Saturday, December 29, 2012

2012: Tahun Keajaiban

Bayangkan ini; gadis yang menghabiskan 19 tahun di kota seluas 16 ribu kilometer persegi dan tidak pernah bepergian ke manapun sepanjang hidupnya. Ia berasal dari keluarga menengah ke bawah, berpendidikan terakhir SMA dan tidak dianugrahi wajah cantik dengan body aduhai sehingga sulit baginya untuk bersegera menunaikan ibadah tama no koshi ni noru.

Dengan kondisi begini, tak ayal semua hal yang berada di luar habitat mampu menjadi pendar keajaiban di mata saya. 2012 telah menorehkan banyak sekali kejadian kejadian emosional terkait -ini pertama kalinya dilakukan- dan membuat saya tidak bisa melakukan apapun kecuali bersyukur.

Apalagi kalau bukan Jakarta. Berada di sana selama satu semester membuat saya bertemu terlalu banyak hal baru dan menyenangkan hingga kadang terasa sedikit melelahkan. Diskusi diskusi tataran langit di teras sevel, obrolan heboh soal musik keras, keberangkatan ke Bandung Berisik, bertemu Kimung setelah 5 tahun berkawan, dan rentetan hal lain yang terwujud setelah sebelumnya hanya tertuang dalam resolusi dan keinginan diam diam.

Sekaligus penanda, 2012 adalah usia 20 saya. Maka sebagai perayaan dekade kedua dalam hidup, saya diperkenankan untuk nonton di bioskop untuk pertama kalinya, membeli buku di gramedia, makan di pizza e birra, menyesap kopi di starbuck, menelan sashimi sushi tei pertama dalam hidup dan seterusnya. Saya diperbolehkan untuk mencoba gaya hidup yang disebut sebut sebagai kelas menengah dan merayakan kebebasan sebenar benarnya.

Pendar keajaiban ini, saya sulut untuk selamanya dalam kepala. Bahwa saya akhirnya bisa menikmati hidup yang selama ini saya anggap nikmat. Usia 20 adalah yang terbaik sejauh ini. Setelah puas dengan makanan makanan mewah, toilet duduk, lantai keramik dan ruangan ber-AC, saya memenuhi kebebasan yang saya anggap benar dengan mengambil keputusan untuk tidak berlama lama menjalani keajaiban ini.

Sebab setelah jam 12 malam, Cinderella akan tersungkur di antara labu dan kenangan akan indahnya dansa semalam.

http://gulfnews.com/polopoly_fs/1.960889!/image/1472081004.jpg_gen/derivatives/box_475/1472081004.jpg
dari sini
Kini dalam hitungan hari, saya akan bertemu dengan 2013. Dan belum pernah saya merasa setakut ini terhadap masa depan. Soal apakah saya sudah menghabiskan keajaiban di hidup saya dalam sekali sentak semester waktu, tentang seperti apa saya melewati hidup nantinya di usia yang kian menua. Gigir ketakutan ini membuncah saat sadar kalau saya tidak punya rencana apapun atas hari esok dan seterusnya.

 Selamat Tahun Baru, tahun tahun yang tak terselamatkan.

Monday, December 24, 2012

Kupon Kupon Duka

Disclaimer: berisi keluhan terhadap regulasi pembagian minyak tanah di kota Sampit. Silahkan beralih laman jika tidak berkenan.

Seperti yang sudah saya jabarkan di postingan ini, ayah saya adalah pengecer minyak tanah. Yang berjualan dengan memboyong jeriken berkapasitas puluhan liter dan menjajakannya ke perkampungan perkampungan lalu mengambil sedikit untung dari penjualan itu.

Empat bulan belakangan, minyak tanah layaknya barang ilegal. Penjualannya dijaga polisi, pembagiannya berkupon dan setiap agen mewajibkan untuk membuka pintunya dan menjual langsung ke masyarakat. Kira kira flow penjualan minyak tanah itu seperti ini;

Pertamina menyalurkan minyak tanah ke pangkalan. Pangkalan ini membeli minyak berbarel barel, bertongkang tongkang untuk kemudian dijual ke agen. Agen biasanya mendapat kiriman satu tangki (+- 22 drum) setiap 2 hari yang kemudian dijual ke khalayak luas. Di langkan paling rendah adalah pengecer. Biasanya membeli satu-dua drum (satu drum kira2 200 liter) sesuai kemampuan lalu menjualnya ke masyarakat.

Namanya manusia, ia akan berpolitik saat perutnya lapar. Pengecer yang merasa bermodal cukup besar membeli minyak tanah sebanyak banyaknya dan menyimpannya untuk kemudian dijual dengan harga lebih tinggi saat mitan sedang berada di titik persediaan rendah. Istilahnya penimbun. Timbunan ini kian menggunung hingga akhirnya permintaan mitan meninggi dan pasokan normal tidak mampu memenuhinya.

Pemerentah, akhirnya mengeluarkan regulasi untuk memangkas jalur distribusi mitan di tingkat agen. Agen agen minyak tanah diminta untuk menjual langsung ke masyarakat dengan HET (harga eceran tertinggi) Rp 4000 setiap liternya. Harga ini tentu jauh lebih murah di mana sebelumnya, di tingkat pengecer harga per liternya bisa mencapai Rp 7000 per liternya.

Dicomot di sini
Untuk bisa menutupi harga mitan yang sesungguhnya tinggi itu, pemerentah menggunakan subsidi BBM yang diinjeksi ke agen agen dengan jumlah kupon yang keluar. Untuk pembeli tanpa kupon, harga mitan Rp 5000 per liternya. Yang menggunakan kupon dan tidak dijatah 5 liter per hari. Penggunaan normal untuk rumah tangga.

Kalau sistem ini berjalan secara permanen, ada beberapa kemungkinan kejadian. Ayah kehilangan pekerjaan, duit subsidi dari pemerentah abis, atau masyarakat dengan segenap kesadarannya menghemat penggunaan mitan dan menerima konversi gas. 

Saya meyakini hal ini tidak akan berlangsung lama. Sebab polisi punya banyak kerjaan lain selain mengejar pengecer minyak tanah layaknya pengedar ganja. Sebab pemerentah akan lelah juga terus dibombardir media. Sebab media akan penat menulis isu serupa hari demi hari hingga berbulan bulan lamanya. Dan kita akan kembali ke fitrah sebagai orang Indonesia, gampang lupa.

Maka sampai semua ini reda, ayah yang bersikukuh menolak menjadi pelangsir* memilih untuk bertahan dengan simpanan uangnya. Kita sekeluarga harus paham bahwa setelah 35 tahun menjadi penjual minyak tanah, ayah tidak akan berpindah pekerjaan begitu saja. Dan saya harus sadar untuk terus mencari pekerjaan dan keluar dari rumah segera. Untuk sekurang kurangnya mengurangi biaya hidup satu orang yang harus ayah tanggung.

Thursday, December 20, 2012

Bucket List, Revised

Mei 2011 lalu, saya menulis ini, soal bucket list, rentetan keinginan sebelum menemui ajal. Sejak mengetahui bahwa kematian adalah hal yang pasti dan saya tidak bisa hidup selamanya meski sudah menenggak susu setiap pagi saat kanak kanak, saya menyusun satu per satu keinginan untuk kelak menjalani hidup. Beberapa di antaranya bersifat remeh, seperti makan mushroom cheeseburgernya Burger King sampai puas dan ngobrol panjang lebar dengan orang asing di transportasi publik.

Maka kira kira begini runutan keinginan saya sampai dengan Mei 2011 tersebut;
1. Aku pengen nonton hujan di Jepang dan jalan kaki di malam hari di Manhattan.
2. Aku pengen ngebaca Wesanggini di kota tua Jakarta.
3. Belajar gitar, piano dan biola.
4. Ngobrol panjang lebar sama orang asing dalam pesawat.
5. Belajar renang.
6. Kiss a stranger.
7. Makan di Pizza Hut dan make fun with their waitress.
8. Nyanyi lagu Someone Like You-nya Adele di kawinan mantan.
9. Merayakan ulang tahun di atas Manglayang :)

Sekarang giliran saya menuliskan revisi, mengeleminasi dan mencoret keinginan keinginan yang sudah tercapai ataupun kadaluarsa -karena saya sudah tidak begitu menginginkannya lagi- 

Aku pengen nonton hujan di Jepang dan jalan kaki di malam hari di Manhattan.
Saya pengen ke Jepang sejak SMP. Sebab saat itu tergila dengan anime dan manga, didukung oleh penampilan Sung Kang dalam Fast and Furious; Tokyo Drift, pergi ke Jepang menjadi hal yang lebih dari menggebu. Keinginan ini rupanya terus tersimpan dan tanpa sadar, meski telah setua ini dan tidak lagi menggemari manga, saya masih ingin pergi ke Jepang.

