Saturday, October 02, 2010

Sudut Kecil Kota Ini

Tengah malam jam setengah dua kutelusuri kota ini.

Perjalanan gila dengan kawan ditengah malam minggu yang luar biasa sepi.

Kami lalui banyak jalan hingga akhirnya kami menepi.

Di warung remang remang tenda tenda prostitusi.

Aib terbesar kota ini.

Tempat mesum berdiri kokoh di jantung kota, tanpa basa basi.

Ya, Nenek nenek buntingpun tau tentang ini, jadi tak perlu rasanya kusensor sana sini.

Iseng, kuajak seorang mbak mbak seksi bermake up tebal sekali ngobrol di sudut warung yang sepi.

Namanya Lastri.

Jarang sekali aku pernah mendengar orang bernama seperti ini.

Dia berasal dari Semarang, desa Tegalsari.

Lucu mendengar suara medoknya yang tak dapat ditutupi.

Aku tersenyum, mulai bertanya itu ini.

Dia jawab malu malu, tetap dengan logat jawanya yang terdengar lucu sekali.

Kutanya sudah berapa lama ia bekerja di warung ini.

Ia bilang “Waduh mbak, saya ndak ingat, waktu itu ada transmigrasi”.

Ya, mungkin baginya sudah terasa lama sekali.

Lastri ternyata hanya dua tahun di atasku, dia bilang dia sembilan belas Desember nanti.

Tapi entah mengapa, aku seperti melihat ketegaran, kepahitan, kepiluan, yang jauh lebih dewasa dari usianya ia simpan jauh di dasar sana, di lubuk hati.

Lastri banyak tertawa selama kami berbicara, entah efek udara, cuaca, atau botol botol arak lokal yang mulai kosong di sudut kursi.

Dia bilang, dia adalah pelayan warung paling mahal dari seluruh warung tenda prostitusi ini.

Sekali colek limapuluh ribu, ditemani ngobrol enampuluh ribu, aku jadi takut membayangkan berapa duit yang bakal kubayarkan padanya nanti.

“Ah, kalo mbak ngobrol gini ga usah bayar, maksud saya tadi, ngobrolnya bayar kalo obrolannya tentang.. ehm” Lastri mengerling, ia tertawa lagi, tapi entah kenapa bagiku terdengar pahit sekali

Aku terdiam, mendengarkan patahan patahan kata yang terluncur dari Lastri.

Makin lama dia makin terbuka, malah curhat denganku tanpa basa basi.

Dia mengeluhkan tentang banyaknya pesaing, para “rookie” di dunia prostitusi.

“Mbak ga mau cari kerja lain? Jadi pramuniaga toko misalnya?” tanyaku konyol sekali.

“Yo ndak bisa mbak, ndak ada yang jaga anak saya kalo saya kerja siang, lagipula, saya ndak punya ijazah”, jawabnya polos, tak terbayang olehku seberapa besar beban yang ia miliki.

Aku terdiam, melihat kawanku yang makan dengan lahapnya, mereka ga peduli mbak mbak teman teman Lastri mulai bergrilya, menggerayang, tertawa manja, menarik perhatian setiap yang datang, sungguh, bagiku itu pemandangan terperih tiada terperi.

Ya, begitu susahnya bagi mereka mencari sesuap nasi.

Sementara pemerintah tetep aja keukeh dengan program transmigrasi.

Mereka harusnya tau, pulau Kalimantan tidak sesubur itu, kalopun iya, tak banyak lahan tersisa untuk digarap (jika mereka niatnya jadi petani)

Perusahaan perusahaan besar telah mengkotak kotakkan tanah kalimantan, jadi tambang, jadi ladang, atau jadi tempat industri.

Tak banyak tersisa di tanah gambut ini.

Pemerintah mah gampang, bilang “Negara ini memiliki mobilitas penduduk yang tidak merata. Timpang di pulau Jawa, ah ah, kami takut pulau Jawa tenggelam, ayo sudah, pindahkan saja para penduduk Jawa ke Kalimantan dan Sulawesi”

Lalu apa, disini mereka hanya menjadi para kalah, lemah tak berijazah, tenggelam dalam remah remah, sebagai kuli.

Yang wanita, tak sedikit termutasi ke jurang prostitusi.

Ya, sekali lagi. Aku bilang ini ironi.

No comments:

Post a Comment