Friday, December 27, 2013

Logika Rasa

Saya lupa mereview tulisan ini. Eniwei awal bulan silam saya mengkontribusikan tulisan alakadarnya untuk zine Suketteki yang terbit fisik di kota Malang. Yang berada di kota itu monggo disabet zinenya, gratisan ini.

Disusun oleh Eko Marjani dan Hangga Rachman, dua penggagas scene alternatif Malang yang namanya udah malang melintang itu (sumpah saya ga kreatif banget hari ini) menjadikan Suketteki sebuah zine yang ga ada hubungannya dengan Jepang sama sekali. Suket teki kali ya, pepatah jawa soal gajah yang tertimbun rumput teki itu.

Eniwei saya menulis ini;
L o g i k a Rasa                              
Rusnani Anwar | @polariaaa

Tidak semestinya perkara rasa dijabarkan melalui logika. Demikian yang saya dengar dari kicauan tweet seorang pesohor akademik. Diam diam saya mengamini. Tidak selayaknya sesuatu yang definisinya saja tidak jelas ditempatkan dalam logika jika A adalah B maka B adalah A. Ia hanya bisa dijabarkan melalui disiplin filsafat, di mana kemungkinan A menjadi alfabet lain hingga forma non alfabet menjadi mungkin.

Batasan filsafat adalah tepian kemungkinan dan logika menyederhakannya dalam kausal kausal yang disepakati sebagai kebenaran. Lantas bagaimana cara menyebut sakit hati adalah sakit hati jika setiap palet rasa manusia tidak memiliki ketetapan yang sama?

Yang menarik adalah kecenderungan untuk mengasosiasikan logika sebagai wilayah kerja otak dan rasa sebagai wilayah kerja hati. Kita sering lupa bahwa hati tidak dirancang untuk memiliki kemampuan mengolah perasaan. Semua rasa itu asalnya dari otak. Sistem limbik melalui amigdala dan hippokampus yang memproses kejadian dan menyimpulkannya sebagai galaw, sedih, senang, bahagia.

Tak heran jika sesekali dalam hidup, kita mengambil keputusan keputusan irasional yang jika dipikir kembali, hal tersebut sama sekali tak logis untuk dilakukan. Terimakasih kepada otak yang bekerjasama dengan kelenjar adrenal dan membuat masa muda kita menjadi tak ubahnya sepotong perahu di tengah badai.

Saya menulis ini sebagai ucapan selamat atas proyek zine yang Bimo bilang baru dimulainya bersama kawan. Saya mengerti tulisan semacam ini hanyalah kicau berkepanjangan yang sesungguhnya tidak pantas diterbitkan. Namun saya kirimkan juga, atas nama dorongan adrenal yang mungkin sepuluh tahun dari sekarang saat saya baca kembali, saya akan tertawa dan merasa ini tak logis.

Manusia modern dan peradabannya mengantarkan kita pada era di mana social pain dapat diputus dengan mudah layaknya physical pain. Penelitian menyebut bahwa anthistamine (kaya paramex, xanax, obat batuk, dll) dapat memotong sirkuit itu dari otak ke pemfungsi tubuh lain. Hal ini dapat menghindarkan kita dari perasaan tak keruan yang dapat berujung pada physical pain itu. Tidak seperti yang terjadi di abad ke delapanbelas di mana sebuah 'penyakit' bernama nervousa menjadi tren (yang berujung pada bunuh diri massal) dan tidak siapapun bisa menghentikannya (Madness and Civilization Michael Foucault page 151).
Urusan rasa, ternyata bisa diobati dengan logika.

Jika rasa adalah produk keluaran otak, maka logikanya Kita bisa mengatur bagaimana sebuah kejadian itu agar tidak masuk ke sistem limbik, amigdala dan hippokampus untuk kemudian menghentikan otak mengeluarkan endorfin, serotonin, dopamin dan sebagainya. Dengan mengurangi fokus dan mereduksi ingatan pada sebuah kejadian, memori akan memprosesnya sebagai short term memory sehingga misalnya, wajah gebetan, hal hal romantis yang ia lakukan akan mudah dilupakan layaknya kejadian kejadian kecil seperti mencuci piring di dapur.

