamagochi terus menerus mati dan mengais receh demi menyalakan ding dong mulai menjemukan.

Blackberry telah menjadi teman yang menyenangkan selama setahun belakangan. Dan saya menjualnya. Kehidupan sosial tengah kacau balau, konversasi bersama teman terus tersela notifikasi. Ditambah, seperti semua orang yang hidup di muka bumi, saya perlu uang.

Bekerja nyaris 20 jam sehari dalam empat jenis pekerjaan berbeda itu rasanya lelah sekali, rupanya :D sekarang hanya sempat mencuri waktu untuk update blog di saat siaran. Semoga nanti, saya menemui diri saya dilanda kangen berat terhadap twitter dan membuat akun baru lagi, suatu saat nanti :)

Friday, October 14, 2011

I'm Recently in Love With


*Jessie J - Who's Laughing Now*

Mummy they call me names
They wouldn’t let me play
I’d run home, sit and cry almost everyday
‘Hey Jessica, you look like an alien
With green skin you don’t fit in this playpen’
Well they pull my hair
They took away my chair
I keep it in and pretend that I didn’t care
‘Hey Jessica, you’re so funny
You’ve got teeth just like Bugs bunny’

Oh, so you think you know me now
Have you forgotten how
You would make me feel
When you drag my spirit down
But thank you for the pain
It made me raise my game
And I’m still rising, I’m still rising
Yeah

So make your jokes
Go for broke
Blow your smoke
You’re not alone
But who’s laughing now
But who’s laughing now

Cos I’m in L.A
You think I’ve made my fame
If it makes us friends
When you only really know my name
‘Oh Jessie, we knew you could make it
I’ve got a track and I’d love you to take it’
So now because I’m signed
You think my pockets lined
4 years now and I’m still waiting in the line
‘Oh Jessie, I saw you on youtube
I tagged old photos from when we was at school’

*selengkapnya baca di sini*

Tidak ada alasan khusus sebenarnya. Saya ingin tinggal di Manhattan, bukan LA :D mungkin untuk lirik ‘Hey Jessica, you’re so funny. You’ve got teeth just like Bugs bunny’

*tos* *gigi kelinci united*

Well, nampaknya saya hanya ingin berbagi ini aja. Nothing happen lately, kecuali saya yang baru makan cimol tadi siang dan rasanya -uh-well-not-that-good- sesungguhnya yang menjual cimol teh telah mencemarkan nama baik dunia percimolan. Atau jangan jangan semua cimol rasanya begitu?

Ihihi. This is it. Saya harus balik siaran dan nulis post buat blog Ruang Lokal :D adios~

Wednesday, October 12, 2011

Life Change

I start my first day at work tomorrow :D sounds fun. Kabar lainnya, saya memulai usaha baru di rumah. Membuka percetakan kecil yang melayani pembuatan undangan-kartu nama dan pengetikan. Siapa tau ada yang butuh jasa saya, feel free to come into my house (Jl. Kopi Gg Pinang 2 no. 18)

Senang rasanya menemukan progress seperti ini dalam kehidupan nyata. Setelah nyaris dua tahun saya tidak melakukan apa apa, memulai lagi rutinitas sepertinya bukan hal yang buruk. Siapa tau hasilnya cukup untuk bepergian di akhir tahun. Sekaligus memenuhi janji pada diri sendiri untuk memiliki hidup yang lebih baik.

*halah, baru juga mulai usaha dua hari*

Langkah selanjutnya setelah memulai usaha sendiri adalah kuliah. Setidaknya ini dulu cita cita saya. Saya terlibat diskusi menarik beberapa hari lalu, tentang mulai mencari tau apa yang saya mau. Menentukan cita cita dan mengejarnya.

Itu saja yang harus dilakukan saat ini. Kebahagiaan akan menyusul kemudian, datang dengan sendirinya. Dan saya harus membongkar lagi ingatan ingatan lama soal cita cita. Keinginan terbesar saya adalah pergi ke Bandung. Kemudian menakar nakar probabilitas untuk hidup di sana sampai dengan selanjutnya. Jika saya menemukan kendala untuk hidup di Bandung, saya akan berlibur sejenak di sana lalu pulang untuk kuliah di sekolah hukum di Sampit.

Kenapa hukum? Bukan untuk alasan melankoli, lebih kepada di Sampit hanya ada dua sekolah tinggi, Hukum dan Ekonomi. Sementara saya, selama dua tahun berada di jurusan Sosial saat SMA, sama sekali tidak mengingat apapun terkait ilmu ini. Lagipula saya rasa tidak ada salahnya mempelajari hal yang benar benar baru untuk saya -dalam hal ini- Hukum.

Postingan kali ini nampaknya sudah memberi refleksi jelas untuk Resolusi 20 nanti :D oh ya, saya mendapat kabar akan ada workshop penullisan kreatif di Sampit. Tidak sabar ingin ikut! Meski sudah tidak begitu menggebu ingin menjadi penulis, menulis tetaplah hal yang menyenangkan buat saya.

Menjadi realistik bukan berarti melempar semua imaji, no?

Sepertinya ini sajalah dulu. Sekedar update tentang yang terjadi belakangan. Harus kembali ke tumpukan kertas dan tinta. Smell ya later :*

Thursday, October 06, 2011

Senja Merah. 161-165

Keberlaluan

Ada tahun yang berlalu, ada udara yang mengalir pergi. Kini di sudut ruangan, ada seorang wanita tengah duduk di kursi malas. Kacamata baca masih menempel di wajahnya, matanya setengah terpejam, buku buku berserak di meja yang menganggur diam di sampingnya.

