Tuesday, September 15, 2015

Lower Class Wisdom


Tumbuh besar di keluarga dengan ekonomi rendah mengajarkanmu soal ini: you have to blend in if you wants to have a peaceful life. Saya senantiasa diajarkan untuk tidak neko neko, tidak mengikuti hal hal kekinian saat itu. Tidak pergi darmawisata, tidak membeli baju baju populer, tidak nonton konser, pokoknya jangan aneh aneh. 

Setiap berdiskusi dengan ayah soal perkara yang sedang ramai dibicarakan, ayah selalu menjawab "Ikuti apa kata orang banyak saja" dengan alasan itu tadi, orang orang miskin jika ingin hidup tenang, wajib bagi mereka untuk tidak menonjol.
Lower class wisdom ini saya bawa sampai usia belasan. Untuk tidak menonjol, untuk blend in dan menjalani hidup yang peaceful dan apa adanya. Kalau dipikir di kondisi sekarang, apa yang ayah saya ajarkan benar adanya. Mau lower class mau higher class mau top class sekalipun, kita manusia ini apalah selain sebutir debu di lautan kosmis.

Keinginan untuk menonjol, menjadi berbeda, unggul dari satu dan lainnya, adalah produk premodernisme yang diusung jauh sebelum era Amelia Earhart, jauh sebelum Emma Goldman, jauh sebelum Habis Gelap Terbitlah Terang ditulis oleh sejarah. Setiap era memiliki produknya sendiri, produk kelas postmodern seperti kita -yang dimulai sejak zaman bapak saya bisa mengangkat pacul dan bertani di desa sebenarnya- ya adalah pemuasan hasrat atas menjadi berbeda itu.

Lihat bagaimana iklan iklan menggempur kita untuk take a chance, be bold and be different, go a head dan setumpuk tagline soal menjadi berbeda dari manusia abu abu kebanyakan. Lihat juga bagaimana sekolah sekolah berlomba menyampirkan kata internasional, pengembangan karakter berbasis minat anak dan lain lain.

Modernitas mengajarkan -menuntut- kita untuk senantiasa bergerak. Pergerakan pergerakan yang disetting sedemikian cepat hingga masing masing manusia modern meneguk liur lantaran berkeinginan untuk hidup sebebas iklan ajarkan. Yang bergerak terlalu cepat akan membentur keterbatasan fisika bernama momentum. Maka friksi tak dapat dihindari, benturan benturan dan gesekan gesekan akan berujung pada manusia manusia modern yang kebingungan ke mana perubahan mereka harus bermuara.

Maka pandangan abah soal tidak neko neko tadi ada benarnya, untuk tidak berupaya berbeda dan tidak memulai perjalanan express menuju momentum entah apa. 

Monday, September 14, 2015

September

I wrote this during my first day of period and I watched Ted 2 until 3am so forgive me for all the bad words and curses in this post.

September supposed to be a nice, cold, fresh breeze month. As in another continent do, they're entering fall season. Indonesia SHOULD be in wet season now, when there's a nice dark cloud hanging in every corner of the sky and cold water actually pouring from the cloud. Just like 5-6 years ago. But not now, something has changed our weather season into Dry and Smoke season. So bye cloudy day and welcome to a fucking humidity day with tons of carbon dioxide from the hound of hell.

God please bring back the rain.

Thursday, September 10, 2015

Keresahan Perpindahan

http://quotesfans.com/wp-content/uploads/2015/05/Quotes-On-Change-In-Love-1.jpg
"Tidak ada yang berketetapan di muka bumi kecuali ketidaktetapan itu sendiri"


Rekan sejawat saya dalam dunia tulis menulis di jejaring maya bernama blog, Bapak Ilham Satrio telah mengembangkan blognya hingga sedemikian mutakhir saya sampai malu sendiri bermain ke stereofolk.blogspot.com dan dialektikata.blogspot.com miliknya. Rasanya seperti bertandang ke rumah kawan lepas naik haji gegara menang undian alfamart hahaha. Megah, besar lagi matang. Posting kali ini akan banyak berisi keluhan. Saya menahan diri untuk tidak banyak mengeluh karenanya sepanjang tahun posting blog yang memang ditujukan untuk menelan segala keluhan ini hanya sejumlah hitungan jari. 

