Thursday, November 29, 2012

Soal Koreksi Diri


2012 dan masih belum bisa tidak peduli atas segala sangkaan orang lain. Belum mampu memenuhi mimpi. Maaf.

Thursday, November 22, 2012

Tentang Kematian

Saya masih belum menyentuh konsep kematian. Sebab katanya, untuk bisa mengerti soal ini, seseorang harus bersinggungan langsung dengan kesedihan nyata saat ditinggalkan orang terdekat. Jadi sebutlah saya meraba raba, soal ranah yang belum saya cecap ini. Kelak dalam paragraf selanjutnya akan tertumpah semua upaya pembelaan diri, pertunjukan kesiapan serta keluhan atas yang mengeluh soal kematian.

https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcShYipqpY-HaQ3d4OBtJqJmBbbvALCb7zwt3yZvjFPoVGlwviAs
menemukannya di google untuk keyword "peaceful death"
Kematian bukan perkara mudah untuk dijelang. Televisi menayangkan orang orang yang bersigap untuk menghindari maut pada saat kiamat. Untuk tetap hidup dan meneruskan kehidupan.  

Pengetahuan saya soal dunia sana nihil jika spekulasi hari akhir ala kitab suci dikesampingkan. Sebab semuanya merupakan imajinasi yang masih hidup. Jadi perkara dosa-pahala tidak mengambil bagian dalam keinginan saya untuk kelak jika sudah tua dan belum mati juga, saya akan memilih euthanasia.

Ini bukan ekstensi dari sikap petantang petenteng sufistik yang bergelut lekat dengan sang Ala' sehingga kematian tidak terasa menakutkan. Bukan pula upaya mengukuhkan citra agar terlihat berbeda dan pemberani. Saya masih menjerit saat melihat serangga jenis apapun mendekati saya, masih tidur dalam teduhan lampu sebab gelap terasa mengerikan.

Sebab hidup akan berakhir, bagaimanapun juga. Seperti sebuah picu yang diletuskan dari sirkuti bernama rahim untuk kemudian menemui titik henti. Dalam masanya tentu saya akan bertemu dengan orang orang tertentu yang di kemudian hari akan menjadi faktor pemberat saat akan meninggal dunia. Soal cinta, sayang, keengganan meninggalkan kenyamanan.

Tapi apa yang nyaman dari menjadi beban? Dari menjadi tua, tidak bisa berkontribusi banyak dalam perputaran hidup sang penanggung, dari tidak berkemampuan untuk bahkan mengingat tanggal lahir diri sendiri.  Lalu hidup menjadi begitu monoton hingga perasaan jenuh meluap murka pada ranjang dan selang selang penunjang hidup.

Dalam pengembaraan ujung kehidupan, satu satunya yang menenangkan hanyalah kenangan. Akan masa muda, pacar pertama, pernikahan, kelahiran anak pertama kedua ketiga, lalu cucu dan jejak jejak petualangan dunia luar. Atau justru harapan yang terus dihidupkan agar ada kiranya sejengkal waktu sebelum semuanya terenggut untuk memenuhi keinginan bertualang.

Atau bagaimana jika saya justru mati dalam hitungan hari ke depan. Seberapa siap untuk pergi sementara akan ada banyak hal yang disayangkan lantaran tak sempat ditunaikan. Saya tidak siap, tidak akan pernah siap. Euthanasia justru menjadi alternatif ternyaman sebab saya takut akan sakratul maut yang konon katanya menyakitkan.

Soal apakah itu akan mempengaruhi sikap saya dalam menjalani kehidupan di dunia, kita lihat saja. Hidup dengan semua kepelikannya sudah saya pilih untuk dijalani, kelak saya akan singgah dalam kehidupan seseorang dan menjadi bagian dari partikel partikel kecil yang saling bersinggungan hingga seluruh dunia terhubung dalam akar yang sama.

Atau terurai menjadi debu atomis yang meruap ke udara lalu hilang. Entah.