Ketika sebuah kejadian diproses ke dalam long term memory, ia akan berpotensi untuk diakses amigdala dan hippokampus untuk disimpulkan sebagai sesuatu yang penting dan otak akan release zat zat adiktif yang akan diproses menjadi perasaan senang, sedih, galau, menyesal, kuatir dan sebagainya. Setiap ingatan yang masuk ke dalam long term memory memiliki kausal kunci. Misalnya, kalau kita ke Amerika dan nanya mereka sedang apa pada saat 11/9, mereka akan ingat betul meski hanya sedang memasak di dapur. Kausal kuncinya adalah kejadian besar itu. Kita lantas menyimpulkan kita sedang jatuh cinta saat kausal kuncinya adalah seseorang yang secara sosial disetujui sebagai gebetan.

Jadi, sederhananya, soal rasa bisa diatur oleh logika. Kita punya kendali untuk tidak jatuh cinta, tidak patah hati dan tidak galau.

Mari kita lihat berapa lama simpulan ini dapat bertahan dalam lembah inkonsistensi manusia.



Books : L O G I K A Drs. H. Mundiri
Madness and Civilization Michael Foucault.
Song : The Beatles – Rubber Soul Album



Menulis ini seperti ditulis di atas saat sedang sangat tertarik dengan sistem kerja otak yang sayangnya gagal saya pahami sangat jauh dan hasilnya ya begitulah, jabaran alakadarnya. Terimakasih untuk Bimo/Eko Marjani yang telah memberi ruang untuk tulisan ini dalam zine kelahiran pertama mereka. Semoga awet hingga issue #takterhingga!

Thursday, December 26, 2013

Makanya, Minta.

Minta, kamu bakal dikasih.

Ini kata temen saya yang jago filsafat. Iya, terlepas dari konteks kanon sekalipun, meminta adalah kata kerja yang termasuk dalam kategori berkomunikasi. Kita manusia ini tidak pandai membaca gelagat pikiran orang -walaupun sebagian ada yang mengaku bisa membaca isi kepala orang melalui gesture dan pembacaan sikap- sehingga komunikasi menjadi kebutuhan penting. Mediumnya banyak, melalui tulisan, orasi, ceramah, lukisan, kode morse, apapun. Intinya adalah bagaimana menyampaikan isi kepada kepada manusia lain.

Formatnya ada dalam banyak kata kerja. Menggugat, mengiba, memarahi, mencintai, atau ini, meminta. Objeknya bisa apa saja, barang atau jasa. Namun yang ingin saya tulis kali ini adalah wujud komunikasi interhuman bernama 'harapan'. Komunikasi interhuman? istilah ini tidak ada di rujukan manapun soalnya saya ngarang hahaha. Gimana manusia berkomunikasi dengan dirinya sendiri gitulah.

Tuhan ada di kedalaman akal, kata kawan saya yang selain jago filsafat juga mendalami ilmu agama itu. Ia selalu menulis bahwa Tuhan bersemayam dalam setiap manusia, mewujud dalam istilah inner peace. Dalam satu titik bernama transenden kita bisa 'mengakses' Tuhan dan berkomunikasi serta mungkin, akan mendapat mukjizat seperti yang dijanjikan kitab kitab kanon.

Apa yang saya punya masih sangat sangat jauh untuk ke sana. Komunikasi intrahuman yang saya singgung di atas tak lebih dari upaya saya untuk bicara sendiri dan meyakinkan bahwa Nani adalah seorang yang baik, yang sabar, pekerja keras dan tidak ingin menyakiti siapapun ke manapun ia melangkah. Setiap pagi sebelum bekerja dan malam sebelum tidur.

Lalu, soal minta meminta. Saya belum mengerti konsep sugesti, kekuatan pikiran, ilmu hypnotheraphy dll yang sering dikonsumsi motivator motivator MLM itu. Namun saya percaya bahwa saya adalah produk dari repetisi komunikasi. Apa yang dilakukan dan suara yang ingin disampaikan melalui banyak medium komunikasi itu adalah siapa saya. Sesuatu yang saya tinggalkan kelak ketika perjalanan ini menemui transisi.

2013 akan tamat dan tidak terulang. Banyak sekali kalimat seharusnya tertinggal di tahun ini. Seharusnya  saya berupaya lebih keras untuk menjadi copy editor di koran,  seharusnya  saya tidak melamar pekerjaan di televisi,  seharusnya  saya mengemas semua barang dan kembali hijrah ke luar kota,  seharusnya  saya lebih berusaha untuk membuatnya jatuh cinta ^^

Penghujung 2013 tentu tidak ingin saya habiskan dengan kalimat bagaimana jika, seharusnya, dan kalau saja. Tahun ini adalah satu lagi tahun menyenangkan untuk dihabiskan. Saya memulai pekerjaan di televisi dan banyak belajar hal baru, pendapatan bertambah dan kesehatan mama jauh membaik. Saya jatuh cinta dan punya beberapa kawan dekat, mencoba beberapa hal baru dan semuanya membuat saya banyak berbahagia.

