Wednesday, December 16, 2015

About This Diet Thingy~

Doing a diet is hard. When you seeing a woman with perfect body smiling while eating her salad, its fucking fake. Salad can't tame the hunger, Nasi Padang surely can. Drinking water wont stop the craving, sweets and doughnut and lots lots of carbs would do. Diet is hard especially when your starting point is 85kg and losing 5 or even 10kg wouldn't made anything noticeable from your body. Technically speaking, I need to lose at least 30kg until I hit the magical scale of 55. Which is a long way to go because its week 3 already of OCD and gym and I lost merely 2kg. Yes, my scale now is 83kg.

http://data.whicdn.com/images/163321151/large.jpgRunning is hard, gym is hard, pushing your leg to keep on bumping the road is hard. The sore, pain and exhaustiveness is hard. I fell asleep with sore arms and torso and legs and basically every muscle in me screaming for mercy. Not to mention all the bad words that comes from orang orang kurang bahagia across my running track.

Can't eat anything you want is hard. I know OCD allows me to eat anything I want in my 6 hours meal window but to think that "When I'll hit the 55 if I still ate 3 huge portion of meal?" restrain me from taking another scoop of ice cream, or buying gorengan, or making pasta like I usually do. Can't fulfill your craving is hard. I woke up in the middle of the night thinking of martabak telor and taking esilgan instead so I can fall asleep without buying them in hurry.

Keeping the motivation alive is hard. It's day 15 of OCD and I already broke my window meal 3 times. Not to mention the sweets, gorengan and large portion of lunch that I take in daily basis (even though it still in the meal window), to maintain the energy and willingness to go to the gym after a loooong tiring working day is hard. You know, there's so many night I'm thinking about cancelling the gym because I do so many task at work, that I deserve to take a rest and watching TV. Some night I made it, some night I don't. 

Waking up at dawn to run is hard. I'd rather going back to sleep after solat subuh than pushing my tits on running bras and lace the shoes for another torturing activity. Right after that I'd felt the hunger yet the clock is 6am, means 7 hours to go before I allowed to eat. It feel stupid to drink so much water when you know you could've ate, you know, bubur ayam.

But its day 15 and I'm not giving up yet. 

This is the longest period of dieting I've ever take. My past diet program is either extreme (like a whole week of not eating ANYTHING but an apple) or backbouncing and I'll back to my old routine in no time. This time I'm trying to build a consistency rather than a shortcut.  15 days to go and my body will get used to it, I believe. Routine is what keep us stable, and I'm breaking my routine so it's gonna make my world trembling, for sure. My digestive system that comfortable with savory-large portion meal will scream for more when I cut down the portion to half and change my daily meal into less savory dishes. The hunger is tame-able, the sore and pain of working out is heal-able. My organs will get used to it, my brain would have a whole new perspective and stop to stimulate the craving. 
Right?

And then comes the question of "Why?" from everyone who knows that I'm doing this diet thingy. Then comes the compliments about I actually looks good even though I'm fat. Comes the encouragement even, to don't bother suffering myself because I'm beautiful just the way I am. The last words comes from my dad actually, when I'm explaining my diet and refuse to eat at our Sunday Family Lunch. 
To be honest, I don't even know what is my reason of doing this. 

I mean, my current weight is not jeopardizing my health (yet). I'm 85kg with a normal blood sugar, normal blood pressure, not having any major health issue but maag (which by doing the diet my maag is actually in harm) so I don't think that much of "Aku diet biar sehat" because I'm fat and the doctor says I'm healthy.

I don't want to impress anyone since I'm in the state of 'being alone and not placing any interest to any men' and I certainly believe that anyone who approach me would be okay with my weight since they can clearly saw that I'm fat. So no, there's positive reason of why I keep on the diet track and pushing my limits to do the gym.

What's left is an anger.
I'm driven by this negative emotion. I'm mad, I'm angry, I'm disappointed in the top levels of disappointment. At first. But then comes the week two, a month passed by since I drown in tears and nights of overthinking until now, I feel absolutely nothing. I even forced myself to cry by remembering the good and the bad memories but no, not a single tear comes out. So I can say that I finally overcome that. I finally done.

So my only reason of dieting is no reason. I just want to change and doing something new, this whole new habit would work on me and somehow makes me more excite to live. To keep myself challenged, to feel better about myself by achieving the milestones I made. Because we all need to do something to keep on going, right?




