Pembantaian Dili.
Ini yang saya temukan dalam buku Saksi Mata milik Seno Gumira :
Saya jadi berimajinasi. Mereka reka, apa ini nyata atau hanya fiksi -layaknya kebanyakan cerpen- Atau, memang ada semacam kekejian seperti itu di masa lalu. Membaca ini, saya jadi teringat kala kerusuhan Sampit, 2001 silam. Berdesakkan dalam bak truk, samar saya melihat di perempatan jalan Tidar-Cilikriwut, mayat tanpa kepala, disandarkan ke drum di tengah jalan. Tempat dimana kepala seharusnya berada di ganti dengan bantal.
Dan mayat tanpa kepala itu, dilucuti bajunya, digambari dengan torehan pisau. Dan dipertontonkan. Saya sama sekali tidak mengerti konsep berpikir macam apa yang 'memperbolehkan' manusia melakukan hal sekeji itu.
Menurut saya adalah keji, ketika seseorang melakukan pembantaian tanpa menghargai sejarah hidup orang tersebut. Terhukum mati saja langsung dikuburkan dan diurus sesuai agamanya lepas ditembak.
Apa pembenaran atas tindakan seperti itu? Dili, Marsinah, Tanjung Priuk, Pulau Buru, Kedung Ombo dan mungkin jutaan kasus kecil lain yang tak terungkap ke publik terkait kekejian manusia terhadap sesamanya. Saya, sekali lagi sulit menemukan pembenaran atas ini.
Atau mungkin, konsep 'gelap mata' benar adanya :)
Sulit menemukan siapa/apa yang keji, sebenarnya. Ingin menuding Orba dan Soeharto sebagai dalang dari vandalisme dan pelanggaran HAM di negara ini, sulit rasanya. Soeharto, sama halnya seperti paham komunis, bersifat abstrak. Ia semacam simbol dari sesuatu. Apa Soeharto yang keji? atau pahamnya yang keji? atau justru kepanjangan tangannya yang keji?
Sepertinya, konsep 'gelap mata' bukan hanya monopoli orde baru. Kekejian,
cruelty,
Nampaknya memang bersarang dalam pikiran tiap manusia..
No comments:
Post a Comment