Saya lupa mereview tulisan ini. Eniwei awal bulan silam saya mengkontribusikan tulisan alakadarnya untuk zine Suketteki yang terbit fisik di kota Malang. Yang berada di kota itu monggo disabet zinenya, gratisan ini.
Disusun oleh Eko Marjani dan Hangga Rachman, dua penggagas scene alternatif Malang yang namanya udah malang melintang itu (sumpah saya ga kreatif banget hari ini) menjadikan Suketteki sebuah zine yang ga ada hubungannya dengan Jepang sama sekali. Suket teki kali ya, pepatah jawa soal gajah yang tertimbun rumput teki itu.
Eniwei saya menulis ini;
Eniwei saya menulis ini;
L o g i k a Rasa
Rusnani Anwar | @polariaaa
Rusnani Anwar | @polariaaa
Tidak semestinya perkara rasa dijabarkan melalui
logika. Demikian yang saya dengar dari kicauan tweet seorang pesohor
akademik. Diam diam saya mengamini. Tidak selayaknya sesuatu yang definisinya
saja tidak jelas ditempatkan dalam logika jika A adalah B maka B adalah A. Ia
hanya bisa dijabarkan melalui disiplin filsafat, di mana kemungkinan A menjadi
alfabet lain hingga forma non alfabet menjadi mungkin.
Batasan filsafat adalah tepian kemungkinan dan
logika menyederhakannya dalam kausal kausal yang disepakati sebagai kebenaran.
Lantas bagaimana cara menyebut sakit hati adalah sakit hati jika setiap
palet rasa manusia tidak memiliki ketetapan yang sama?
Yang menarik adalah kecenderungan untuk mengasosiasikan
logika sebagai wilayah kerja otak dan rasa sebagai wilayah kerja hati. Kita
sering lupa bahwa hati tidak dirancang untuk memiliki kemampuan mengolah
perasaan. Semua rasa itu asalnya dari otak. Sistem limbik melalui amigdala dan
hippokampus yang memproses kejadian dan menyimpulkannya sebagai galaw,
sedih, senang, bahagia.
Tak heran jika sesekali dalam hidup, kita
mengambil keputusan keputusan irasional yang jika dipikir kembali, hal tersebut
sama sekali tak logis untuk dilakukan. Terimakasih kepada otak yang bekerjasama
dengan kelenjar adrenal dan membuat masa muda kita menjadi tak ubahnya sepotong
perahu di tengah badai.
Saya menulis ini sebagai ucapan selamat atas
proyek zine yang Bimo bilang baru dimulainya bersama kawan. Saya mengerti tulisan
semacam ini hanyalah kicau berkepanjangan yang sesungguhnya tidak pantas
diterbitkan. Namun saya kirimkan juga, atas nama dorongan adrenal yang mungkin
sepuluh tahun dari sekarang saat saya baca kembali, saya akan tertawa dan
merasa ini tak logis.
Manusia modern dan peradabannya mengantarkan kita
pada era di mana social pain dapat diputus dengan mudah layaknya physical
pain. Penelitian menyebut bahwa anthistamine (kaya paramex, xanax,
obat batuk, dll) dapat memotong sirkuit itu dari otak ke pemfungsi tubuh lain.
Hal ini dapat menghindarkan kita dari perasaan tak keruan yang dapat berujung
pada physical pain itu. Tidak seperti yang terjadi di abad ke
delapanbelas di mana sebuah 'penyakit' bernama nervousa menjadi tren
(yang berujung pada bunuh diri massal) dan tidak siapapun bisa menghentikannya
(Madness and Civilization Michael Foucault page 151).
Urusan rasa, ternyata bisa diobati dengan logika.
Jika rasa adalah produk keluaran otak, maka logikanya
Kita bisa mengatur bagaimana sebuah kejadian itu agar tidak masuk ke sistem
limbik, amigdala dan hippokampus untuk kemudian menghentikan otak
mengeluarkan endorfin, serotonin, dopamin dan sebagainya. Dengan mengurangi
fokus dan mereduksi ingatan pada sebuah kejadian, memori akan memprosesnya
sebagai short term memory sehingga misalnya, wajah gebetan, hal hal
romantis yang ia lakukan akan mudah dilupakan layaknya kejadian kejadian kecil
seperti mencuci piring di dapur.
Ketika sebuah kejadian diproses ke dalam long
term memory, ia akan berpotensi untuk diakses amigdala dan hippokampus
untuk disimpulkan sebagai sesuatu yang penting dan otak akan release zat
zat adiktif yang akan diproses menjadi perasaan senang, sedih, galau, menyesal,
kuatir dan sebagainya. Setiap ingatan yang masuk ke dalam long term memory memiliki
kausal kunci. Misalnya, kalau kita ke Amerika dan nanya mereka sedang apa pada
saat 11/9, mereka akan ingat betul meski hanya sedang memasak di dapur. Kausal
kuncinya adalah kejadian besar itu. Kita lantas menyimpulkan kita sedang jatuh
cinta saat kausal kuncinya adalah seseorang yang secara sosial disetujui
sebagai gebetan.
Jadi, sederhananya, soal rasa bisa diatur oleh
logika. Kita punya kendali untuk tidak jatuh cinta, tidak patah hati dan tidak
galau.
Mari kita lihat berapa lama simpulan ini dapat
bertahan dalam lembah inkonsistensi manusia.
Books : L O G I K A Drs. H. Mundiri
Madness and Civilization Michael Foucault.
Song : The Beatles – Rubber Soul Album
Menulis ini seperti ditulis di atas saat sedang sangat tertarik dengan sistem kerja otak yang sayangnya gagal saya pahami sangat jauh dan hasilnya ya begitulah, jabaran alakadarnya. Terimakasih untuk Bimo/Eko Marjani yang telah memberi ruang untuk tulisan ini dalam zine kelahiran pertama mereka. Semoga awet hingga issue #takterhingga!