Tuesday, August 28, 2012

Mengupas "Atheis" Achdiat K. Mihardja

Disclaimer: Penulis adalah pembaca amatir, pengulas amatir, dan pengamat sastra amatir. Satu satunya yang profesional dari Penulis adalah makan rendang tanpa banyak mengunyah.

Yang saya kagumi saat membaca roman ini ialah kepandaian penulisnya dalam menjalin kata hingga pemaparan mengenai komunisme menjadi mudah dicerna. Tokoh bernama Hasan nampaknya sengaja dibuat agar berkarakter "mudah" dan gamang. Kiranya dengan sifat demikian, penggunaan sudut pandang orang pertama tunggal tetap mampu mengcover dua ideologi serba bertentangan. Komunisme dan kapitalisme, sosialisme dan anarkisme, atheis dan theis, modern dan mistik.

Maka Hasan, menceritakan hidupnya dengan alur yang runut. Tentang jiwanya yang semula kukuh perlahan menjadi goyang dan akhirnya runtuh (ditandai saat ia pulang ke Panyeredan dan menyatakan bahwa ia ingin mengambil jalannya sendiri) lalu menjadi kukuh kembali saat dirinya menjemput maut.

Tidak berimbangnya antara tokoh yang menganut paham mistik, tradisionalis dan yang menjunjung modernisme, komunis dan atheis (bahkan muncul Anwar, sang anarkhis) membuat roman ini terkesan ingin mempropagandakan paham komunisme. Bagaimana tidak, seorang Hasan yang mudah berubah pendiriannya digempur oleh Rusli, Kartini, Anwar dan sederet kawan kawan politiknya. Ditambah dengan tumbuhnya cinta dari Hasan kepada Kartini. Satu satunya yang menguatkan teori Hasan hanyalah ayah dan ibunya. Itupun tertinggal jauh di Panyeredan, di pikirannya. 

Tapi kesan tersebut hanya bertahan hingga pertengahan buku. Sebab dengan hadirnya Anwar, seniman anarkhis yang nampaknya sengaja betul menjadi pembuat onar, menyeimbangkan sisi Hasan kepada ideologi komunis-atheis milik Rusli yang tampak begitu sempurna, utopis dan merayu rayu. Anwar menjunjung anarki dengan Bakunin sebagai gurunya. Ia tidak mengenal konsep 'Lu punya gua punya' dan cenderung barbar. Tidak sedikit ia menghina agama dan tuhan, sehingga kesal Hasan dibuatnya. Seolah ingin menegaskan bahwa tidak semua penganut paham tersebut menjadi seorang 'sukses' seperti Rusli. Anwar justru menjadi kuda liar hilang kendali, tak bersopan santun dan meletup letu, pemadat serta senantiasa tak beruang.

Cinta Hasan yang demikian kuat kepada Kartini-lah yang sebenarnya mengubah haluan hidupnya sedemikian rupa. Layaknya teori teori adaptasi, maka Hasan mencoba begitu keras agar terterima di dunia Kartini. Dunia yang serba modern, dunia di manaGone With the Wind  dan Bing Crosby menjadi penting.  “Terasa sekali betapa besarnya perubahanku dibanding dulu. Dulu artinya empat bulan yang lalu segala jejak dan ucapanku selalu kusesuaikan dengan “pendapat umum”, terutama dengan pendapat para ahli ulama. Aku selalu berhati – hati jangan sampai menjadi noda dalam pendangan umum, alias “klaim alim – ulama” itu. Tapi sekarang pandangan umum itu sudah tidak begitu kuhiraukan lagi. Bagiku sekarang lebih penting pendapat Kartini. ( Atheis, hal. 108)

Kemudian, sekali lagi Achdiat memberikan twist berupa pernyataan Anwar ketika Hasan tengah sembahyang saat pulang ke rumah orangtuanya. "...itulah yang kunamakan sandiwara dengan diri sendiri. Mengelabui mata sendiri... Itulah yang kubenci, sebab dengan begitu hilanglah kepribadian kita, persoonlijkheid kita." (Atheis, hal. 145)
Sebab Anwar, Hasan merenung kembali. Sebab Anwar yang kemudian menggoda istrinya, di tahun tahun selepas pernikahannya dengan Kartini, Hasan menjauh dari Rusli dan kawan kawannya. Hidupnya tak jauh dari ke kantor, pulang dan mendapati isterinya tak di rumah, dan batuk batuk hebat. Di halaman halaman akhir terlihat betul keinsyafan Hasan dan penyakitnya yang mengganas dianggapnya sebagai siksa dunia.

