Kadang, ada beberapa hal yang tidak laik untuk ditulis dalam sosial media. Pertama, karena terlalu personal. Sosial media adalah tempat di mana seorang asing bertemu dengan asing lainnya. Saat pertemanan menjadi semudah follow-add as friend-pin request, batasan antara hal hal pribadi sebaiknya dipertegas, antara dibagikan atau untuk konsumsi sendiri :)
Kedua, some people just not giving a shit on it. Ketika seseorang asing di halaman facebook saya -oh well, saya tipikal orang yang sulit meng-ignore permintaan pertemanan- mengenai betapa ia menderita lantaran pacarnya tidak menelpon seharian, saya, seperti yang telah disebutkan di atas, not giving any shit on it.
Pada akhirnya, sosial media menjadi tempat dengan setiap sudut berisi orang orang yang gemar memamerkan segalanya. Seni menelisik seseorang dengan menerka nerka apa makanan favortinya, siapa musisi kesukaannya menjadi hilang saat mengenal seseorang menjadi semudah membaca brosur membosankan di ruang tunggu rumah sakit.
Atau, sejauh mana kita merasa dekat dengan seseorang yang telah memodifikasi segala tentang dirinya. Maka, jadilah bijak. Berkawan baiklah dengan satu-dua orang, mereka akan mendengarkan semua keluh kesah tentang pacar yang sulit dihubungi. Atau belilah buku diary, tuliskan segala lelah di sana dan berharap ada teman khayalan yang membacanya. Just like what I did when I was young girl.
Kelak (atau mungkin sudah terjadi) hal ini membuat euforik yang menyebabkan kita, perlahan kehilangan commonsenses. Saat gelandangan dan pengemis menjadi objek menarik untuk difoto dalam efek melankoli sedemikian rupa untuk dipajang dalam halaman jejaring sosial. Untuk ditautkan dengan orang orang asing yang kemudian beramai ramai memberikan komentar tentang betapa kita telah kehilangan commonsenses.
Juga ketika satu isu kemanusiaan, politik, genting nasional yang menjadi topik di setiap forum dan jejaring. Dengan ribuan threat dan diskusi tanpa satupun menuai hasil kecuali satu-dua demo dan beberapa badan amal yang tak dillirik banyak orang. Setiap orang seolah menjadi superior atas seorang lain berdasar dari berapa banyak orang orang asing yang ia jadikan teman di dunia maya.
Indonesia mungkin belum separah negara negara besar yang sudah mengenal internet sejak berpuluh tahun lalu. Dunia barat sudah menemukan eranya sendiri. Sebuah masa di mana orang bunuh diri lantaran kawan dibully di dunia maya* sebuah masa di mana begitu mudah melemparkan kata kata serapah terhadap seorang persona non grata
Tapi, ini semua hanya soal waktu
Lalu apa yang harus dilakukan? tidak menggunakan internet, berkeliling dunia dan bergabung dalam PETA, satgana, atau bahkan, menjadi aktivis anarki?
Entahlah :D
Betapa saya merindukan masa di mana setiap orang menggembok diary dan hanya memperbolehkan kawan kawan paling dekatnya untuk membaca dan mengetahui,
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"
***
No comments:
Post a Comment