I'm fat and keep on running.
 

Tuesday, December 15, 2015

A Tale of Quarter Life Crisis - The Nothingness

https://christaavampato.files.wordpress.com/2013/04/6aa707ea98f8beae1cba6d4f240735fb.jpg"Nothingness itu ngeri, lebih mengerikan daripada tenggelam dalam pikiran pikiranmu sendiri"

Kalimat nona @mpokgaga dalam perbincangan kelewat singkat soal quarter life crisis membuat saya mengangguk setuju. Nothingness itu ngeri.
  
Semenjak mengenal konsep quarter life crisis (tujuh delapan tahun silam kalau tak salah, berkat membaca autobiografi Kurt Cobain) saya menjadi agak rajin mencari artikel terkait hal itu bertahun tahun selepasnya hingga sekarang. Mencoba memahami apa itu quarter life crisis dan bagaimana cara melewatinya dengan baik. Overthinking memang, tapi rather be prepared than doing so many regrettable things, rite?

Stage QLC saya dimulai di usia 17 saya rasa. Tahap awalnya adalah baru menyelesaikan pendidikan SMA dan tidak tau harus berbuat apa. Lulus sekolah, saya ingat ada banyak sekali malam yang saya habiskan untuk tenggelam dalam pikiran pikiran soal seperti apa saya kudu memulai kehidupan saya sebab saya meyakini, salah ambil langkah sekali saja, blueprint kehidupan saya akan berubah. Kegelisahan soal pekerjaan pertama itu membuat saya nyaris menyerah dan mengikuti jejak seluruh perempuan di keluarga besar saya: bekerja sebagai pramuniaga toko. 

Tapi ada semacam kesombongan dalam diri saya yang membuat saya kembali menghabiskan bermalam malam kembali berpikir soal saya tidak semestinya menyerah dan mengikuti jejak kakak. Bahwa saya layak melakukan dan mendapatkan sesuatu yang lebih dari itu, bahwa saya cukup cerdas dan mampu untuk menjadi sesuatu yang lebih.

Keresahan yang kemudian mendorong saya untuk melanggar batasan minimum jenjang pendidikan dan menjadi wartawan di beberapa bulan kemudian. Atas keresahan dan malam malam yang dihabiskan untuk tenggelam dalam kondisi overthinking, saya kini bersyukur. Blueprint hidup yang berubah, mengantarkan saya ke banyak tempat dengan banyak pengalaman. Untuk mengerti soal tulis menulis, untuk menjadi pekerja kreatif, untuk mengenal orang orang hebat dengan masukan ilmu ilmu yang bermanfaat. Untuk berdiskusi tanpa jeda atas perkara perkara yang saya sendiri tidak bayangkan akan saya lontarkan jika saya menyerah atas keresahan di stage awal QLC tadi.

Saya kira saya selesai berurusan dengan keresahan masa remaja dan siap menyongsong 20an dengan baik baik saja. I couldn't be more surprised than that. 

Ahahahahahahahaha.
Early stage of 20, saya dihajar dengan segenap definisi restless dan well, reckless yang mewujud dalam lompatan lompatan impulsif yang dalam perjalanannya tidak sekali dua menyakiti orang lain. Walkout begitu saja dari tempat kerja karena kalah dengan gempuran bernama searching for comfort zone. Resign tanpa clean break dan entah berapa kali berantem dengan orangtua karena saya tidak kunjung merasa nyaman.

Tahun tahun terakhir, setidaknya dua tahun ke belakang, saya menyadari ritme saya berkurang. Tidak lagi menyediakan banyak ruang untuk overthinking dan tenggelam dalam kecemasan kecemasan tanpa tuan. Mungkin lantaran asupan bacaan dan diskusi yang bertambah, atau kematian mama yang sedikit banyak mengubah saya dalam berperasa.

Setahun terakhir adalah stage baru dalam QLC saya. Menjejak tahun pertama bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit asing saya berikrar dengan diri sendiri sejak bulan pertama untuk "Oke Nan, it's time to settle down" dan akhirnya memutuskan untuk mengikat diri dengan kredit kredit barang tersier jangka panjang untuk mempertahankan kebetahan dalam bekerja hahaha. 