Romanpun berakhir gamang. Tanpa ada batas jelas apakah hasan kembali ke islam atau menjadi atheis. Achdiatpun mendaulat tokoh tanpa nama yang menjadi editor untuk menerbitkan naskah autobiografi Hasan. Tokoh ini pula yang seolah menjadi pendamai atas dua ideologi besar yang merongrong pikiran Hasan. Jika Rusli hadir bersama Karl Marx, Hasan yang semula berpegang teguh pada Muhammad, maka Tokoh Ini membawakan Freud kepadanya. Tidak hanya Freud, namun segala perdamaian perdamaian pikiran. "Sesungguhnya, saudara, kita dilahirkan ke dunia ini dengan satu tugas yang mahapenting, yaitu 'hidup'.." ( Atheis, hal. 202)

Sebagai penyeimbang, tugas tokoh tersebut tidak tunai sepenuhnya. Sebab pada detik sebelum Hasan ditembak, Hasan masih dikuasai amarah untuk membunuh. Dalam lubang perlindunganpun, ia banyak tepekur dan menangis. Sebab takut siksa neraka meski porsi rasa bersalahnya kepada orangtuanya -terutama ayahnya yang baru saja meninggal- demikian besar.

Hingga tuntas halaman terakhir, saya tidak banyak mengeluh. Kompleksitas Hasan sangat memukau saya. Sebagai yang baru membaca sedikit dan mendapat secuil pemahaman soal ideologi ideologi seperti komunisme, atheisme dan anarkisme serta filsafat, tentu saya kagum dengan kepiawaan Achdiat meramu semuanya dalam satu buku. Lebih lebih, dalam satu karakter bernama Hasan.

Berlatar di tahun 1940an, novel ini sedikitpun tidak menyentil isu kemerdekaan. Hanya sedikit bagian yang mengindikasikan Rusli terlibat dalam gerakan politik berbau kiri. Ditambah dengan sikap Anwar yang begitu membenci penjajah disebabkan oleh paham anarkis yang dijunjungnya.
Seolah ingin menjabarkan betapa berbahayanya pikiran manusia hingga yang telah kukuh memegang satu prinsip bisa luluh juga jika digempur prinsip baru dan tentu saja, cinta. Meski seolah ini adalah kisah yang menjadikan ide atheis sebagai garis utama, namun saya memandangnya sebagai kisah cinta Hasan dan Kartini yang dibalut teori teori. Entahlah, sekurang kurangnya hanya itu yang saya mampu simpulkan.

Membaca kembali Atheis setelah nyaris tujuh tahun membuat buku ini menjadi pengobat kangen yang cukup manjur. Membelinya dan membaca pelan pelan mampu menjabarkan banyak bagian yang tidak saya mengerti kala itu. Maklum saja, waktu itu saya baru kelas tiga SMP, tak tau soal komunisme, atheisme dan filsafat.Kisahnya begitu melekat hingga ke mana mana saya sebut jikalau Atheis karya Achdiat K Mihardja adalah novel favorit saya.

Sebuah novel, meskipun fiksi adanya, senantiasa menggambarkan suatu kondisi masyarakat tertentu. Atheis yang diterbitkan di tahun 1949 inipun membawakan gambaran jelas kondisi saat itu, Bandung khususnya. Masyarakat mengalami gelombang kiri dengan munculnya Rusli, bung Parta dan kawan kawan politiknya. Pemahaman kiri seolah meluas hingga (dari?) Jakarta sebab Anwarpun demikian.
Namun, kondisi masyarakat yang masih sangat lekat berhubungan dengan budaya Belanda membuat tokoh tokoh islam tidak menolah mentah segala yang di luar islam. Rukmini yang bersekolah di sekolah menengah kristen, Hasan yang mengenakan jas dan sempat bekerja di kantor milik Belanda. Meski secara pribadi Hasan menolak bioskop dan musik musik barat sebab dianggapnya tidak sesuai dengan didikan agamanya.
Sementara sekarang saat kita sudah membaur sekian lama dengan agama agama lain, budaya budaya lain, mengapa begitu sulit untuk menjadi damai atau setidaknya, bersikap seperti Hasan saat dirinya melewati lorong pelacuran; bersikap acuh dan terus berjalan sambil berdoa semoga tidak tergoda dirinya alih alih menggalang massa dan beramai ramai meruntuhkan sarang maksiat tersebut.