Monday, November 19, 2012

Buang Perangai dan Paku Picik

Apa istilah untuk seseorang yang ujug ujug bersikap baik di akhir hidupnya? Dalam bahasa Banjarmasin itu disebut buang perangai. Tiga paragraf cerpen muncul gara gara sepanjang akhir pekan memutar otak untuk mencari istilah yang benar dalam bahasa Indonesia. 
Semua perangai buruk harus termaafkan sebelum aku bunuh diri. Dua minggu berselang sejak keinginan itu datang dan aku kini tengah menanti bus yang akan membawaku ke kota tempat Ratri berada.

Ia temanku semasa sekolah dulu, sepuluh tahun yang lalu. Kekasihnya sempat kurebut atas nama kesal sebab nilai ujiannya selalu selangkah di depanku. Ratri marah besar, aku tak pernah meminta maaf. Selepas sekolah ia pergi ke luar kota, tidak pernah lagi kudengar kabarnya hingga halaman jejaring sosialku menautkan akun pribadinya.

Ratri kini telah memiliki dua anak dan sebuah butik, setidaknya itu yang kubaca di jejaring sosialnya. 
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTx4qwNj5v1-cmSZhOgO1QtLFWkHn1UBg6L3PSRLiTP1zn2ab9V
Paku Picik
Dan tentu saja, cerpen ini tidak dilanjutkan. Karena nenek moyang terbiasa membaca pertanda alam untuk memprediksi kapan harus melakukan sesuatu, perubahan perilaku yang mendadakpun diasosiasikan sebagai sinyal kematian. Because fuck logic and mathematical sense, right? lalu produk zaman modern serupa surat kabarpun memuat kalimat "Semasa hidupnya, korban dikenal sebagai seorang pemabuk namun tiga hari jelang kematiannya, ia kerap terlihat mengunjungi surau di waktu subuh" padahal bisa saja si korban numpang pipis, hangover berlebihan dan butuh tempat buat tidur atau, nyolong duit sumbangan, kan?

Istilah buang perangai dalam bahasa Indonesia belum ditemukan. Sama seperti paku picik, meski sudah menemukan istilah thumb tacks (meski lebih ke paku gabus dibanding paku picik) dan terasa lebih memuaskan daripada harus menggunakan bahasa Indonesia menjadi paku tekan (tidak satupun toko ATK yang mengerti), paku payung (yang kemudian mengalihkan saya ke toko bangunan terdekat) dan paku jempol (sebagian mengerti setelah saya peragakan cara penggunaannya)

 Sial, untuk berbuat baik saja mesti dikira tengah menuju mati. Bangsa pesimistis.




Thursday, November 15, 2012

Sejauh Mana Kau Inginkan Sunyi?

PMS memang selalu menjadi periode paling kontemplatif. Dalam upaya memperbanyak posting blog agar tidak terlalu tertinggal dibanding tahun sebelumnya.

Privasi menjadi kebutuhan mutlak yang tidak bisa ditawar. Aturan aturan soal pelanggarannyapun disusun sedemikian ruwetnya hingga tanpa sadar pelakunya sudah menjalani standar ganda. “Kamu ga boleh nanya nanya soal urusan dapur saya,” ujar penjunjung privasi yang sepuluh menit kemudian memunculkan deretan foto dirinya tengah mengunyah makanan kesukaan di restoran kesayangan dengan caption berisikan ia tengah maka apa dengan siapa di mana jam berapa dalam akun jejaring sosialnya.

Tentu, tidak ada yang lebih menyebalkan dari tetangga yang menyetel keras keras mini komponya di pagi buta, saat saya tengah sakit gigi. Atau berisiknya pedagang panci yang kalau berjualan harus menggunakan megaphone diiringi lagu dangdut yang noraknya minta ampun. Atau seorang asing yang ujug ujug nanya kapan saya nikah.

Dinding dinding tinggi ditegakkan. Suara suara diredam dalam bilik bilik berlapis serat kaca. Demi menghindari gaung di tanah lapang ujung desa yang menyajikan wayang disusul campursari hingga larut malam minggu. Tentu setelah layangan protes diindahkan sang pemilik hajat yang mengantongi kertas legalisir lungsuran dari aparat.

Sambil menonton wayang penduduk desa sibuk dengan ceritanya masing masing. Bapak Budi naik haji, sawah mulai kekeringan hingga harga sembako yang lagi melambung tinggi. Lalu tertawa, atas wayang, atas hidup yang tidak kunjung beruntung, sambil sesekali meraih kacang rebus dan kopi hangat. Sementara dalam bilik serat kaca, suara tetap membahana. Melalui televisi dan deretan gadget mutakhir dengan kesibukan serupa, berbagi cerita, berita, gosip, lebih lebih pertukaran rayu.

