Friday, February 24, 2012

Okay

Saya tau saya akan baik baik saja. Saya akan bersinergi dengan dunia dan segala keterasingannya. Saya tau saya mampu.

Hanya saja.. kadang sulit untuk menutupi rindu.

Disponsori Ingrid Michaelson - Be OK

Friday, January 27, 2012

Cerpen: Taksi

Pria itu menyimpan dendam. Pekerjaan sebagai supir taksi di Jakarta membuatnya merasa perlu untuk menumpuk dendam. Sekian tahun ia bekerja dan daftar dendamnya kian panjang.

Ia sepenuhnya tau, tidak ada yang salah dengan pekerjaannya. Tidak dengan jalan yang macet berjam jam. Tidak dengan penumpang penuh keluh yang membuat kupingnya jenuh berjam jam. Ia hanya kesal, dengan dirinya sendiri.

Pria itu menaruh dendam pada dirinya sendiri. Tentang ia yang tak kunjung mengunjungi anak istrinya di kampung. Tentang ia yang tak mampu memberi alasan jelas mengapa kontrakannya tak kunjung dibayar.

Hari itu matahari terbit lebih awal. Orang orang terbangun dan memulai rutinitas pagi, seperti biasa. Pria itu menguap panjang dan mengumpat kepada matahari. Kelambu berbau tembakau disingkapnya. Jalan jalan sempit, rumah rumah petak, anak anak kumuh. bau sampah menguar..

Ia mengeluh lebih banyak hari itu. Mengeluh atas matahari yang menyala terlalu panas. Mengeluh terhadap jalanan pagi yang lebih macet dari biasanya. Mengeluh pada pengamen yang bersepakat untuk memulai paduan sumbang lebih nyaring dari hari hari sebelumnya. Pria itu terlalu banyak mengeluh hingga ia mengeluh karena terlalu banyak mengeluh.

Pria itu tau betul bahwa pekerjaannya tidaklah terlampau pelik. Ia hanya datang di pagi hari, mengendarai mobil dari satu titik ke titik lain dalam rentang jarak yang tak terlampau jauh. Ia duduk di kursi nyaman dengan embusan AC, menepi sesekali jika merasa penat. Kota itu terlampau kaya hingga pria itu nyaris tak pernah kuatir atas tenggat setoran. Pun ia terus mengeluh atas gajinya yang terlampau sedikit untuk menghidupi dirinya sendiri.

Istrinya di kampung tak pernah meminta materi. Pria itu tidak menemui sekalipun masa di mana istrinya meminta kiriman uang. Wanita yang dinikahinya tak berapa lama itu hanya meminta kehadirannya dalam ujud fisik. Itupun sulit dipenuhinya, dua hari libur dalam sebulan bukan waktu yang cukup untuk pulang ke tempat terpencil serupa kampung halamannya.


Pria itu terus menggerutu hingga siang datang. Ia mulai merasa ada yang aneh. Tak satupun orang di sepanjang jalan yang melambai ke arahnya. 


#eaaaaa #NaniAnakYangKeabisanIdediTengahCerita #DilanjutinNantiYaa


Thursday, January 12, 2012

Menepati Janji

Dua tahun lalu, akhir desember tahun 2009, saya bangun tidur dengan sebuah ide.

"Kayaknya kalau bisa punya novel sendiri, seru nih"

Dan sebulan setelahnya, awal Pebruari 2009, Senja Merah lahir. Ia mengalami pergantian judul berkali kali. Atas pertimbangan kelabilan saya, tentu saja :D Senja Merah sempat berjudul Jejak Darah, Kisah Sejarah, dan beberapa judul gajelas lain yang sayapun ga ngerti apa maksudnya.

Naskah novel itu tersimpan selama dua tahun dalam sebuah folder di komputer rumah. Dalam perjalannya, meski sempat diedit satu-dua kali, Senja Merah nyaris tak tersentuh. Hingga pada suatu malam di tahun 2011, seorang kawan mengenalkan saya dengan mbak Nita, ia adalah editor di Kurnia Esa Writers Management. Senja Merah mendapatkan atensi penuh dari saya, diedit dan perbaiki hingga menurut saya, sempurna.

Tapi ia tak pernah terbit, ia tak pernah disentuh pemilik mata yang kerap disebut pembaca. Sebagai seseorang yang telah melahirkan naskah itu dalam perjuangan (well, ini overrated) selama sebulan, saya semacam merasa bertanggung jawab untuk memberi penghargaan kepadanya. Untuk menemui dunia luas, atau setidaknya, dunia maya.