***

Judul Buku : Atheis
Penulis : Achdiat K. Mihardja ( Angkatan ’45 )
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta.
Cetakan : 27, 2005
Tebal Buku : 232 halaman

Sinopsis Cerita

Hasan adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah kampong di kota Bandung, Kampung Panyeredan. Ayah dan ibunya tergolong orang yang sangat saleh. Sudah sedari kecil hidupnya ditempuh dengan tasbih. Iman Islamnya sangat tebal. Lukisan inilah yang menggambarkan latar keagamaan dalam kehidupan Hasan, kehidupan yang bernaung Islam.

Setelah menjadi pemuda dewasa makin rajinlah Hasan melakukan perintah agama semua tentang ajaran – ajaran agamanya makin menempel terus di dalam hatinya. Sampai – sampai Hasan menjadi seorang penganut agama Islam yang fanatik.

Hasan kemudian meninggalkan orang tuanya dan memulai kehidupan di kota Bandung dengan tinggal bersama bibinya dan bekerja pada sebuah kantor jawatan pemerintah,sebagai penjual tiket kapal di Kota Praja.
Di tempat penjualan tiket inilah Hasan bertemu orang – orang yang akhirnya mengubah jalan hidupnya. Berawal dari pertemuannya dengan Rusli, temannya pada saat bersekolah di Sekolah Rakyat. Rusli mengajak untuk bertamu ke rumahnya dan terlebih lagi ada perasaan tertentu yang menghinggapinya kala bertemu dengan Kartini, yang merupakan saudara angkat Rusli. Hasan jadi sering mampir ke tempat Rusli.Dan mulailah Hasan mencebur dalam pergaulan Rusli dan Kartini, dan kawan-kawan mereka, yang merupakan aktivis ideologi marxis.

Hasan yang dahulunya tetap mampu hidup sebagaimana biasa di desanya walaupun berada di tengah-tengah kemodernan kota Bandung, mulai berubah. Hal yang utama adalah menyangkut sisi relijiusitas yang selama ini sanggup dipegang teguhnya. Semakin sering ia berkumpul dalam forum-forum diskusi pemikiran marxis Rusli dan kawan-kawannya, juga semakin akrab ia dengan mereka, mulai semakin tak perlahan Hasan meninggalkan gaya hidup lamanya. Tentu saja ideologi marxis akan sangat menubruk pemahaman keagamaan yang sangat tradisionalnya Hasan. Dan ini juga tak berlangsung mudah. Pada awalnya Hasan masih sangat keras untuk berusaha melawan jalan pikiran kawan-kawan marxisnya. Hal ini ditunjukkan dengan tekadnya suatu kali untuk menyadarkan Rusli guna kembali ke jalan yang benar. Dengan semangat ia mendatangi Rusli, namun ternyata Hasan kalah berdebat.Hasan menyerah, ia terus menggabung dalam lingkunagan marxis itu dan terus tambah terpengaruh. Sewaktu suatu saat kembali ke rumah orang tuanya di Desa Panyeredan, kebetulan bersama Anwar (salah seorang rekan marxisnya yang paling gila), ia bahkan berani berteus terang pada kedua orang tuanya tentang pemahaman keimanan terbarunya. Dan tentu saja untuk itu Hasan harus membayar dengan perpisahan untuk selamanya.

Namun ketika menceburan Hasan ke dalam lingkungan Marxis, ia sebetulnya juga tak sepenuhnya sanggup dan mau untuk mengikuti ideologi tersebut. Keberadaan seorang Kartinilah yang menjadi perangsang baginya untuk terus ada di komunitas yang membuat ia kebanyakan hanya menjadi penonton yang pasif dalam berbagai saling lempar wacana yang ada. Hingga akhirnya Hasan kawin dengan Kartini dan pada awalnya berbahagia sentosa raya. Tentu, tak lama pula, datanglah juga masa sengsara, Hasan dan Kartini mulai sering bertengkar. Dan pertengkaran inipun berujungkan perpisahan. Sumber konfliknya adalah, utamanya, ketidaksukaan Hasan pada gaya hidup modern Kartini. Hasan masih memendam cara pikir yang konservatifnya ternyata. Dan memang begitulah. Dalam keterlibatan ia berkecimpung di dunia pemikiran kaum “atheis”, ia masih sangat mendekap erat pandangan-pandangan masa lalunya. Dan pertentangan pikiran ini cukup menyiksa hari-hari Hasan, yang hanya sanggup diobati, awalnya, dengan impian akan keanggunan Kartini, tetapi selain itu Hasan pun berhadap dengan penderitaan fisik berupa penyakit paru-paru yang dideritanya.

