Subuh buta suara adzan menggema tanpa dinyana. Tidak sedikit yang tinggal berdekatan dengan surau atau masjid tersentak bangun, terganggu mimpinya. Atau yang tengah merenung di depan layar monitor dan berharap satu-dua kalimat indah terlontar, buyar konsentrasinya. Masing masing lalu menggerutu, meraih telepon pintarnya, lalu menulis satu-dua kalimat makian di twitter.
Tentang betapa mengganggunya bising adzan di subuh hari.
Di ujung kampung ada seorang gila. Terganggu jiwanya sejak istri dan anaknya menjadi korban dalam tragedi kemanusiaan. Setiap hari ia berkeliling kampung, menyeret kakinya. Bertahun tahun ia tak bersuara, hanya sesekali mengetuk pintu, yang dimahfumi semua orang kemudian memberinya makan. Matanya kosong, mengunyah dalam diam, berteduh kala hujan, begitu seterusnya.
Hingga suatu hari ia berteriak seperti kesetanan. Dua jam tanpa jeda hingga terengah nafasnya. Ternyata yang diinginkannya selama ini sederhana saja. Kepala desa dan beberapa warga mengantarkan pria itu ke makam istri dan anaknya yang memang jauh jaraknya, di luar kota, di monumen peringatan tragedi kemanusiaan.
Setelahnya tidak ada yang tau apa kabar pria itu.
Hubungan dengan Tuhan semata personal, di mana doa doa yang teruntai selayaknya dalam khusyu tanpa bising karena di kedalaman sunyi Tuhan bersenyawa. Namun manusia selayaknya membaca sesamanya. Mengetahui ingin sesamanya sebab esensi hidup adalah berguna bagi yang lain. Ruang untuk mendengar sama luasnya dengan ruang untuk berbicara.
Lantang dalam berharap selalu saya lakukan di blog ini. Dua tahun yang lalu saya menulis tentang keinginan keinginan saya dalam resolusi 19. Nyaring saya nyatakan Semoga di tahun 2011 dan di usia 19 nanti, saya bisa bepergian ke luar Sampit. Dan menaklukkan gunung untuk dijamahi! dan entah bagaimana, keinginan itu sungguh terwujud di tahun 2011, usia 19 kala saya akhirnya menjejak Jakarta. Meski belum berhasil menjamah gunung manapun, tapi sekurang kurangnya, beberapa dari keinginan saya terpenuhi.
Saya tidak berbicara tentang kebetulan kosmis. Intinya saya berkomunikasi untuk menyampaikan maksud. Sesekali menjadi egois dan melontarkan ingin kepada orang lain. Di hari lain mungkin saya berkesempatan untuk mewujudkan harapan orang lain. Harapan untuk punya istri solehah, misalnya.
Pada akhirnya, seusai suara bising adzan di subuh buta, akan ada Abah yang bersegera mengambil wudhu. Suara motor tuanya memecah kabut pagi, menuju surau.
No comments:
Post a Comment