Friday, October 29, 2010

Petrus

Ayahku digiring melalui pasar dan selokan

Bau amis menyengat di setiap langkahnya menuju pengadilan

Ayah tak dibela, ayah tak punya daya upaya

Babak belur ayah dihakimi massa,

Diseret tubuh rentanya menuju penjara

Ayahku mencuri

Seekor ayam milik tetangga

Alasannya sederhana, ayah tak lagi bisa bekerja

Tubuhnya sudah renta

Negara ini terlalu buta untuk mengasihaninya

Demi aku agar tak lagi mengeluhkan lapar padanya

Maka ayah berdarah-darah kakinya terinjak beling di belakang kandang ayam tetangga

Bukan ayam bangkok, pejantan atau bekisar yang mahal harganya

Hanya ayam buras biasa, putih warnanya

Ditenteng ayah menengahi adzan subuh yang mulai bergema

Kami senang, emak memasak dengan riang, ayah ke mushola menghadap tuhan

Di subuh buta pula ayah dihajar masa, darah dikakinya berlipat banyaknya

...

Ayah telah pulang dari penjara

3 tahun lamanya

Beliau tak berubah, tetap sayang padaku

Hanya saja tubuhnya telah dirajah paksa oleh sipir penjara

DS 1098 NK tercetak di lengannya

Ayah bilang itulah identitas narapidana

Tubuh rentanya semakin tirus

Semakin kurus

Suatu senja

Kampung kami di kunjungi para bertopeng rajut warna hitam bersenjata

Bersenapan

Mereka geledah semua rumah

Mencari pengkhianat bangsa

Atau dalam versi mereka

Memburu mereka para pengancam kedudukan mutlak presiden negara

Ayah memintaku bersembunyi di bawah meja

Mereka masuk ke bilik kami

Seorang bertopeng rajut hitam todongkan senjata pada ayah

Sebuah suara letusan sederhana membuatku menjadi yatim selamanya

Ayah jatuh berdegum ke lantai tanah

Kaku tubuh tirusnya bersimbah darah

Seorang bertopeng berteriak pada kawanannya

“Dia Bertato! Dia Dalangnya!”


Rusnani Anwar, dalam sebuah malam, Agustus silam.

*petrus, sisa-sisa kesejahteraan

No comments:

Post a Comment