Wanita itu setengah tertidur tapi kepalanya masih terus mengenang. Ada dua interval lima tahunan yang membuat jantungnya hampir meledak lantaran menunggu hasil pemilu. Hatinya kemudian mencelos lepas dari rongganya ketika tahu, presiden itu terpilih lagi. Untuk yang keempat, kelima, dan entah berapa kali lagi.

161 | S e n j a M e r a h

Wajahnya kini dihiasi satu dua kerutan, matanya tak lagi awas. Usianya 42 tahun hari itu. Baginya, ulang tahun terasa seperti kokang senjata milik berseragam. Ia diingatkan, bahwa bertambah lagi satu tahun tanpa Sloan. Ia diperingatkan bahwa dirinya kian tua, pun dengan Sloan, pria yang terus ditunggunya sejak usia 19 tahun. Ada puluhan tahun yang ia lewatkan untuk menanti pria itu, dengan perasaan yang tak pernah berubah. Dengan rindu yang kian hari kian membuncah.

Wanita itu Wenggini. Waktu yang berlalu membuat dirinya kini sendirian. Ia tak pernah menikah meski ada empat pria melamarnya hingga usianya 35 tahun. Bibirnya selalu berkata bahwa ia menunggu Sloan. Pria yang terlanjur dirinduinya setiap hari. Banyak yang tak menyerah dan terus mencecar, Wenggini tak pernah takluk. Ia tempeleng laki laki yang menyebut Sloan sudah mati di penjara dan dirinya tak perlu menunggu.

162 | S e n j a M e r a h

Wenggini masih terpejam, kembali mengingat waktu yang berlalu.

Ada pamannya, delapan tahun lalu, yang mati lantaran sakit. Wajar, usianya renta dan lama tinggal di pembuangan. Pamannya tak pernah memberitau Wenggini tentang isi amplop Sloan yang satunya. Laki laki itu benar benar bungkam hingga akhir hidupnya.

Kini delapan tahun lewat, Wengini tak bisa lakukan apa apa untuk bebaskan Sloan. Ia hanya bisa menunggu, menunggu kapan pemerintahan presiden hitam putih berlalu.

Perempuan itu tersenyum sinis mendengar pikirannya menyentil presiden hitam putih. Ia pernah menulis cerita pendek, yang kemudian diterbitkan pada majalah mingguan skala nasional. Penerbit majalah adalah orang merdeka, meski tak tergabung dalam partai Sloan, ia mengagumi kemerdekaan. Diterbitkannya tulisan Wenggini dengan nama samaran. Beberapa bulan setelahnya, majalah mingguan tak lagi terbit. Konon, pemerintah membredelnya.
163 | S e n j a M e r a h

“Pemerintah negara ini adalah individu takut, mereka memiliki obsesi berlebih terhadap kekuasaan hingga menjadi sangat paranoid pada kemungkinan lengsernya mereka. Mereka ketakutan, pada fiksi sekalipun”

Kalimat pamannya kini menggema di kepala perempuan itu. Wenggini tak tertangkap, iapun enggan menulis lagi, nyawanya terlalu berharga hanya untuk mati di tangan orang orang paranoia.

Ada tahun tahun berlalu, setelah kematian pamannya. Suatu sore Wenggini berjalan kaki, menuju pasar. Dekat pembuangan sampah, ada mayat laki laki, bertatto. Siluet harimau menyala di tengah tumpukkan kubis busuk. Kepalanya berlubang.

Dia Bejo.
164 | S e n j a M e r a h

Wenggini tak terkejut, meski enam tahun ia mengenal pria itu di prostitusi. Ia melangkah, berlalu.

Tahun ke tahun, mayat mayat bertatto menjadi buah bibir. Di mana mana dipergujingkan, ada yang setuju, lantaran jumlah preman dan angka kejahatan berhasil ditekan. Wenggini mendengus dan ngedumel dalam hati.

“Ketika manusia berperilaku seperti hewan untuk menghentikan perilaku orang lain yang mirip binatang, apa lagi yang layak mereka sombongkan?”

Ditatapnya mobil jeep yang berlalu lepas melempar satu lagi mayat bertatto di pembuangan sampah pasar. Seakan memperingatkan, siapa saja yang bertatto akan berakhir menjadi seperti itu.

Wenggini kini menengadah, matanya terbuka sepenuhnya. Kembali mengingat tahun tahun yang berlalu, sejauh ingatannya, ada banyak pembantaian yang terjadi. Ada rumah rumah tuhan yang di bakar, ada pelabuhan yang dipenuhi mayat berlubang peluru. Ada buruh pabrik yang mati mengenaskan lantaran menuntut kenaikan gaji.

165 | S e n j a M e r a h

Sejauh ingatannya mengorek ruang ruang kenangan di kepala, yang Wenggini ingat hanya darah, mayat, dan bisik ketakutan atas letidakkuasaan. Dari kejauhan, Wenggini mendengar suara trumpet menyeru nyaring, diiringi tabuhan marching band dan riuh tepuk tangan.

Hari itu ulang tahunnya, juga ulang tahun negara itu.
Dalam sekali hela nafas yang berakhir lemah, bisiknya tertangkap udara

“Selamat ulang tahun, yang belum juga merdeka..,”

Saturday, October 01, 2011

Pancasila Hilang Saktinya

Satu Oktober

Pancasilaku tak lagi sakti
Tuhan Esa diludahi intoleransi beragama
Kemanusiaan di ujung senapan penguasa
Persatuan atas dasar suku dan agama
Kerakyatan yang dipimpin keprihatinan,
permusyawaratan perwakilan pepat kepentingan
Keadilan bagi segelintir kelompok pemenang.