Saya larut dalam terlalu banyak kenangan dalam rentang tidak hanya bulan tapi bertahun tahun belakangan. Saya telah menjadi seseorang yang sedemikian sensitif terhadap kenangan hingga sejengkal bait lagu atau sepenggal kalimat random bisa memicu tangis. Saya cengeng, melankolis, pesimis dan tidak begitu pandai mengendalikan perasaan.

Kini, perputaran itu kembali menemui titiknya. Di hari hari seperti ini tiga-empat tahun lalu saya kira saya telah bereuforia dengan teriakan eureka! saya menemukan formulasi paling akhir untuk mengentaskan ketidakmoveonan dan keresahan mengenai titik nyaman, pencarian jati diri dan pelbagai masalah pelik khas remaja akhir usia belasan.

Saya lupa, hidup masih sangat panjang terbentang dan permasalahan akan menemui titik pengulangan. Oh tentu, dulu sempat terpikir bahwa selepas momentum pencerahan itu saya bakal menjadi fasih dalam menghadapi masalah serupa di masa mendatang lantaran saya sudah tau formulasinya, saya tau tahapan untuk mengentaskannya.

oh naive little me.

Nyatanya tidak. Kenaifan kenaifan tulisan bubbly optimistik ceria berbungan bunga di posting posting sebelum ini membuat saya mendengus dan merasa murka. Saya marah dengan Nani yang tak pandai menerapkan teori buatan sendiri. Pada Nani yang terus kembali ke titik resah, restless dan selalu ingin pergi tapi tak kunjung angkat kaki. Yang selalu ingin berpindah namun berdalih di balik alasan tidak mudah. Yang mengklaim berada di zona nyaman tapi selalu menginginkan perubahan.

Apa lagi yang saya cari, pertanyaan serupa tidak sekali dua kali saya dapatkan. Posisi pekerjaan yang begitu baik, finansial yang cukup, keluarga yang sehat, teman teman yang baik, dan sebagainya dan sebagainya. Saya sendiri tidak mengerti, usia 23 begitu cepat berlalu dan dalam hitungan bulan saya menginjak 24. Dan yang saya tanyakan pada diri sendiri setiap bangun pagi selalu sama.


kamu ini maunya apa nan..

Wednesday, September 09, 2015

Obstacle

http://40.media.tumblr.com/4dd4160846a083365412a74a30e3dc54/tumblr_ncf7wmbgLP1qmbdzpo1_500.jpgWhy its so hard to say : "Please stay, I'm not okay" or "I admit it, I'm weak and I need your help"
instead of pushing everyone who cares about you away and refuse to accept a help from a pure hearted people?

Why its easier to say : "Go, I don't need your help" or "Your attention makes me dependent"

Why its so important for me to be independent? As if when someone help me I'll drown into an endless hole of moral duty? I can't live that way yet I don't want to feel like I'm using or taking people for granted.



Or maybe,
Maybe I just had to find someone I can relying to without feeling guilty at all.









9/9/2015
I've learned to say No thanks before Thank You, I guess.

Friday, August 21, 2015

Sublim

Pencapaian purna atas kehidupan adalah bahagia tanpa bantuan. Tinggalkan runut kebutuhan primer sekunder tersier atau kebutuhan psikologis a la Maslow di belakang. Tidak ada yang mampu mengalahkan kebahagiaan yang dilakoni sendirian.

Sungguh.

Friday, July 31, 2015

A How To : Forgive Yourself


http://www.momentumlife.tv/wp-content/uploads/2014/04/forgive1.png
worry not about the source, its a random pic from internet

I remember many many sleepless night and lousy day back in my young day. I remember when I get mad easily and yelled at my mother like she's the one who should took all the responsibilities of my problem. I can't even remember if there's any fine day when I spoke or showed an affection to her back there.

Since my mother died, I'm contemplating too much, I spend too many time of feeling guilty and worthless. I've become so sensitive and worrying if there's any chance of me hurting or taking people for granted. Its all because she's gone before I even realize that its too late to ask for a forgiveness and say that I love her.

