Monday, October 11, 2010

Mbok Nah

Pagi pagi mbok Nah sudah sibuk dengan keranjang keranjang sayurnya, sepeda tuanya berderit derit mengangkut beban, pelan mbok Nah mengayuh sepedanya, beliau takut rantainya putus lagi seperti kemarin, setiap hari seperti ini, mengayuh pelan menyusuri ladang.

Jam 3 subuh mbok Nah sampai di pasar, peluhnya mengucur di tubuhnya yang sudah uzur, rapuh tergerus zaman, perjalanan 4 kilometer mengayuh sepeda berbeban keranjang sayur yang sarat sampai nyaris terseret seret di aspal jalan bukanlah hal ringan, ditambah lagi asam urat yang membayangi usia senjanya.

Mbok Nah langsung menuju halaman pasar, mbok tak punya banyak uang untuk mendirikan tenda sebagai tempatnya berdagang sayur, hanya lapak biasa, tanpa tenda, beralaskan karung gabah yang gatalnya luar biasa, menghantui kulit rentanya sepanjang siang yang terik ini. Tadi subuh, mbok nah terpaksa membayar seorang kuli untuk mengangkut keranjangnya menuju lapak, terlalu berat untuk tubuh ringkihnya, sementara jika diseret seperti hari kemarin, mbok Nah takut sayurnya rusak, terbatuk batuk mbok Nah mengikuti langkah kuli yang terseok.

Hingga siang hanya sayur bayam yang dilirik pelanggan, mungkin karena ini sayur sisa kemarin yang tak habis terjual, sehingga kurang segar, mbok Nah tak punya kulkas, sayurnya layu, meski sudah di diskon habis habisan, tetpa saja tak ada yang mau membeli, azan lohor berkumandang.

Mbok Nah menitipkan lapaknya pada seorang cacat peminta minta, mereka senasib, hanya saja mbok Nah merasa beruntung, beliau masih memiliki kaki untuk mengayuh sepeda tuanya. Lepas sholat di langgar terdekat, mbok Nah duduk sejenak di beranda langgar, beliau membuka tas karungnya, membuka bekal, nasi jagung lauk tempe, tampak lahap beliau mengunyah nasi yang sudah tak relevan lagi dengan kekuatan gigi mbok Nah mengunyah, alot tak keruan rasa.

Sebenarnya untung hari ini cukup untuk sekedar membeli nasi uduk di warung yu Gina, tapi mbok teringat pada Ayu, anaknya yang sebentar hari ini lulus SMA, Ayu pasti senang jika nanti mbok pulang membawakan nasi uduk kesukaannya, mbok Nah mengalah, nasi jagung pun cukuplah baginya.

Bunyi deru motor dan sorak sorai terdengar dari kejauhan, anak anak berseragam putih abu menguak kerumunan jalan, segerombolan anak SMA itu berteriak selepas lepasnya, mengumandangkan satu noktah yang bermakna ribuan bahagia, lulus!!!!!, seragam mereka sudah tak karu karuan rupa, merah hijau aneka warna, peluh pun terlihat tak segan menetes di sela sela coretan baju mereka, tapi mereka tak peduli, biar semua penduduk israel masuk islampun mereka tak perduli, mereka terllu gembira, euforia memenuhi pasar di siang terik itu.

Sepanjang sore mbok Nah tak henti henti tersenyum, hatinya membuncah, senang luar biasa tak terbayang rasa, hari ini pengumuman kelulusan Ayu, terbayang oleh mbok Nah Ayu adalah salah satu dari anak anak yang merayakan kelulusan tadi, mbok nahpun membayangkan Ayu yang sudah lulus dan bakerja dengan pekerjaan yang lebih baik, Ayu ingin menjadi pramuniaga supermarket di kota, dekat dengan pasar tempat mbok berjualan. Terpicing mata mbok Nah memandang bangunan 4 lantai di arah barat, luapan gembira memenuhi hatinya, “nanti kalau Ayu sudah kerja, ibu ndak perlu jualan sayur lagi, biar Ayu yang biayai ibu”, terasa menitik airmata mbok Nah jika mengingat kata kata ayu saat itu.

Jam 5 sore, mbok mulai membenahi lapak karungnya, dilipat lipat sekenanya, keranjangpun diletakkan seadanya, beliau begitu ingin pulang, begitu ingin memeluk Ayu dan memberikan nasi uduk kesukaannya sebagai hadiah kelulusan. Asam urat beliau sebenarnya mulai kambuh ketika mbok Nah memaksakan mengayuh sepeda sekuat itu, perjalanan naik turun bukit tak memudahkan beliau mengayuh sepeda dengan cepat. Tapi mbok tak peduli, beliau begitu ingin segera pulang dan menemui Ayu.

Sepanjang perjalanan mbok teringat akan pertengkaran hebat Ayu dan almarhum ayahnya 3 tahun lalu, ketika Ayu lulus SMP, ayahnya begitu gigih ingin menikahkan ayu dengan pemilik kebun tempat ayah dan ibunya meladang selama ini. Ayu histeris, Ia tak ingin hidupya berakhir seperti lastri kakaknya yang menikah di usia 16 tahun, seperti usianya saat itu, ayahnya yang sakit sakitan sudah tak mampu menyewa tanah untuk meladang, jika Ayu menikah dengan anak juragan, setidaknya ayahnya terlepas dari beban satu mulut sebagai tanggungan, lebih lebih, siapa tau nanti Ayu dikasih mas kawin tanah kebun itu.