Soal Manhattan -Newyork secara keseluruhan- rasanya sudah tidak usah saya jelaskan. Semua orang pastilah ingin ke sana.

Januari 2012, terimakasih untuk aplikasi google earth untuk komputer mac, saya akhirnya bisa menonton hujan di Jepang :)
 
Aku pengen ngebaca Wesanggini di kota tua Jakarta
Ini sebenarnya kepinginan sok romantis sebagai imbas terlalu kepingin terlihat keren sih. Biar dapat aura pembaca buku yang filosofis saja. Tidak lebih dari spontanitas tanpa dasar jelas. Maka layaknya sesuatu yang dipaksakan, ia menjadi kadaluarsa.

Desember 2011 saya akhirnya ke Jakarta dan dua minggu setelahnya mengunjungi kota tua. Bersepeda dan beli kincir angin mainan. Berhenti sejenak di teras museum fatahilah dan menghela nafas "Sial, ternyata tidak seperti yang saya bayangkan" 
 
Belajar gitar, piano dan biola
Lagi, keinginan ini adalah produk kebelet keren. Gitar karena obsesi saya terhadap pria yang membuat saya jatuh cinta, piano karena Gregory House dan biola karena satu dari chapter di komik detektif Conan memuat Stradivarius.

Maka, inipun lambat laun tereleminasi seiring ketidakantusiasan saya dalam mewujudkannya.
  
Ngobrol panjang lebar sama orang asing dalam pesawat
Ini berkat film Rumor Has It atau film Bucket List itu sendiri. Saya pengen nyoba memecahkan kebekuan dengan ngajakin orang ngobrol tema apa saja.

Pesawat, travel, daytrans, taksi menuju lokasi pemotretan, angkot, damri, kopaja, metromini, you name it. Done and done.
    
Belajar renang
Biar ga mati konyol saat ada banjir besar sih. Sampe sekarang udah bisa maju dalam air meski masih harus pake pelampung.
  
Kiss a stranger
Belum. Mungkin nanti ketika sudah tinggal di New York.

Makan di Pizza Hut dan make fun with their waitress
2011 adalah masa aktif saya di twitter, soal waitress Pizza Hut memang lagi rame ramenya. Dan sebagai pribadi yang menjunjung rasa ingin tahu yang tinggi dan senantiasa pengen ikut ikutan, sayapun pengen ngeliat langsung semengganggu apa mereka ini.

Maret 2012, di Pizza Hut Epicentrum Kuningan, saya mengalaminya. Iya, memang mengganggu. Tapi percayalah, mereka tidak menyukai hal ini melebihi rasa terganggu kita.
 
Nyanyi lagu Someone Like You-nya Adele di kawinan mantan
Mantan mantan saya nyaris sudah menikah semua sekarang. Dan lagu lagu Adele sudah overused.
 
Merayakan ulang tahun di atas Manglayang :)
Kenapa Manglayang bukan, misalnya, Tangkuban Perahu? Sebab satu satunya gunung di Bandung yang saya tau adalah Manglayang. Dan kawan saya yang menjabarkan soal Manglayang membuat saya cukup mantap untuk bisa mendaki gunung ini suatu saat kelak, saat ulang tahun.

Desember 2012, kawan saya yang traveller setelah sekian tahun tidak terkoneksi, menelpon dan bercerita soal rencananya mendaki Manglayang. Intinya, gunung ini terlalu terjal dan berbahaya untuk didaki. Kalau pengen main ke sana ya di kaki gunungnya aja. Semoga kelak di ulang tahun keberapapun, bisa meniup lilin di sana.

Dan dalam setahun, banyak keinginan yang bertumbuh seiring dengan beberapa keinginan yang tercoret. Sebut ini formula lain dari ritual akhir tahun, saya turut merayakan perpindahan tahun kali ini dengan rentetan keinginan keinginan yang membuat manusia semakin menjadi manusia. Luluh ke dalam resolusi sebab konon semesta punya cara ajaib untuk mewujudkannya.
Google. Keyword; New York street at night

Bucket List, Revised December 20, 2012 
  1. New York
  2. Menulis buku
  3. Keluar dari rumah dan tinggal sendiri
  4. Jatuh cinta
  5. Bikin zine
  6. Jadi anchor televisi
  7. Merasa cukup dan berdamai dengan keadaan 
  

Thursday, November 29, 2012

Soal Koreksi Diri


2012 dan masih belum bisa tidak peduli atas segala sangkaan orang lain. Belum mampu memenuhi mimpi. Maaf.

Thursday, November 22, 2012

Tentang Kematian

Saya masih belum menyentuh konsep kematian. Sebab katanya, untuk bisa mengerti soal ini, seseorang harus bersinggungan langsung dengan kesedihan nyata saat ditinggalkan orang terdekat. Jadi sebutlah saya meraba raba, soal ranah yang belum saya cecap ini. Kelak dalam paragraf selanjutnya akan tertumpah semua upaya pembelaan diri, pertunjukan kesiapan serta keluhan atas yang mengeluh soal kematian.

https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcShYipqpY-HaQ3d4OBtJqJmBbbvALCb7zwt3yZvjFPoVGlwviAs
menemukannya di google untuk keyword "peaceful death"
Kematian bukan perkara mudah untuk dijelang. Televisi menayangkan orang orang yang bersigap untuk menghindari maut pada saat kiamat. Untuk tetap hidup dan meneruskan kehidupan.  

Pengetahuan saya soal dunia sana nihil jika spekulasi hari akhir ala kitab suci dikesampingkan. Sebab semuanya merupakan imajinasi yang masih hidup. Jadi perkara dosa-pahala tidak mengambil bagian dalam keinginan saya untuk kelak jika sudah tua dan belum mati juga, saya akan memilih euthanasia.

Ini bukan ekstensi dari sikap petantang petenteng sufistik yang bergelut lekat dengan sang Ala' sehingga kematian tidak terasa menakutkan. Bukan pula upaya mengukuhkan citra agar terlihat berbeda dan pemberani. Saya masih menjerit saat melihat serangga jenis apapun mendekati saya, masih tidur dalam teduhan lampu sebab gelap terasa mengerikan.

Sebab hidup akan berakhir, bagaimanapun juga. Seperti sebuah picu yang diletuskan dari sirkuti bernama rahim untuk kemudian menemui titik henti. Dalam masanya tentu saya akan bertemu dengan orang orang tertentu yang di kemudian hari akan menjadi faktor pemberat saat akan meninggal dunia. Soal cinta, sayang, keengganan meninggalkan kenyamanan.

Tapi apa yang nyaman dari menjadi beban? Dari menjadi tua, tidak bisa berkontribusi banyak dalam perputaran hidup sang penanggung, dari tidak berkemampuan untuk bahkan mengingat tanggal lahir diri sendiri.  Lalu hidup menjadi begitu monoton hingga perasaan jenuh meluap murka pada ranjang dan selang selang penunjang hidup.

Dalam pengembaraan ujung kehidupan, satu satunya yang menenangkan hanyalah kenangan. Akan masa muda, pacar pertama, pernikahan, kelahiran anak pertama kedua ketiga, lalu cucu dan jejak jejak petualangan dunia luar. Atau justru harapan yang terus dihidupkan agar ada kiranya sejengkal waktu sebelum semuanya terenggut untuk memenuhi keinginan bertualang.

Atau bagaimana jika saya justru mati dalam hitungan hari ke depan. Seberapa siap untuk pergi sementara akan ada banyak hal yang disayangkan lantaran tak sempat ditunaikan. Saya tidak siap, tidak akan pernah siap. Euthanasia justru menjadi alternatif ternyaman sebab saya takut akan sakratul maut yang konon katanya menyakitkan.

Soal apakah itu akan mempengaruhi sikap saya dalam menjalani kehidupan di dunia, kita lihat saja. Hidup dengan semua kepelikannya sudah saya pilih untuk dijalani, kelak saya akan singgah dalam kehidupan seseorang dan menjadi bagian dari partikel partikel kecil yang saling bersinggungan hingga seluruh dunia terhubung dalam akar yang sama.

Atau terurai menjadi debu atomis yang meruap ke udara lalu hilang. Entah.

Monday, November 19, 2012

Buang Perangai dan Paku Picik

Apa istilah untuk seseorang yang ujug ujug bersikap baik di akhir hidupnya? Dalam bahasa Banjarmasin itu disebut buang perangai. Tiga paragraf cerpen muncul gara gara sepanjang akhir pekan memutar otak untuk mencari istilah yang benar dalam bahasa Indonesia. 
Semua perangai buruk harus termaafkan sebelum aku bunuh diri. Dua minggu berselang sejak keinginan itu datang dan aku kini tengah menanti bus yang akan membawaku ke kota tempat Ratri berada.