Pancasilaku hilang saktinya
Menjerit ia dihujani lecehan penuh murka.


Kembalilah menjadi sakti, Pancasilaku*

*Tulisan di ambil dari blogpost tahun 2010 lalu, di sini

Wednesday, September 28, 2011

Perspektif

Darimana simpulan didapat? Seperti apa perspektif terbentuk? Apakah betul betul berasal dari kesadaran diri, stimulasi berfikir dan yang sering disebut self conscious? Bagaimana dengan pihak ketiga? vektor, perantara, lingkungan sekitar, pendapat orang lain, kecondongan berfikir, dan sejumlah kausal kausal lain yang mampu membentuk -bahkan mempengaruhi- sebuah sudut pandang dan simpulan?

Dari sini saya belajar mengenai perspektif itu relatif. Selain relatif, saya belajar bahwa asumsi itu tidaklah murni berasal dari apa yang disebut sebagai self conscious. Postingan kali ini akan mengarah pada apa yang tengah saya amati belakangan ini. Indonesia rupanya tengah mengalami masalah pelik dengan terorisme dan radikalisme agama. Terakhir kabar, saya mendengar mengenai situs situs propagandis berbau agama yang tengah marak dan akan diblokir oleh keminfo.

Sejak awal penciptaannya hingga masa manusia yang berada di era paleotikum percaya bahwa tuhan adalah api, petir, air, bahkan pohon dan batu. Zaman berlalu, peradaban kian maju, manusia mulai percaya bahwa tuhan adalah matahari dan dewa dewa. Dewa dewa dalam ujud mirip manusia dan binatang yang disucikan. Keyakinan ini melebar sejak abad satu hingga sembilan, bermunculanlah agama agama semitik (agama yang berasal dari daerah timur) seperti yahudi, kristen, islam dan lain sebagainya.

Kemudian sampailah manusia di era post-modern. Gejolak sains dan penemuan penemuan ilmiah pada awal abad 16. Porosnya ada di negara negara eropa. Ledakan ilmu pengetahuan membuat agama agama semitik yang mulai kuat saat itu mendapat goncangan cukup berat hingga menimbulkan pertikaian. Selebrasi ilmu pengetahuan di negara itu tidak bisa dibendung dan merambah ke benua benua lain hingga akhirnya perspektif orang orang barat (atau sederhananya: Negara Maju) saat ini terhadap apa yang kita sebut sebagai ateisme, sekularisme, liberalisme menjadi biasa saja.

Membebaskan definisi tuhan. Kira kira begitu sebutan saya atas apa yang orang orang so-called berpendidikan ini lakukan. Mereka membebaskan tuhan dari lingkup baku ajaran agama yang tertuang dalam kitab kitab kanon. Ada yang membebaskannya dari ritual, ada yang membebaskannya dari ujud, dan ada yang membebaskan tuhan ke titik nol. Ditiadakan.

Ini disebabkan sejak era post-modern bangsa eropa-amerika telah mengalami gejolak mereka sendiri. Mulai kasus Ku Klux Klan sampai perang salib dan sebagainya. Bentangan masa sejak abad 16 hingga 2011-lah, sepertinya, yang berkontribusi besar dalam pembentukan sudut pandang kaum maju hingga tidak lagi mempermasalahkan soal eksistensi ketuhanan lantaran mereka telah mengalaminya sejak berabad lampau.

Meski kemudian, teori reltivitas yang saya percayai mengharuskan saya untuk meletakkan kemungkinan kemungkinan masih adanya sikap radikalisme, antisekularis dan lain sebagainya di negara negara dengan sejarah peradaban yang mencapai belasan abad itu. Dengan persentase yang sangat kecil, tentunya.

Waktu, ternyata juga mampu mempengaruhi sebuah perspektif.

Saya kemudian mencoba mengkomparasikan fenomena tersebut di Indonesia, negara dengan usia sejarah yang tidak sampai empat abad, dimulai sejak masa prakolonial. Indonesiapun mengalami perkembangannya sendiri. Saat negara maju sudah "berdamai" dengan ledakan ilmu pengetahuan dan pengaruhnya atas konsepsi ketuhanan, Indonesia baru memulai fase animismenya. Lalu berjalan menjadi dinamisme, hingga akhirnya islam masuk melalu pedagang Arab dan masa kolonial dari Belanda yang mengusung triteologi Gold, Glory, Gospel (kristen)nya.

Menurut saya, inilah yang kemudian menyebabkan Indonesia baru memulai ledakan ilmu pengetahuannya sekarang, sejak era milenium.

Mengapa saya menyebut pasca 2000? Apakah saya menampik fakta bahwa selebrasi ilmu pengetahuan membuat sejarah mencatat soal Achdiat K Miradja dan buku Ateisnya, PKI dan tudingan Komunis, hingga Siti Djenar di era Wali Songo? Kalau boleh saya menyebut, sejak masa nyaris merdeka hingga orde baru selesai, kita baru memulai percikan perubahan konsepsi ketuhanan. Ini adalah era post-modernnya kita.

Percikan yang terus meletup dan akhirnya meledak di era sekarang. Sejak munculnya tokoh Gus Dur sebagai bapak pluralisme hingga pengukuhan Jaringan Islam Liberal di tahun 2002, rasa rasanya sejak itulah terjadi peralihan dari post-modern menjadi modern. Tren melawan arus, gelombang mahasiswa sayap kiri, hingga meluasnya penganut pluralisme, liberalisme dan sekularisme.

Dan saat ini dengan mudahnya saya menemukan kelompok anarki dalam atribut punk dan kelompok kelompok pemuda. Sungguh berbeda dari empat puluh tahun silam.