Suatu hari Hasan mengetahui bahwa di suatu hotel Anwar pernah berniat memperkosa Kartini, dalam marah, ketika berjalan mencari Anwar, ia ditembak oleh tentara Jepang ( Kusyu Heiho ) yang menuduhnya mata-mata. Hasan tersungkur oleh terjangan peluru dan diakhir hayatnya ini Hasan masih sempat mengucapkan Allahu Akbar sebagai tanda keimanannya.
Data buku dan sinopsis dikutip dari sini 

Namun yang saya beli, merupakan cetakan ke 34 di tahun 2010. Sementara cetakan pertamanya di tahun 1949. Dari berbagai catatan di dunia maya yang mengulas buku ini, kebanyakan menyebut pekerjaan Hasan adalah juru tiket kapal. Sementara di buku yang saya beli, disebutkan bahwa Hasan adalah pegawai di kantor pemerintahan bagian pemasangan air (semacam PDAM)

Di sanalah ia bertemu Rusli dan Kartini, saat Rusli ingin meminta pemasangan air di rumah barunya. Entah mana yang betul, tapi yang saya baca lebih terasa masuk akal.

Monday, August 27, 2012

Sore Itu Kudengar Derap Kaki

Sore itu kudengar derap kaki
Menjawab dentum dan tatapan ngeri
Setiap mata yang menatap nanar
Kepada yang seolah dibenarkan untuk bertingkah onar

Sore itu kudengar derap kaki
Menyeruak masuk dari serambi
Ayah mendesakku ke dalam lemari
Bersembunyi

Aku mendengar popor
Aku mendengar jerit
Aku mendengar sunyi

Sore itu kudengar derap kaki
Bersama senja mereka pergi
Lalap api kian meninggi


Kepada yang hilang,

Dedy Hamdun HILANG Mei 1997
Ismail HILANG Mei 1997
Hermawan Hendrawan HILANG Maret 1998
Hendra Hambali HILANG Mei 1998
M Yusuf HILANG Mei 1997
Nova Al Katiri HILANG Mei 1997
Petrus Bima Anugrah HILANG Maret 1998
Sony HILANG April 1997
Suyat HILANG Februari 1998
Ucok Munandar Siahaan HILANG Mei 1998
Yadin Muhidin HILANG Mei 1998
Yani Afri HILANG April 1997
Wiji Tukul HILANG Mei 1998  

Kami menunggumu pulang.

Saturday, August 25, 2012

Featured: Tax Underground Comunity Zine (TUCzine) #7

Bermula dari sebuah email yang meminta tulisan saya terkait bandung berisik beberapa bulan lalu. Tulisan tersebut dimuat beserta ulasan profil saya di dalamnya. Sungguh, mendapat dua halaman untuk memaparkan tentang diri sendiri semacam ini bukanlah wilayah nyaman untuk saya :D namun terimakasih banyak kepada redaksi Tax Underground Community yang telah berkenan memperbolehkan reporter-penulis amatir (banget) ini menulis untuk zine kalian. 

Kunjungi site mereka dan unduk TUCzine edisi edisi sebelumnya di sini



download full zinenya di sini

Tuesday, August 21, 2012

Ied Mubarak

Sedemikian terlupa sama blog inih. Bukan, bukan gara gara saya sibuk pacaran sampe lupa sama dunia maya. Beberapa hari belakangan kegiatan sedang gila gilanya dan sekarang barulah terasa santai, dan sakit pinggang :| eniweeii, selamat Idul Fitri yakk, maap maapin kalo saya ada bikin salah dan berulah melewati batas kewajaran manusia..

Lebaran kali ini, saya melalui rutin lebaran seperti tahun tahun sebelumnya. Ke sana ke mari, sungkem sana sungkem sini. Banyak syukur yang teruntai, syukur masih bisa ketemu puasa dan lebaran, syukur masih bisa berkumpul bersama keluarga, syukur soto mama masih seenak tahun tahun sebelumnya :)

penampakan dalam toko bukunya
Di sampit kini sudah ada toko buku. Saya heboh soal ini sejak semalam. Namanya Pustaka 2000, ada di dalam kompleks perbelanjaan Barata. Kota saya tidak memiliki toko buku yang memprovide kebutuhan atas buku buku populer. Hanya ada segelintir dan itupun menjual buku buku pelajaran dan beberapa komik-novel bajakan. 

