Sunday, November 20, 2011

Tentang Ayah

Saya rasa setiap perempuan tumbuh besar dengan melihat punggung ayahnya. Meraba dan mengkomparasi laki laki yang akan singgah di hidupnya dengan sang ayah. Sayapun demikian. Betapa ayah memiliki peranan besar dalam hidup saya :)

Kala saya masih kanak kanak, ayah selalu menjadi penyelamat dari amukan ibu. Tidak ada yang salah dengan ibu saya, beliau layaknya seluruh ibu di seluruh dunia, yang sungguh pandai mendidik anak walaupun kadang sedikit keras. Ayah yang menghentikan tangisan saya saat ibu mencubit lantaran saya mangkir ngaji dan berangkat ke TK Al Quran. Ayah pula yang mengganti airmata dan bilur di tubuh saya dengan satu-dua buah arumanis, yang kemudian membuat saya batuk batuk, mengundang lagi amarah ibu :D

Ayah yang tidak pernah marah, selalu mengajari saya tentang bersyukur. Bersyukur bahwa kami masih bisa makan, memiliki rumah dan tidak kedinginan. Ini meredam semua rengekan saya atas boneka barbie dan tas bergambar sailor moon yang kala itu dimiliki semua teman perempuan di sekolah. Bersyukur bahwa saya masih bisa sekolah dan hidup dengan orangtua yang masih lengkap.

Kemudian saya tau, batuk rejan ayah kambuh gara gara bekerja terlampau keras, demi memenuhi ingin saya akan boneka barbie dan tas bergambar sailormoon.

Ayah adalah yang paling bangga saat saya menjadi wartawan. Beliau menjadikan saya headline dalam setiap percakapan dengan koleganya di ruang tamu.

Ayah datang dengan menaiki kapal dari pelosok Banjarmasin ke kota sampit tanpa membawa apapun kecuali mimpi akan kehidupan yang lebih baik di tahun 70an. Ayah yang terlahir dari keluarga penyadap karet bersaudara sepuluh dan tak ingin menjadi beban orangtuanya. Beliau masih 20 tahun, saat tiba di Sampit, bekerja keras selama dua tahun (when I say 'hard' here, it means 'hard, really hard') untuk mengumpulkan modal melamar ibu.

Ayah yang berkali kali mengobarkan semangat saya untuk bekerja keras. Beliau seorang penjual minyak tanah keliling yang harusnya tau betul, bahwa batuk rejan yang kerap berujung muntah darah yang beliau idap tidaklah berjodoh dengan aroma minyak tanah yang harus dihirup setiap hari. Atau di suatu sore, kecelakaan mematahkan kaki kiri beliau saat mengantar pesanan mitan. Hanya perlu waktu tiga bulan untuk beliau istirahat di rumah untuk kembali berjualan.

Ini yang mendorong saya untuk menjadi seperti ayah. Bepergian lebih jauh lagi dari beliau, untuk kehidupan yang lebih baik. Untuk memenuhi semua janji pada diri sendiri. Untuk memastikan ayah dan ibu memiliki masa tua yang bahagia dan berkecukupan tanpa harus bekerja sama sekali.

Dan beliau masih terus membanggakan saya yang saat ini bisa mengoperasikan kompueter dan membuat desain undangan sederhana, usaha percetakan, dan saya sebagai seorang penyiar radio. 

Entah angin apa yang menyeret saya untuk menulis tentang ayah. Mungkin lantaran saya sedang dalam perdebatan pelik dengan beliau. Menulis ini untuk sekadar mengingatkan saya bahwa beliau yang terbaik, dan selalu yang terbaik :D 


Berapa banyak yang telah ayah berikan. Betapa saya belum bisa berbuat apa apa..

Wednesday, November 16, 2011

Social Media

Kadang, ada beberapa hal yang tidak laik untuk ditulis dalam sosial media. Pertama, karena terlalu personal. Sosial media adalah tempat di mana seorang asing bertemu dengan asing lainnya. Saat pertemanan menjadi semudah follow-add as friend-pin request, batasan antara hal hal pribadi sebaiknya dipertegas, antara dibagikan atau untuk konsumsi sendiri :)

Kedua, some people just not giving a shit on it. Ketika seseorang asing di halaman facebook saya -oh well, saya tipikal orang yang sulit meng-ignore permintaan pertemanan- mengenai betapa ia menderita lantaran pacarnya tidak menelpon seharian, saya, seperti yang telah disebutkan di atas, not giving any shit on it.

Pada akhirnya, sosial media menjadi tempat dengan setiap sudut berisi orang orang yang gemar memamerkan segalanya. Seni menelisik seseorang dengan menerka nerka apa makanan favortinya, siapa musisi kesukaannya menjadi hilang saat mengenal seseorang menjadi semudah membaca brosur membosankan di ruang tunggu rumah sakit.

Atau, sejauh mana kita merasa dekat dengan seseorang yang telah memodifikasi segala tentang dirinya. Maka, jadilah bijak. Berkawan baiklah dengan satu-dua orang, mereka akan mendengarkan semua keluh kesah tentang pacar yang sulit dihubungi. Atau belilah buku diary, tuliskan segala lelah di sana dan berharap ada teman khayalan yang membacanya. Just like what I did when I was young girl.

Kelak (atau mungkin sudah terjadi) hal ini membuat euforik yang menyebabkan kita, perlahan kehilangan commonsenses. Saat gelandangan dan pengemis menjadi objek menarik untuk difoto dalam efek melankoli sedemikian rupa untuk dipajang dalam halaman jejaring sosial. Untuk ditautkan dengan orang orang asing yang kemudian beramai ramai memberikan komentar tentang betapa kita telah kehilangan commonsenses.

Juga ketika satu isu kemanusiaan, politik, genting nasional yang menjadi topik di setiap forum dan jejaring. Dengan ribuan threat dan diskusi tanpa satupun menuai hasil kecuali satu-dua demo dan beberapa badan amal yang tak dillirik banyak orang. Setiap orang seolah menjadi superior atas seorang lain berdasar dari berapa banyak orang orang asing yang ia jadikan teman di dunia maya.

Indonesia mungkin belum separah negara negara besar yang sudah mengenal internet sejak berpuluh tahun lalu. Dunia barat sudah menemukan eranya sendiri. Sebuah masa di mana orang bunuh diri lantaran kawan dibully di dunia maya* sebuah masa di mana begitu mudah melemparkan kata kata serapah terhadap seorang persona non grata

Tapi, ini semua hanya soal waktu

Lalu apa yang harus dilakukan? tidak menggunakan internet, berkeliling dunia dan bergabung dalam PETA, satgana, atau bahkan, menjadi aktivis anarki?

Entahlah :D

Betapa saya merindukan masa di mana setiap orang menggembok diary dan hanya memperbolehkan kawan kawan paling dekatnya untuk membaca dan mengetahui,

"Apa yang sedang kamu pikirkan?"

***