Soal komunikasi intrahuman tadi, saya sempat berkomunikasi melalui medium tulisan soal ini: Projek 2013, Weight Loss, semacam setting my own goal gitulaahh. Ditulis sebelum kepikiran buat masuk tipi dan sampai Oktober niatan untuk diet dan olahraga itu tidak kunjung terlaksana. Saya selalu berlindung pada alasan "Butuh alasan kuat untuk melakukan hal hal yang saya anggap tidak terlalu mengganggu kalau tidak diubah" seperti perkara gendut ini. Ketika masuk tipi dan bos menginstruksikan saya buat menjadi presenter, rekan kerja dan bos sendiri tidak mempersoalkan bentukan saya yang mirip dispenser bermicrophone itu. Sayapun tidak menganggapnya sebagai masalah selama saya masih bergerak (ajaibnya, dengan cukup gesit) dan sehat sehat aja.

Minta, kamu bakal dikasih.

Saya meminta pada diri sendiri untuk mengurangi berat badan kala itu. Berjanji malah, untuk banyak berolahraga dan mengurangi camilan tengah malam demi kesehatan. Mungkin lantaran alasan kesehatan masih belum cukup kuat untuk membuat saya memasukkannya ke dalam kanal ingatan lebih lebih sugesti (bok, tau pernah nulis begituan aja barusan pas ngecek posting2 lama hahaha) jadinya saya dikasih faktor pembuat kurus paling ampuh sejak zaman Aphrodite masih pacaran sama Zeus: Jatuh Tjinta.

Saya punya hubungan khusus dengan makanan enak, sungguh. Otak saya kadung terbiasa melepaskan endorphin kala palet lidah bertemu dengan padanan rasa manis-gurih dan lembutnya nasi putih. Jabaran saya soal makanan makanan yang saya suka terangkum dalam www.sampitculinary.blogspot.com karena memang sebesar itulah kemampuan makanan dalam membuat saya bahagia. Hingga Oktober tahun ini belum saya temukan hal hal yang cukup menarik untuk mengalihkan perhatian saya pada makanan enak. Sampai dikasih itu, jatuh cinta.

Pertama kalinya saya gapunya minat terhadap makan siang di rumah makan favorit dan lebih memilih pulang untuk sekadar berbalas pesan. Mungkin, pertama kalinya juga otak saya mengalihkan kebiasaan melepas endorphinnya dari stimulasi indra pengecap ke sistem limbik bernama mengingat wajah-suara seseorang. Bhahahaha ini jadi jijik gini naninya masaaaa.

Intinya saya dikasih apa yang saya minta di tahun ini. Kurusan -belum kurus- setelah dua bulan terakhir tidak menaruh minat berlebih terhadap makanan. Menganggapnya hanya sekedar kebutuhan biologis untuk menjaga fungsi organ tetap berjalan. Hasilnya, 83 kilo ke 68. Mayan, ukuran XL udah longgar kalo dipake B')))

Noo. I'm not gonna put my before-after picture here simply because its just too herbalife-fey for me :P


Wednesday, December 18, 2013

Label

GOOGLE
Disadari atau tidak setiap orang punya label di jidat mereka. Disengaja atau tidak, kamu dan saya menempelkan label pada setiap orang. Label berlaku untuk dua sisi dengan prefiks di-labeli atau me-labeli, objeknya diri sendiri dan orang lain.

Melabeli diri sendiri adalah proses personal branding, pencitraan. Seperti disebut di atas sengaja atau tidak setiap orang memilih label mereka sendiri. Playboy, heartbreaker, matre, pembohong, baik hati, setia, rakus, kasar dan sejumlah kata sifat lainnya. Bagaimana sebuah label terbentuk? melalui repetisi tindakan. Kehidupan kian instan sehingga kini sebuah pencitraan bisa dilakukan hanya dengan repetisi ucapan. Seberapa sering kita berupaya untuk menegaskan sudut pandang dan ketetapan sikap melalui kicau twitter?