Ia temanku semasa sekolah dulu, sepuluh tahun yang lalu. Kekasihnya sempat kurebut atas nama kesal sebab nilai ujiannya selalu selangkah di depanku. Ratri marah besar, aku tak pernah meminta maaf. Selepas sekolah ia pergi ke luar kota, tidak pernah lagi kudengar kabarnya hingga halaman jejaring sosialku menautkan akun pribadinya.

Ratri kini telah memiliki dua anak dan sebuah butik, setidaknya itu yang kubaca di jejaring sosialnya. 
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTx4qwNj5v1-cmSZhOgO1QtLFWkHn1UBg6L3PSRLiTP1zn2ab9V
Paku Picik
Dan tentu saja, cerpen ini tidak dilanjutkan. Karena nenek moyang terbiasa membaca pertanda alam untuk memprediksi kapan harus melakukan sesuatu, perubahan perilaku yang mendadakpun diasosiasikan sebagai sinyal kematian. Because fuck logic and mathematical sense, right? lalu produk zaman modern serupa surat kabarpun memuat kalimat "Semasa hidupnya, korban dikenal sebagai seorang pemabuk namun tiga hari jelang kematiannya, ia kerap terlihat mengunjungi surau di waktu subuh" padahal bisa saja si korban numpang pipis, hangover berlebihan dan butuh tempat buat tidur atau, nyolong duit sumbangan, kan?

Istilah buang perangai dalam bahasa Indonesia belum ditemukan. Sama seperti paku picik, meski sudah menemukan istilah thumb tacks (meski lebih ke paku gabus dibanding paku picik) dan terasa lebih memuaskan daripada harus menggunakan bahasa Indonesia menjadi paku tekan (tidak satupun toko ATK yang mengerti), paku payung (yang kemudian mengalihkan saya ke toko bangunan terdekat) dan paku jempol (sebagian mengerti setelah saya peragakan cara penggunaannya)

 Sial, untuk berbuat baik saja mesti dikira tengah menuju mati. Bangsa pesimistis.




Thursday, November 15, 2012

Sejauh Mana Kau Inginkan Sunyi?

PMS memang selalu menjadi periode paling kontemplatif. Dalam upaya memperbanyak posting blog agar tidak terlalu tertinggal dibanding tahun sebelumnya.

Privasi menjadi kebutuhan mutlak yang tidak bisa ditawar. Aturan aturan soal pelanggarannyapun disusun sedemikian ruwetnya hingga tanpa sadar pelakunya sudah menjalani standar ganda. “Kamu ga boleh nanya nanya soal urusan dapur saya,” ujar penjunjung privasi yang sepuluh menit kemudian memunculkan deretan foto dirinya tengah mengunyah makanan kesukaan di restoran kesayangan dengan caption berisikan ia tengah maka apa dengan siapa di mana jam berapa dalam akun jejaring sosialnya.

Tentu, tidak ada yang lebih menyebalkan dari tetangga yang menyetel keras keras mini komponya di pagi buta, saat saya tengah sakit gigi. Atau berisiknya pedagang panci yang kalau berjualan harus menggunakan megaphone diiringi lagu dangdut yang noraknya minta ampun. Atau seorang asing yang ujug ujug nanya kapan saya nikah.

Dinding dinding tinggi ditegakkan. Suara suara diredam dalam bilik bilik berlapis serat kaca. Demi menghindari gaung di tanah lapang ujung desa yang menyajikan wayang disusul campursari hingga larut malam minggu. Tentu setelah layangan protes diindahkan sang pemilik hajat yang mengantongi kertas legalisir lungsuran dari aparat.

Sambil menonton wayang penduduk desa sibuk dengan ceritanya masing masing. Bapak Budi naik haji, sawah mulai kekeringan hingga harga sembako yang lagi melambung tinggi. Lalu tertawa, atas wayang, atas hidup yang tidak kunjung beruntung, sambil sesekali meraih kacang rebus dan kopi hangat. Sementara dalam bilik serat kaca, suara tetap membahana. Melalui televisi dan deretan gadget mutakhir dengan kesibukan serupa, berbagi cerita, berita, gosip, lebih lebih pertukaran rayu.

 Kesunyian adalah kawan yang baik. Ia memberikan ruang dalam perputaran riuh dan membuatmu mengenal diri sendiri melebihi apapun. Namun sunyi seperti apa yang dibutuhkan hingga semua kanal pertemuan ditutup? Sejauh mana sunyi yang akan didapatkan dengan menolak berinteraksi hanya karena sekitar tidak sejalan dengan apa yang kamu mau?

Maka cukupkan kegiatan yang kamu sebut sebagai periode kontemplasi. Kesunyian terluas ada di luar sana, bersembunyi di balik riuh rendah suara jalan raya. Di sela sela ranum buku baru dengan ideologi baru. Terselip di antara decit ban mobil mobil angkutan yang mengantarkanmu ke sebuah pagelaran musik.

Hidup adalah proses menemukan, sebabnya sejarah mengajarkan kita untuk terus melakukan perjalanan. Dan paradoks terbesar akan ditemukan, satu dua masa di mana sunyi begitu mendekap sementara sekeliling dipenuhi histeria massa.

Nani, mulai jenuh dengan jejaring sosial.

Tuesday, November 13, 2012

Teman Terbaik Sepanjang Tahun

Menjelang akhir tahun, seperti biasa resolusi saya tahan hingga ulang tahun di Januari nanti. Namun semangat untuk ikut menikmati euforia menjelang akhir tahun turut melingkupi saya. Semacam kaleidoskop -sebab saya tak bisa membuat mixtape- terkait lagu lagu favorit di tahun ini terluncurlah. Beserta sedikit ulasan yang keseluruhannya berdasarkan pada alasan melankoli. Enjoy~


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMxTV7AOZFchr-wI_ZG60oRumf0wF9-_vA5hf89Rni__Ennf_l9MxGKEy6ap9RFkQEzLoKN64yUhoInpkWHQBIHxympUh-QJHvdOvHk9-c4C-d90gV606bPc1NLYcup7qeOGZgEvpzXiHQ/s200/No+Surprises.jpg1. Radiohead - No Suprises
Waktu itu Januari, Cipete tengah malam. Menyelesaikan download untuk album rilisan 1997 ini. Skip setelah seperempat lagu menuju lagu selanjutnya, selanjutnya, lalu "Eh, ini yang jadi opening song House season 6!" lalu dicopy ke dalam mp3 player, dan bertahan hingga sekarang. Sesekali didengarkan saat dalam perjalanan pulang siaran, menuju magrib.





http://www.progarchives.com/progressive_rock_discography_covers/2772/cover_404483132009.jpg2. The Doors - People Are Strange
Seorang kawan di twitter memposting lagu ini akhir Januari. Merasa punya koleksi the Doors dalam HDD, menemukan judulnya dan memutarnya setengah jalan. Lalu bersemayam dalam perangkat pemurtar lagu hingga berbulan bulan kemudian lagu ini terputar. Tepat saat saya makan sendirian di Citos, tengah siang, sambil memperhatikan ornag orang yang sibuk dengan gadgetnya di Starbuck seberang.





http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/thumb/8/82/Eleanor_rigby_single_usa.jpg/220px-Eleanor_rigby_single_usa.jpg
3. The Beatles - Eleanor Rigby
Nasibnya serupa dengan lagu di atas, dimiliki namun tak tersentuh. Cipete tengah malam, sambil ngomong di depan kaca. "Aaaa look at all the lonely people.."








http://loft965.files.wordpress.com/2011/03/riverside.jpg4. Agnes Obel - Riverside
Episode ke empat Revenge. Emily van Camp punya pesonanya sendiri. 12 mei, sepanjang Jakarta - Bandung lagu ini terulang ulang. Meruntuhkan semua minat saya untuk berpengharapan tinggi. Toh kita semua bakal mati dan tergeletak di Riverside, kan?







http://app1.sbx-cdn.com/content/uploads/prizes-4/image24601.jpg5. Ingrid Michelson -  Creep
Lagu milik Radiohead yang dibawakan dengan cantik. Ingrid sudah membuat saya jatuh cinta pada nomor duetnya bersama Sara Bareilles - Winter Song. Tidak pernah merasa cocok dengan versi aslinya. Terlalu bising untuk lirik seperti itu :P



http://firm4n.files.wordpress.com/2007/03/visible-idea-of-perfection.jpg6. The SIGIT - Live in New York
Tidak hanya di tahun ini sebenarnya, tepat saat saya membeli album Visible Idea of Perfection dan jatuh cinta kepada mereka tiga tahun lalu, lagu lagunya adalah teman yang baik dengan Live in New York menjadi yang terfavorit. Terlepas dari sederet argumen soal The SIGIT sudah banyak berubah, Mosque Song, Verge of  Puberty dan Soul Sister tetap menjadi yang paling berhasil untuk urusan melemparkan kekangenan kepada kawan kawan di masa silam. Duduk di trotoar, jalanan sunyi dan kita yang mereka ulang video klip Horse.