Maka sekarang lihatlah, indonesia tengah menikmati masa merdekanya. Kini begitu mudah menemukan buku buku Karen Amstrong, Stephen Hawking, hingga Madilog Tan Malaka menjadi bacaan setiap orang dan (bahkan) menjadi sumber studi. Masing masing mulai membebaskan tuhan dari koloni koloni kanon. Dalam perjalanannya, tentu, akan ada perlawanan. Sisa sisa dari era post-modern. Indonesia tengah mengalami eranya sendiri. Melawan radikalisme, menentang upaya agamaisasi dan lain sebagainya.

Mungkin, setelah satu-dua abad gejolak ini menggeliat dan terus menjadi udara yang menebar perspektif, negara ini akan menemukan kemerdekaannya sendiri. Setelah faktor dari sudut ketiga -waktu- menelusup untuk kemudian membentuk simpulan bahwa apa yang tabu di masa lalu, telah sedikit terbebas di saat ini, dan menjadi lepas sepenuhnya di masa mendatang.

Apa yang kita lihat sekarang adalah proses. Dengan harga yang mahal sejarah ini akan tercatat. Puluhan teror bom bunuh diri, laskar jihad dan upaya upaya perlawanan frontal dari yang tidak mengkehendaki ledakan ilmu pengetahuan ini terjadi. Yang tidak mengharapkan Indonesia menjadi tanah laknat jajahan antek kafir Amerika.

Namun, bisakah kita menghentikan udara?

Saya menempatkan diri dalam perspektif tidak setuju, empat tahun lalu. Saat masih mengkonsumsi Sabili, Eramuslim dan buku buku yang disebut sebagai pencerahan islami. Namun sekarang sudut pandang saya berbeda, semenjak membuka diri untuk berhenti membaca Sabili dan memulai petualangan imaji dalam Madilog dan Grand Design hingga mengantarkan saya pada simpulan ini. Simpulan bahwa saya saat ini, empat tahun berselang, saya menyetujui sekulerisasi dan pluralisme. Dengan alasan yang sudah saya jelaskan di sini.

Inkonsistensi? Tidak tetap pendirian? Peragu?

Saya menyebutnya perspektif yang mengalami perubahan seiring dengan masuknya vektor dan kausal kausal dari sudut ketiga. Bukan sepenuhnya self-conscious. Bagi saya, tidak akan ada simpulan yang bisa diambil tanpa sumber. Tidak ada sudut pandang tanpa bercampurnya bias, pendapat dan diskusi tak berkesudahan.

Yang ada hanya ketidaktahuan, kealpaan, bukan sudut pandang.

Saturday, September 24, 2011

Separates

Saya tengah betul betul merindukan moral support dalam wujud pukpuk di kepala dan kawan berbicara dalam bentuk nyata. Satu dua masalah tengah singgah pada saya dan juga keluarga. Kakak sedang dalam masalah dan saya merupakan yang paling sibuk mempersiapkan segala kebutuhan beliau.

Kakak memerlukan dukungan besar dan rasanya tenaga saya habis untuk menjadi penyemangat beliau. Semoga masalah ini cepat selesai. Agak sedih rasanya menemukan ruang tengah selalu dipenuhi argumen dan pekikan sesekali.

Kemudian, saya dihadapkan pada kenyataan bahwa naskah novel Senja Merah tidak kunjung mendapat tanggapan resmi. Dalam postingan sebelumnya, saya menulis bahwa Senja Merah ditanggapi oleh Media Kalimantan, namun tanggapan itu baru sebatas pemberitahuan seorang kawan bahwa penerbit yang bersangkutan menganggap naskah saya menarik. Belum ada kelanjutan. Rasanya seperti terus berdebar debar dan kehabisan tenaga.

Dua hal di atas menguras energi saya hingga batas maksimal.

Hanya pada saat seperti ini, saya mendambakan kawan yang mampu mendengarkan tanpa banyak bertanya. Kepala saya rasanya sudah tidak sanggup menampung lebih banyak pertanyaan tentang kenapa kok bisa kapan bagaimana gimana. Dan sialnya, saya tengah jomblo dan sudah dua tahun tidak memiliki kehidupan sosial.

Pacarin saya, anyone?

Seminggu terakhir sudah mencoba menahan nahan untuk tidak menulisnya di manapun. Hingga akhirnya tercetus juga postingan berisi keluh kesah ini. Saya setidaknya memetik satu hikmah dari masa muda saya, bahwa menyimpan masalah dalam kepala sendirian itu tidak baik.

Dan sekurang kurangnya, blog, pada akhirnya adalah satu satunya kawan di mana saya bisa curhat tentang apa saja tanpa harus mendengarkan pertanyaan kok bisa kenapa kapan bagaimana gimana. Dan blog tidak pernah sekalipun melontarkan kalimat bijak sok dewasa atas setiap posting bernada keluh dari saya.

Sebab, bagi saya, kalimat kalimat bijak dan berpanjang panjang nasehat bukanlah tanggapan terbaik dari setiap lontar isi kepala saya. Senyum, dan tepukan ringan di bahu lalu saya kembali membicarakan hal hal ga penting. Apapun, agar semuanya tertinggal di belakang, bukan bergelayutan dalam kerangjang kenangan berjejalan dengan kalimat kalimat nasihat sok bijak.

Aih, Nani yang hedonis…

Thursday, September 22, 2011

Dawn

Terbangun di subuh hari selalu membuat saya gelisah. Gelisah ingin tidur lagi, dan gelisah terhadap terlalu banyak hal yang saya pikirkan. Kebiasaan lama, mengawang-menerawang membiarkan banyak hal mengisi kepala. Baik nyata maupun harapan.