Label itu kian rimbun, merangsek ke area yang lebih luas dengan ribuan suku kata baru. Label label yang bermuara pada sufiks -isme -isme, pada istilah istilah posmo, pada sebutan dan ciptaan baru berbahasa. Alay, hipster, badau, kita sampirkan pada pemuja arus kekinian yang berkiblat pada nilai nilai popular.

Pemuaraan sikap label melabeli diri sendiri perlahan akan masuk ke sistem otak, akibat dari repetisi tindakan maupun ucapan tadi. Kamu menjadi apa yang kamu labeli ke jidat sendiri. Berhati hati pada ucapan, kata mama saya. Apalagi ucapan yang diulang ulang ya, ma?
So now I keep hearing about “personal branding” - the idea that your career, your mind, your body, everything that makes up the superficial “you” can be packaged up into a brand just like Coke or Mcdonalds can. So we start to arrive at the truth of the matter: Branding is lying.
But personal branding is even worse because the joke is over. Now we’re talking about me and you. We’re talking about who YOU are. And let’s face it. It’s not pretty. You need to re-brand from birth. - James Altucher
Yes, branding is lying. Saat kita melabeli diri sendiri tentu label itu adalah yang baik baik, meski dilakukan tanpa sengaja sekalipun -walaupun buat saya konsep ketidaksengajaan itu tidak pernah benar benar ada. Yang kita lakukan adalah kurang sadar, bukan tidak sengaja- kita mengulang ulang tindakan tertentu dengan tujuan untuk disebut dengan istilah yang baik baik. Tidak ada yang salah dengan melakukan hal hal baik dengan tujuan apapun. Selama yang dilakukan adalah hal baik perkara konsekuensi akhir bodo amat, kiamat masih jauh.

Tapi mau sampai kapan, berbohong untuk sebuah label?

Kemudian beralih pada label yang kita tempel ke jidat orang. Dalam sejumlah istilah ia menitis (tsah, menitis) menjadi stigma, prejudis, prasangka, asumsi, subjektivitas, sebagainya. Objektivitas adalah ilusi, sebab setelah melakukan penilaian yang diklaim paling objektif sekalipun, sebuah label tetap tercetus. Dalam kata sifat yang saya kira paling pretensif seperti bijak, kritis, toleran. 

Dengan posisi manusia yang dibesarkan dalam sistem runut dan logika sebab-akibat, mustahil untuk berdiri di garis tengah, paling tengah antara dua kubu pandangan berbeda. Sumber bacaan, kawan bergaul, orangtua, lingkungan, tontonan, menjadi pembangun karakter dan sistem logika. Kalau saja netralitas adalah hal yang absolut, maka teori relativitas tak akan dilirik lebih lebih diakui sebagai sebuah teori. Label, menjadi suatu hal yang pasti menempel dan ditempelkan pada seorang manusia kapanpun dalam perjalanan hidupnya.

Klarifikasi label adalah penyangkalan. Sebab simpulan sederhana dari sistem logika jika A adalah B maka B adalah A membuat saya dan kamu menempelkan label bahwa Aurel Hermansyah adalah alay. Alay adalah yang meniru Aurel Hermansyah. Lalu bagaimana agar perkara label ini tidak mempengaruhi cara saya dan kamu dalam berproses lebih jauh dengan orang yang terlanjur saya dan kamu beri label untuk tidak disukai?

Pertama, ignoran. Menihilkan proses tersebut dan berlalu. Sampai label tersebut tidak lagi ada dalam ingatan. Sampai label itu tidak lagi menjadi faktor asosiatif saat namanya disebutkan.

Atau, berproses. Mengenal lebih jauh dan melihat banyak sekali hal menarik di balik label yang saya dan kamu tempelkan di jidat mereka.

Bagaimana dengan label yang menempel di jidat saya dan kamu yang ditempelkan orang lain? Biarkan saja, lakukan hal hal yang membuat kamu dan saya bahagia, tidak menyakiti siapapun dan terus bergerak untuk berbahagia. Percaya saja pada waktu dan kekuatan repetisi tindakan maupun ucapan itu tadi. Akan ada masanya orang lalu berkata "Kamu jauh lebih baik sekarang" dan tersenyumlah, because you're doing good.