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiN2pWyF_KDUmZdBDOF0nbE_mLUPIXgEWCmtipy1Wc39HZvnHlmI9ozjPDPSpPM-3JcKKR-afsqyHYlw06xkr5XNeupejxXiOAZo4zfpHY_DMaAkqq_OAbIoBN7GXeSQjYLXenTdNGunu8/s1600/ismail-marzuki.jpg7. Ismail Marzuki - Sepasang Mata Bola
Tidak ada yang melebihi rasa nyaman bercampur tersipu saat saya mendengarkan lagu ini. Saya mengingat siang siang panas di Sampit, baru lulus sekolah. Mendownload lagu lagu Iwan Fals dan keroncong demi membangun mood mengetik Senja Merah. Sungguh ini berhasil, saya yang tidak memiliki bayangan apapun terhadap Indonesia di tahun 60an, terbayar dengan penggambaran Ismail Marzuki atas Aryati. Menjadikan Sloan pria yang gagah nan pujangga bertemu Wenggini perempuan pemalu namun raksasa jiwanya. Lagu ini juga selalu mengingatkan saya pada trilogi cerpen Seno Gumira tentang penembak misterius. Cerpen Keroncong Pembunuhan memuat penggalan lirik lagu ini.

8. Nat King Cole - Smile
"Sebab saya harus selalu tersenyum. Ya kan, kamu?"


http://991.com/NewGallery/Jim-Reeves-The-Very-Best-Of-468132.jpg9. Jim Reeves - He'll Have to Go 
Menemukan kembali lagu ini dalam mixtape bikinan young-lad.blogspot.com. Sebelumnya saya cuma mengingatnya sebagai salah satu soundtrack untuk film Cold Feet. Menjadikannya lagu yang paling sering saya nyanyikan di kamar mandi seminggu belakangan.
Though love is blind, make up your mind, I've got to know.
Should I hang up, or will you tell him he'll have to go?


http://i2.listal.com/image/2513096/600full-tribute-to-famous-people-cover.jpg10. Poomplamoose - Mister Sandman
Duo ini bisa jadi adalah harta karun dalam selancar saya di ranah youtube. Nyaris semua lagu yang mereka nyanyikan kembali saya suka. Vokal Nataly yang semilir renyah, effortless. Dalam EP (album?) berjudul Tribute to Famous People saya mengenal Mr. Sandman. Versi aslinyapun tak kalah apik, The Chordettes namanya. Bisa diliat di sini





http://wearehandsome.com/blog/wp-content/uploads/2011/09/florence-and-the-machine-shake-it-out-540x540.jpg11. Florence and the Machine - Shake it Out
Florence Welch punya suara yang hebat. Momentum kepergian saya dari Jakarta diliputi gema lagu ini dan beberapa dari album Ceremonials. Ditimpa tambahan nomor dari Feist, saya belum pernah seringan itu setelah melepas sesuatu.







http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/thumb/d/de/Only_Love_Can_Break_Your_Heart.jpg/220px-Only_Love_Can_Break_Your_Heart.jpg12. Neil Young - Only Love Can Break Your Heart
Yang menenangkan saya saat patah hati adalah waktu. Untuk mundur, memikirkan soal kenapa -sukur sukur berujung introspeksi- dan melangkah kembali. Lagu ini adalah pembenaran sekaligus penyemangat. Bersyukurlah sudah patah hati karena hanya cinta yang bisa membuatmu begitu.



 


Outro:

Sekali waktu, dalam lembaran buku tentang indie saya membaca sebuah artikel tulisan kurator musik ibukota. Konon katanya, masalah terbesar generasi sekarang adalah mereka kurang mendengarkan musik musik bagus. Sayang saya harus tidak setuju. Musik, sama halnya seperti film, dan buku adalah medium penyampaian pesan oleh sang penciptanya. Bagaimana kemudian sebuah pesan tersebut rasuk ke pendengarnya adalah soal korelasi.

Belum pernah saya menyukai sebuah lagu untuk alasan "Ga tau, suka aja". Selalu ada alasan, semisal itu adalah band kawan, lirik yang kebetulan sama dengan kisah saya saat itu, atau ia berasal dari satu genre yang disukai. Maka tidak bisa mematok standar 'musik bagus' versi sendiri untuk didengarkan orang lain. Soal generasi ini akan maju atau tidak bukan soal musik bagus. Himne L'internationale itu ga banget buat saya, tapi toh ia berhasil menjadi latar musik untuk pergerakan di seluruh dunia.

Tenang saja bung. Generasi ini tidak akan runtuh hanya karena mereka berkerut keningnya kala mendengarkan Iron Maiden dan lebih memilih berdiri di barisan depan konser Big Bang. Selera setiap generasi akan terus berubah dan berapi api mencercanya tak akan menghasilkan apa apa.

Nikmati musikmu sendiri dan berhenti gaduh sebab, hey, tidak ada yang suka diusik pada saat tenangnya, kan?

Wednesday, November 07, 2012

Nyaringlah Dalam Berdoa

Subuh buta suara adzan menggema tanpa dinyana. Tidak sedikit yang tinggal berdekatan dengan surau atau masjid tersentak bangun, terganggu mimpinya. Atau yang tengah merenung di depan layar monitor dan berharap satu-dua kalimat indah terlontar, buyar konsentrasinya. Masing masing lalu menggerutu, meraih telepon pintarnya, lalu menulis satu-dua kalimat makian di twitter.

Tentang betapa mengganggunya bising adzan di subuh hari.

Di ujung kampung ada seorang gila. Terganggu jiwanya sejak istri dan anaknya menjadi korban dalam tragedi kemanusiaan. Setiap hari ia berkeliling kampung, menyeret kakinya. Bertahun tahun ia tak bersuara, hanya sesekali mengetuk pintu, yang dimahfumi semua orang kemudian memberinya makan. Matanya kosong, mengunyah dalam diam, berteduh kala hujan, begitu seterusnya.

Hingga suatu hari ia berteriak seperti kesetanan. Dua jam tanpa jeda hingga terengah nafasnya. Ternyata yang diinginkannya selama ini sederhana saja. Kepala desa dan beberapa warga mengantarkan pria itu ke makam istri dan anaknya yang memang jauh jaraknya, di luar kota, di monumen peringatan tragedi kemanusiaan.

Setelahnya tidak ada yang tau apa kabar pria itu.

Hubungan dengan Tuhan semata personal, di mana doa doa yang teruntai selayaknya dalam khusyu tanpa bising karena di kedalaman sunyi Tuhan bersenyawa. Namun manusia selayaknya membaca sesamanya. Mengetahui ingin sesamanya sebab esensi hidup adalah berguna bagi yang lain. Ruang untuk mendengar sama luasnya dengan ruang untuk berbicara.

Lantang dalam berharap selalu saya lakukan di blog ini. Dua tahun yang lalu saya menulis tentang keinginan keinginan saya dalam resolusi 19. Nyaring saya nyatakan Semoga di tahun 2011 dan di usia 19 nanti, saya bisa bepergian ke luar Sampit. Dan menaklukkan gunung untuk dijamahi! dan entah bagaimana, keinginan itu sungguh terwujud di tahun 2011, usia 19 kala saya akhirnya menjejak Jakarta. Meski belum berhasil menjamah gunung manapun, tapi sekurang kurangnya, beberapa dari keinginan saya terpenuhi.

Saya tidak berbicara tentang kebetulan kosmis. Intinya saya berkomunikasi untuk menyampaikan maksud. Sesekali menjadi egois dan melontarkan ingin kepada orang lain. Di hari lain mungkin saya berkesempatan untuk mewujudkan harapan orang lain. Harapan untuk punya istri solehah, misalnya.

Pada akhirnya, seusai suara bising adzan di subuh buta, akan ada Abah yang bersegera mengambil wudhu. Suara motor tuanya memecah kabut pagi, menuju surau.

Sunday, November 04, 2012

Menggugat Persepsi

Disclaimer: REPOST


Kepada yang menghujani cecar kepada tertuduh. Kepada yang lelah untuk menyanggah. 
 