Setahun lewat dan pikiran untuk saya seharusnya melakukan hal lain sekarang tidak lagi datang. Saya menjalani rutin dengan sebaiknya, naik jabatan secepatnya dan menikmati hal hal yang mungkin tidak akan saya dapatkan jika dulu saya menyerah dengan kecemasan kecemasan saya. Betapa keresahan itu demikian subtil jika dilihat dari nani berusia 23 ia terdengar mengada ada. Restless yang tanpa sebab dan tindakan tindakan impulsif yang entah kenapa saya bersyukur telah mengalaminya. 

Tapi ini, a nothingness.

Entah lantaran hidup yang kelewat santai dan pemenuhan kebutuhan materi menjadi kian gampang, di beberapa bulan terakhir saya sering sekali terbangun di tengah malam dan merasa aneh. Biasanya saya bakal menuju dapur untuk minum air putih, menyulut rokok dan duduk di tepi ranjang sambil menatap dinding tanpa perasaan apa apa. Sejam dua jam lewat sambil membuka media sosial, mendengarkan tetangga yang baru pulang lalu tidur lagi. 

You know that feeling? of opening the door of an empty house after a long tiring day at work. To place your key, take a shower and change your clothes. Sitting down in the edge of your bed and start to think. Thinking and thinking until there's nothing left but nothingness. In a short brief amount of time, you feel not an anger, not a sadness, not any other emotion, but nothing. 

Saya rasa ini tidak ada hubungannya dengan afeksi, cinta dan kasih sayang atau secara sederhananya : "Saya begini lantaran saya jomblo" sebab saya mengenal banyak orang, memiliki kehidupan sosial yang jika saya ikuti arusnya maka praktis saya bakal nongkrong setiap malam. Belum lagi jadwal ngegym, berenang, luluran, dan aktifitas di luar kantor yang sengaja saya jejalkan agar hidup tidak terasa monoton yang jika dilakoni bakal menghabiskan dua kali duapuluh empat jam weekend tanpa sisa untuk nothingness itu tadi.

Bahkan di saat tidak jomblo sekalipun, intensitas bangun tengah malam lalu menatap dinding dan berbicara sendiri itu kian meningkat. Saya rasa lantaran saya  merasa cemas akan terjadi perubahan besar di area otak yang reaksi kimiawinya jarang saya temui itu mungkin.

Saya merasa suara saya membal, memantul kembali tanpa terubah sedikitpun oleh reaksi resonansi dan setidaknya, placebo bernama ilusi didengarkan. Konstelasi semesta mungkin sedang tidak mengitari saya dengan kecepatan rapid yang memercikkan segenap emosi. Mungkin saya sedang berada di stage of nothing.
Saya akan berakhir di dua opsi. Menjadi sedemikian mati rasa hingga nothing excite me anymore lalu menjalani hidup dan kehidupan sebagai rutin berulang hingga akhirnya tubuh menemui expiration datenya atau stage ini akan selesai, saya menemukan excitement baru, perspektif baru yang membuat saya melihat setiap hal dengan bersemangat. Jawabannya bisa serumit jabaran soal psychological chain atau sesederhana jatuh cinta.





But at least, in this nothingness, I still find a lot of reason to keep on living, to keep on moving.

Friday, December 11, 2015

My 15 Most Inspiring Authors

Kena tagnya di Path, nulisnya di sini karena for the glory of satan, of course.

1. Seno Gumira Ajidharma
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8iKlEMifF0UyhfshtNBQvBOv-VzXiTnMVbU6-Qiyw7nsh6vljbKFDZK9Z2-vnAwdfvKdt2WEB3waesQX5dhRk24WiCf45GRFmQ6Hdx61W_Mvy6I622_kvtdCWBlLJbWLAcnFWCFY21sL2/s1600/saksi+mata.jpg
Kebiasaan membaca buku dimulai dari Enyd Bylton dan R.L Stine. Nani SD adalah pengunjung taman bacaan Pondok Rukun yang kerap menyewa buku buku Lima Sekawan dan Goosebumps. Disertai Lupus, Reuni Para Hantu hingga komik komik Jepang. Saat SMP ketika semua orang membaca teenlit yang tengah populer populernya saat itu, saya membaca Agatha Christie dan roman roman abad pertengahan (Jane Austen, Sandra Brown dkk). Mungkin ini sebabnya referensi romantisme saya sedemikian bebal hahaha.