Setiap orang diciptakan unik, apa yang terjadi di masa lalu membangun setiap orang menjadi sekarang. Luangkan waktu untuk mendengarkan kisah menarik dari setiap luka dan percayalah, label itu akan sirna berganti dengan bungkus cantik berpola polkadot. Hadiah dari semesta untuk kita :)




Sampit, 18 Desember 2013


Mulai curiga kalau Nani jomblo menahun gegara keseringan ngeluh jomblo :|

Wednesday, September 25, 2013

Mengunjungi Area Brengsel (lagi)

Tiga tahun lalu adalah kali terakhir saya datang ke areal Brengsel (NV Bruynzeel Dayak Houtbedrijven). Kala itu tujuan saya untuk meliput kenangan atas kilang penggergajian kayu tercanggih / dan terbesar se-Asia Tenggara itu. (bisa dibaca di sini dan di sini)

Hari ini saya datang kembali untuk mengambil foto. Menyusul kabar akan dibangunnya Citywalk di area ini, rasanya sayang saja kalau saya tak sempat mengabadikan beberapa foto jika kelak tempat ini akan diratakan dengan tanah. Brengsel adalah bagian dari sejarah Kotim yang umurnya baru 60 tahun itu. Kilang penggergajian ini sempat menjadi sentra kehidupan masyarakat Sampit mengingat pekerjanya saja mencapai 2.000 orang.
Mama kerap bercerita tentang taman kota Sampit dulunya merupakan lapangan sepak bola, gereja Maranatha dan Don Bosco, area pekuburan Kristen dan Mentaya Theater serta area bilyard yang semuanya berada di sekitar area brengsel. Juga jalan Gatot Subroto yang merupakan perumahan pekerja kelas menengah, kamar dua puluh dan jalan rel yang menjadi pemukiman para buruh brengsel. Sampai sekarang masih ada satu - dua rumah bernuansa khas (saya kurang tau ini arsitektural belanda atau memang rumah2 zaman dulu begitu) yang berjajar di sepanjang jalan Gatot Subroto.
Beliau juga bercerita tentang kependudukan Jepang dan istilah Gadis Pantai yang merujuk pada kegiatan prostitusi yang berbasis di area tersebut kala itu. Tapi namanya ingatan orang tua, saya tidak bisa menggali lebih jauh soal waktu dan rentetan kejadian secara presisi.

Karenanya oral history harus diteruskan dalam tulisan. Tujuan saya agak 'rajin' mengumpulkan informasi seputar sejarah kota Sampit hanyalah agar kelak jika anak cucu saya berkunjung ke rumah saat saya sudah tua, saya bisa memperlihatkan kepada mereka apa yang terjadi di masa lalu. Bangunan apa yang berdiri sebelum citywalk tempat mereka ngegaul itu ada.

Pagi itu saya bertemu dengan bapak bertopi merah (saya sebut demikian lantaran lupa kenalan) yang kemudian saya todong untuk menemani saya berkeliling area brengsel. Bukan apa apa, saat ini brengsel sudah sedemikian terbengkalai hingga secara bercanda bapak bertopi merah menyebut jika saat ini 'penjaga' brengsel adalah dua ekor kucing dan satu ekor anjing. Ditambah seorang yang mengalami gangguan mental dan berkemah di tempat itu.
Tungku pembakaran
Sepanjang berkeliling area beliau bercerita banyak soal brengsel. Saya tidak menyebutkan latar dan bahkan nama saya (lantaran lupa) hingga saya biarkan beliau berasumsi bahwa saya adalah anak kuliah yang sedang menyusun skripsi soal brengsel.

Sebelum memasuki kilang penggergajian yang cerobongnya terlihat dari sungai Mentaya itu, beliau mewanti wanti jika tempat tersebut sangat angker dan jika saya berubah pikiran, lebih baik dilakukan sekarang. Ia juga menceritakan soal pekerja rodi yang meninggal di area tersebut dan seseorang yang bunuh diri di kantor administrasi yang terjadi di era brengsel.
Merk yang menempel pada tungku pembakaran
Di dalam kilang penggergajian kita bisa melihat tiga tungku pembakaran yang berfungsi sebagai penggerak mesin sawmill. Ketiga tungku ini diproduksi oleh pabrik lokomotif kereta Arnhemsche di Belanda. Masih terlihat tahun produksi / instalasi (?) di tahun 1948.