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kabar bahwa novel Senja Merah yang saya tulis mendapat tanggapan dari Media Kalimantan, sebuah koran sekaligus (penerbit?) yang ada di Banjarmasin. Kabar ini, yang paling banyak mengisi subuh-mengawang awang saya :D

Membayangkan kelak, saya bisa memperkenalkan diri sebagai penulis dengan tulisan yang dikaryakan kepada orang orang baru. Atau, mengatakan pada tuan hujan bahwa saya menulis buku, yang menurutnya; "Penulis itu hebat. Menuangkan isi pikiran dalam bentuk lisan tuh susah, apalagi menulisnya"

Lagi, saya suka menya menye sendiri akhir akhir ini. Berkat postingan sebelumnya, saya sukses menyerahkan diri dalam dekapan kenangan. Membuai, menenangkan dan rasanya nyaman. Menjebak. Harus menghentikan kebiasaan tidur sampai larut malam. Dan juga kebiasaan tidur awal lalu terbangun tengah malam lalu terjaga hingga pagi :|

Sedang menyukai Goro Goro milik Putu Wijaya. Buku yang sudah lama tersimpan dan akhirnya sempat dibaca sampai habis minggu lalu. Putu Wijaya, jika disampirkan dengan Seno Gumira (penulis kesukaan saya selama ini), memiliki unsur tata bahasa yang lebih baku. Tidak senyastra Gumira dan tidak segamblang Wiji Thukul. Goro Goro hadir dengan bahasa yang nyaris seperti contoh contoh kalimat di KBBI. Tentang pak Amat dan kritik sosial-pemerintah-sistem-lingkungannya.

Yang menarik, meski menggunakan gaya bahasa ter"kalem" jika dijajarkan dengan buku buku yang saya baca selama ini, Goro Goro tetap mampu memikat untuk dibaca sampai tuntas. Walaupun harus memakan waktu seminggu untuk seorang pembaca lamban seperti saya.

Saya adalah reviewer yang buruk. Sebenarnya ingin bisa menulis resensi yang baik atas buku-musik-film yang tengah saya baca-dengar-tonton dan sukai (atau tidak). Tapi review saya selalu terhenti di titik "memberikan informasi seputar author-musisi-aktor". I'm bad on memorizing name and numbers. Saya selalu lupa berapa award yang V for Vendetta menangkan, kapan Goro Goro diterbitkan, apakah Putu Wijaya masuk dalam angkatan '66 atau '45 bersama Chairil Anwar dan W.S Rendra. Juga di mana Adele dilahirkan.

Yang pasti, simpulan saya, Goro Goro milik Putu Wijaya adalah kumpulan cerpen (?) dengan tokoh utama tunggal yang menarik. Satu satunya kritik adalah jumlah halaman yang terlalu banyak. Untuk pemalas seperti saya, membaca 485 halaman yang isinya huruf semua adalah pekerjaan besar untuk dilakukan.

Entah lantaran membaca halaman tentang transmigrasi di Goro Goro atau pengaruh hal lain, saya jadi semakin memikirkan tentang pergi dari kota ini. Tentang kawan yang telah menginjakkan kakinya di kota asing, negara asing. Sayapun ingin, sekedar duduk diam dan mengamati laju waktu di suatu sudut kota lain. Keinginan ini makin kuat, semoga akhir tahun saya bisa pergi.

Sepertinya tulisan ini harus saya akhiri sebelum isi kepala saya tertumpah semuanya. Harus kembali tidur, matahari mulai terbit dan corong masjid mulai meredakan suaranya.

Sampai jumpa!

Saturday, September 17, 2011

Settle Down

Saya dipaksa kakak untuk memfoto dan mengedit foto anak beliau, beberapa hari yang lalu. Baru selesai tadi siang, foto foto ini, membuat saya sedikit banyak berfikir tentang masa depan.

Meski saya tau masih terlalu jauh untuk saya memikirkan kehidupan berumah tangga di usia yang bahkan belum kepala dua. Saya mencoba untuk membayangkan seperti apa saya sepuluh, duapuluh tahun mendatang. Alih alih mendapat gambaran samar tentang seorang suami dan satu-dua anak gembul yang lucu lucu, saya malah membayangkan diri saya tengah duduk di suatu taman di Austria, sendirian.

Dengan tas besar di samping saya.

Saya bukan bermaksud ingin menghabiskan umur dengan menjadi backpacker dan tidak membangun apa yang orang sebut sebagai tujuan hidup bagi setiap perempuan di seluruh dunia. Menikah. Saya sendiri gagal menemukan alasan kenapa menikah harus disebut sebagai tujuan akhir sementara di sisi lain pernikahan justru membawa banyak 'masalah' baru dan bukan sesuatu yang bisa disebut sebagai 'akhir'.


Kembali ke kalimat awal paragraf di atas. Saya pernah memiliki bucket list dan semacam keinginan untuk bisa berkeliling dunia suatu saat nanti. Duduk di taman di sebuah bukit di Austria, minum kopi sambil memandang hujan di luar sebuah jendela restoran di Manhattan, atau sekedar bermain hujan di jalanan Tokyo.

Dan susah melihat diri saya sendiri membayangkan soal settle down, having nice marriage tanpa sebelumnya mengimajinasikan hal hal di atas :D

Eniwei, ini keponakan saya yang baru berusia 4 bulan. Akhir akhir ini sudah tidak begitu rewel lagi, tidak seperti saat pertama ia dan kakak tinggal di rumah. Menghabiskan hari sambil mengunyel unyel gumpalan lemak seperti ini rupanya bisa sangat menyenangkan. Sebentar lagi Oktober tiba, saya dan kakak mulai merencanakan untuk membangu usaha di rumah. Outlet pengisian pulsa dan rental komputer, mungkin laundry, dalam sebulan dua bulan ke depan.