Seno Gumira adalah temuan di saat SMA sebenarnya. Bosan dengan gaya bahasa terjemahan buku buku luar saya mulai mencari penulis penulis dalam negeri yang bukunya bertebar di Lapak Tualang milik seorang kawan di Bandung. Dimulai dari membaca satu-dua cerpennya yang bertemakan Petrus lalu merambah ke Wesanggini dan Aku Kesepian Sayang, Datanglah Menjelang Kematian. Buku Saksi Mata yang mengangkat tema pembantaian Dili 1991 banyak mempengaruhi gaya tulisan saya di tahun 2008. Satir dan gelap (ditambah dose cukup dari Wiji Tukul, Nani di usia 17 tahun belum pernah sesinis itu)

2. Achdiat K Mihardja
Saya hanya membaca satu bukunya, berjudul Atheis. Saya ingat pernah menemukan buku ini di perpustakaan SMP dan membaca habis tanpa banyak ingat detil ceritanya. Membaca Atheis kembali beberapa bulan lalu kemudian bersegera menyimpulkan kalau saya memang jatuh cinta dengan sastrawan angkatan Pujangga Baru hahaha. Gaya bahasa yang baru saja bangkit dari era ejaan lama dengan pustaka HB Jasmin begitu memesona karena sedemikian baku lagi seksi. Terlepas dari itu, Achdiat membuat saya kagum dengan plot cerita yang pernah saya review di sini

http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTL_ia2E4f-_QjcYXGYIokszrOO6uPdbF77oYey_qH7CgAKVqyT3. Stephen Hawking
Tentu tidak perlu saya jelaskan bagaimana hype buku The Grand Design di tahun tahun silam. Tidak perlu saya jabarkan soal isu ketuhanan memang senantiasa menarik untuk dibahas dari zaman ke zaman. Saya salah satu penikmat isu itu, dengan terus bertanya dan membaca, bertanya dan membaca. Dari zaman buku The Road to Allah-nya Jalalludin Rakhmat sampai The Grand Designnya Hawking, saya belum menemukan alasan apa yang mendorong saya percaya soal Allah. Saya, laiknya keterbatasan micro/macro-examination, melakukannya ya karena ingin saja. Sesungguhnya tidak penjabaran mutlak soal ketidakmutlakan free will ya kaaaan.

4. Emma Goldman
Sebagai anonimus di akun @bakunins, saya sendiri lupa apa yang membuat saya sedemikian excite dengan anarkisme di tahun 2012. Mungkin lantaran saya diam diam menyukai @hansdavidian kali ya :)))) ada dorongan impulsif untuk mempelajari anarki dan membuat akun twitter itu. Emma Goldman, adalah author yang membuat saya memikirkan soal feminisme lebih jauh lagi. Saya tidak berada di generasi habis gelap terbitlah terang dengan segenap gombalan feminisme a la kelas menengah ngehe. Goldman membabat habis batasan laki laki dan perempuan dan menempatkan semua orang adalah manusia. Tidak ada privilege dan bias gender. Ini yang kemudian mendorong saya untuk bisa melakukan instalasi listrik sendiri, bertukang dan merakit peralatan elektronik sendiri hingga membuat abah merasa useless saat bertandang ke kos untuk membantu pelaksanaan kerja berat. 

Ideas are bulletproof, my dear.

5.  Jalalludin Rakhmat 
http://d.gr-assets.com/books/1235014305l/2864252.jpgPenulis penulis yang menginfluence saya adalah yang sekaligus menjadi trigger atas ketertarikan terhadap sesuatu. Saya memiliki kecenderungan untuk obsess terhadap sesuatu yang menarik. Kalau dirunut dalam satu timeline, sejauh yang saya ingat obsesi saya adalah seperti ini:

Manga, Anime, Metal, Komunisme di Indonesia, Sufistik/Theist, Anarkisme, Greek Mythology, Cosmology/brainworks dan shits hippie says.

And I'm not even kidding when I said obsess. Saya ingat hari hari di mana sedemikian suka dengan anime saya sampai bercita cita jadi ninja dengan ninjutsu penyembuh dan pacaran sama Kakashi. Pernah terlibat komunitas metal dan menggagas beberapa gigs, mengoleksi merch dan kaos hingga kaset kaset rekaman Roadrunner United. Obsesi soal komunisme menelurkan Senja Merah dan tahun tahun di mana tidak ada yang lebih penting di kepala saya kecuali urusan negara yang belum juga menemukan di mana Wiji Thukul sebenarnya. Puncak pendalaman soal theist yang kemudian mendapat milestone berupa penyebutan "@rusnanianwar pasti anonimnya Asyaukani dan Ulil Abshar" lalu akun @bakunins yang menegaskan obsesi terhadap anarkisme yang bertahan sekurangnya setahun lamanya (yang lalu banyak difollow artes twitter itu)

