Tuesday, August 28, 2012

Mengupas "Atheis" Achdiat K. Mihardja

Disclaimer: Penulis adalah pembaca amatir, pengulas amatir, dan pengamat sastra amatir. Satu satunya yang profesional dari Penulis adalah makan rendang tanpa banyak mengunyah.

Yang saya kagumi saat membaca roman ini ialah kepandaian penulisnya dalam menjalin kata hingga pemaparan mengenai komunisme menjadi mudah dicerna. Tokoh bernama Hasan nampaknya sengaja dibuat agar berkarakter "mudah" dan gamang. Kiranya dengan sifat demikian, penggunaan sudut pandang orang pertama tunggal tetap mampu mengcover dua ideologi serba bertentangan. Komunisme dan kapitalisme, sosialisme dan anarkisme, atheis dan theis, modern dan mistik.

Maka Hasan, menceritakan hidupnya dengan alur yang runut. Tentang jiwanya yang semula kukuh perlahan menjadi goyang dan akhirnya runtuh (ditandai saat ia pulang ke Panyeredan dan menyatakan bahwa ia ingin mengambil jalannya sendiri) lalu menjadi kukuh kembali saat dirinya menjemput maut.

Tidak berimbangnya antara tokoh yang menganut paham mistik, tradisionalis dan yang menjunjung modernisme, komunis dan atheis (bahkan muncul Anwar, sang anarkhis) membuat roman ini terkesan ingin mempropagandakan paham komunisme. Bagaimana tidak, seorang Hasan yang mudah berubah pendiriannya digempur oleh Rusli, Kartini, Anwar dan sederet kawan kawan politiknya. Ditambah dengan tumbuhnya cinta dari Hasan kepada Kartini. Satu satunya yang menguatkan teori Hasan hanyalah ayah dan ibunya. Itupun tertinggal jauh di Panyeredan, di pikirannya. 

Tapi kesan tersebut hanya bertahan hingga pertengahan buku. Sebab dengan hadirnya Anwar, seniman anarkhis yang nampaknya sengaja betul menjadi pembuat onar, menyeimbangkan sisi Hasan kepada ideologi komunis-atheis milik Rusli yang tampak begitu sempurna, utopis dan merayu rayu. Anwar menjunjung anarki dengan Bakunin sebagai gurunya. Ia tidak mengenal konsep 'Lu punya gua punya' dan cenderung barbar. Tidak sedikit ia menghina agama dan tuhan, sehingga kesal Hasan dibuatnya. Seolah ingin menegaskan bahwa tidak semua penganut paham tersebut menjadi seorang 'sukses' seperti Rusli. Anwar justru menjadi kuda liar hilang kendali, tak bersopan santun dan meletup letu, pemadat serta senantiasa tak beruang.

Cinta Hasan yang demikian kuat kepada Kartini-lah yang sebenarnya mengubah haluan hidupnya sedemikian rupa. Layaknya teori teori adaptasi, maka Hasan mencoba begitu keras agar terterima di dunia Kartini. Dunia yang serba modern, dunia di manaGone With the Wind  dan Bing Crosby menjadi penting.  “Terasa sekali betapa besarnya perubahanku dibanding dulu. Dulu artinya empat bulan yang lalu segala jejak dan ucapanku selalu kusesuaikan dengan “pendapat umum”, terutama dengan pendapat para ahli ulama. Aku selalu berhati – hati jangan sampai menjadi noda dalam pendangan umum, alias “klaim alim – ulama” itu. Tapi sekarang pandangan umum itu sudah tidak begitu kuhiraukan lagi. Bagiku sekarang lebih penting pendapat Kartini. ( Atheis, hal. 108)

Kemudian, sekali lagi Achdiat memberikan twist berupa pernyataan Anwar ketika Hasan tengah sembahyang saat pulang ke rumah orangtuanya. "...itulah yang kunamakan sandiwara dengan diri sendiri. Mengelabui mata sendiri... Itulah yang kubenci, sebab dengan begitu hilanglah kepribadian kita, persoonlijkheid kita." (Atheis, hal. 145)
Sebab Anwar, Hasan merenung kembali. Sebab Anwar yang kemudian menggoda istrinya, di tahun tahun selepas pernikahannya dengan Kartini, Hasan menjauh dari Rusli dan kawan kawannya. Hidupnya tak jauh dari ke kantor, pulang dan mendapati isterinya tak di rumah, dan batuk batuk hebat. Di halaman halaman akhir terlihat betul keinsyafan Hasan dan penyakitnya yang mengganas dianggapnya sebagai siksa dunia.