Airmat a mbok Nah menetes pelan disela keringatnya jika mengingat kejadian itu, suaminya meninggal 2 minggu berselang setelah kejadian itu, radang paru paru yang mendera tubuh tuanya tak lagi mampu beliau tangguhkan, Ayu menyesal saat itu, Ayu sempat menyesal menolak menikah dengan anak juragan, juragan yang pinangan anaknya ditolak, merasa marah dan memutuskan untuk tidak lagi memperpanjang waktu penyewaan ladang, ayah Ayu tak sempat dibawa ke puskesmas, tak ada biaya, ayahnya dirawat dirumah, si juragan tak mau tau, selagi ayah Ayu meregang nyawa, habis habisan ayah Ayu dicela, dikata katai sebagai orang melarat yang sok, yang tak tau malu menolak pinangan anak juragan, utang utang ayahpun ditagih habis habisan, ayah Ayu meninggal setelah si juragan itu pulang.

Ayu tak bisa dan tak mungkin bisa membenci ayahnya, ayahnya berbalik mendukung ayu untuk menolak lamaran itu. Ayu jelaskan pada ayahnya, Ayu dapat beasiswa untuk masuk SMA, beasiswa penuh, Ayu jelaskan pada ayahnya tentang kemungkinan kemungkinan Ayu akan mendapat pekerjaan yang lebih baik nantinya jika ia memiliki ijazah SMA, Ayu hanya tak inginkan hidup dengan pola sumur-dapur-kasur seperti Lastri kakaknya yang sudah beranak lima. Ayupun bercitacita ingin kuliah jika nanti dapat pekerjaan, selepas lulus SMA.

Mbok Nah ingin teriak rasanya, untuk menggambarkan kebahagiaan hatinya, pelan beliau berbisik di sela sela derit sepedanya, “kang, anakmu Ayu lulus SMA hari ini, akang tak perlu kuatir lagi, sudah ada Ayu yang akan menggantikan saya bekerja”, menetes lagi airmata beliau, terasa berkelebat bayang kang Aryo, suaminya yang menemaninya selama 50 tahun lebih, mengayuh usia bersama.

Lepas maghrib mbok Nah tiba di rumah, rumahnya gelap, pelita belum dinyalakan, “mungkin Ayu belum pulang”, bisik mbok Nah pelan, biasanya beliau akan marah jika Ayu belum pulang hingga senja, namun hari ini beliau memakluminya, wajar jika Ayu ingin merayakan kelulusannya bersama teman temannya. Usai memasukkan sepedanya ke dalam kandang kambing kosong yang penghuninya habis dijual untuk biaya pemakaman dan bayar utang, mbok Nah menuju dapur, mengambil piring, meletakkan nasi uduk dan membuat teh manis buat Ayu. “ah, ditaruh dikamarnya Ayu saja, siapa tau nanti pas dia pulang saya sudah tidur”, gumam mbok Nah.

Bumi serasa lepas dari porosnya ketika mbok Nah menyibak tirai kamar Ayu, ya, Ayu sudah pulang dari tadi, hanya saja, lehernya terjerat tali, tergantung di kisi kisi atap rumah, ia masih berseragam, hanya saja seragamnya bersih,tanpa coretan apa apa, mukanya pucat pasi, nampak sudah mati.
Menjelang isya, rumah mbok Nah ramai sekali, para tetangga, polisi, ambulans dan kuli tinta lalu lalang di sekitar mbok Nah, mbok Nah hanya diam, beliau tidak menangis, hanya diam, tangannya menggenggam bungkusan nasi uduk, teh manis sudah tumpah, teman teman sekolah Ayu berdatangan, semua mengatakan mustahil, guru guru pun demikian, semua bilang Ayu adalah anak berprestasi, anak dengan disiplin tinggi serta sangat rajin sekali. Dalam hati mbok Nah mengiyakan, tak satupun bayangan tentang Ayu yang tidak lulus sempat beliau pikirkan seharian ini. Ayu anak yang pandai sekali.

Para tetangga bilang, nilai ijazah Ayu ditukar dengan nilai Somad, anak kepala desa yang baru baru ini menyumbang sebuah WC untuk sekolah Ayu, mbok Nah tentu marah, Somad yang luar biasa nakalnya itu, konon memiliki nilai kelulusan tertinggi. Tapi mbok Nah hanya diam, memaki pun takkan menghidupkan Ayu kembali. Teriak pun takkan mengubah ijazah Ayu. Ya, Ayu sang murid besiswa tak lulus SMA, ibunya tak mampu berbuat apa apa, habis sudah cita citanya.

2 hari telah berselang.
mbok Nah kembali mengayuh sepeda menyusuri ladang.
Sepeda tua sarat muatan di keranjang.
Menemaninya hingga subuh menjelang.
Ya, Ayu sang murid besiswa tak lulus SMA.
ibunya tak mampu berbuat apa apa.
habis sudah cita citanya.

No comments:

Post a Comment