Sementara saya, akan memulai pencarian kerja dan menebar lamaran ke mana mana. Sekedar menjadi juru ketik, cukuplah. Tidak bisa bermuluk muluk jika yang kamu kantongi hanya ijazah SMA :D kalau ada kabar mengenai bursa kerja, mohon kasih tau saya ya!


Repost : Telepon Tuhan

Sore itu kuseduh segelas kopi. Kuaduk pelan dan kusesap aromanya beberapa saat. Harum, kalau ini sebangsa teh, pastilah namanya teh poci atau teh melati. Kulirik bungkusnya, tanpa nama, putih keabuan tanpa marka. Kuangkat bahu sepintas, tak penting apa namanya, yang penting aku tau ini kopi.


Sebentar, darimana aku bisa tahu bahwa yang sedang kusesap baunya ini adalah kopi? Karena warnanya hitam pekatkah? Ah, aspal juga warnanya hitam. Oli juga, air got, dan berputarlah nama nama cairan berwarna hitam di kepalaku. Sendok kecil masih berdenting sesekali saat berbentur dengan dinding gelas.


Kuletakkan gelas berisi kopi (atau sesuatu –apapun itu-yang kuanggap sebagai kopi) di atas meja dekat telepon. Berseberang dengan meja kecil bermahkota telepon, ada televisi, tengah menyala. Suaranya pelan, kumatikan sekalian. Kulirik telepon bertombol belasan itu. Kopi masih mengepul, urung kuminum. Gagang telepon berderit gaung, gegas kupencet beberapa digit nomor. Tut.. tut..


“Halo,” aku bersuara kala nada ‘trek’ terdengar di ujung sana.

Masih diam, kuulang mengucap halo.


“Hey, kamu rupanya, lama betul tak menyapa” suaranya masih sama, selalu sama, menyejukkan dan semilir.

“Saya kangen” ujarku.


Aku sudah nyaris lupa kapan terakhir aku menghubunginya. Rasa rasanya sejak aku berhenti meminum kopi. Atau sejak aku melupakan aroma teh melati. Entahlah, suaranya kini mengetuk kepalaku.

“Ah kamu, kalau kangen kenapa tak pernah menelpon?”


Aku kini terkikik mendengar jawabannya, dia benar, bagiku kata kangen sudah seperti rutinitas semata. Setiap hari aku mengatakan kangen nyaris kepada semua hal. Lama lama kangenku menjadi blur, antara kangen sungguhan atau kangen basa basi.


“Saya sedang sibuk, dunia sedang seru akhir akhir ini,” sahutku.

Aku lantas mereka reka kejadian terakhir dalam hidupku. Kantor, rumah, buku buku, kantor, rumah, buku buku. Ya ya, seru sekali rupanya, aku melengus sendiri.


Suara di seberang sana kini memintaku diam dan mendengarkannya. Aku terlalu sayang pada pemilik suara hingga jangankan membantah, bernafaspun rasanya tidak kulakukan saat menikmati suaranya.

“Aku mengerti, kamu terlalu sibuk memikirkan sesama manusia dan kompleksitas mereka, bukan?”

Suaranya berjeda, ada nada tanya. Entah retorik entah sungguhan menanti jawab.


Aku diam, bisa kudengar nafasnya di gagang telepon. Ah bahkan mendengar nafasnya saja, aku sudah mabuk kepayang, diam dalam diam. Kini aku dan dia sama sama diam. Aku menjawab pertanyaannya dengan menggeleng pelan. Aneh, meski kami berbicara lewat telepon, dia bisa tau bahwa aku tengah menggeleng.

Dia memang selalu memukauku dengan segala keanehannya.


“Lalu kamu sedang berfikir tentang apa?” cecarnya setelah melihatku menggeleng

“Saya memikirkan kapan saya naik pangkat, kapan saya bisa membangun rumah yang lebih besar dan kapan buku buku itu habis saya baca” jawabku. Aku tidak pernah mampu berbohong padanya.


Kini nafasku yang terdengar di gagang telepon. Tunggu, darimana aku tau bahwa ini adalah nafasku bukan nafasnya? Apa yang membuat nafas kami begitu berbeda padahal keduanya hanyalah soal menghirup dan menghela semata? Telepon bergeresak, kusepak kabel biru yang melalar keluar jendela. Kini geresaknya hilang, berganti suara.


“Kamu membuatku sedih…” ucapnya yang kemudian disusul kebekuan suara, nafasnyapun tak terdengar.

Aku panik, tak pernah kubayangkan lebih lebih kuniatkan untuk membuatnya sedih. Jemariku kini melilit lilit kabel ulir yang menautkan gagang telepon dan papan plastik berisi belasan nomor. Kini kudengar nafasku sendiri, berderu deru nyaring memburu. Sekarang aku mengerti apa yang membedakan nafasku dan nafasnya. Nafasnya selalu sama, lembut teratur menentramkan jiwa. Nafasku bermelodi, kadang tinggi kadang lambat kadang tak ada sama sekali. Rupanya nafas bukan hanya soal menghirup dan menghela semata. Ada nyanyian di sana.


Teleponku masih bungkam. Aku mulai menangis, jemariku kini mengusut lelehan airmata yang mengaliri ceruk pipi, leher hingga nyaris ke dada. Isakku rupanya tertangkap gagang telepon dan sampai ke ruang dengarnya.