Langkahnya terseok, meningkahi kucur merah dari lubang menganga di pangkal kakinya
Sesekali ia mengeram, jatuh bersimpuh
Darah masih mengalir, bertambah deras dari lubang telinga
Liurnya menetes, merah juga warnanya, geraham bungsu hingga taring remuk semua
Matanya mengerjap, terik matahari merangsek masuk
Kali ini darah masih di sana, kepalanya tersayat delapan

Nafasnya memburu, meregang nyawa
Dicengkramnya lengan kirinya, melepuh bekas setrika
Wenggini coba menghapus tattonya
Pun tetap jua sepatu lars dan todongan senjata kejutkan pagi harinya
Di sela nafas yang sepenggal sepenggal
Tetes liur bercampur darah dari lidahnya yang dipotong
Menggumam gumam tanpa suara
“Aku takkan mengaku..”
 ***
Aku lupa, mungkin September tanggal tiga. 
Saat puluhan berseragam menyesak di ruang tamu tanpa melepas sepatu. 
Menjamah sepenjuru rumah tanpa, menyeret orangtuaku dari kelambu.
Itu tengah malam. Hari sabtu. 

Popor pertama menyentak tengkukku. Ngilu. 
Mereka berteriak soal aku dan konspirasi untuk menjatuhkan negara. Negara palsu. 
Popor kedua menghujam perut ayahku. Kali ini teriakan mereka pertanyakan keterlibatan ayahku dalam Kelompok Petani Berontak. 
Jawaban ayahku tidak menuai paham. Ibuku menjerit, seseorang menumbangkan tubuh ringkihnya. Kepala wanita itu diinjak sepatu sepatu lars hingga darah mengucur dari telinga. 
Popor ketiga menghantam pelipis kananku. Buram, yang terlihat hanya samar wajah ayahku yang kesakitan saat bayonet mengiris kupingnya. 
"Kami bukan pemberontak. Kami keluarga petani..," 
Kian pelan suara ayah. Daun telinganya berlumur darah. 
Api menjilat ruang tamu. Aku tidak mengingat apa apa saat popor selanjutnya merangsek tulang keringku.
Tiang penyangga rumah berderit. Pria berseragam berlalu dengan derum mobil bak terbuka. Ayahku tertawa. Sebelum api menjilat tubuh kami, ia berteriak. 

"Kita ini tumbal atas ketakutan petinggi"

***


Ayahku digiring melalui pasar dan selokan
Bau amis menyengat di setiap langkahnya menuju pengadilan
Ayah tak dibela, ayah tak punya daya upaya
Babak belur ayah dihakimi massa,
Diseret tubuh rentanya menuju penjara
Ayahku mencuri
Seekor ayam milik tetangga
Alasannya sederhana, ayah tak lagi bisa bekerja
Tubuhnya sudah renta
Negara ini terlalu buta untuk mengasihaninya
Demi aku agar tak lagi mengeluhkan lapar padanya
Maka ayah berdarah-darah kakinya terinjak beling di belakang kandang ayam tetangga
Bukan ayam bangkok, pejantan atau bekisar yang mahal harganya
Hanya ayam buras biasa, putih warnanya
Ditenteng ayah menengahi adzan subuh yang mulai bergema
Kami senang, emak memasak dengan riang, ayah ke mushola menghadap tuhan
Di subuh buta pula ayah dihajar masa, darah dikakinya berlipat banyaknya

... 

Ayah telah pulang dari penjara
3 tahun lamanya
Beliau tak berubah, tetap sayang padaku
Hanya saja tubuhnya telah dirajah paksa oleh sipir penjara
DS 1098 NK tercetak di lengannya
Ayah bilang itulah identitas narapidana
Tubuh rentanya semakin tirus
Semakin kurus
Suatu senja
Kampung kami di kunjungi para bertopeng rajut warna hitam bersenjata
Bersenapan
Mereka geledah semua rumah
Mencari pengkhianat bangsa
Atau dalam versi mereka
Memburu mereka para pengancam kedudukan mutlak presiden negara
Ayah memintaku bersembunyi di bawah meja
Mereka masuk ke bilik kami
Seorang bertopeng rajut hitam todongkan senjata pada ayah
Sebuah suara letusan sederhana membuatku menjadi yatim selamanya
Ayah jatuh berdegum ke lantai tanah
Kaku tubuh tirusnya bersimbah darah
Seorang bertopeng berteriak pada kawanannya
“Dia Bertato! Dia Dalangnya!”

Thursday, November 01, 2012

Soal Wajar tak Wajar

Kawan baik saya semenjak SMA menikah, hari ini. Kami kawan baik yang kerap kali melewati masa susah senang bersama. Saya sangatlah turut berbahagia untuknya. Namun dengan sangat kurang ajarnya saya hanya singgah selama beberapa belas menit di resepsinya, dan menolak untuk berfoto bersama. Sungguh, saya meminta maaf untuk itu. Selamat menikah, Vina :) berbahagialah selamanya.

Seperti biasa, setiap kali menyaksikan peristiwa yang porsinya cukup besar dalam hidup seseorang (perceraian, pernikahan, seorang dekat meninggal dunia), sisi mellow-dramatis saya akan muncul tak terkendali. Ditambah, mungkin ini sebabnya, saya mengajak mama sebagai plus one dalam resepsi itu, tak pelak pertanyaan paling tersohor dalam abad modern; "Kamu kapan nyusul?"

Sekarang, di sela waktu siaran, saya menuliskan posting ini. Sekedar menegaskan betapa waktu sudah menjadi hal yang rancu untuk saya. Soal panjang dan pendek, pantas tak pantas, patut tak patut. Sebab saya dibesarkan dalam lingkungan kota kecil dan keluarga konservatif dalam hal agama, sedari kecil saya melihat pemandangan berupa sekurangnya seorang perempuan harus menikah sebelum usia 25 tahun, makin dini makin bagus.

Alasannya, agar si anak terhindar dari liarnya dunia luar, agar tak berzinah, mabuk-mabukan dan mencemarkan nama orangtua tentu saja. Tidak ada yang salah dengan menikah muda, andai saja saya tidak punya tanggungan mimpi yang meronta untuk dipenuhi, saya akan bersegera mencari jodoh dan menikah.

Sayangnya saya mengenal internet, berkenalan dengan orang orang dari kota besar yang dengan bersemangat menceritakan tentang begitu banyak hal yang ingin mereka lakukan dalam hidup sebelum akhirnya menikah. Ditambah dengan beberapa bulan tinggal di Jakarta dan bersinggungan langsung dengan orang orang hebat di bidangnya yang tidak begitu memusingkan soal menikah walau sudah lewat kepala tiga, walau ia seorang perempuan.

Poin saya bukan soal "Menikah di usia muda samadengan menutup kemungkinan untuk bersenang senang". Saya kenal beberapa orang yang hidupnya baik baik saja setelah menikah. Mereka naik gunung, ke pantai bersama, kemping dan travelling ke mana mana. Hanya saja, jika bagi saya sebuah hubungan berlabel pacaran saja adalah tiran, apalagi menikah? Yes, I've got lot of things to be fixed.

Tentang batas pantas tak pantas seorang perempuan memutuskan untuk tidak menikah dulu berada di beberapa layer. Usia 15, kalau tinggal di kampung Abah sebab tidak banyak yang bisa dilakukan selain menjadi ibu rumah tangga. Usia 24-25, kalau lingkungan middle class di mana sebaiknya pendidikan S1 selesai terlebih dulu. Infinity numbers kalau ia ingin menjadi individu merdeka yang melepaskan diri dari nilai nilai yang tidak datang dari dirinya sendiri.

Pada akhirnya, pertanyaan mama berjawabkan "Nanti, kalau udah tinggal di New York," tentu saja.

Sunday, October 28, 2012

Bolehkah Menjadi Jahat?

Betapa membosankannya semua dongeng jika tidak ada sosok yang disalahkan, yang menjadi masalah, yang berbuat salah. Bayangkan seperti apa rupa sinetron Indonesia jika tidak ada satupun tokoh berdandan menor dengan suara tinggi dan bermisi tunggal; merepresentasikan tujuh dosa manusia dalam sekali waktu.

Jika bukan karena merasa benar, tidak akan ada manusia yang berbuat jahat. Perasaan benar akan menimbulkan pembenaran, semacam kebenaran, namun hanya untuk konsumsi pribadi. Sebetulnya membahas soal 'kejahatan' itu sendiri rasanya menarik, apa yang membuat kita menyimpulkan satu kejahatan dan memberi vonis jahat kepada pelakunya. Sayangnya tulisan ini akan menjadi semakin panjang dam semakin membosankan untuk dibaca.

