Kampungku adalah potret miskin negara ini.
Puluhan kepala keluarga berjejal di sela selokan dan pembuangan.
Kampungku tersusun atas puluhan rumah kontrakan kumuh dengan atap berlubang di setiap sisinya.
Kampungku milik kaum kelas tiga, yang tergusur dari peradaban kota.
Jauh dari kata layak, berkecukupan lebih lebih sejahtera.
Tepat di tengah kampungku menjulang gedung walet, usaha yang dimonopoli kaum feodal.
Di suguhinya kami dengan pekak tweeter setiap hari.
Konstan, gegap cericit walet bersahutan dengan tangis bayi bayi kurang gizi.
Siang hari kami sibuk mencibiri
Tetangga tetangga kami yang memiliki derajat nasib lebih tinggi.
Seraya sesekali mengumpat terhadap air PDAM yang kunjung mengaliri bak bak mandi.
Tak lupa, kotoran burung menjatuhi halaman rumah kami.
Setiap hari.
Malam hari, kampungku kembali disumbat beragam kebisingan.
Klontang klontang wajan legam tetangga penjual makanan yang beranjak pulang.
Deru mobil mobil rongsok yang mengantarkan para lonte pulang ke kandang. Sekedar tidur dan bermimpi tentang pelanggan yang berkumis dan menularinya herpes.
Dan tak lupa, orkestra bayi bayi kurang gizi sambil sesekali ditingkahi pertengkaran suami istri.
Berjejal kampungku, lintas suku lintas generasi.
Bersatu kami dalam kemiskinan yang mengebiri
Rasa malu dan rasionalitas kami.
Subuh menggantung, kembali pekak burung walet kalahkan terompah musola.
Bangunkan wajah wajah miskin yang lelah.
Kembali bergelut dengan kaleng kaleng minyak dan teng teng sarat muatan.
Terpekur ayah, menatap adik yang sekolahnya menunggak tiga bulan. Gumam pelan ia lantunkan.
"Semoga hari ini minyak tanah laku terjual"
No comments:
Post a Comment