Saat ini sawmill sawmill tersebut sudah tidak ada lantaran banyak yang menjarah untuk dijual. Tersisa tiga tungku pembakaran, satu cerobong uap dan beberapa komponen pabrik lainnya. Perjalanan saya teruskan ke area kantor administrasi. Kantor ini masih digunakan hingga 2011 untuk mencatat keluar masuk produksi hutan seperti rotan yang dititipkan oleh warga.
Yang menarik perhatian saya adalah lantai yang kayu kayunya sudah dijarah dan sebuah spanduk yang terlihat sangat tua bertuliskan slogan Utamakan Kepentingan Perusahaan.
Perjalanan berakhir ke area storage yang berada di bagian depan. Tiga warehouse yang dulunya digunakan untuk penyimpanan kayu kayu yang telah dikeringkan untuk diolah kembali masih berdiri meski dinding dan atapnya banyak berlubang.

Area storage ini, sayangnya, kerap digunakan untuk wadah ngegaul anak anak muda Sampit (heran, ngegaul kok di tempat beginian) sehingga banyak coretan mural memenuhi dinding bangunan yang sudah berusia 65 tahun ini.

Semoga rencana pembangunan citywalk tersebut dapat berkesinambungan dengan kepentingan pencagaran sejarah tempat ini. Seperti yang bapak bertopi merah harapkan agar kilang tersebut dimusiumkan dan dipugar oleh pemerintah daerah.

Scripta manent verba volant.
#SaveSampitHeritage


Beberapa foto yang saya ambil:



Sampit, 25 September 2013

Sunday, September 22, 2013

When We Connect, We Connected

Era modern adalah era yang serba cepat. Mulai dari industri, pemungutan suara hingga makanan makanan siap saji. Akibatnya perspeksi terhadap waktu turut mengalami perubahan. Betapa 24 jam era sekarang sudah tidak terasa selama dulu, kala internet, peranti smartphone dan televisi yang menawarkan ratusan channel belum ditemukan. Saya lahir dan menjadi remaja tanpa internet, kala itu 24 jam sama dengan berjam jam bermain petak umpet dan berpuluh puluh buku komik. Tak heran jika saya kecil selalu merasa keberhasilan berpuasa sehari penuh adalah sesuatu yang wajib dirayakan dengan rengekan rengekan baju baru di hari raya.

Kini saya selalu bersinggungan dengan internet dan peranti komunikasi. Kebutuhannya menjadi semakin besar sebab kini saya bekerja di televisi. Saya tak segan 'menagih' informasi dari orang lain melalui kedua media itu kapanpun di manapun. Pun sebaliknya, rekan kerja, klien dan siapapun menjadi berhak untuk menuntut informasi tersebut melalui kanal telepon, sms, email, BBM, apapun.

Semua yang serba cepat ini membuat saya menyayangkan lantaran saya tidak sempat berada di sebuah masa di mana saya bisa berkata "Mohon ditunggu hingga Senin saat kantor kami kembali beroperasi" atau "Balasan surat akan saya kirimkan melalui pos besok hari" kala kebutuhan atas informasi itu dipertanyakan. Kini kealpaan dari sebuah radar telekomunikasi adalah sebuah kesalahan. Tidak ada lagi alasan yang cukup untuk menutup keterlambatan sebuah informasi.

Era modern tidak lagi menawarkan ruang untuk menyendiri. Untuk menjadi benar benar sendiri. Kini mustahil untuk menghilang dari kanal kanal telekomunikasi, untuk menarik diri dari bising informasi. Saya hanya tersenyum kecil saat menemui diri saya sendiri yang kerepotan mengetik e-mail balasan pada suatu Minggu pagi, di tengah tengah pasar tradisional, dan sejurus kemudian mengingat ingat kapan saya benar benar terputus dari dunia luar.

Because when we connect, we connected.

http://farm5.staticflickr.com/4001/4616675243_48c0eb31da_z.jpg
taken from here

Friday, September 06, 2013

Damn, I'm Good



Kegiatan bongkar membongkar kumpulan data tahun 2010 untuk kawan yang akan bertandang ke Sampit berujung pada sekardus penuh coretan tangan maupun print out puisi-sajak-cerpen era 2005-2010. Data yang dicari baru ketemu sebagian, saya yang perhatiannya gampang sekali teralihkan itupun sibuk membaca ulang, menertawakan cerpen cerpen yang ditulis saat SMP (salah satunya berjudul F4 Nyasar) lalu terkagum kagum dengan tidak kurang 214 lembar print out puisi-sajak yang semuanya ditulis di tahun 2010. Saat itu saya sign out dari koran di bulan agustus dan menjadi pengangguran hingga akhir 2011. Satu satunya sumber penghasilan adalah siaran radio yang jumlahnya tidak lebih dari 300 ribu per bulan. hahaha.