Kita simpulkan saja, kejahatan adalah label atas tindakan yang tidak sesuai norma (hukum, agama, adat dan susila), yang meresahkan lagi merugikan orang banyak dan pelakunya wajib menanggung konsekuensi berupa hukuman sesuai norma yang diberlakukan. Urusan menjadi jahat dan hubungannya dengan masyarakat sudah jelas, sekarang kembali ke soal pembenaran untuk berbuat jahat.

Seseorang pernah memberitau saya bahwa esensi dari hidup dan berbuat kebaikan itu ada tiga. Tidak merugikan orang lain, tidak menyakiti harga diri orang lain, dan tidak merusak lingkungan. Jika satu saja terlanggar, maka itu sesungguhnya adalah kejahatan. Sebelum menengok terlalu jauh kepada pelaku kriminal, saya rasa dalam setiap langkah, manusia sadar atau tidak sudah berbuat jahat.

Manusia memiliki sub conscious, suara kecil dalam kepala yang membantu kita mempertimbangkan baik buruk sebuah tindakan. Suara ini kemudian sering muncul dalam kartun jadul berupa setan dan malaikat yang berdiri di bahu dan saling membisiki. Biasanya, sang malaikat menang. 

Namun perkenalkan sisi dalam kepala dengan suara lebih lantang bernama ego. Karena kita butuh merasa lepas dari rasa bersalah, ego akan membuatkan pembenaran atas tindakan yang merugikan, menyakiti harga diri orang lain dan merusak lingkungan. Dan biasanya, suara paling lantanglah yang terdengar.

ditemukan di sini
"Ah, telat dikit doang gini. Klien juga sering bikin gue nunggu, sekali kali bikin bawahan cengo di lokasi meeting gapapalah"

"Ya kan aku niatnya becanda. Dia juga pasti ngerti, kita kan temen. Lagian emang bener kok, dengan badan kaya gitu di duduk di situ bisa aja kursinya patah..."

"Sampah seupil gini ga bakal ngaruh sama banjir bandang"

 Butuh waktu empat bulan bagi saya untuk berhenti mengelak dan mencari cari pembenaran atas hal jahat yang telah saya lakukan. Juli lalu saya menyakiti orang lain, mengkhianati kepercayaan, dan sebagainya dengan pergi begitu saja dari tempat saya bekerja di Jakarta.

Pembenaran pembenaran yang saya buat, alih alih menenangkan, ia justru menjadi beban. Saya terus berlindung dalam pernyataan "Tapi kan, gue ga nyaman ada di sana" seolah itu adalah hal besar yang akan mengubah Jakarta menjadi neraka jika dalam segera tidak ditemukan solusinya. Saya menyeret koper  dan melangkah ke bandara dengan ego yang besarnya melebihi diri saya sendiri. Lalu pergi, begitu saja.

Tidak ada cara lain selain memaafkan diri saya sendiri. Beberapa hal yang terjadi saya kompromikan sebagai konsekuensi atas tindakan saya dan sekarang, saya telah berdamai dengan diri sendiri. Sedang menata kembali mimpi dan merencanakannya dengan matang. Hebatnya, setelah semua yang terjadi, ternyata saya masih ingin menjadi penulis. 

***

Lalu satu berita datang dari Bandung, tentang masjid Ahmadiyah yang dirusak FPI. Apakah Ahmadiyah telah melanggar suatu norma (hukum, agama, adat dan asusila)? jawabnya (sayang sekali) adalah iya, norma agama yang disuarakan melalui fatwa MUI bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan diluar islam. Tapi apakah Ahmadiyah merugikan orang lain, menyakiti harga diri orang lain dan merusak lingkungan?

Semua orang memiliki versi jawabannya sendiri dan saya yakin betul yang paling popular adalah ini; Ahmadiyah menyakiti harga diri umat muslim dan menginjak sakralitas nabi muhammad sebagai nabi terakhir. Tapi betulkah itu yang seluruh umat muslim rasakan atau hanya pendapat pribadi? Manusia tidak akan pernah menjadi individu yang merdeka pikirannya jika dalam memutuskan sikappun masih harus melalui approval dan persamaan visi dengan sang alpha dog.

Terlepas dari itu semua, negara ini pastilah punya regulasi hukum untuk pelanggaran norma agama. Membiarkan FPI mengambil alih proses penghukuman secara barbar dan tanpa keadilan bukanlah refleksi dari negara hukum yang konon katanya berasas demokrasi.

Jika setiap kubu, setiap individu memiliki pembenarannya sendiri atas sikap sikap jahat yang dianggap sebagai perbuatan 'wajar', sesungguhnya kita sudah mencapai esensi sebagai penerus nenek moyang. Menjadi manusia yang membuat dirinya dan seluruh keturunannya terusir dari surga demi memenuhi suara terlantang di dalam kepala, ego.


Friday, October 12, 2012

Yay~

Saya sesungguhnya tidak gemar berkompetisi. Satu satunya lomba yang pernah saya ikuti adalah lomba melukis saat kelas enam SD. Juara? iya, juara 3. Setelahnya saya nyaris tidak pernah mengikuti lomba apapun kecuali dalam tim semasa masih PMR dulu.

Namun berdasar pertimbangan 'ga ribet, cakupannya sempit dan kayaknya yang ikut dedek dedek SMA semua', sayapun dengan jumawa mengikuti lomba Cosmic #3 yang diselenggarakan Telkomsel School Community Kalimantan Tengah. Saya mengikutkan satu posting dari blog ini daaannn

iyah, juara dua *kalah sama dedek dedek SMA*  
Muahahahahaha.

Monday, October 08, 2012

Ouch!

"Coba kalo pintu belakang ga bisa dibuka tuh jangan dipaksa, lewat pintu depan. Kan ga dikunci!"

Teriakan pagi buta di lantai bawah. Tepat sesudah saya menyelesaikan renungan pagi untuk memaksakan diri merantau lagi.

Tuesday, September 11, 2012

Objektivitas

the Illusion of Neutrality, Robert A. Divine
Seberapa sering kita dituntut, merasa harus, atau bahkan mengklaim diri telah bersikap netral? melakukan penilaian yang sepenuhnya objektif -berdasar atas variabel variabel non konjungtif terhadap standar standar penilaian- tanpa sedikitpun unsur keberpihakan.

Atau seberapa sering keputusan diambil tanpa memandang latar belakang kedekatan atau bahasa Orbanya, tanpa nepotisme?

Kita memiliki kesadaran. Fungsi limbik di dalam otak hanya mempengaruhi sedikit dari sistem logika. Sistem logika merupakan akumulasi gerakan dan paham yang diserap manusia sedari kanak kanak.

Sebabnya bisa muncul berbagai penyakit psikis, seperti schizophrenic, yang memposisikan seseorang di ambang realita dan khayal hingga tidak bisa membedakan keduanya, atau bersikap sesuai keduanya, tanpa memiliki sistem logika yang merunut kejadian berdasar sebab-akibat dan kronologi. Seseorang seharusnya concern dan memeriksakan dirinya jika memiliki sindrom seperti ini alih alih update status facebook dan mengubah nama belakangnya menjadi schizophrenia.

Itu atau mungkin dia penggemar barisan depan untuk band melancholic core itu sik

Dengan posisi manusia yang dibesarkan dengan sistem runut dan logika sebab-akibat, mustahil untuk berdiri di garis tengah, paling tengah antara dua kubu pandangan berbeda. Sumber bacaan, kawan bergaul, orangtua, lingkungan, tontonan, menjadi pembangun karakter dan sistem logika. Kalau saja netralitas adalah hal yang absolut, maka teori relativitas tak akan dilirik lebih lebih diakui sebagai sebuah teori.
Sebuah teori yang mungkin benar adalah benar sampai teori itu dipatahkan dan muncul teori mengenai kemungkinan benar yang baru. Begitu seterusnya. Kebenaran di hari ini bisa menjadi kesalahan di masa mendatang, Pun hal yang dinilai salah di saat ini, bisa saja merupakan kebenaran di masa lalu.

Bagaimana sebenarnya proses penilaian berlangsung? kalau saya sih begini; Ketika saya dihadapkan dengan satu hal -ambilah contoh soal yang menurut saya agak mbingungi, Syiah- dan saya diminta untuk mengambil sikap setuju-tidak setuju mereka harus dimigrasikan ke pulau lain. Saya akan menyebut tidak setuju sebab penilaian saya berdasar atas apa yang saya pahami, yakini, dan berpihaki selama ini; Asas kemanusiaan yang melarang seseorang mengambil hak orang lain, dalam hal ini hak untuk tetap tinggal di tanah milik sendiri, kampung halaman sendiri.