Such a lovely feeling to have, eh?

I think its my own way to redeem every glance of mistake that I've made before.  And by far, a year gone and I'm still grieving about it.

Forgiving is a hard thing to do, its like allowing people to hurt you, like saying "Okay" when somebody tries to do a bad things to me. Our native instinct gives us an awareness, a pure defiance of protection. We don't want to fall so our body has their own system that wont let us fall. Self alarming, self defense, a prevention.

Now how to forgive if we know that those act would hurt us in someway?

Start with forgiving yourself and accepting your flaws. Accept the fact that we are not flawless, we had an anger, we say a bad word, we hurting people consciously, we forgot, we hold a grudge, we curse, we are weak.

We human does so many mistakes its impossible to redeem all of them in our short brief lifespan. Carrying a luggage full of guilty wont heal any wounds nor erase anything in the past. We just trying to believe that punishment will somehow made us feels better, made us stronger. The fact is, no, it doesn't.

Punishment pushed you far from the tranquility, I'm so worry that I'll hurt my dad the way I hurt my mother so I took all my belongings and moving out. I refuse to talk to my family simply because I don't want to say any bad word with or without my intention in it and make them feel bad about themselves. Months passed by and I spent most of my day alone and thinking and thinking and thinking about my past mistakes.

I smiles and laugh once in a while but you know, I'm so restless I don't even know what the hell am I doing there. I'm so tired of being restless but I never had a chance to sleep well without any bad dreams involves. I never know how to relief. To take a deep breath, feels the tranquility and let things go.
 
I'm not here to say its okay to be reckless and unthoughtful. To shout anything in our mind without thinking about will it hurt anyone who listen or not. I'm just saying, being too sensitive added by carrying a luggage full of guilty wont take you anywhere. 

Now take a deep breath and repeat after me.


"Dear myself, I forgive you wholeheartedly."


Sampit, 31 July 2015


Another mistake, another sleepless night.

Monday, July 20, 2015

Another Chapter

http://th01.deviantart.net/fs70/PRE/f/2012/296/7/9/limbo__never_alone_by_cautiousredlips-d5ionmc.png
Limbo, taken from here
I feel like I wanna write so many things on blog lately since I had barely no where to shout. I had few close friends but they're still human with tons of problem and I had to put them first before me so our curhat session always ended up with me, listening and nurturing them with my wisdom craps.

The thing is, I don't know what I feel now. I'm 'skipping' Hari Raya this year simply because I don't feel like I want to celebrate it. I feel like I'm not worth enough to jump into the crowd and mass euphoria. So I spend my hari raya by eating Indomie Soto Ayam and watching television alone while my father and the rest of my family celebrating it in another province. 

I think I'm depressed. I know its so damn exaggerated but I think I am. I can't feel anything anymore. I'm not sad but I'm not happy, I don't feel like I'm in an excruciating life but I'm constantly feel like I need more sleep, I need more time to be away from my daily life and routine. I'm just in a state of feeling nothing. Numb.

Do I search the source of problem yet? I do, I'm trying so hard to figure out why do I have to be such a pretentious bastard whose act like she had nothing on her shoulder all the time, smiling and being funny like there's no problem in her life. I'm doing excellent at work, at social life, amongst my friends and family. I reached out the figure they're always bragged about; successful Nani with endless possibilities of career path.

I'm still figuring out but by far I only can tell that its all driven by a loneliness. I'm telling you this, I-Always-Accompanied. In my 24 hours of life, I effectively awaken by 7am - 2pm. In that time range I've NEVER being alone. Either I'm at work, or my friends comes and taking me out or I'm taking extra hour to work until late night at the office and yet at the end of the day I still feel all alone and strange when I'm lying in bed. I maximizing my time to not to be alone because I'm afraid with my own head when I'm alone.

Just like now, I'm writing shit since I realize that no matter how busy I am, no matter how many things I do in a day, or how exhausted I am after doing all of those things, I will always ended up in this state: feeling nothing caused of unknown. If its not a depression, then tell me what it is and how to mend this shit that already took almost all of my sober age. 