*angpao lebaran abis*
Sekurang kurangnya, semalam saya menemukan Atheis, Layar Terkembang, Katak Hendak Jadi Lembu, Azab dan Sengsara serta sederet novel Indonesia klasik lainnya. Juga novel novel terjemahan dan sederet komik ori. Alhamdulillah, berkah lebaran :") teringat beberapa tahun lewat saya mengirim surat ke Gramedia grup untuk membuka cabang mereka di Sampit lantaran geregetan lantaran kalau pengen beli buku harus ke Palangkaraya dulu.

Kembali ke perkara lebaran. Sebanyak apapun saya mengucap syukur, rasa rasanya tidak sedikitpun mampu mengimbangi apa yang sudah saya terima selama ini.

Tahun ini saya belajar tentang rasanya ditolak, rasanya dipercayai, rasa bersalah yang begitu besar hingga selama seminggu penuh saya tidak bisa menyingkirkan kata "maaf" dari dalam kepala. Saya disadarkan tentang espektasi espektasi berlebihan yang dipaksakan hanya akan berujung pada dua hal: Kalau bukan saya yang kelelahan, maka orang orang di sekitar saya yang akan kesusahan. Untuk alasan tidak ingin menyakiti siapapun lebih jauh lagi, saya memutuskan untuk mengurungkan niat berpetualang ke Bandung. Saya akan tetap di Sampit, melakukan apa yang harus saya lakukan. Untuk saat ini yaaa.. bertahan hidup :D

Selamat Idul Fitri!

Tuesday, July 24, 2012

Nasionalisme Itu Aku

Nasional. is. Me

Meminjam istilah @pandji (enternainer dan penggiat sosial media) yang digaungkan saat tengah ramai sengketa Reog Ponorogo antara Indonesia dan Malaysia, Nasional.Is.Me. Penggalan kata dari nasionalisme. Istilah ini, sedikit banyak mampu menjabarkan makna sesungguhnya dari nasionalisme.

Menurut mbah wikipedia,  Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nah loh, ternyata makna nasionalisme segede gede gambreng begini. Lebih dari penempatan tiga titik dalam struktur kata Nasionalisme.

Oke deh, kembali kepada Nasional is Me tadi. Mengapa nasionalisme berkaitan erat dengan term "me" atau "Aku"? Sebab kita adalah penyelenggara negara dengan porsi kekuatan paling besar. Setiap individu yang berstatus warga negara Indonesia adalah yang paling berperan dalam keberlangsungan negara. Kumpulan ini individu ini adalah rakyat, dan dalam negara yang menganut paham demokrasi, vox populi vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Wuih... berat bener Nan!

Beklah, kita tahan dulu soal demokrasi dan suara Tuhannya. Mengapa aku, kita, kamu dan aku berperan penting dalam mempertahankan kedaulatan sebuah negara sudah terjawab. Terus, caranya gimana? ramai ramai masuk ABRI dan menjadi lini terdepan untuk menjaga perbatasan negara? atau ramai ramai ke gedung DPR dan KPK untuk berorasi agar masalah masalah pelik negara segera tuntas? Boleh aja sih, tapi ga semua kita (termasuk saya) memiliki akses cukup berupa kemampuan, kemauan, dan niat kuat untuk melakukan hal tersebut.

Yang paling sederhana dilakukan adalah dengan tetap menanamkan kepada diri sendiri untuk bangga menjadi Indonesia. Tidak terjebak dalam pemujaan barat dan mencintai ploduk ploduk dalam negeri :D pelan pelan, apa yang kita lakukan akan menyebar secara masif dan menggerakkan banyak orang. Seperti istilah Nasional.Is.Me-nya Pandji atau #jalinanmerapi, #saveRendangIndonesia dan lainnya.

Terus media untuk menggiatkan nasionalisme ini, di mana Nan? Sebagai generasi muda yang pandai memaksimalkan jejaring sosial untuk galau setiap malam, rasa rasanya pertanyaan ini menjadi retorik. Ditambah dengan terbuka luasnya media media lokal maupun nasional yang menyediakan ruang untuk kita menyuarakan semangat Bangga Menjadi Indonesia.

Para Peserta Kongres Pemuda II
Foto di samping adalah foto peserta Kongres Pemuda II,  28 Oktober 1928. Kongres Pemuda II melahirkan apa yang kini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Bayangkan! Pemuda di tahun 1928 aja udah concern terhadap kemaslahatan bangsa dan negara. Zaman itu, masih belum ada internet, facebook apalagi twitter. Para pemuda itu bahkan (aku yakin) belum pernah makan rainbow cake dan gowes saban sore. #krik

Pemuda 82 tahun lalu ga bisa bikin grup "10.000 Dukung Pengesahan Sumpah Pemuda" di Facebook lebih lebih bikin tagline #SumpahPemuda di twitter. Dan yang menarik adalah, mereka, pemuda yang tergabung dalam kongres pemuda II, begitu peduli terhadap bangsa. Poernomowoelan, Sugondo Djojopuspito, Sarmidi Mangoensarkoro, Poernomowoelan, Moehammad Yamin dan Sunario kemudian dijadikan proklamator Sumpah Pemuda.