“Terlalu banyak kata ‘saya’ dalam jawabmu, aku sedih, rupanya jangankan aku, orang orang di sekitarmupun tak mendapat porsi dalam pikiranmu” suaranya merdu, paling merdu,


Airmataku kering, ingin kulontarkan maaf untuknya. Tapi urung kulakukan. Saat ini tak bisa kubedakan apakah maaf yang kurasakan adalah maaf sungguhan atau sekedar maaf basa basi. Jutaan maaf kuucapkan

kepada jutaan hal setiap hari. Hingga batasan maaf sungguhan dan maaf basa basi menjadi kabur, baur.


“Aku tau kamu menyesal, oh aku terlalu menyayangimu hingga tak bisa sesaatpun menguntai benci padamu” suara paling merdu itu kembali menguar.

Heran, dia selalu bisa membaca pikiranku.


“Saya tidak suka mereka, mereka penuh benci dan prasangka” gumamku, meraih remote televisi, menghidupkannya, mencari cari kanal berita. Suara televisi kutiadakan. Aku tidak perlu suara lain jika dia yang bersuara di ujung telepon sudah mampu memenuhi segala kebutuhanku akan suara.


“Kamu tidak suka pada mereka yang penuh benci? Hahaha” dia tertawa dengan tawa paling indah yang pernah kudengar.

Heran, suara tawanya saja mampu membuatku turut senang.

“Saya tau, saya tak berbeda dengan mereka yang membenci jika bagi saya masih ada rasa tidak suka” Aku berpura pura menggerutu, ingin menarik perhatiannya.


Sejurus kemudian aku sadar, tak perlu berpura pura, dia selalu memberiku perhatian. Ah, rasa sayangnya padaku memang keterlaluan!

Lagi lagi dia seperti membaca pikiranku, kini bertanya.


“Kamu sayang padaku?” ucapnya, tanpa nada klise sama sekali.

Aku, entah, rasa rasanya sudah bermilyar kali mendapat pertanyaan seperti itu dari bermilyar hal dalam hidupku.

Hingga remang bagiku batasan atas pertanyaan klise dan pertanyaan basa basi dari tiga kata itu. Kamu-sayang-padaku?

Aku biasanya tak menjawab, sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk tidak menjawab segala hal yang masih (atau sudah) tak jelas batasannya bagiku. Tapi kali ini berbeda, pertanyaannya sama sekali tidak terdengar klise. Begitu tulus, paling tulus.


“Tentu, saya sayang padamu.” Kubiarkan suaraku terdengar menggantung, mengharap respon. Percuma, sebenarnya, dia selalu memberi respon atas semua pertanyaan dan pernyataanku. Hanya aku yang dibuai sibuk oleh keakuanku hingga lupa dan hilang perhatian atas responnya. Kali ini kucermati suaranya. Dia kembali menguntai tawa.

“Aku senang, kamu rupanya masih sayang pada dirimu sendiri. Susah ya, untuk berhenti tidak menyukai?” tanyanya lagi, kabel ulir menyentuh mulut gelas, nyaris menyentuh genang kopi (atau sesuatu yang kuanggap kopi) di atas meja. Kusentak perlahan, riak permukaannya kini tenang, tidak pula terlihat kepul asap berbau wangi dari dalam gelas. Sepertinya sudah dingin


“Televisi sedang menjualmu” kupaparkan padanya tentang iklan yang menjualnya secara grosir maupun eceran. Beserta sumber tenaga yang bisa diisi ulang dengan dicolokkan ke listrik. Juga tentang pernak pernik pendukungnya. Ada hijau, hijau sekali, putih, merah, biru hingga marka marka berbentuk kotak, gumpalan rumput berbuah, kepalan tangan hingga silangan senjara tajam.

“Saya kesal kamu dijual begitu” lanjutku

Dia tertawa lagi. Dia selalu menemukan cara untuk menertawakan apa yang kubenci dan mengundang

marahku. Dia humoris, paling humoris.


“Biarkan saja, yang menjualku justru bisa membuatku semakin terkenal. Kalau aku sudah terkenal, aku akan muncul di spanduk spanduk dekat kantormu, papan iklan di depan rumahmu, bahkan di setiap sampul buku yang kamu baca,” ujarnya, terdengar riang.

Dia melanjutkan dengan nada semakin riang


“Jadi, kamu akan menemukanku di kantor, rumah dan buku. Di setiap pikiranmu. Kamu akan selalu kangen padaku, duh, senangnya”

Aku tersipu, dia masih ingat hal hal kecil tentangku.

“Ah kamu! Saya jadi geer nih. Beberapa dari mereka selalu mencoba mengklaim bahwa kamu hanya milik mereka. Yang tidak setuju dimusuhi. Kadang, yang dimusuhi membalas mengklaim kamu. Mereka berebut kamu. Saya sebal sekali” gerutuku tak berbendung.


“Ciee.. kamu cemburu?” dia menjawab, dengan pertanyaan baru.

Wajahku terasa panas, kupingku apalagi, seperti ada yang mengigit gigit. Berkali kali kutepis anak rambut yang sebenarnya tak jatuh ke wajah. Gila, dia selalu tau cara membuatku salah tingkah. Jawaban terjujur kini tercetak di wajahku, aku bersyukur menghubunginya melalui telepon sehingga ia (kupikir) takkan bisa melihat wajahku. Aku berdehem, mencoba mengalihkan pertanyaannya.


“Kamu sedang sibuk?” tanyaku, mengambil sepotong koran dari bawah meja. Koran pagi tadi, kulipat kecil dan kukipas kipaskan pada wajahku yang merah padam.

“Hihihi, aku tidak pernah sibuk, engga seperti kamu yang sibuk terus sampai lupa buat kangen padaku,”

“Ah. Iya deh saya minta maaf,” aku kembali memasang nada merajuk padanya.