Dalam kondisi demikian, indra perasa saya menjadi sangat sensitif terutama untuk perkara kemiskinan. Semua hal menjadi tidak benar, semua hal menjadi tidak sesuai. Dalam kondisi serba tidak nyaman itulah puisi puisi satir muncul dan hingga saat ini, saya sangat menaruh respek pada diri sendiri di era tersebut.

Sekarang boro boro nulis, blog saja terbengkalai. Bahkan untuk skala microblogging sekelas twitter saja sudah jarang. Perhatian sepenuhnya tercurah pada pekerjaan. Baiknya saya hentikan keluh ini sampai di sini.


Kampungku Tadi Siang

Bocah itu mengerling pejam pada rentengan susu bubuk sachet di warung kumuh tepian kota
Sesekali ditundukkannya kepala ke tanah, menghindari pelotot tak bersahabat milik cil Wati kala pandangan mereka beradu
Si bocah tak bergeming, matanya tak lepas pada rentengan susu
Rasa vanili, suklat dan kacang hijau, yang terbaru
Cil Wati melengus, digedornya triplek penyangga warung.
Berlari si bocah, terseok meningkahi gerontang botol bekas dalam karung
Siang kian panjang, terik memanggang.
Cil Wati mengipas sesekali, sambil menguap panjang
Terkantuk kantuk ia kala menyambut sang suami pulang
Suami buruh sopir truk kernel yang nampaknya tak lagi membawa uang
Terlihat dari kikik panjang dan panci yang ditendang

Bocah berkarung itu datang lagi
Kali ini nekat, dicomotnya rentengan sachet susu, rasa vanili
Cil Wati dan suaminya masih beradu
Tak ada yang tau
Bocah berkarung melangkah ragu

Menit berlalu, bocah berkarung kembali
Bergumamgumam ‘Bapak tak perbolehkanku mencuri”
Dikembalikannya rentengan susu rasa vanili ke warung cil Wati

Sayang, sayang, duhai bocah berkarung
Cil Wati memergokinya, memekik jerit, tampak berang
‘Maling, Maling, Maling’
Pasi sang bocah, tergagap mencari tempat berpaling
Terlambat, suami cil Wati keburu menerjangnya dengan botol beling
Pecah, berdarah darah pangkal kaki si bocah berkarung
Jerit cil Wati mengundang bangun warga sekampung

Si bocah tanggung
Tergagap megap mencari ampun
Balok kayu, laras besi hingga bata hujaninya siang itu
Darah mengucur, suaranya menggema lebur
“Adik lapar,
ibu mati melahirkannya,
ayah.. tak punya uang..”




Literasi Lokal
Cil : Sebutan untuk tante dalam bahasa banjar
Suklat : Cokelat, terafeksi dalam bahasa lokal
Kernel : Biji buah sawit. Di kotaku usaha ini luar biasa menjanjikan. Kaum feodal kaya tujuh turunan, rakyat kecil kebagian banjir, panas meranggas, dan sisa sisa pekerjaan buruh dengan gaji layaknya buruh

11 Juni 2010. etapi buruh sekarang gajinya mau 4 juta euy, setara PNS golongan IV

Air, Udara, Apa Kami Punya?

Siang itu panas memanggang
Kampungku lengang
Udara gerah
Lenguh mendesah
Gerombol kambing kurus
Merumput di lapangan tak terurus
Sela menyela, gerutu wanita paruh baya
Menatap langit kian biru menganga
Panas
Tercenung, anak anak legam berpeluh campur daki
Terancam tak mandi lagi hari ini
Pun tetap dikejarnya layangan, berdebu, bertelanjang kaki
Drum drum kaleng kosong
PDAM mendengus tiap kali dirongrong
Mengapa air kami diberangus
Dijawab masa tenggang telah hangus
Peluh menetes, kemarau masih singgah
Drum drum kaleng kosong, menelan ludah
Kapan hujan datang?
Kami lelah.
 
Bulan Agustus, 2010. Musim kemarau dan PDAM macet.

pencapaian terbesar tahun itu bisa jadi ini, sebuah novel setebal 183 halaman yang ditulis selama kurun dua bulan. Hingga kini memang belum diterbitkan tidak dilirik oleh penerbit manapun.