Lalu apa yang pemuda lakukan pada saat ini untuk menyayangi negaranya? jangankan memikirkan tentang kemerdekaan, aku (selaku representasi pemuda gahul pemilik akun twitter dan pembanjir timeline dengan keluh kesah galau) hanya sibuk berorientasi pada masalah pribadi. Egosentrikal yang mengerikan ini kemudian terterap secara global.

Aku sibuk dengan pertanyaan pertanyaan; "Hari ini nongkrong dimana ya?" atau "Kayaknya nembak dia asik nih," atau "Kapan ya Coldplay main ke Sampit?"

Apa tindakan paling heroik yang pernah kita lakukan buat negara ini? Tindakan paling heroik yang pernah aku lakukan adalah menyelamatkan anak kucing yang nyaris kelindes mobil. Selebihnya, NGGAK ADA! tindakan paling heroik yang pernah kita lakukan paling banter juga demo di depan istana negara, atau bergabung dengan FPI dan ngerazia lokalisasi.

Sementara, back to 1928, pemuda itu berfikir bagaimana caranya agar Indonesia merdeka. Kongres Pemuda II, dalam rapat keduanya membahas mengenai pola pendidikan di Indonesia, dan di sanalah tercetus ide "Wajib Belajar".

Negara ini di bangun oleh sejarah. Sejarah Indonesia, merupakan untaian kompleks dari satu kejadian ke kejadian lain. Dan, strangely, barisan sejarah Indonesia dipenuhi nama nama pemuda.


Berikan Aku 10 Pemuda, Maka Akan Kuguncang Dunia
(Bung Karno)
Berikan Aku 10 Pemudi, Maka Akan Kuguncang Guncang Mereka
(Orang Bejat)

Kita tiba pada kesimpulan

Bahwa kita seharusnya malu ketika Sumpah Pemuda tak terlaksana dengan baik, tidak berbuat lebih baik dari pemuda pemuda puluhan tahun lalu. Kita telah mengecap merdeka maka perjuangan melawan penjajah tidaklah diperluka. Kita tidak perlu bersimbah darah meregang nyawa demi menikmati kebebasan. Sebab kita mampu mengguncang dunia, kita hanya perlu melanjutkan perjuangan melawan diri sendiri.

Bangga Menjadi Indonesia, karena Nasionalisme itu, AKU!

Monday, July 23, 2012

Belajar Dari Adik

Yang menyenangkan dari Ramadhan tahun ini adalah saya diberi kesempatan untuk mengalami masa rentang dari keluarga. Berkat itu, saya setidaknya sedikit lebih menghargai nilai keluarga. Sebagai tempat pulang, sebagai wadah menunjukkan kelemahan. Kabar baikpun sedikit demi sedikit berdatangan dari masing masing anggota keluarga.

Usaha ayah yang membaik, mama yang kini kesehatannya sudah pulih dan kakak yang telah settle dengan status dan pekerjaannya. Yang terakhir adalah kabar paling menggembirakan. Adik saya naik kelas :'D adik saya kini kelas enam SD di usianya yang beranjak 15. Kaget?

Adik saya lahir dengan sedikit kendala, ia tidak menangis hingga beberapa jam setelah kelahirannya. Diduga sempat tertelan air ketuban atau apalah. Ia baru bisa menyelesaikan satu kata di usia 5 tahun (tidak cadel). Daya tangkap yang rendah dan cenderung pemarah. Ini tentu saja menyusahkannya ketika masuk sekolah dasar. Tahun tahun awal, mama adalah yang paling keras membujuknya untuk sekolah. Puncaknya, di kelas 3 ia tidak naik kelas selama dua tahun dan di kelas 4 ia tidak naik selama setahun.

Seperti apa keadaan saat itu? rumah dipenuhi kemarahan. Ayah yang marah lantaran anak lelaki satu satunya tidak secemerlang kedua kakak perempuannya, mama yang terus menyalahkan saya dan kakak yang tidak peduli kepada adik dan tidak mengajarinya apapun. Serta adik yang marah kepada ayah dan mama yang memaksanya untuk terus sekolah sementara jelas jelas ia tidak mampu. Saya dan kakak berhenti mengejeknya saat kenaikan kelas dan ia gagal untuk kedua kalinya. 