 Kesunyian adalah kawan yang baik. Ia memberikan ruang dalam perputaran riuh dan membuatmu mengenal diri sendiri melebihi apapun. Namun sunyi seperti apa yang dibutuhkan hingga semua kanal pertemuan ditutup? Sejauh mana sunyi yang akan didapatkan dengan menolak berinteraksi hanya karena sekitar tidak sejalan dengan apa yang kamu mau?

Maka cukupkan kegiatan yang kamu sebut sebagai periode kontemplasi. Kesunyian terluas ada di luar sana, bersembunyi di balik riuh rendah suara jalan raya. Di sela sela ranum buku baru dengan ideologi baru. Terselip di antara decit ban mobil mobil angkutan yang mengantarkanmu ke sebuah pagelaran musik.

Hidup adalah proses menemukan, sebabnya sejarah mengajarkan kita untuk terus melakukan perjalanan. Dan paradoks terbesar akan ditemukan, satu dua masa di mana sunyi begitu mendekap sementara sekeliling dipenuhi histeria massa.

Nani, mulai jenuh dengan jejaring sosial.

Tuesday, November 13, 2012

Teman Terbaik Sepanjang Tahun

Menjelang akhir tahun, seperti biasa resolusi saya tahan hingga ulang tahun di Januari nanti. Namun semangat untuk ikut menikmati euforia menjelang akhir tahun turut melingkupi saya. Semacam kaleidoskop -sebab saya tak bisa membuat mixtape- terkait lagu lagu favorit di tahun ini terluncurlah. Beserta sedikit ulasan yang keseluruhannya berdasarkan pada alasan melankoli. Enjoy~


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMxTV7AOZFchr-wI_ZG60oRumf0wF9-_vA5hf89Rni__Ennf_l9MxGKEy6ap9RFkQEzLoKN64yUhoInpkWHQBIHxympUh-QJHvdOvHk9-c4C-d90gV606bPc1NLYcup7qeOGZgEvpzXiHQ/s200/No+Surprises.jpg1. Radiohead - No Suprises
Waktu itu Januari, Cipete tengah malam. Menyelesaikan download untuk album rilisan 1997 ini. Skip setelah seperempat lagu menuju lagu selanjutnya, selanjutnya, lalu "Eh, ini yang jadi opening song House season 6!" lalu dicopy ke dalam mp3 player, dan bertahan hingga sekarang. Sesekali didengarkan saat dalam perjalanan pulang siaran, menuju magrib.





http://www.progarchives.com/progressive_rock_discography_covers/2772/cover_404483132009.jpg2. The Doors - People Are Strange
Seorang kawan di twitter memposting lagu ini akhir Januari. Merasa punya koleksi the Doors dalam HDD, menemukan judulnya dan memutarnya setengah jalan. Lalu bersemayam dalam perangkat pemurtar lagu hingga berbulan bulan kemudian lagu ini terputar. Tepat saat saya makan sendirian di Citos, tengah siang, sambil memperhatikan ornag orang yang sibuk dengan gadgetnya di Starbuck seberang.





http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/thumb/8/82/Eleanor_rigby_single_usa.jpg/220px-Eleanor_rigby_single_usa.jpg
3. The Beatles - Eleanor Rigby
Nasibnya serupa dengan lagu di atas, dimiliki namun tak tersentuh. Cipete tengah malam, sambil ngomong di depan kaca. "Aaaa look at all the lonely people.."








http://loft965.files.wordpress.com/2011/03/riverside.jpg4. Agnes Obel - Riverside
Episode ke empat Revenge. Emily van Camp punya pesonanya sendiri. 12 mei, sepanjang Jakarta - Bandung lagu ini terulang ulang. Meruntuhkan semua minat saya untuk berpengharapan tinggi. Toh kita semua bakal mati dan tergeletak di Riverside, kan?