I don't know what I want, I want to step out but I want to stay. I want to change but I don't feel like I want to. I want to go out from this city and starting a new life but I already know how its gonna end. I want to stay but I'm running out of reason of why.

So here I am. 23 and clueless.


Sampit, 20 Juli 2015.




God give me a strength. 

Monday, July 13, 2015

Membaca Gejala

Membaca gejala dari jelaga

Kemarau sedang terik teriknya. Gersang dan hawa panas di siang hari disusul malam gigil yang menggeretakkan gigi kala menempuh perjalanan mencari sahur sudah menjadi hal biasa beberapa minggu belakangan. Ramadhan menemui puncaknya, tiga hari jelang lebaran.

Saya paling jago soal ini: Menerka nerka. Sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk mengambil jeda dari pikuk rutin seharian dan tepekur, memikirkan soal apa saja yang telah terjadi dan apa yang terlewat untuk dilakukan. Semata agar besok saya tidak mengulangi hal hal yang tidak selayaknya diulangi, meminimalisir perasaan sesal, atau memenuhi janji yang terlewat di hari itu lalu introspeksi. Sisanya membaca gejala, menerka nerka soal apa yang ingin semesta beritahukan pada saya saat hal hal tidak biasa terjadi.

Kehilangan kunci motor, air kamar mandi yang luber hingga dua hari, komputer yang lupa dimatikan, dompet tertinggal hingga kematian mama. 

Gejala gejala tidak biasa yang saya coba serap dari semesta memberikan jawaban atas setiap kenapa yang saya lontarkan pada kejadian kejadian tersebut. Semisal, kematian mama adalah cara Tuhan mendewasakan saya, menegarkan saya, menghilangkan kebiasaan cengeng dan gampang putus asa. Setelahnya saya merasakan kenaikan kelas, ini sombong tapi begitulah adanya. Saya menjadi seseorang yang jauh lebih pemaaf, penyabar dan penyayang dibanding tahun silam sebelum kematian mama.

Sampai sejauh ini saya merasa baik baik saja -kecuali untuk satu hal itu yang nampaknya tingkat kepelikannya sudah sedemikian absolut hingga tepekur dan introspeksi berhari hari tidak bisa menepiskan sedikitpun soal jangan-diulangi-lagi-esok-hari- hingga hari ini.

Hari ini saya kehilangan teman baik lantaran lupa membaca gejala. 

Pemakluman adalah upaya manusia untuk menegaskan kelemahan mereka sebagai manusia. Memanusiawikan kemanusiaannya di balik kalimat khilaf. Maka mungkin ini adalah titik khilaf saya, menjadi manusia yang tidak pandai membaca gelagat semesta, berkata yang tidak semestinya, menyakiti orang atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Jika pemakluman adalah jawaban atas kekhilafan, maka saya tidak bisa mengutarakan apapun kecuali maaf.

Memaafkan diri sendiri adalah puncak pemaafan. Semoga kelak, di kehidupan yang terjadi selepas ini saya tidak menghukum diri sendiri dengan terlalu keras. Semoga dijauhkan dari pola berulang yang sungguh saya tau betul seperti apa rasa tidak nyamannya. Janji saya untuk tidak baper di media sosial sudah nyaris sepenuhnya terjalankan bahkan hingga kini saat akses dibacanya sedemikian tersedia.

Tidak lagi mempermalukan diri dengan berbagai hal yang memuakkan siapapun yang membacanya. Menjadi kuat dan berhenti mencari simpati, tidak menyakiti diri sendiri, menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan atas kejadian yang tidak mengenakkan. Tidak memperbolehkan diri sendiri untuk hidup dalam penyesalan meskipun telah kehilangan.

Saat seseorang mampu melewati proses kehilangan seseorang yang begitu besar porsi kehadirannya dalam hidupnya, kehilangan kehilangan selanjutnya adalah hal biasa. Sedih memang, sungguh. Saya tidak memungkiri perasaan mencelos dan kehilangan yang saya alami beberapa hari belakangan, saya memaafkan diri saya untuk merasa sedih, menangis, merasa bersalah. Namun setelah ini, saya tau saya akan baik baik saja, langkah saya akan sama ringannya seperti sebelum ini semua terjadi. 