Dan inilah naskah penuh Senja Merah yang saya janjikan untuk dibagikan gratis jika selepas 2011 ia tak tertuang dalam wujud nyata. Selamat menikmati :)

Sinopsis

Wenggini adalah gadis remaja yang lahir dan tumbuh pada sebuah desa kecil di kaki gunung. Ia hidup sebagai pribadi takut yang dirongrong teror dari negara. Hingga sebuah kejadian mengubah hidupnya. Ia bertemu Sloan, pria yang mengajari Wenggini untuk menjadi berani. 

Kehidupan berputar dan keduanya harus melalui banyak hal. Perjuangan, Perubahan, dan tentu saja, Cinta...

Download di sini


Terimakasih untuk yang mengunduh dan mengapresiasi Senja Merah. Namun perlu diingat ini merupakan sebuah karya yang memakan banyak korban (mostly kepala saya yang pening dan jemari yang mengkaku) sehingga diminta untuk tidak mengubah dan menyadur isi dalam tulisan tersebut tanpa seizin saya selaku penulis :)

Saturday, December 31, 2011

Resolusi 20

taken from here
Kali ini saya tidak memikirkan resolusi spesifik-lenjeh-dramatik seperti biasanya. Baik untuk tahun baru dan ulang tahun ke 20, sepuluh hari lagi. Bukan menjadi pesimis atas kemungkingan tidak terwujudnya resolusi itu, tapi lebih kepada saya sudah sangat cukup puas dengan apa yang saya punya sekarang. 

Tapi tentu saja, pada dasarnya saya adalah Nani yang selalu berpengharapan sangat tinggi. Dan semoga berkekuatan cukup untuk mengejar harapan itu lebih giat lagi. Menghadapi usia 20, menuju kepala dua, menjadi ketakutan tersendiri buat saya. Saya yang belum mampu merendahkan suara dan tidak terlalu bersemangat saat menguntai cerita, belum mampu mengimbangi percakapan orang orang sekitar saya, belum menjadi apa apa...

Sisi baiknya, saya berusia 20 tahun dan sekarang sudah di Jakarta. Memiliki pekerjaan yang (sepertinya) bisa menghidupi saya. Terlepas dari kausal terakhir, hey, saya di Jakarta! imajinasi terjauh sudah direngkuh, saya tidak punya banyak alasan untuk mengeluh terhadap hidup. 

Seperti resolusi resolusi sebelumnya, saya menutup postingan kali ini dengan sederet harap. Semoga saya bisa bekerja dengan lebih baik, menahan kangen terhadap rumah dengan lebih baik lagi, semoga dapet pacar #eaaaaa, semoga 9gag engga menjarah jiwa saya lebih jauh lagi...

semoga semuanya berjalan dengan baik baik saja, dan lebih baik lagi


Thursday, December 29, 2011

Politik

Ayahku tahanan politik. Usianya 39 tahun kala namanya muncul di media nasional. Di ulang tahunnya yang ke 40, ayahku dihukum mati. Kalimat terakhirnya yang kurekam adalah "Aku mati bukan karena politik, aku hanya kurang restu" 

Ibu merupakan orang yang paling terpukul atas kematian ayah. Ia mengutuk politik yang telah menjadikannya janda. Politik adalah hal terbusuk yang pernah ada, ia menggerogoti setiap jiwa lalu membunuhnya dengan semena mena. Di mata ibu, politik berwujud serupa monster, mungkin zombie. Sebab zombie membunuh, memakan dan menggerogoti.

Aku beranjak dewasa, keingintahuanku atas politik semakin besar. Bukan sebagai tataran zombie versi ibu, bukan pula dalam konteks pembunuh ayah. Aku ingin tahu mengapa poliyik begitu membius, hingga seorang pria tinggi besar dan berpendirian kuat seperti ayahku, terhasut.

Di suatu senja, ibu berteriak senyaringnya "Jangan sakiti ibumu seperti ini. Cukup ayah yang dibawa pergi." tangisnya membanjir. Tapi aku tetap pergi, belajar politik di benua seberang. Lama sekali, bertahun tahun aku tidak pulang. Pun memberi kabar. Sekali suratku terpulangkan, ibu tak sudi membaca rentetan kata pemberi kabar dari seorang anak pembangkang.

Tapi hasratku tak bisa dibendung, rasa ingin tahuku meninggi. Selama belajar aku mengalami kekaguman luar biasa. Politik adalah tempat di mana aku bisa didengar, memiliki ideologi sendiri dan bahkan, menularkan pandangan itu kepada orang lain. Kawanku bertambah banyak, dan semuanya sepaham denganku. Sungguh, politik menjadi semacam surga.