Dan seterusnya dan seterusnya. Obsesi yang bersifat temporal karena saya melihat saya sekarang dan sungguh merasa kehidupan sedang kelewat selow. Saya tidak sedang menyenangi apa apa kecuali ide soal menjadi kurus melalui diet OCD. Sungguh waktu membuat kita jadi cetek begini ya, Tun :))

Jalalludin, adalah trigger saya untuk urusan sufistik. Jauh sebelum saya membuat akun twitter, jauh sebelum saya tau soal JIL dan utankayu. SMA kelas 2, saya mengenal mas Yudha. Beliau adalah lulusan pesantren dengan kemampuan bahasa inggris yang memesona. Berawal dari minta diajarkan bahasa inggris, bertandangnya beliau ke teras rumah berujung pada pembahasan soal Tuhan dan Agama. Saya dipinjamkan buku dengan judul The Road to Allah. Saya ingat saya yang sebulan kemudian sangat sangat alim hingga berfikir untuk mengenakan jilbab dan ingin menghadiri pengajian tasawuf (yang kemudian tidak diperkenankan abah, tentu saja)

Buku yang membuka pikiran saya soal betapa Islam sesungguhnya merupakan agama yang menyenangkan. Dengan konsep pluralisme yang menyentuh. Betapa beragama sungguh perkara sesederhana berbuat baik kepada sesama manusia.

Lalu saya lupa apa yang membuat saya kembali bebal dan tidak islami lagi di tahun tahun berikutnya. Mungkin lantaran pendalaman saya hanya sebatas membaca buku dan euforia sementara. Pada akhirnya yang melekat sebagai label adalah apa yang dilakukan dengan konsistensi kan?

6. Tan Malaka
Madilog adalah groundbase saya dalam belajar berlogika. Komplimen soal "Enak kalo curhat sama nani, jawabannya logis" saya dapatkan paskan membaca Madilog. Ada runutan cara berpikir yang saya coba terapkan dari buku ini, terpujilah beliau dan kemampuan akalnya. 

Paradigma paradigma berpikir serunut isi buku ini tentu belum bisa saya terapkan, ada banyak kausal yang membuatnya menjadi sulit. Faktor geologis dan etnologis misalnya, tapi simpulan paling sederhana dari menggunakan metode Tan Malaka adalah step back and see the whole page.

7. Sapardji Djoko Damono 
https://blogbukufaraziyya.files.wordpress.com/2015/11/hujan-bulan-juni.jpg?w=219&h=327Beliau adalah penulis yang menyelamatkan jiwa romantis saya. Saya selalu sinis dengan perkara cinta cintaan entah untuk alasan apa. Mungkin lantaran referensi bacaan saya yang jauh dari buku buku romantis populer yang kerap Amel bahas (sekali waktu saya pernah membaca buku Falla Adinda dan berujung jengah dan menggumam "Pfft.. selebtwit") atau ya itu, saya emang berkemampuan untuk menjadi frigid hingga akhir zaman. 

Membaca puisi puisi Damono, melemparkan saya pada potongan potongan senja merah jambu yang berujung dengan perasaan hangat di dalam dada. Kesukaan terhadap puisi puisi Sapardji kian menjadi paska menonton duo Ari Reda secara langsung di Bentara Budaya Jakarta. Musikalisasi puisi yang sungguh syahdu saya hampir menasbihkan diri sebagai kelas menengah berbudaya yang hanya mendengar musik musik kelas atas nan berkualitas.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana 
Setabah hujan di bulan Juni.
Karena akulah si telaga.
 #MashupHore  

8. Leo Tolstoy
Anna Karenina mengantarkan saya pada Leo Tolstoy. Bukunya dipinjamkan ibu produser paling baik hati sejagad ranah hiburan Jakarta dan menghabiskan berminggu minggu membaca bukunya. Tolstoy, di balik nama besarnya melalui War and Peace (yang segera menobatkannya sebagai bapak filsuf politik rusia) justru lebih saya sukai di buku ini. Kenapa? karena Tolstoy adalah 'manusia' di buku ini, ditambah adaptasi filmnya yang mayan di tahun 2014 silam, Anna Karenina adalah satu dari dongeng kehidupan aristokrat yang saya suka.

http://photos1.blogger.com/blogger/787/545/1600/Embroideries.jpg9. Marjane Satrapi
Oh siapa yang tidak jatuh cinta pada Persepolis? Siapa yang tidak merasa tergugah, menahan nafas dan trenyuh dengan ilustrasi dan gaya penulisan Satrapi? Saya membeli buku Embroideries sebagai buku kedua Satrapi yang saya baca dan makin suka pada sudut pandang perempuan ini.