I was said: "Ihh... masa ga naik lagi sih?"
And he's silently crying and lowering his voice : "harusnya aku dimasukin SLB aja.."

Then it hits me, and started to accept his flaws.
Saya tidak tau pasti kapan kemarahan kemarahan terkait adik di keluarga kami berhenti. Yang pasti, setelah enam bulan saya meninggalkan rumah dan pulang sebulan lalu, adik menunjukkan rapornya dan membanggakan kenaikannya ke kelas enam. Juga nilai nilainya yang baik baik saja (walaupun, sekali lagi, belum secemerlang nilai saya dan kakak semasa SD dulu :P)

Kini adik sudah menjadi semacam anak tertua di sekolah and nobody's mocked him. Ketidaknaikannya justru menjadikan sosoknya dikagumi, semacam bad boy atau apalah, gatau kenapa dengan anak anak SD zaman sekarang --"

Di usianya yang begitu muda, adik sudah belajar untuk menghadapi masalah dan menjalani konsekuensi atas sesuatu yang bahkan bukan merupakan kesalahannya. Dia mampu menerima kekurangannya dan tidak menyerah atas itu. Tentu mama menjadi faktor terpenting dalam menyemangati dan memaksanya untuk tetap berjalan. Tapi bukannya kehidupan memang seperti ini? Saya saja masih memilih kembali ke dalam cangkang saat bertemu masalah di dunia luar.

Yang adik tidak tau, dia sudah mengalahkan saya sejak umurnya sepuluh tahun. Ia memang tidak menjadi juara satu enam tahun berturut turut, tapi kemampuannya menerima dan menghadapi masalah membuatnya akan baik baik saja di luar sana kelak. Amin.

:) selamat Ramadhan!!

Monday, July 09, 2012

Fearless

have no idea why this parkour cat should represents "fearless"
Menghabiskan beberapa belas menit untuk bengong dan menunaikan panggilan alam, saya berujung dengan postingan ini. Tentang rasa takut dan kedisiplinan. Setelah mencoba mengingat ingat kembali rentetan kejadian baik yang mengenakkan maupun tidak tahun tahun belakangan, saya tiba pada kesimpulan, sepertinya saya agak sulit untuk disiplin terhadap komitmen.

Saya tumbuh tanpa diajari rasa takut dan keharusan untuk tunduk kepada sesuatu. Bisa jadi karena Ibu tidak mengajarkan saya untuk takut gelap karena ada setan di dalamnya. Tidak melarang saya untuk menembus malam karena banyak orang jahat yang berkeliaran. Atau mungkin memang sayanya yang bebal dan menganggap setiap larangan sebagai tantangan :D

Yang pasti, sekarang saya menuai benih ketidaktakutan itu. Saya tidak merasa takut terhadap siapapun termasuk atasan dan orangtua. Sisi baiknya adalah orangtua saya merupakan orangtua terkeren sedunia dan mereka tau betul bahwa saya sayang mereka tanpa harus menunjukkannya dengan segala gesture -nani-anak-berbakti-yang-senantiasa-mencium-tangan-emak-sebelum-berangkat-kerja- sehingga hubungan saya dan orangtua baik baik saja walaupun dari luar saya cenderung terlihat kurang ajar. Muahahaha.

Dan ini menjadi masalah ketika saya harus berhadapan dengan kondisi baru, orang orang baru. Seolah menolak tunduk, saya tidak bersedia untuk bekerja di bawah orang lain dan berkutat dengan perintah perintah yang seolah inhuman. Harga diri saya mudah terluka walau itu hal sepele. Sebab mama selalu bilang, walaupun saya bukan orang kaya, bukan orang terkenal nan rupawan, saya masih punya harga diri. Dan karena nasehat ini berulangkali berputar di kepala saya, saya menjadi sedikit bereaksi berlebihan terkait harga diri-harga dirian ini.

Kemudian, saya menjadi semacam pemberontak ngambekan yang kerjanya bikin susah orang lain. Saya belum menemukan metoda sempurna untuk mempertahankan "harga diri" saya sambil tetap menunaikan kewajiban, sepertinya. Solusi, anyone?

Fearless, could be something that drag you deep down while driving you up high.