Kepulanganku tanpa hadir ibu. Tetangga bilang beliau sudah berpindah, ke tempat yang jauh, tidak jelas di mana. Aku kehilangan fokus mencari ibu saat seorang di pemerintahan mengajakku bergabung. Akupun berpolitik. Bermain politik, menjadi politik. Beberapa tahun seusainya, aku berhasil menemukan ibu berkat kawan kawan intelku.

"Saya kangen ibu," Ibu mendelik, beliau sulit percaya sebab wajahku terlalu sumringah untuk seseorang yang tengah merindu. Wajahku memang aneh belakangan ini, mungkin lantaran senyumku selalu berlebihan. Senyum itu berharga banyak, untuk menunjukkan keramahan pada calon pemilih, petinggi, penguasa.. atau mungkin aku terlalu sering melihat senyumku sendiri di papan papan besar pinggir jalan.

Tapi ibu tetap memelukku. Sebenci apapun beliau terhadap politik yang sudah menjadikannya janda, aku tetaplah anaknya. Bertahun tahun kemudian ibu selalu hadir dalam kepentingan politikku. Ia berdiri di belakangku saat pidato, saat aku menjadi ketua partai. 

Ia juga hadir, tersenyum, saat aku menjadi presiden.

Tahun berlalu dan hubunganku dengan ibu baik baik saja. Aku bahkan sudah menarik kesimpulan bahwa kebenciannya terhadap politik sudah sirna. Aku memang tak mampu menghapus status jandanya, tapi setidaknya aku memberinya rumah besar dengan banyak pelayan untuk diajak bicara. Sehingga ia tidak benar benar kesepian. Yang aku tidak tau, sediam apapun ibu atas ulahku, ia tak pernah setuju aku berkawan dengan politik.

Di suatu sore, aku ditawan. Dalam sebuah bangsal di pulau buangan aku diinterogasi. Tentang keinginan terselubungku mengubah haluan negara. Mengkiblatkan ideologi ke muka benua asing tempatku bersekolah dulu. Aku tak mampu melawan, sebab itu ada benarnya walau tak sepenuhnya benar. Lagipula, dengan semua ikatan dan siksaan itu, tak sanggup rasanya aku melawan. Bersuarapun tidak, lidahku telah diiris oleh catut dan bayonet..

Usiaku menjelang 35 saat media nasional mendengungkan namaku berminggu minggu. Enam bulan setelahnya, puluhan bersenjata berbaris di depanku tepat sebelum kantong berwarna hitam membungkus kepalaku. Aku tau aku akan mati. Presiden termuda akan dieksekusi mati. Entah insting apa. aku seperti melihat ibu di atas genting. Walau kutau, sungguh, itu mustahil adanya.

Semua prejudis ibu akan politik menguar. Namun aku tetap anaknya yang bandel. Aku tersenyum dan menggumam gumam..

"Aku mati bukan karena politik, aku hanya kurang restu"

Dan rupanya, itu kalimat terakhir yang direkam anak lelakiku.

Jakarta, 29 Desember 2011.

Monday, December 26, 2011

Mereka Tidak Lagi Membaca Koran

"Kulihat di koran, orang orang saling membunuh" ujarnya, suatu pagi saat sepucuk koran kupungut dari halaman depan selepas dilempar dengan penuh emosi oleh pengantar koran yang sepertinya hari ini lagi lagi anaknya terancam tak makan.

"Oh ya?" kubalas dengan tatapan biasa seperti biasa seperti pagi pagi biasa yang kami lewati dengan biasa di teras biasa tempat kami berbincang biasa sebelum akhirnya kami memutuskan untuk berkemas dan berangkat bekerja. Seperti biasa.

Ia menepis tangannya sendiri, merebut koran dari genggamanku. Dibentangnya halaman pertama, aku berdesis, jijik.

Dari dalam koran keluar darah, menetes netes merah kehitaman. Darah terus mengalir hingga menggenang di ubin teras kami yang berwarna abu abu. "Apa ini?!" Pekikku nyaring saat tangannya terus membolak balik halaman koran yang sempat kukepit itu. Darahnya terus mengalir, warnanya kian pekat, teras kami banjir darah. Aku menjerit naik ke atas kursi. Kupukul pukul lengannya yang duduk sambil membuka buka koran di sampingku. Wajahnya datar, darah menggenang semata kaki.

"Ini darah" Jawabnya singkat, kini diremas remasnya koran hingga membentuk bulatan, lantas melemparkannya menembus pagar rumah kami. Tangannya berlumuran darah, tapi tak diindahkannya, ia malah menjumput kue kering yang kubawakan untuknya. "Koran itu darah" lanjutnya sambil mengunyah.