Romanpun berakhir gamang. Tanpa ada batas jelas apakah hasan kembali ke islam atau menjadi atheis. Achdiatpun mendaulat tokoh tanpa nama yang menjadi editor untuk menerbitkan naskah autobiografi Hasan. Tokoh ini pula yang seolah menjadi pendamai atas dua ideologi besar yang merongrong pikiran Hasan. Jika Rusli hadir bersama Karl Marx, Hasan yang semula berpegang teguh pada Muhammad, maka Tokoh Ini membawakan Freud kepadanya. Tidak hanya Freud, namun segala perdamaian perdamaian pikiran. "Sesungguhnya, saudara, kita dilahirkan ke dunia ini dengan satu tugas yang mahapenting, yaitu 'hidup'.." ( Atheis, hal. 202)

Sebagai penyeimbang, tugas tokoh tersebut tidak tunai sepenuhnya. Sebab pada detik sebelum Hasan ditembak, Hasan masih dikuasai amarah untuk membunuh. Dalam lubang perlindunganpun, ia banyak tepekur dan menangis. Sebab takut siksa neraka meski porsi rasa bersalahnya kepada orangtuanya -terutama ayahnya yang baru saja meninggal- demikian besar.

Hingga tuntas halaman terakhir, saya tidak banyak mengeluh. Kompleksitas Hasan sangat memukau saya. Sebagai yang baru membaca sedikit dan mendapat secuil pemahaman soal ideologi ideologi seperti komunisme, atheisme dan anarkisme serta filsafat, tentu saya kagum dengan kepiawaan Achdiat meramu semuanya dalam satu buku. Lebih lebih, dalam satu karakter bernama Hasan.

Berlatar di tahun 1940an, novel ini sedikitpun tidak menyentil isu kemerdekaan. Hanya sedikit bagian yang mengindikasikan Rusli terlibat dalam gerakan politik berbau kiri. Ditambah dengan sikap Anwar yang begitu membenci penjajah disebabkan oleh paham anarkis yang dijunjungnya.
Seolah ingin menjabarkan betapa berbahayanya pikiran manusia hingga yang telah kukuh memegang satu prinsip bisa luluh juga jika digempur prinsip baru dan tentu saja, cinta. Meski seolah ini adalah kisah yang menjadikan ide atheis sebagai garis utama, namun saya memandangnya sebagai kisah cinta Hasan dan Kartini yang dibalut teori teori. Entahlah, sekurang kurangnya hanya itu yang saya mampu simpulkan.

Membaca kembali Atheis setelah nyaris tujuh tahun membuat buku ini menjadi pengobat kangen yang cukup manjur. Membelinya dan membaca pelan pelan mampu menjabarkan banyak bagian yang tidak saya mengerti kala itu. Maklum saja, waktu itu saya baru kelas tiga SMP, tak tau soal komunisme, atheisme dan filsafat.Kisahnya begitu melekat hingga ke mana mana saya sebut jikalau Atheis karya Achdiat K Mihardja adalah novel favorit saya.

Sebuah novel, meskipun fiksi adanya, senantiasa menggambarkan suatu kondisi masyarakat tertentu. Atheis yang diterbitkan di tahun 1949 inipun membawakan gambaran jelas kondisi saat itu, Bandung khususnya. Masyarakat mengalami gelombang kiri dengan munculnya Rusli, bung Parta dan kawan kawan politiknya. Pemahaman kiri seolah meluas hingga (dari?) Jakarta sebab Anwarpun demikian.
Namun, kondisi masyarakat yang masih sangat lekat berhubungan dengan budaya Belanda membuat tokoh tokoh islam tidak menolah mentah segala yang di luar islam. Rukmini yang bersekolah di sekolah menengah kristen, Hasan yang mengenakan jas dan sempat bekerja di kantor milik Belanda. Meski secara pribadi Hasan menolak bioskop dan musik musik barat sebab dianggapnya tidak sesuai dengan didikan agamanya.
Sementara sekarang saat kita sudah membaur sekian lama dengan agama agama lain, budaya budaya lain, mengapa begitu sulit untuk menjadi damai atau setidaknya, bersikap seperti Hasan saat dirinya melewati lorong pelacuran; bersikap acuh dan terus berjalan sambil berdoa semoga tidak tergoda dirinya alih alih menggalang massa dan beramai ramai meruntuhkan sarang maksiat tersebut.

***

Judul Buku : Atheis
Penulis : Achdiat K. Mihardja ( Angkatan ’45 )
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta.
Cetakan : 27, 2005
Tebal Buku : 232 halaman

Sinopsis Cerita

Hasan adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah kampong di kota Bandung, Kampung Panyeredan. Ayah dan ibunya tergolong orang yang sangat saleh. Sudah sedari kecil hidupnya ditempuh dengan tasbih. Iman Islamnya sangat tebal. Lukisan inilah yang menggambarkan latar keagamaan dalam kehidupan Hasan, kehidupan yang bernaung Islam.

Setelah menjadi pemuda dewasa makin rajinlah Hasan melakukan perintah agama semua tentang ajaran – ajaran agamanya makin menempel terus di dalam hatinya. Sampai – sampai Hasan menjadi seorang penganut agama Islam yang fanatik.