Monday, July 02, 2012

Rumah

Selama ini, saya hanya punya satu jawaban saat siapapun menanyakan saya bekerja di mana di Jakarta, sebagai apa. Saya bekerja di rumah produksi film, sebagai publicist. Dan ini akan menuai pertanyaan lain, publicist itu apa. Maka untuk alasan malas menjelaskan, saya selalu menyebutkan bahwa saya bekerja di rumah produksi film dan di sana jadi penulis.

Dan di sanalah saya tujuh bulan terakhir. Sebuah production house bernama Picklock Productions. Kantor hangat yang tidak hanya menjadi tempat bekerja untuk saya, namun juga rumah :) literally, selama Juni saya benar benar menjadikan kantor sebagai rumah. Dalam artian tinggal di sana :P

Dalam beberapa post terakhir saya rasanya sudah cukup menumpahkan kegelisahan saya terkait Jakarta dan rasa sepi yang terlampau sepi saat jauh dari rumah. Hingga akhirnya saya pulang dan berhenti bekerja di sana, 30 Juni kemarin. Belum saatnya, atau memang sudah masanya, entahlah. Saya tidak berani membuat pembenaran karena saya tau betul, yang saya lakukan adalah salah dan merugikan orang lain. Atau sekurang kurangnya, merepotkan orang lain.

Jakarta dan Picklock Productions sudah menjadi tempat yang menyenangkan untuk saya. Saatnya melanjutkan hiduo dan membuat halaman halaman baru. Untuk sementara, bertahan di Sampit dulu. Tidak banyak yang berubah dari saya. Saya tetaplah nani. Hanya saja, segala keskeptisan atas Sampit kini berubah. Tempat ini menyenangkan jika saya memandangnya dengan kacamata kesenangan. Sekarang kita coba lagi, Nan :)

Monday, June 25, 2012

Tentang Miskin dan Tidak Bertuhan


baru pulang kerumah. kelar nonton razia gelandangan dan pengemis. 

I hate to admitted, but I just cry, badly.
sebut saja aku berlebihan.
tapi mendengar kalimat "Suami sudah meninggal, kalau nggak ngemis mau makan apa," dituturkan nenek-nenek 79 tahun, nggak tahan juga.

ternyata, aku bisa nangis juga :D

hahahaha.
yang paling bertanggung jawab siapa? pemerintah? masyarakat? diri mereka sendiri?

tuhan?

entahlah.

"Memangnya nggak takut anaknya sakit bu? kalau di ajak ngemis malem-malem gini?"

"Tuhan yang menghidupkannya, tuhan jua yang mematiakannya,"

itu anak loh bu, bukan gameboy yang bisa di on-offkan atau dicabut baterainya.
nggak berlebihan kan, kalau lantas aku nulis
Sebuah Murka

Ketidakberdayaan ini membuat kami pesimis.
Ketidakmakmuran ini membuat kami apatis.
Kemiskinan ini membuat kami atheis.

Kami berdesak di antara jalan berdebu dan parit parit penuh kotoran.
Kami merajut nyawa dengan membanting segalanya di jalanan.
Kami tak lagi sekedar pemenuh peta Kalimantan.
Kami bernyawa, bersuara, tapi senantiasa teredam.

Wahai bapak bapak penjual tuhan.
Kami tak tau bagaimana perasaan bapak waktu bilang sumpah demi Allah di gedung kenegaraan.
Tapi kami orang orang desa sungguh takut bersumpah menggunakan nama tuhan.
Kami takut jika mengingkarinya kami akan berubah menjadi orang utan.
Kami tau ini terdengar klise, corny dan berlebih lebihan.
Tapi seperti biasa kami berkata “padamu harapan kami sandarkan”
Kami harap jawaban bapak tidak “seperti biasanya”, karena biasanya kami hanya menerima kata “tunggu hingga kebinet mendatang” sebagai jawaban.

Kami menjerit lewat puisi dan lagu.
sastrawan dan musisi adalah wakil kami dari dulu.
Kami hanya pesimis suara kami mampu menembus gedung kenegaraan itu.
Konon katanya temboknya tebal sekali, anti peluru.
Pantas saja, ketika kami menjeritkan kelaparan ini, mereka tidak tahu menahu.

Kami ini memang manja.
Kami memang terbiasa meraung untuk hentikan rasa lapar yang merajalela.
Habisnya, kami sudah kehabisan akal mengakali kemiskinan yang tak ada habisnya.

Mungkin bukan perkara benar-salah yang kita cari. Mungkin kita hanya perlu pembenaran atas segala ketidakpedulian. Mungkin saja.
Sampit Expo, 2010. Tuhan menyayangi kita semua.