Saya masih belum menyentuh konsep kematian. Sebab katanya, untuk bisa mengerti soal ini, seseorang harus bersinggungan langsung dengan kesedihan nyata saat ditinggalkan orang terdekat. Jadi sebutlah saya meraba raba, soal ranah yang belum saya cecap ini. Kelak dalam paragraf selanjutnya akan tertumpah semua upaya pembelaan diri, pertunjukan kesiapan serta keluhan atas yang mengeluh soal kematian.
menemukannya di google untuk keyword "peaceful death" |
Pengetahuan saya soal dunia sana nihil jika spekulasi hari akhir ala kitab suci dikesampingkan. Sebab semuanya merupakan imajinasi yang masih hidup. Jadi perkara dosa-pahala tidak mengambil bagian dalam keinginan saya untuk kelak jika sudah tua dan belum mati juga, saya akan memilih euthanasia.
Ini bukan ekstensi dari sikap petantang petenteng sufistik yang bergelut lekat dengan sang Ala' sehingga kematian tidak terasa menakutkan. Bukan pula upaya mengukuhkan citra agar terlihat berbeda dan pemberani. Saya masih menjerit saat melihat serangga jenis apapun mendekati saya, masih tidur dalam teduhan lampu sebab gelap terasa mengerikan.
Sebab hidup akan berakhir, bagaimanapun juga. Seperti sebuah picu yang diletuskan dari sirkuti bernama rahim untuk kemudian menemui titik henti. Dalam masanya tentu saya akan bertemu dengan orang orang tertentu yang di kemudian hari akan menjadi faktor pemberat saat akan meninggal dunia. Soal cinta, sayang, keengganan meninggalkan kenyamanan.
Tapi apa yang nyaman dari menjadi beban? Dari menjadi tua, tidak bisa berkontribusi banyak dalam perputaran hidup sang penanggung, dari tidak berkemampuan untuk bahkan mengingat tanggal lahir diri sendiri. Lalu hidup menjadi begitu monoton hingga perasaan jenuh meluap murka pada ranjang dan selang selang penunjang hidup.
Dalam pengembaraan ujung kehidupan, satu satunya yang menenangkan hanyalah kenangan. Akan masa muda, pacar pertama, pernikahan, kelahiran anak pertama kedua ketiga, lalu cucu dan jejak jejak petualangan dunia luar. Atau justru harapan yang terus dihidupkan agar ada kiranya sejengkal waktu sebelum semuanya terenggut untuk memenuhi keinginan bertualang.
Atau bagaimana jika saya justru mati dalam hitungan hari ke depan. Seberapa siap untuk pergi sementara akan ada banyak hal yang disayangkan lantaran tak sempat ditunaikan. Saya tidak siap, tidak akan pernah siap. Euthanasia justru menjadi alternatif ternyaman sebab saya takut akan sakratul maut yang konon katanya menyakitkan.
Soal apakah itu akan mempengaruhi sikap saya dalam menjalani kehidupan di dunia, kita lihat saja. Hidup dengan semua kepelikannya sudah saya pilih untuk dijalani, kelak saya akan singgah dalam kehidupan seseorang dan menjadi bagian dari partikel partikel kecil yang saling bersinggungan hingga seluruh dunia terhubung dalam akar yang sama.
Atau terurai menjadi debu atomis yang meruap ke udara lalu hilang. Entah.
Atau terurai menjadi debu atomis yang meruap ke udara lalu hilang. Entah.
*close tab* *lirik baygon semprot*
ReplyDeleteJangan mati sebelum ketemu saya ham.
DeleteKita ketemuan di eropah yah. Hahaha
DeleteKita ketemuan di eropah yah. Hahaha
DeleteAmpun deh buat ketemuan aja mesti di eropah --"
Delete