Buku buku yang saya baca, obrolan kawan kawan saya, didikan orangtua yang tidak radikal terhadap islam dan lain sebagainya mengambil posisi dalam penilaian tersebut. Akan lebih sahih lagi jika misalnya ada seorang keluarga saya tinggal di Sampang dan menganut Syiah. Apakah penilaian saya netral? rasanya tidak. Sebab netral adalah kondisi tidak berpihak dan tidak ada yang dirugikan. Tidak memilihpun bisa jadi bukan pilihan netral sebab alasan ketidakpilihan saya adalah untuk kenyamanan pribadi. Saya melihat, (mencoba) memahami, mengambil kesimpulan, memihak lalu kemudian mengutarakan pendapat.

Nan, kepuntel puntel Nan.

Lantas bagaimana caranya mencapai atau sekurang kurangnya mendekati titik netral? Kita diberi solusi berupa pengadilan, pemerintah, pihak pihak ketiga yang diharap bisa mengambil keputusan yang memenangkan semua pihak lebih lebih menyenangkan hati setiap ummat. Pihak ketiga adalah yang dianggap tidak memiliki kedekatan emosional dengan pihak pihak yang butuh peleraian.
Kesadaran akan memaksa kita untuk berpihak. Dalam batas batas imaji soal netralitas dan tanpa nepotisme.

Friday, September 07, 2012

Featured: Paper Zine Edisi Ketujuh

Kalau bisa memilih, saya pengen tinggal di Bandung. Kalau bisa memilih juga, saya pengen punya pacar. #krik

Sebab rupanya di sana selain batagornya enak, udaranyah sejuk dan semua orang terlihat ga mengenal konsep marah, 14 Juli yang lalu Bandung menggelar Zine Fest. Festival Zine. Ichan dalam blognya menulis soal ini. 

Kali ini Paper Zine bersedia memberi ruang untuk tulisan ala kadarnya saya. Tentang Nilai Nilai ideal. Sebab seberapa sering saya melontarkan pertanyaan kepada diri sendiri tentang "mau jadi apa" dan "apa rencana ke depannya"

Akibatnya, saya sibuk ke dalam upaya upaya merancang rencana ke depan dan menentukan apa yang saya mau hingga lupa untuk menikmati hal hal kecil yang bisa dilakukan sekarang bukan di masa depan. Lupa untuk bersenang senang.

Eniwei, PaperZine dirilis dalam bentuk fisik dan dibagikan secara gratis (gratis kan ya?) di beberapa distro kota Bandung. Sukseslah untuk semuanya, dan terimakasih, Ilham dan Ichan!

 (click to enlarge)

Tuesday, August 28, 2012

Mengupas "Atheis" Achdiat K. Mihardja

Disclaimer: Penulis adalah pembaca amatir, pengulas amatir, dan pengamat sastra amatir. Satu satunya yang profesional dari Penulis adalah makan rendang tanpa banyak mengunyah.

Yang saya kagumi saat membaca roman ini ialah kepandaian penulisnya dalam menjalin kata hingga pemaparan mengenai komunisme menjadi mudah dicerna. Tokoh bernama Hasan nampaknya sengaja dibuat agar berkarakter "mudah" dan gamang. Kiranya dengan sifat demikian, penggunaan sudut pandang orang pertama tunggal tetap mampu mengcover dua ideologi serba bertentangan. Komunisme dan kapitalisme, sosialisme dan anarkisme, atheis dan theis, modern dan mistik.

Maka Hasan, menceritakan hidupnya dengan alur yang runut. Tentang jiwanya yang semula kukuh perlahan menjadi goyang dan akhirnya runtuh (ditandai saat ia pulang ke Panyeredan dan menyatakan bahwa ia ingin mengambil jalannya sendiri) lalu menjadi kukuh kembali saat dirinya menjemput maut.

Tidak berimbangnya antara tokoh yang menganut paham mistik, tradisionalis dan yang menjunjung modernisme, komunis dan atheis (bahkan muncul Anwar, sang anarkhis) membuat roman ini terkesan ingin mempropagandakan paham komunisme. Bagaimana tidak, seorang Hasan yang mudah berubah pendiriannya digempur oleh Rusli, Kartini, Anwar dan sederet kawan kawan politiknya. Ditambah dengan tumbuhnya cinta dari Hasan kepada Kartini. Satu satunya yang menguatkan teori Hasan hanyalah ayah dan ibunya. Itupun tertinggal jauh di Panyeredan, di pikirannya. 

Tapi kesan tersebut hanya bertahan hingga pertengahan buku. Sebab dengan hadirnya Anwar, seniman anarkhis yang nampaknya sengaja betul menjadi pembuat onar, menyeimbangkan sisi Hasan kepada ideologi komunis-atheis milik Rusli yang tampak begitu sempurna, utopis dan merayu rayu. Anwar menjunjung anarki dengan Bakunin sebagai gurunya. Ia tidak mengenal konsep 'Lu punya gua punya' dan cenderung barbar. Tidak sedikit ia menghina agama dan tuhan, sehingga kesal Hasan dibuatnya. Seolah ingin menegaskan bahwa tidak semua penganut paham tersebut menjadi seorang 'sukses' seperti Rusli. Anwar justru menjadi kuda liar hilang kendali, tak bersopan santun dan meletup letu, pemadat serta senantiasa tak beruang.

Cinta Hasan yang demikian kuat kepada Kartini-lah yang sebenarnya mengubah haluan hidupnya sedemikian rupa. Layaknya teori teori adaptasi, maka Hasan mencoba begitu keras agar terterima di dunia Kartini. Dunia yang serba modern, dunia di manaGone With the Wind  dan Bing Crosby menjadi penting.  “Terasa sekali betapa besarnya perubahanku dibanding dulu. Dulu artinya empat bulan yang lalu segala jejak dan ucapanku selalu kusesuaikan dengan “pendapat umum”, terutama dengan pendapat para ahli ulama. Aku selalu berhati – hati jangan sampai menjadi noda dalam pendangan umum, alias “klaim alim – ulama” itu. Tapi sekarang pandangan umum itu sudah tidak begitu kuhiraukan lagi. Bagiku sekarang lebih penting pendapat Kartini. ( Atheis, hal. 108)

Kemudian, sekali lagi Achdiat memberikan twist berupa pernyataan Anwar ketika Hasan tengah sembahyang saat pulang ke rumah orangtuanya. "...itulah yang kunamakan sandiwara dengan diri sendiri. Mengelabui mata sendiri... Itulah yang kubenci, sebab dengan begitu hilanglah kepribadian kita, persoonlijkheid kita." (Atheis, hal. 145)
Sebab Anwar, Hasan merenung kembali. Sebab Anwar yang kemudian menggoda istrinya, di tahun tahun selepas pernikahannya dengan Kartini, Hasan menjauh dari Rusli dan kawan kawannya. Hidupnya tak jauh dari ke kantor, pulang dan mendapati isterinya tak di rumah, dan batuk batuk hebat. Di halaman halaman akhir terlihat betul keinsyafan Hasan dan penyakitnya yang mengganas dianggapnya sebagai siksa dunia.

Romanpun berakhir gamang. Tanpa ada batas jelas apakah hasan kembali ke islam atau menjadi atheis. Achdiatpun mendaulat tokoh tanpa nama yang menjadi editor untuk menerbitkan naskah autobiografi Hasan. Tokoh ini pula yang seolah menjadi pendamai atas dua ideologi besar yang merongrong pikiran Hasan. Jika Rusli hadir bersama Karl Marx, Hasan yang semula berpegang teguh pada Muhammad, maka Tokoh Ini membawakan Freud kepadanya. Tidak hanya Freud, namun segala perdamaian perdamaian pikiran. "Sesungguhnya, saudara, kita dilahirkan ke dunia ini dengan satu tugas yang mahapenting, yaitu 'hidup'.." ( Atheis, hal. 202)

Sebagai penyeimbang, tugas tokoh tersebut tidak tunai sepenuhnya. Sebab pada detik sebelum Hasan ditembak, Hasan masih dikuasai amarah untuk membunuh. Dalam lubang perlindunganpun, ia banyak tepekur dan menangis. Sebab takut siksa neraka meski porsi rasa bersalahnya kepada orangtuanya -terutama ayahnya yang baru saja meninggal- demikian besar.