Hasan kemudian meninggalkan orang tuanya dan memulai kehidupan di kota Bandung dengan tinggal bersama bibinya dan bekerja pada sebuah kantor jawatan pemerintah,sebagai penjual tiket kapal di Kota Praja.
Di tempat penjualan tiket inilah Hasan bertemu orang – orang yang akhirnya mengubah jalan hidupnya. Berawal dari pertemuannya dengan Rusli, temannya pada saat bersekolah di Sekolah Rakyat. Rusli mengajak untuk bertamu ke rumahnya dan terlebih lagi ada perasaan tertentu yang menghinggapinya kala bertemu dengan Kartini, yang merupakan saudara angkat Rusli. Hasan jadi sering mampir ke tempat Rusli.Dan mulailah Hasan mencebur dalam pergaulan Rusli dan Kartini, dan kawan-kawan mereka, yang merupakan aktivis ideologi marxis.

Hasan yang dahulunya tetap mampu hidup sebagaimana biasa di desanya walaupun berada di tengah-tengah kemodernan kota Bandung, mulai berubah. Hal yang utama adalah menyangkut sisi relijiusitas yang selama ini sanggup dipegang teguhnya. Semakin sering ia berkumpul dalam forum-forum diskusi pemikiran marxis Rusli dan kawan-kawannya, juga semakin akrab ia dengan mereka, mulai semakin tak perlahan Hasan meninggalkan gaya hidup lamanya. Tentu saja ideologi marxis akan sangat menubruk pemahaman keagamaan yang sangat tradisionalnya Hasan. Dan ini juga tak berlangsung mudah. Pada awalnya Hasan masih sangat keras untuk berusaha melawan jalan pikiran kawan-kawan marxisnya. Hal ini ditunjukkan dengan tekadnya suatu kali untuk menyadarkan Rusli guna kembali ke jalan yang benar. Dengan semangat ia mendatangi Rusli, namun ternyata Hasan kalah berdebat.Hasan menyerah, ia terus menggabung dalam lingkunagan marxis itu dan terus tambah terpengaruh. Sewaktu suatu saat kembali ke rumah orang tuanya di Desa Panyeredan, kebetulan bersama Anwar (salah seorang rekan marxisnya yang paling gila), ia bahkan berani berteus terang pada kedua orang tuanya tentang pemahaman keimanan terbarunya. Dan tentu saja untuk itu Hasan harus membayar dengan perpisahan untuk selamanya.

Namun ketika menceburan Hasan ke dalam lingkungan Marxis, ia sebetulnya juga tak sepenuhnya sanggup dan mau untuk mengikuti ideologi tersebut. Keberadaan seorang Kartinilah yang menjadi perangsang baginya untuk terus ada di komunitas yang membuat ia kebanyakan hanya menjadi penonton yang pasif dalam berbagai saling lempar wacana yang ada. Hingga akhirnya Hasan kawin dengan Kartini dan pada awalnya berbahagia sentosa raya. Tentu, tak lama pula, datanglah juga masa sengsara, Hasan dan Kartini mulai sering bertengkar. Dan pertengkaran inipun berujungkan perpisahan. Sumber konfliknya adalah, utamanya, ketidaksukaan Hasan pada gaya hidup modern Kartini. Hasan masih memendam cara pikir yang konservatifnya ternyata. Dan memang begitulah. Dalam keterlibatan ia berkecimpung di dunia pemikiran kaum “atheis”, ia masih sangat mendekap erat pandangan-pandangan masa lalunya. Dan pertentangan pikiran ini cukup menyiksa hari-hari Hasan, yang hanya sanggup diobati, awalnya, dengan impian akan keanggunan Kartini, tetapi selain itu Hasan pun berhadap dengan penderitaan fisik berupa penyakit paru-paru yang dideritanya.

Suatu hari Hasan mengetahui bahwa di suatu hotel Anwar pernah berniat memperkosa Kartini, dalam marah, ketika berjalan mencari Anwar, ia ditembak oleh tentara Jepang ( Kusyu Heiho ) yang menuduhnya mata-mata. Hasan tersungkur oleh terjangan peluru dan diakhir hayatnya ini Hasan masih sempat mengucapkan Allahu Akbar sebagai tanda keimanannya.
Data buku dan sinopsis dikutip dari sini 

Namun yang saya beli, merupakan cetakan ke 34 di tahun 2010. Sementara cetakan pertamanya di tahun 1949. Dari berbagai catatan di dunia maya yang mengulas buku ini, kebanyakan menyebut pekerjaan Hasan adalah juru tiket kapal. Sementara di buku yang saya beli, disebutkan bahwa Hasan adalah pegawai di kantor pemerintahan bagian pemasangan air (semacam PDAM)

Di sanalah ia bertemu Rusli dan Kartini, saat Rusli ingin meminta pemasangan air di rumah barunya. Entah mana yang betul, tapi yang saya baca lebih terasa masuk akal.

No comments:

Post a Comment