Dia kembali tertawa, “Eh, jadi kamu engga cemburu nih sama mereka yang sibuk memperebutkanku?”

Aku bergumam gumam.


Aku mengalihkan pandangan yang sedari tadi terfokus pada genangan kopi dalam gelas. Aku menatap televisi, ada ratusan orang tengah berteriak teriak sambil memukuli pria bercelana sarung. Pria itu tersungkur, wajahnya tunarupa. Bilur biru di sekujur tubuh. Aku melihat balok kayu dan laras besi menghujani tubuh si pria bercelana sarung. Sumpah serapah mengalun disela teriakan teriakan. Aneh, padahal televisi sudah kutiadakan suaranya, namun masih saja jeritan si pria bercelana sarung saat meregang nyawa hinggap di kupingku. Mungkin juga hinggap di gagang telepon, tersampaikan padanya.


“Mereka meneriakkan namamu saat membunuh pria itu,” bisikku pelan. Begitu pelan hingga aku ragu ia bisa mendengar kata kata yang bahkan tak sampai ke kuping kiriku itu.

“Siapa bilang itu namaku?” ia menjawab dengan tenang.

“Tapi televisi bilang itu kamu, namamu” aku lantas terdiam. Kata kata itu meluncur mendahului otakku untuk memikirkan maksudnya apa.

Dia masih di sana, menjawab dan terus merespon setiap nafasku.

“Jadi sekarang kamu lebih sayang televisi nih dibanding aku?”

“Huh! Nanti lama lama kamu bisa berhenti kangen padaku. Soalnya kamu fikir aku sudah ada di televisi,”


Aku tau dia hanya bercanda, tak pernah merajuk. Tidak sepertiku yang begitu mudah ngambek dan mogok menelponnya kala dia (kuanggap) tidak meresponku.

“Kalau suatu saat, mereka tau bahwa saya selalu menelepon kamu, lantas telepon ini diambil karena saya dianggap merebut kamu dari mereka, gimana?” lega, apa yang mengganggu pikiranku sejak melihat televisi tadi kini sudah kutanyakan.


Tut… tut… tut…

Telepon terputus tiba tiba.


Kutarik tarik kabel biru yang menjalar lewat jendela. Kupencet pencet tombol redial. Setengah putus asa kuguncang guncang papan plastik berisi belasan nomor. Tak sengaja tersenggol gelas kopi, prang! Pecah di lantai ubin. Aku kini menangis sejadinya, genangan pekat kopi bercampur lelehan airmata. Teleponku padanya tak pernah diputus (atau mungkin terputus) tiba tiba. Genangan kopi yang tak sempat terminum itu merembes ke karpet, perlahan mengalir hingga menyentuh steker listrik untuk televisi. Aku melihat percikan bunga api, perlahan membesar lantas terdengar letupan.


Televisi hitam, korslet.

Telepon berdering. Aneh, kabel biru yang menjalar di jendela telah kucabut. Bergegas kutempelkan

gagangnya ke kuping kanan.

“Dasar cengeng,” dia tertawa, aku merengut sambil menyeka airmata.

“Jangan lakukan lagi, saya kira kamu meninggalkan saya” suaraku tertahan tahan, mengisak isak.


“Habisnya, kamu selalu berbicara tentang televisi. Aku kan jadi cemburu,”

Aku menatap layar televisi yang hitam. Tidak lagi kulihat iklan yang menjualnya secara grosir maupun eceran. Beserta sumber tenaga yang bisa diisi ulang dengan dicolokkan ke listrik. Juga tentang pernak pernik pendukungnya. Yang berwarna hijau, hijau sekali, putih, merah, biru hingga marka marka berbentuk kotak, gumpalan rumput berbuah, kepalan tangan hingga silangan senjara tajam.

Tidak pula kulihat pria bercelana sarung yang dipukuli sampai mati oleh ratusan orang yang meneriakkan namanya di sela hujan sumpah serapah. Ruang tengah rumahku kini begitu tenang. Aku kini mengerti, bahwa dia hanya cemburu.


Bahwa dia ternyata tak ingin aku membenci orang lain karena televisi. Aku tersenyum, kuucapkan selamat malam padanya.Menuju tidur.

“Baiklah, kamu harus tidur, aku akan sangat kangen padamu. Hm.. sebelum kamu tidur, aku boleh ucapkan sesuatu?” aku menghela nafas, kusiapkan diri untuk menerima ucapannya.

“Apa itu?”


Suaranya nyaris samar. Antara udara malam dan aku yang kian mengantuk.

“Kamu tidak perlu melaporkan semua kebencian yang menguar di televisi padaku. Percayalah, aku sudah tahu

bahkan sebelum pria bercelana sarung itu mati dipukuli orang orang yang meneriakkan, kata televisimu, namaku. Aku sudah tahu bahkan sebelum iklan tentangku dimuat di televisimu. Kamu tidak membenciku karena ini, kan? Aku tahu bahwa kamu takkan menganggapku telah membiarkan mereka saling membunuh karena memperebutkanku. Aku tahu, dan aku akan bekerja dengan caraku.,”

Senyumku semakin lebar saat dia mengucapkan selamat tidur untukku. Kututup telepon dan mengulangi kata katanya.

Bahwa;


Dia ada, Paling Ada. Dia tau, Paling Tau.



***

Ditulis di hari Minggu, enam Pebruari 2011. Hari ini tiga orang meninggal dan sedikitnya 25 Jemaah Ahmadiyah Indonesia luka luka. Penyerangan dilakukan 500an orang di masjid mereka di Cikeusik, Pandeglang Banten.