Kejadian ini adalah gejala, dan saya harus berbijaksana dalam menerka simbol dan pesan semesta. Agar berhenti dan melanjutkan hidup ke arah yang berbeda.

Sebab saat kita naik kelas, kita harus rela meninggalkan ruang kelas yang lama. 







Sampit, 13 Juli 2015


Repetisi memang menyebalkan.


Tuesday, December 30, 2014

Jelang 2015

Layaknya ulang tahun, saya selalu bersemangat soal tahun baru. Tahun di mana hal hal bisa dilakukan dengan perasaan baru walopun sebenarnya bentukan saya ya begitu begitu saja. Saya percaya pada kekuatan doa, bahwa doa doa kecil yang dilempar dengan kesungguhan hati akan menemui titik wujudnya kelak.

Banyak sekali doa doa kecil yang saya lontarkan melalui blog ini, dengan sejumput perasaan percaya bahwa ia akan terwujud kelak entah kapan. 2014 akan habis dalam hitungan jam, saya menulis ini melalui kubikal kecil di sore hari yang longgar selepas marathon deadline terkirim dan dipresentasikan. Saya selesai, untuk hari ini.

Saya menulis resolusi 2014 di postingan ini. Keinginan saya polos sekali tahun itu:
Resolusi 22:
1. KULIAH 
2. LAPTOP DAN KENDARAAN BARU
3. JATUH CINTA
4. BEPERGIAN
5. LEBIH SABAR DAN BERKOMPROMI
6. NEW YORK

Ini adalah tahun yang memalukan kerena tidak satupun dari resolusi tersebut terpenuhi hahaha.
Namun entah mengapa saya merasa baik baik saja, tidak merasa terbebani dan resolusi resolusi itu terlupakan di bulan ketiga. Saya hanya ingin membagi highlight kejadian kejadian 2014 di tulisan kali ini. Mengingat banyak bulan di rentang mei-desember yang terlewatkan untuk berbagi kabar via blog seperti yang biasa saya lakukan.

Awal tahun, di awal usia 22 saya menemui jenuh luar biasa dengan pekerjaan di televisi. Ada banyak alasan yang memantapkan langkah saya untuk kemudia resign di bulan Oktober. Bulan mei, tanggal 27 ibu saya meninggal dunia selepas dua minggu sakit keras. Dimulai dari sulit tidur, kaki yang membengkak hingga puncaknya, beliau divonis gagal ginjal dan akan segera meninggal. 'Segera' yang mengambil porsi sepekan. Jika saya tau itu adalah minggu terakhir saya melihat ibu, ada banyak sekali yang ingin saya ceritakan pada beliau. Untuk mengganti tahun tahun tanpa kebersamaan dengan beliau semenjak saya sibuk bekerja.

Paska meninggalnya mama, ingatan saya samar. Saya ingat saat menjadi manager event di salah satu cafe besar di sampit, puluhan bahkan ratusan malam yang dihabiskan di kedai kopi, tindakan irasional dalm upaya memenuhi rindu pada seseorang di masa lalu hingga beberapa moment di mana saya mendadak sesak nafas dan menangis sejadinya karena kangen mama.

Selepas lebaran, saya membulatkan tekad untuk berhenti dari televisi yang kemudian disetujui pada bulan oktober akhir. Saya kemudian mendapat tawaran untuk menjadi staff komunikasi di salah satu perusahaan perkebunan sawit dan menjadi corporate slave seperti yang sering dibanggakan kaum urban kelas menengah ibukota itu.

Dengan gaji yang cukup untuk hidup dan berkehidupan, saya kini memasuki bulan kedua di tempat kerja baru. Tidak ada yang mudah dari transisi, terimakasih kepada kamu yang telah berkenan menemani malam malam penuh keluh saya selama Nopember silam. Yang menghibur dan mengajak jalan jalan, yang senantiasa baik dan pengertian. Terimakasih.

Kini 2014 tinggal hitungan jam. ada ribuan resolusi yang ingin saya tuliskan di tahun depan saat berulang tahun. Saya simpan nanti, untuk tahun yang semoga penuh dengan kebahagiaan.

Selamat tahun baru!