Melabeli diri sendiri adalah proses personal branding, pencitraan. Seperti disebut di atas sengaja atau tidak setiap orang memilih label mereka sendiri. Playboy, heartbreaker, matre, pembohong, baik hati, setia, rakus, kasar dan sejumlah kata sifat lainnya. Bagaimana sebuah label terbentuk? melalui repetisi tindakan. Kehidupan kian instan sehingga kini sebuah pencitraan bisa dilakukan hanya dengan repetisi ucapan. Seberapa sering kita berupaya untuk menegaskan sudut pandang dan ketetapan sikap melalui kicau twitter?
Label itu kian rimbun, merangsek ke area yang lebih luas dengan ribuan suku kata baru. Label label yang bermuara pada sufiks -isme -isme, pada istilah istilah posmo, pada sebutan dan ciptaan baru berbahasa. Alay, hipster, badau, kita sampirkan pada pemuja arus kekinian yang berkiblat pada nilai nilai popular.
Pemuaraan sikap label melabeli diri sendiri perlahan akan masuk ke sistem otak, akibat dari repetisi tindakan maupun ucapan tadi. Kamu menjadi apa yang kamu labeli ke jidat sendiri. Berhati hati pada ucapan, kata mama saya. Apalagi ucapan yang diulang ulang ya, ma?
So now I keep hearing about “personal branding” - the idea that your career, your mind, your body, everything that makes up the superficial “you” can be packaged up into a brand just like Coke or Mcdonalds can. So we start to arrive at the truth of the matter: Branding is lying.
But personal branding is even worse because the joke is over. Now we’re talking about me and you. We’re talking about who YOU are. And let’s face it. It’s not pretty. You need to re-brand from birth. - James Altucher
Yes, branding is lying. Saat kita melabeli diri sendiri tentu label itu adalah yang baik baik, meski dilakukan tanpa sengaja sekalipun -walaupun buat saya konsep ketidaksengajaan itu tidak pernah benar benar ada. Yang kita lakukan adalah kurang sadar, bukan tidak sengaja- kita mengulang ulang tindakan tertentu dengan tujuan untuk disebut dengan istilah yang baik baik. Tidak ada yang salah dengan melakukan hal hal baik dengan tujuan apapun. Selama yang dilakukan adalah hal baik perkara konsekuensi akhir bodo amat, kiamat masih jauh.
Tapi mau sampai kapan, berbohong untuk sebuah label?
Kemudian beralih pada label yang kita tempel ke jidat orang. Dalam sejumlah istilah ia menitis (tsah, menitis) menjadi stigma, prejudis, prasangka, asumsi, subjektivitas, sebagainya. Objektivitas adalah ilusi, sebab setelah melakukan penilaian yang diklaim paling objektif sekalipun, sebuah label tetap tercetus. Dalam kata sifat yang saya kira paling pretensif seperti bijak, kritis, toleran.
Dengan posisi manusia yang dibesarkan dalam sistem runut dan logika sebab-akibat, mustahil untuk berdiri di garis tengah, paling tengah antara dua kubu pandangan berbeda. Sumber bacaan, kawan bergaul, orangtua, lingkungan, tontonan, menjadi pembangun karakter dan sistem logika. Kalau saja netralitas adalah hal yang absolut, maka teori relativitas tak akan dilirik lebih lebih diakui sebagai sebuah teori. Label, menjadi suatu hal yang pasti menempel dan ditempelkan pada seorang manusia kapanpun dalam perjalanan hidupnya.
Klarifikasi label adalah penyangkalan. Sebab simpulan sederhana dari sistem logika jika A adalah B maka B adalah A membuat saya dan kamu menempelkan label bahwa Aurel Hermansyah adalah alay. Alay adalah yang meniru Aurel Hermansyah. Lalu bagaimana agar perkara label ini tidak mempengaruhi cara saya dan kamu dalam berproses lebih jauh dengan orang yang terlanjur saya dan kamu beri label untuk tidak disukai?
Pertama, ignoran. Menihilkan proses tersebut dan berlalu. Sampai label tersebut tidak lagi ada dalam ingatan. Sampai label itu tidak lagi menjadi faktor asosiatif saat namanya disebutkan.
Atau, berproses. Mengenal lebih jauh dan melihat banyak sekali hal menarik di balik label yang saya dan kamu tempelkan di jidat mereka.
Bagaimana dengan label yang menempel di jidat saya dan kamu yang ditempelkan orang lain? Biarkan saja, lakukan hal hal yang membuat kamu dan saya bahagia, tidak menyakiti siapapun dan terus bergerak untuk berbahagia. Percaya saja pada waktu dan kekuatan repetisi tindakan maupun ucapan itu tadi. Akan ada masanya orang lalu berkata "Kamu jauh lebih baik sekarang" dan tersenyumlah, because you're doing good.
Setiap orang diciptakan unik, apa yang terjadi di masa lalu membangun setiap orang menjadi sekarang. Luangkan waktu untuk mendengarkan kisah menarik dari setiap luka dan percayalah, label itu akan sirna berganti dengan bungkus cantik berpola polkadot. Hadiah dari semesta untuk kita :)
Sampit, 18 Desember 2013
Mulai curiga kalau Nani jomblo menahun gegara keseringan ngeluh jomblo :|
Dgn demikian saya labeli nani sbg Marxis sejati. Hahaha. "Setiap orang diciptakan unik. Apa yg terjadi di masa lalu, membangun setiap orang menjadi sekarang" --Marx: Sejarah material subyek berbeda-beda satu sama lain.
ReplyDeleteEh tapi skrg pelabelan (yg sifatnya politis) malah agak kabur (atau malah sudah ga perlu?) sebab, anehnya, kita-kita yg muda ini agaknya gamang buat sekedar ngidentifikasi sesuatu. Terlebih ngidentifikasi diri sendiri (pun orang lain sbgmna ditulis nani).
Ada pepatah lama: "Kebenaran adl klaim yg tercipta krn repetisi". Menarik. Sebab yg para politikus gencar lakukan skrg persis spt pepatah barusan. Tp kadang jg khawatir; apakah obyektivitas adalah jg 'jalan aman' guna menutupi bahwa sesungguhnya ga ada yg bener?
Well, kayaknya dpt pr baru nih.
hahaha karena klarifikasi adalah penyangkalan jadi saya gabisa menolak label ini walopun menyentuh buku marxis aja gapernah :p
Deletekita kita yang muda ini menyembah budaya modern berupa galaw sih. jadi hidupnya terlalu sering merasa entah. abu abu, acuh dan ignoran bahkan untuk dirinya sendiri. eh tapi itu juga label tuh, label bernama 'ignoran'. Iyah Ilham tulis saja di SF soal ini, jadikan ekstensi dari posting alakadar saya biar sekalian couple-an postingnya :P
Lha itu madilog tan malaka apa hayoh?? Hahaha.. ntaran deh.
Deletehahaha iya yah. ah mulai depanan banyak2 baca teenlit weh. biar kisah tjintanya lantjar djaya!
Delete