10. Karl Marx
Oke, saya anak IPS murtad hahaha. Baru mengenal Marxisme justru paska membaca Madilog. Jika bukan karena disebut tulisan tulisan saya Marxis sekali, saya tidak akan menunggu belasan menit untuk mengunduh sekedar .PDF artikel artikel beliau lalu membacanya dengan tekun. Saya berakhir dengan senyum simpul dan menertawakan komentar tersebut dengan ketertakjuban kenapa bisa seterkiblat itu pada Marx.

mungkin lantaran tidak ada yang benar benar original di bawah matahari kan ya?

11. NH Dini
Begini, saya tumbuh di era SD-SMP dalam kondisi sangat miskin sampai sampai keluarga kami tidak memiliki uang untuk ikut beramai ramai menggunakan televisi parabola. Di kotak TV 14 inci kami hanya ada TVRI berkat antena alakadarnya. Kondisi ini praktis membuat saya tidak menonton televisi kecuali jam 4 sore untuk tayangan Pak Odor dan Tara anak Tengger. Gugat saya semasa kecil soal kenapa kami tidak punya TV digital untuk menonton sinetron yang tengah hype di kawan kawan saya berujung syukur saat ini. Karena kemiskinan itu saya jadi memiliki referensi bacaan yang lumayan.

Hiburan untuk Nani kecil adalah perpustakaan daerah. Menjadi anggota di sana dan rutin meminjam sekedar buku bergambar hingga akhirnya berani masuk ke area non bacaan anak anak dan mulai mengenal penulis penulis angkatan baru, 45, 60 hingga angkatan reformasi. Sederet nama seperti YB Mangunwijaya, Sutan Takdir Alisjahbana, Marah Rusli, Putu Wijaya hingga NH Dini masih saya ingat dengan baik beserta karya karya mereka.

NH Dini dikenal dengan bukunya yang fenomenal; Namaku Hiroko. Buku yang bisa dibilang one hit wonder lantaran saya tidak pernah mendengar gaungnya lagi selepas buku itu. Lalu beberapa bulan silam menemukan buku dengan judul Padang Ilalang di Belakang Rumah dan bersegera menuntaskan nostalgia pada penulis yang membuat masa kecil Nani banyak membayangkan soal penjajah Jepang dan jugun ianfu.

12. Ugaran Prasad
Definisi author masuk dalam penulis lirik juga kan ya boleh ya ya ya. Hahaha. Ugaran Prasad saya temukan di blog yang kerap mengupdate tulisan tulisan yang masuk dalam kompas. Mulai dari SGA, Gunawan Muhammad hingga Djenar Maesa Ayu. Prasad, menyempil di antara nama nama itu dengan cerpennya Sepatu Tuhan, kisah soal Maradonna dan fenomena tangan Tuhan dengan ending yang apik.

Lama berselang dan saya mendapat kiriman album Anamnesis milik Melancholic Bitch dan tebak siapa vokalisnya? Yep. Ugaran Prasad. Tulisan tulisannya yang saya sukai itu mewujud dalam deretan lirik yang subhanallah membuat saya bersemangat untuk bergumam "Anjrit ini bagus banget"

13. Chie Watari
Kenapa Nani punya selera horor yang lumayan eksentrik? salahkan Chie Watari :)) kesehatan jiwa anak muda manapun bakal terganggu jika sepanjang waktu luangnya dihabiskan untuk membaca komik horor dengan plot cerita yang buangsat dan ilustrasi yang gore nan graphic semacam Misteri Sepotong Tangan misalnya. Kenapa tidak saya habiskan masa muda dengan nonton anak seusia saya main basket dan pacaran, misalnya. Kenapa?