Hingga tuntas halaman terakhir, saya tidak banyak mengeluh. Kompleksitas Hasan sangat memukau saya. Sebagai yang baru membaca sedikit dan mendapat secuil pemahaman soal ideologi ideologi seperti komunisme, atheisme dan anarkisme serta filsafat, tentu saya kagum dengan kepiawaan Achdiat meramu semuanya dalam satu buku. Lebih lebih, dalam satu karakter bernama Hasan.

Berlatar di tahun 1940an, novel ini sedikitpun tidak menyentil isu kemerdekaan. Hanya sedikit bagian yang mengindikasikan Rusli terlibat dalam gerakan politik berbau kiri. Ditambah dengan sikap Anwar yang begitu membenci penjajah disebabkan oleh paham anarkis yang dijunjungnya.
Seolah ingin menjabarkan betapa berbahayanya pikiran manusia hingga yang telah kukuh memegang satu prinsip bisa luluh juga jika digempur prinsip baru dan tentu saja, cinta. Meski seolah ini adalah kisah yang menjadikan ide atheis sebagai garis utama, namun saya memandangnya sebagai kisah cinta Hasan dan Kartini yang dibalut teori teori. Entahlah, sekurang kurangnya hanya itu yang saya mampu simpulkan.

Membaca kembali Atheis setelah nyaris tujuh tahun membuat buku ini menjadi pengobat kangen yang cukup manjur. Membelinya dan membaca pelan pelan mampu menjabarkan banyak bagian yang tidak saya mengerti kala itu. Maklum saja, waktu itu saya baru kelas tiga SMP, tak tau soal komunisme, atheisme dan filsafat.Kisahnya begitu melekat hingga ke mana mana saya sebut jikalau Atheis karya Achdiat K Mihardja adalah novel favorit saya.

Sebuah novel, meskipun fiksi adanya, senantiasa menggambarkan suatu kondisi masyarakat tertentu. Atheis yang diterbitkan di tahun 1949 inipun membawakan gambaran jelas kondisi saat itu, Bandung khususnya. Masyarakat mengalami gelombang kiri dengan munculnya Rusli, bung Parta dan kawan kawan politiknya. Pemahaman kiri seolah meluas hingga (dari?) Jakarta sebab Anwarpun demikian.
Namun, kondisi masyarakat yang masih sangat lekat berhubungan dengan budaya Belanda membuat tokoh tokoh islam tidak menolah mentah segala yang di luar islam. Rukmini yang bersekolah di sekolah menengah kristen, Hasan yang mengenakan jas dan sempat bekerja di kantor milik Belanda. Meski secara pribadi Hasan menolak bioskop dan musik musik barat sebab dianggapnya tidak sesuai dengan didikan agamanya.
Sementara sekarang saat kita sudah membaur sekian lama dengan agama agama lain, budaya budaya lain, mengapa begitu sulit untuk menjadi damai atau setidaknya, bersikap seperti Hasan saat dirinya melewati lorong pelacuran; bersikap acuh dan terus berjalan sambil berdoa semoga tidak tergoda dirinya alih alih menggalang massa dan beramai ramai meruntuhkan sarang maksiat tersebut.

***

Judul Buku : Atheis
Penulis : Achdiat K. Mihardja ( Angkatan ’45 )
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta.
Cetakan : 27, 2005
Tebal Buku : 232 halaman

Sinopsis Cerita

Hasan adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah kampong di kota Bandung, Kampung Panyeredan. Ayah dan ibunya tergolong orang yang sangat saleh. Sudah sedari kecil hidupnya ditempuh dengan tasbih. Iman Islamnya sangat tebal. Lukisan inilah yang menggambarkan latar keagamaan dalam kehidupan Hasan, kehidupan yang bernaung Islam.

Setelah menjadi pemuda dewasa makin rajinlah Hasan melakukan perintah agama semua tentang ajaran – ajaran agamanya makin menempel terus di dalam hatinya. Sampai – sampai Hasan menjadi seorang penganut agama Islam yang fanatik.

Hasan kemudian meninggalkan orang tuanya dan memulai kehidupan di kota Bandung dengan tinggal bersama bibinya dan bekerja pada sebuah kantor jawatan pemerintah,sebagai penjual tiket kapal di Kota Praja.
Di tempat penjualan tiket inilah Hasan bertemu orang – orang yang akhirnya mengubah jalan hidupnya. Berawal dari pertemuannya dengan Rusli, temannya pada saat bersekolah di Sekolah Rakyat. Rusli mengajak untuk bertamu ke rumahnya dan terlebih lagi ada perasaan tertentu yang menghinggapinya kala bertemu dengan Kartini, yang merupakan saudara angkat Rusli. Hasan jadi sering mampir ke tempat Rusli.Dan mulailah Hasan mencebur dalam pergaulan Rusli dan Kartini, dan kawan-kawan mereka, yang merupakan aktivis ideologi marxis.

Hasan yang dahulunya tetap mampu hidup sebagaimana biasa di desanya walaupun berada di tengah-tengah kemodernan kota Bandung, mulai berubah. Hal yang utama adalah menyangkut sisi relijiusitas yang selama ini sanggup dipegang teguhnya. Semakin sering ia berkumpul dalam forum-forum diskusi pemikiran marxis Rusli dan kawan-kawannya, juga semakin akrab ia dengan mereka, mulai semakin tak perlahan Hasan meninggalkan gaya hidup lamanya. Tentu saja ideologi marxis akan sangat menubruk pemahaman keagamaan yang sangat tradisionalnya Hasan. Dan ini juga tak berlangsung mudah. Pada awalnya Hasan masih sangat keras untuk berusaha melawan jalan pikiran kawan-kawan marxisnya. Hal ini ditunjukkan dengan tekadnya suatu kali untuk menyadarkan Rusli guna kembali ke jalan yang benar. Dengan semangat ia mendatangi Rusli, namun ternyata Hasan kalah berdebat.Hasan menyerah, ia terus menggabung dalam lingkunagan marxis itu dan terus tambah terpengaruh. Sewaktu suatu saat kembali ke rumah orang tuanya di Desa Panyeredan, kebetulan bersama Anwar (salah seorang rekan marxisnya yang paling gila), ia bahkan berani berteus terang pada kedua orang tuanya tentang pemahaman keimanan terbarunya. Dan tentu saja untuk itu Hasan harus membayar dengan perpisahan untuk selamanya.

Namun ketika menceburan Hasan ke dalam lingkungan Marxis, ia sebetulnya juga tak sepenuhnya sanggup dan mau untuk mengikuti ideologi tersebut. Keberadaan seorang Kartinilah yang menjadi perangsang baginya untuk terus ada di komunitas yang membuat ia kebanyakan hanya menjadi penonton yang pasif dalam berbagai saling lempar wacana yang ada. Hingga akhirnya Hasan kawin dengan Kartini dan pada awalnya berbahagia sentosa raya. Tentu, tak lama pula, datanglah juga masa sengsara, Hasan dan Kartini mulai sering bertengkar. Dan pertengkaran inipun berujungkan perpisahan. Sumber konfliknya adalah, utamanya, ketidaksukaan Hasan pada gaya hidup modern Kartini. Hasan masih memendam cara pikir yang konservatifnya ternyata. Dan memang begitulah. Dalam keterlibatan ia berkecimpung di dunia pemikiran kaum “atheis”, ia masih sangat mendekap erat pandangan-pandangan masa lalunya. Dan pertentangan pikiran ini cukup menyiksa hari-hari Hasan, yang hanya sanggup diobati, awalnya, dengan impian akan keanggunan Kartini, tetapi selain itu Hasan pun berhadap dengan penderitaan fisik berupa penyakit paru-paru yang dideritanya.

Suatu hari Hasan mengetahui bahwa di suatu hotel Anwar pernah berniat memperkosa Kartini, dalam marah, ketika berjalan mencari Anwar, ia ditembak oleh tentara Jepang ( Kusyu Heiho ) yang menuduhnya mata-mata. Hasan tersungkur oleh terjangan peluru dan diakhir hayatnya ini Hasan masih sempat mengucapkan Allahu Akbar sebagai tanda keimanannya.
Data buku dan sinopsis dikutip dari sini 

Namun yang saya beli, merupakan cetakan ke 34 di tahun 2010. Sementara cetakan pertamanya di tahun 1949. Dari berbagai catatan di dunia maya yang mengulas buku ini, kebanyakan menyebut pekerjaan Hasan adalah juru tiket kapal. Sementara di buku yang saya beli, disebutkan bahwa Hasan adalah pegawai di kantor pemerintahan bagian pemasangan air (semacam PDAM)

Di sanalah ia bertemu Rusli dan Kartini, saat Rusli ingin meminta pemasangan air di rumah barunya. Entah mana yang betul, tapi yang saya baca lebih terasa masuk akal.