http://app1.sbx-cdn.com/content/uploads/prizes-4/image24601.jpg5. Ingrid Michelson -  Creep
Lagu milik Radiohead yang dibawakan dengan cantik. Ingrid sudah membuat saya jatuh cinta pada nomor duetnya bersama Sara Bareilles - Winter Song. Tidak pernah merasa cocok dengan versi aslinya. Terlalu bising untuk lirik seperti itu :P



http://firm4n.files.wordpress.com/2007/03/visible-idea-of-perfection.jpg6. The SIGIT - Live in New York
Tidak hanya di tahun ini sebenarnya, tepat saat saya membeli album Visible Idea of Perfection dan jatuh cinta kepada mereka tiga tahun lalu, lagu lagunya adalah teman yang baik dengan Live in New York menjadi yang terfavorit. Terlepas dari sederet argumen soal The SIGIT sudah banyak berubah, Mosque Song, Verge of  Puberty dan Soul Sister tetap menjadi yang paling berhasil untuk urusan melemparkan kekangenan kepada kawan kawan di masa silam. Duduk di trotoar, jalanan sunyi dan kita yang mereka ulang video klip Horse.




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiN2pWyF_KDUmZdBDOF0nbE_mLUPIXgEWCmtipy1Wc39HZvnHlmI9ozjPDPSpPM-3JcKKR-afsqyHYlw06xkr5XNeupejxXiOAZo4zfpHY_DMaAkqq_OAbIoBN7GXeSQjYLXenTdNGunu8/s1600/ismail-marzuki.jpg7. Ismail Marzuki - Sepasang Mata Bola
Tidak ada yang melebihi rasa nyaman bercampur tersipu saat saya mendengarkan lagu ini. Saya mengingat siang siang panas di Sampit, baru lulus sekolah. Mendownload lagu lagu Iwan Fals dan keroncong demi membangun mood mengetik Senja Merah. Sungguh ini berhasil, saya yang tidak memiliki bayangan apapun terhadap Indonesia di tahun 60an, terbayar dengan penggambaran Ismail Marzuki atas Aryati. Menjadikan Sloan pria yang gagah nan pujangga bertemu Wenggini perempuan pemalu namun raksasa jiwanya. Lagu ini juga selalu mengingatkan saya pada trilogi cerpen Seno Gumira tentang penembak misterius. Cerpen Keroncong Pembunuhan memuat penggalan lirik lagu ini.

8. Nat King Cole - Smile
"Sebab saya harus selalu tersenyum. Ya kan, kamu?"


http://991.com/NewGallery/Jim-Reeves-The-Very-Best-Of-468132.jpg9. Jim Reeves - He'll Have to Go 
Menemukan kembali lagu ini dalam mixtape bikinan young-lad.blogspot.com. Sebelumnya saya cuma mengingatnya sebagai salah satu soundtrack untuk film Cold Feet. Menjadikannya lagu yang paling sering saya nyanyikan di kamar mandi seminggu belakangan.
Though love is blind, make up your mind, I've got to know.
Should I hang up, or will you tell him he'll have to go?


http://i2.listal.com/image/2513096/600full-tribute-to-famous-people-cover.jpg10. Poomplamoose - Mister Sandman
Duo ini bisa jadi adalah harta karun dalam selancar saya di ranah youtube. Nyaris semua lagu yang mereka nyanyikan kembali saya suka. Vokal Nataly yang semilir renyah, effortless. Dalam EP (album?) berjudul Tribute to Famous People saya mengenal Mr. Sandman. Versi aslinyapun tak kalah apik, The Chordettes namanya. Bisa diliat di sini





http://wearehandsome.com/blog/wp-content/uploads/2011/09/florence-and-the-machine-shake-it-out-540x540.jpg11. Florence and the Machine - Shake it Out
Florence Welch punya suara yang hebat. Momentum kepergian saya dari Jakarta diliputi gema lagu ini dan beberapa dari album Ceremonials. Ditimpa tambahan nomor dari Feist, saya belum pernah seringan itu setelah melepas sesuatu.







http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/thumb/d/de/Only_Love_Can_Break_Your_Heart.jpg/220px-Only_Love_Can_Break_Your_Heart.jpg12. Neil Young - Only Love Can Break Your Heart
Yang menenangkan saya saat patah hati adalah waktu. Untuk mundur, memikirkan soal kenapa -sukur sukur berujung introspeksi- dan melangkah kembali. Lagu ini adalah pembenaran sekaligus penyemangat. Bersyukurlah sudah patah hati karena hanya cinta yang bisa membuatmu begitu.