14. Jane Austen
Another romantic author. Buku buku Jane, utamanya Emma dan Pride and Prejudice mengusung tema feminisme tanggung yang membuat saya terkadang gemes sendiri dengan konflik yang dihadapi Emma dan Elizabeth. Di buku Mansfield Park dan Sense and Sensibility barulah saya paham bagaimana Austen ingin menalarkan kegelisahannya sebagai perempuan di abad 18. Kebutuhan feminisme memang sesepele itu mengingat kondisi sosial budaya yang melatari kisah kisahnya. Tentu tidak akan countable jika dijadikan default untuk masyarakat sekarang. Hm.

15. Charles Dickens
Seperti semua orang, perjalanan mengenal Dickens dimulai dari A Christmast Carol. Meski bersekolah di SD Muhammadiyah, perpustakaan SD saya ternyata menyimpan buku usang bertema natal itu. Lalu beralih ke Oliver Twist, lalu Three Ghost Story dan terakhir The Great Expectations.







So, am I took this tagging game too seriously?

Wednesday, December 09, 2015

December OCD Project - Week #1

Seperti dituliskan sebelumnya, saya memulai project diet dengan terprogram dan (insya Allah) konsisten kali ini. Pada 2 Desember silam saya dengan kesadaran penuh memulai OCD dengan jendela makan 8 jam ditambah ngegym tiap hari (yang kemudian dijadwal ulang menjadi 5 kali seminggu lantaran ternyata ngegym tiap hari tidak dianjurkan).

Sebagai wujud keseriusan itu, saya membuat jurnal OCD dengan tujuan agar semuanya tertracking dan bisa direview ulang di mana letak salahnya.

Day 1 - The Beginning
Ini hari pertama di mana semua energi dikumpulkan untuk menjadi alasan bersegera pergi ke gym dan tidak menyerah dalam pelukan kasur dan televisi atau comfort food yang kerap dikunyah sepulang bekerja. Energinya bernama "I feel disgust with myself and completely insulted" dan yes, I'm going to the gym for an hour.

First day scaling
Meal 1 : Katering for lunch (12pm)
Meal 2 : Fried meat (6pm)

Gym : 1 hour

Day 2
Meal 1 : Katering (12pm)
Snack : 4 biji gorengan (4pm)
Meal 2 : Chicken gordon bleu, fetuccinne carbonara (8pm)

Gym : 45 minutes

Mengiyakan ajakan nongkrong selepas ngegym dan tergoda buat makan seberat itu hiks.

Day 3
Meal 1 : Katering (12pm)
Snack : 5 biji martabak telor (2-4pm)
Meal 2 : Shake (6pm)

Gym : 1 hour

Day 4
Masih bersikeras dengan 16 jam tidak mengunyah apapun kecuali air. Yang menarik dari OCD adalah saya tidak perlu tracking water intake karena secara otomatis bakal minum saat mulai terasa lapar. Hasilnya, setiap hari lebih dari 2 botol aqua besar tertelan tanpa perlu dipaksa :)))

Meal 1: Huge portion at restaurant (its Saturday so.. I'm going to the restaurant with my family at 1pm)
Snack 1 : iced soursop
Snack 2 : Mango
Meal 2 : Shake (6pm)

Gym : 45 minutes

Day 5
Meal 1 : Huge portion at restaurant (Its Sunday, a ME time so I had all my favorite food on the table at 1pm)
Snack : Blended greentea (no sugar 3pm)
Meal 2 : Shake (6pm)

Gym : 45 minutes

Day 6
Monday was hard, soooooo many things requires my attention and focus. At the bright side, in a blink of the eye, the clock turns so fast into 12pm!
Meal 1 : katering (12pm)
Snack : 5 gorengan, 6-7 assorted chocolate

 Gym : rest day - subtituted by 20 minutes of sauna

Ya Allah, koreng.
Day 7 - SCALE DAY
I can't believe its been a week already. Time does flies so fast yeeees.
Meal 1 : Katering (12pm)
Snack : 1 soes, 2 risoles
Meal 2 : Shake (6pm)

Gym : 50 minutes
   

I'm taking a scale today. Bela belain beli timbangan digital jadi bisa liat progress sampai ke ons onsnya hahaha. Hasilnya:
84,2 kg. lost 1,2 kg.

Oh tentu, satu kilo dua ons mungkin terdengar seperti "Meh, segitu doang aku juga bisa" tapi percaya soal ini: Saya seneng mampus pas tau berat badan saya bisa turun sekilo dengan tetap makan enak tanpa pantangan dan ngemil gorengan sebanyak itu. Hahaha.

Makin semangat buat jalan ke minggu ke dua!