Aku bisa melihat darah yang menggenang semata kaki di teras kami. Menggenang begitu tenang, tanpa riak. Ia menyeruput teh yang kuseduh, kakinya berkecipak, memainkan genangan darah. Matanya menerawang jauh, menembus pagar dan menuju gumpalan koran yang ia lempar .

"Atas nama apa saja, manusia bisa membunuh sesamanya.." ia mendesah kali ini. Aku menatap jemari kakiku sendiri yang terlipat di ujung kursi, masih jijik dengan genangan darah di teras kami. "Apa maksudmu?"

"Aku melihatnya, kemarin sepulang bekerja, senja menggantung dan seorang perempuan terjun dari jembatan penyeberangan," ia menyeruput kopinya, menghela nafas. Begitu kuat hingga menimbulkan riak pada genangan darah di mata kakinya.

Dalam helaan lain ia menguntai kalimat "Dari atas jembatan aku melihat darah yang mengalir dari hidung, telinga, mulutnya tak berapa lama setelah ia menghantam aspal. Lalu dua mobil menggilasnya hingga jalanan benar benar terkejut dan berhenti berlari,"

"Dia mati, tentu saja." telunjuknya mengarah jauh "Dan itu, merekamnya. Merekam tubuh wanita muda yang terjun dari jembatan penyebrangan dengan rentetan kalimat dan foto tanpa sensor etika"

Aku tiba tiba menggigil. Setengah bergidik. Betapa lembaran kertas itu sudah merekam banyak nyawa..

Thursday, December 22, 2011

Perpindahan

Saya tidak pernah benar benar mengerti tentang konsep transformasi. Apa yang sesungguhnya telah berubah, atau diubah, atau setidaknya, yang dicoba untuk dirubah. Saya juga kesulitan memahami apakah saya benar benar telah mengalami fase perubahan. Setidaknya dangan banyak sekali resolusi dan harapan harapan untuk berubah, saya -seharusnya- sudah menjadi sesuatu yang lain. Tidak sepenuhnya menjadi asing. Tapi.. berubah.     
Tapi jauh di dalam sana, saya merasa sama. Saya tetap menjadi individu yang tidak suka menjadi disukai. Menjadi orang yang tidak pandai berbicara. Saya tetap saya, hanya dalam wujud -ah ga juga, saya tetap sama seperti dulu. secara harfiah maupun analogi- dan sedikit gaya bicara.     
Yang berubah hanyalah titik. Layaknya hukum fisika yang merangkum tentang teori teori perpindahan, maka saya mengalami itu. Saya berpindah. Dari titik A ke titik B. 

Sesederhana itu.

Monday, December 19, 2011

Resensi Film: 3 Hati dua dunia, satu cinta


taken from here
“Dia cakep banget Cid, anaknya sopan lagi. Umi demen, tapi lu harus tau, dia beda sama kita…”

Perbedaan menjadi tema besar dalam film garapan Benni Setiawan (Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku) berjudul 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta ini. Seakan menegaskan tema tersebut, film ini merangkum begitu banyak perbedaan sepanjang 98 menit. Mulai dari status sosial, agama, suku, hingga kesenjangan pendidikan membuat Rosid (Reza Rahardian) dan Delia (Laura Basuki) harus berjuang sekuatnya untuk memenangi hati orangtua masing masing. Mampukah?


Meski memiliki tema yang cukup sensitif, film ini disajikan dengan ringan. Hadirnya lelucon segar yang disampaikan oleh beberapa cameo menggiring penonton untuk tidak mengerutkan kening untuk memahami drama yang dibangun.


Sosok Abah dalam film ini akan mencuri banyak perhatian. Karakter yang begitu polos sekaligus tegas (walau pada akhirnya, luluh juga) berhasil mengingatkan penonton pada perjuangan seorang ayah untuk memastikan anaknya bahagia (dalam film ini, standar “bahagia” Rosid adalah hasil reka sang Abah)


Sayang, upaya untuk menampilkan perbedaan sebagai pembalut film terkesan berlebihan. Rosid seakan hadir sebagai pembaharu ajaran islam yang begitu dibenci (adegan penyerangan ormas islam ke hunian Mahdi) namun sekaligus dianggap biasa saja (reaksi masyarakat selepas penyerangan)


Secara keseluruhan, film ini mampu mengangkat isu yang tengah ramai di negara kita ­–agama- dalam sebuah sajian romantis berbalut puisi puisi W.S Rendra. Sebuah tontonan yang menghibur dan memberikan pesan baik untuk mempertahankan ingin dan terus memperjuangkannya. (*)