 


Outro:

Sekali waktu, dalam lembaran buku tentang indie saya membaca sebuah artikel tulisan kurator musik ibukota. Konon katanya, masalah terbesar generasi sekarang adalah mereka kurang mendengarkan musik musik bagus. Sayang saya harus tidak setuju. Musik, sama halnya seperti film, dan buku adalah medium penyampaian pesan oleh sang penciptanya. Bagaimana kemudian sebuah pesan tersebut rasuk ke pendengarnya adalah soal korelasi.

Belum pernah saya menyukai sebuah lagu untuk alasan "Ga tau, suka aja". Selalu ada alasan, semisal itu adalah band kawan, lirik yang kebetulan sama dengan kisah saya saat itu, atau ia berasal dari satu genre yang disukai. Maka tidak bisa mematok standar 'musik bagus' versi sendiri untuk didengarkan orang lain. Soal generasi ini akan maju atau tidak bukan soal musik bagus. Himne L'internationale itu ga banget buat saya, tapi toh ia berhasil menjadi latar musik untuk pergerakan di seluruh dunia.

Tenang saja bung. Generasi ini tidak akan runtuh hanya karena mereka berkerut keningnya kala mendengarkan Iron Maiden dan lebih memilih berdiri di barisan depan konser Big Bang. Selera setiap generasi akan terus berubah dan berapi api mencercanya tak akan menghasilkan apa apa.

Nikmati musikmu sendiri dan berhenti gaduh sebab, hey, tidak ada yang suka diusik pada saat tenangnya, kan?

Wednesday, November 07, 2012

Nyaringlah Dalam Berdoa

Subuh buta suara adzan menggema tanpa dinyana. Tidak sedikit yang tinggal berdekatan dengan surau atau masjid tersentak bangun, terganggu mimpinya. Atau yang tengah merenung di depan layar monitor dan berharap satu-dua kalimat indah terlontar, buyar konsentrasinya. Masing masing lalu menggerutu, meraih telepon pintarnya, lalu menulis satu-dua kalimat makian di twitter.

Tentang betapa mengganggunya bising adzan di subuh hari.

Di ujung kampung ada seorang gila. Terganggu jiwanya sejak istri dan anaknya menjadi korban dalam tragedi kemanusiaan. Setiap hari ia berkeliling kampung, menyeret kakinya. Bertahun tahun ia tak bersuara, hanya sesekali mengetuk pintu, yang dimahfumi semua orang kemudian memberinya makan. Matanya kosong, mengunyah dalam diam, berteduh kala hujan, begitu seterusnya.

Hingga suatu hari ia berteriak seperti kesetanan. Dua jam tanpa jeda hingga terengah nafasnya. Ternyata yang diinginkannya selama ini sederhana saja. Kepala desa dan beberapa warga mengantarkan pria itu ke makam istri dan anaknya yang memang jauh jaraknya, di luar kota, di monumen peringatan tragedi kemanusiaan.

Setelahnya tidak ada yang tau apa kabar pria itu.

Hubungan dengan Tuhan semata personal, di mana doa doa yang teruntai selayaknya dalam khusyu tanpa bising karena di kedalaman sunyi Tuhan bersenyawa. Namun manusia selayaknya membaca sesamanya. Mengetahui ingin sesamanya sebab esensi hidup adalah berguna bagi yang lain. Ruang untuk mendengar sama luasnya dengan ruang untuk berbicara.

Lantang dalam berharap selalu saya lakukan di blog ini. Dua tahun yang lalu saya menulis tentang keinginan keinginan saya dalam resolusi 19. Nyaring saya nyatakan Semoga di tahun 2011 dan di usia 19 nanti, saya bisa bepergian ke luar Sampit. Dan menaklukkan gunung untuk dijamahi! dan entah bagaimana, keinginan itu sungguh terwujud di tahun 2011, usia 19 kala saya akhirnya menjejak Jakarta. Meski belum berhasil menjamah gunung manapun, tapi sekurang kurangnya, beberapa dari keinginan saya terpenuhi.

