Saya rasa setiap perempuan tumbuh besar dengan melihat punggung ayahnya. Meraba dan mengkomparasi laki laki yang akan singgah di hidupnya dengan sang ayah. Sayapun demikian. Betapa ayah memiliki peranan besar dalam hidup saya :)
Kala saya masih kanak kanak, ayah selalu menjadi penyelamat dari amukan ibu. Tidak ada yang salah dengan ibu saya, beliau layaknya seluruh ibu di seluruh dunia, yang sungguh pandai mendidik anak walaupun kadang sedikit keras. Ayah yang menghentikan tangisan saya saat ibu mencubit lantaran saya mangkir ngaji dan berangkat ke TK Al Quran. Ayah pula yang mengganti airmata dan bilur di tubuh saya dengan satu-dua buah arumanis, yang kemudian membuat saya batuk batuk, mengundang lagi amarah ibu :D
Ayah yang tidak pernah marah, selalu mengajari saya tentang bersyukur. Bersyukur bahwa kami masih bisa makan, memiliki rumah dan tidak kedinginan. Ini meredam semua rengekan saya atas boneka barbie dan tas bergambar sailor moon yang kala itu dimiliki semua teman perempuan di sekolah. Bersyukur bahwa saya masih bisa sekolah dan hidup dengan orangtua yang masih lengkap.
Kemudian saya tau, batuk rejan ayah kambuh gara gara bekerja terlampau keras, demi memenuhi ingin saya akan boneka barbie dan tas bergambar sailormoon.
Ayah adalah yang paling bangga saat saya menjadi wartawan. Beliau menjadikan saya headline dalam setiap percakapan dengan koleganya di ruang tamu.
Ayah datang dengan menaiki kapal dari pelosok Banjarmasin ke kota sampit tanpa membawa apapun kecuali mimpi akan kehidupan yang lebih baik di tahun 70an. Ayah yang terlahir dari keluarga penyadap karet bersaudara sepuluh dan tak ingin menjadi beban orangtuanya. Beliau masih 20 tahun, saat tiba di Sampit, bekerja keras selama dua tahun (when I say 'hard' here, it means 'hard, really hard') untuk mengumpulkan modal melamar ibu.
Ayah yang berkali kali mengobarkan semangat saya untuk bekerja keras. Beliau seorang penjual minyak tanah keliling yang harusnya tau betul, bahwa batuk rejan yang kerap berujung muntah darah yang beliau idap tidaklah berjodoh dengan aroma minyak tanah yang harus dihirup setiap hari. Atau di suatu sore, kecelakaan mematahkan kaki kiri beliau saat mengantar pesanan mitan. Hanya perlu waktu tiga bulan untuk beliau istirahat di rumah untuk kembali berjualan.
Ini yang mendorong saya untuk menjadi seperti ayah. Bepergian lebih jauh lagi dari beliau, untuk kehidupan yang lebih baik. Untuk memenuhi semua janji pada diri sendiri. Untuk memastikan ayah dan ibu memiliki masa tua yang bahagia dan berkecukupan tanpa harus bekerja sama sekali.
Dan beliau masih terus membanggakan saya yang saat ini bisa mengoperasikan kompueter dan membuat desain undangan sederhana, usaha percetakan, dan saya sebagai seorang penyiar radio.
Entah angin apa yang menyeret saya untuk menulis tentang ayah. Mungkin lantaran saya sedang dalam perdebatan pelik dengan beliau. Menulis ini untuk sekadar mengingatkan saya bahwa beliau yang terbaik, dan selalu yang terbaik :D
Berapa banyak yang telah ayah berikan. Betapa saya belum bisa berbuat apa apa..
Berapa banyak yang telah ayah berikan. Betapa saya belum bisa berbuat apa apa..
No comments:
Post a Comment