Saya tidak berbicara tentang kebetulan kosmis. Intinya saya berkomunikasi untuk menyampaikan maksud. Sesekali menjadi egois dan melontarkan ingin kepada orang lain. Di hari lain mungkin saya berkesempatan untuk mewujudkan harapan orang lain. Harapan untuk punya istri solehah, misalnya.

Pada akhirnya, seusai suara bising adzan di subuh buta, akan ada Abah yang bersegera mengambil wudhu. Suara motor tuanya memecah kabut pagi, menuju surau.

Sunday, November 04, 2012

Menggugat Persepsi

Disclaimer: REPOST


Kepada yang menghujani cecar kepada tertuduh. Kepada yang lelah untuk menyanggah. 
 
Langkahnya terseok, meningkahi kucur merah dari lubang menganga di pangkal kakinya
Sesekali ia mengeram, jatuh bersimpuh
Darah masih mengalir, bertambah deras dari lubang telinga
Liurnya menetes, merah juga warnanya, geraham bungsu hingga taring remuk semua
Matanya mengerjap, terik matahari merangsek masuk
Kali ini darah masih di sana, kepalanya tersayat delapan

Nafasnya memburu, meregang nyawa
Dicengkramnya lengan kirinya, melepuh bekas setrika
Wenggini coba menghapus tattonya
Pun tetap jua sepatu lars dan todongan senjata kejutkan pagi harinya
Di sela nafas yang sepenggal sepenggal
Tetes liur bercampur darah dari lidahnya yang dipotong
Menggumam gumam tanpa suara
“Aku takkan mengaku..”
 ***
Aku lupa, mungkin September tanggal tiga. 
Saat puluhan berseragam menyesak di ruang tamu tanpa melepas sepatu. 
Menjamah sepenjuru rumah tanpa, menyeret orangtuaku dari kelambu.
Itu tengah malam. Hari sabtu. 

Popor pertama menyentak tengkukku. Ngilu. 
Mereka berteriak soal aku dan konspirasi untuk menjatuhkan negara. Negara palsu. 
Popor kedua menghujam perut ayahku. Kali ini teriakan mereka pertanyakan keterlibatan ayahku dalam Kelompok Petani Berontak. 
Jawaban ayahku tidak menuai paham. Ibuku menjerit, seseorang menumbangkan tubuh ringkihnya. Kepala wanita itu diinjak sepatu sepatu lars hingga darah mengucur dari telinga. 
Popor ketiga menghantam pelipis kananku. Buram, yang terlihat hanya samar wajah ayahku yang kesakitan saat bayonet mengiris kupingnya. 
"Kami bukan pemberontak. Kami keluarga petani..," 
Kian pelan suara ayah. Daun telinganya berlumur darah. 
Api menjilat ruang tamu. Aku tidak mengingat apa apa saat popor selanjutnya merangsek tulang keringku.
Tiang penyangga rumah berderit. Pria berseragam berlalu dengan derum mobil bak terbuka. Ayahku tertawa. Sebelum api menjilat tubuh kami, ia berteriak. 

"Kita ini tumbal atas ketakutan petinggi"

***


Ayahku digiring melalui pasar dan selokan
Bau amis menyengat di setiap langkahnya menuju pengadilan
Ayah tak dibela, ayah tak punya daya upaya
Babak belur ayah dihakimi massa,
Diseret tubuh rentanya menuju penjara
Ayahku mencuri
Seekor ayam milik tetangga
Alasannya sederhana, ayah tak lagi bisa bekerja
Tubuhnya sudah renta
Negara ini terlalu buta untuk mengasihaninya
Demi aku agar tak lagi mengeluhkan lapar padanya
Maka ayah berdarah-darah kakinya terinjak beling di belakang kandang ayam tetangga
Bukan ayam bangkok, pejantan atau bekisar yang mahal harganya
Hanya ayam buras biasa, putih warnanya
Ditenteng ayah menengahi adzan subuh yang mulai bergema
Kami senang, emak memasak dengan riang, ayah ke mushola menghadap tuhan
Di subuh buta pula ayah dihajar masa, darah dikakinya berlipat banyaknya

... 

Ayah telah pulang dari penjara
3 tahun lamanya
Beliau tak berubah, tetap sayang padaku
Hanya saja tubuhnya telah dirajah paksa oleh sipir penjara
DS 1098 NK tercetak di lengannya
Ayah bilang itulah identitas narapidana
Tubuh rentanya semakin tirus
Semakin kurus
Suatu senja
Kampung kami di kunjungi para bertopeng rajut warna hitam bersenjata
Bersenapan
Mereka geledah semua rumah
Mencari pengkhianat bangsa
Atau dalam versi mereka
Memburu mereka para pengancam kedudukan mutlak presiden negara
Ayah memintaku bersembunyi di bawah meja
Mereka masuk ke bilik kami
Seorang bertopeng rajut hitam todongkan senjata pada ayah
Sebuah suara letusan sederhana membuatku menjadi yatim selamanya
Ayah jatuh berdegum ke lantai tanah
Kaku tubuh tirusnya bersimbah darah
Seorang bertopeng berteriak pada kawanannya
“Dia Bertato! Dia Dalangnya!”

Thursday, November 01, 2012

Soal Wajar tak Wajar

Kawan baik saya semenjak SMA menikah, hari ini. Kami kawan baik yang kerap kali melewati masa susah senang bersama. Saya sangatlah turut berbahagia untuknya. Namun dengan sangat kurang ajarnya saya hanya singgah selama beberapa belas menit di resepsinya, dan menolak untuk berfoto bersama. Sungguh, saya meminta maaf untuk itu. Selamat menikah, Vina :) berbahagialah selamanya.

Seperti biasa, setiap kali menyaksikan peristiwa yang porsinya cukup besar dalam hidup seseorang (perceraian, pernikahan, seorang dekat meninggal dunia), sisi mellow-dramatis saya akan muncul tak terkendali. Ditambah, mungkin ini sebabnya, saya mengajak mama sebagai plus one dalam resepsi itu, tak pelak pertanyaan paling tersohor dalam abad modern; "Kamu kapan nyusul?"

Sekarang, di sela waktu siaran, saya menuliskan posting ini. Sekedar menegaskan betapa waktu sudah menjadi hal yang rancu untuk saya. Soal panjang dan pendek, pantas tak pantas, patut tak patut. Sebab saya dibesarkan dalam lingkungan kota kecil dan keluarga konservatif dalam hal agama, sedari kecil saya melihat pemandangan berupa sekurangnya seorang perempuan harus menikah sebelum usia 25 tahun, makin dini makin bagus.

Alasannya, agar si anak terhindar dari liarnya dunia luar, agar tak berzinah, mabuk-mabukan dan mencemarkan nama orangtua tentu saja. Tidak ada yang salah dengan menikah muda, andai saja saya tidak punya tanggungan mimpi yang meronta untuk dipenuhi, saya akan bersegera mencari jodoh dan menikah.

Sayangnya saya mengenal internet, berkenalan dengan orang orang dari kota besar yang dengan bersemangat menceritakan tentang begitu banyak hal yang ingin mereka lakukan dalam hidup sebelum akhirnya menikah. Ditambah dengan beberapa bulan tinggal di Jakarta dan bersinggungan langsung dengan orang orang hebat di bidangnya yang tidak begitu memusingkan soal menikah walau sudah lewat kepala tiga, walau ia seorang perempuan.

Poin saya bukan soal "Menikah di usia muda samadengan menutup kemungkinan untuk bersenang senang". Saya kenal beberapa orang yang hidupnya baik baik saja setelah menikah. Mereka naik gunung, ke pantai bersama, kemping dan travelling ke mana mana. Hanya saja, jika bagi saya sebuah hubungan berlabel pacaran saja adalah tiran, apalagi menikah? Yes, I've got lot of things to be fixed.

Tentang batas pantas tak pantas seorang perempuan memutuskan untuk tidak menikah dulu berada di beberapa layer. Usia 15, kalau tinggal di kampung Abah sebab tidak banyak yang bisa dilakukan selain menjadi ibu rumah tangga. Usia 24-25, kalau lingkungan middle class di mana sebaiknya pendidikan S1 selesai terlebih dulu. Infinity numbers kalau ia ingin menjadi individu merdeka yang melepaskan diri dari nilai nilai yang tidak datang dari dirinya sendiri.

Pada akhirnya, pertanyaan mama berjawabkan "Nanti, kalau udah tinggal di New York," tentu saja.