Wednesday, June 20, 2012

Suatu Sore, Jakarta

Di suatu sore yang indah, Nani memutuskan untuk jalan jalan dan menggunakan moda transportasi tersohor bernama busway. Oke, ini memang bukan kali pertama saya naik busway, ini ketiga kalinya. Oh betapa beruntungnya saya yang tidak harus banyak bersinggungan dengan transportasi umum lantaran saya tinggal di kantor. Jadi ya.. ga harus jalan jauh kalo mau ngantor. *krik* *krik*, ditambah dengan ke mana mana selalu menggunakan taksi, maka kali ini perjalanan menggunakan busway terasa HUWOW.

Rute saya adalah Cipete-Pasar Festival. Berbekal situs ini artinya saya harus naik dari halte Pejaten menuju GOR Sumantri.Melewati delapan halte di jalur 6. Okelah, kalo udah nyampe halte busway mah gampang, tinggal duduk manis lalu sampai. Dengan tekad bulat untuk tidak menggunakan taksi, saya naik angkot nomer sebelas rute pondok labu-pasar minggu untuk mencapai halte. Tiba di perempatan Cipete Raya - Jeruk Purut, angkot yang saya tumpangi menunaikan fitrahnya sebagai angkot, memotong jalan yang seharusnya memutar jauh di pangeran antasari dan tentu saja, memacetkan jalan yang semula padat merayap.

"Gabruk!!" angkot dilempar aqua gelas.
Angkotpun BERHENTI ditengah kemacetan dan berteriak ke mobil pelempar yang sudah maju beberapa meter. "Kalau berani turun lo!" 
Saya teringat dengan kasus serupa saat menuju Blok M di suatu senja dengan metro mini nomer 610. Metro mini memotong jalan dan digebrak polisi lalin. Tak lama setelahnya menyerempet xenia dan berakhir dengan jerit histeris saya dan dua penumpang cewek lain, meminta turun.
Klakson kian menyaring. Saya sudah putus asa, merangsek hendak turun namun kemudian angkot menginjak gas kenceng dan ugal ugalan sepanjang Jeruk Purut. Sejurus kemudian saya melihat batu nisan dan karangan bunga berputar di kepala saya. Bukan inget mati, tapi kebetulan memang lewat pemakaman Jeruk Purut.

Eniweeeiii, setelah melintasi jalan Benda-Pejaten Barat, saya tiba di jalan raya Buncit, dekat Pejaten Village. Saya harus mengkalikan empat lebar jalan raya di kampung saya untuk mengimbangi jalan Raya di Jakarta. Ini salah satunya. 
Sudirman, diambil dari sini
Dapat dipastikan kalo nyebrang jalan di atas saya keburu dilindes, atau sekurang kurangnya butuh waktu dua hari untuk sampai dengan selamat di sisi jalan lain. Yang menyenangkan dengan naik busway adalah: saya hanya perlu dua puluh menit perjalanan dari Cipete ke Pasar Festival. untuk diketahui, Cipete itu di Jakarta Selatan dan Pasar Festival ada di Jakarta Pusat. Ga sejauh Sampit - Palangkaraya sih.. tapi kalau iseng nyobain naik mobil dengan rute yang sama di jam empat sore, jam tempuh akan sama seperti Sampit-Palangkaraya, 3,5 jam even more :P
Kuningan jam 3 sore, ga macet sih.. padet aja.
Berhubung busway punya jalurnya sendiri dan kuenceng lajunya, dalam sepuluh menitan saya akhirnya nyampe di GOR Sumantri. Dan disuguhi ini

ITU JEMBATAN PENYEBRANGAN SEPANJANG PANJANG ULAR NAGA AJA GITU!!!
Dengan segenap nafas yang tersisa, sore itu empat kali banyaknya saya naik-turun tangga dan penyebrangan. Pulang pulang kumal, dan bau ketek. Cih. Di Pasfest saya sempat mengambil beberapa foto.


Gedung Global TV


Lokasi suting acara tipi yang tersohor itu, Radio Show

Bakrie Tower. Itu gedungnya tinggi banget, item gelap dan kokoh *okay, mulai mesum*

Black campaign Jokowi. Nemu di jalan RS Fatmawati
Sore saya berakhir dengan pulang dari halte GOR Sumantri menuju halte Philip Pejaten. Kali ini saya lupa berhitung bahwa itu jam 4.50 di hari Rabu. Jam dan hari kerja. Halte yang semula seperti ini saat saya berangkat,

Cuma ada mas mas, bisnya juga lengang, jam 3 sore.



Menjadi seperti ini

Gambar dari sini, ga bisa ambil gambar sore itu, tapi kurang-lebih sepadet ini
Bis penuh sesak, saya ga becanda saat di bis pertama yang lewat ada mas mas dengan pipi menempel di kaca bis saking sesaknya. Saya sendiri berpadat padat di antrian masuk bis hingga setengah jam lebih sampai akhirnya, di bis ketiga bisa masuk. Bisnya lengang? HUAHAHAHA sepanjang jalan saya harus nempel dengan mbak mbak di samping kanan dan mas mas di belakang. Pesan moralnya jika sedang haus sentuhan, cobalah naik busway di jam dan hari kerja. Insya allah dapat pelukan-ga-sengaja atau sekurang kurangnya, grepe.

Di tiap halte, bis berhenti dan semakin menambah penumpang. Bis makin sesak hingga di halte mampang prapatan, belasan mas mas kantoran memaksa masuk melalui pintu belakang yang memang tidak dijaga (jadi cuma ada satu petugas di pintu depan yang bertugas bukain pintu dan mengomando kalo bis udah penuh). Mas petugas mengumpat serapah soal "Mas udah penuh mas jangan dipaksa." "Mbak geser ke tengah mbak, geser lagi" "Mas udah penuh mas nanti kejepit sakit loh" (and I was like, you don't say?!")

Dari halte mampang prapatan bis kembali jalan, pintu belakang ga bisa ditutup hingga penumpang bagian belakang memaksa maju agar pintu bisa ditutup.
"AW" suara mbak satu
"Aduh!" suara ibu dua
"Allohu Akbar" suara mbak tiga
"Cangcimen cangcimen" suara mas mas yang mencoba melucu di tengah padatnya bis.

Saya cuma tersenyum dan melihat melalui jendela, ke kemacetan parah kuningan. Naik taksi memang enak, adem ber-AC dan tentunya lega, namun memakan berjam jam. Naik busway emang enak, sepuluh menit sampai namun harus berdesak desak kalau berangkatnya ga berhitung pakai waktu. 

Tapi yang pasti, perjalanan saya sore itu hanya memakan sebelas ribu rupiah :) sementara kalau dengan taksi.. sudahlah, kita tidak perlu membahas berapa tarif taksi, Nan. Apakah jera naik trans jakarta? jawabnya tidak. Saya entah kenapa justru menikmati ketersesakan bis semacam itu, sensasi naik turun tangga dan menertawakan mobil mobil yang terjebak macet saat busway melaju kencang di jalurnya sendiri. Mungkin lain kali harus pinter milih jam naik aja kali ya.


Sunday, June 17, 2012

Superior

Tidak ada kaitannya dengan Super Junior maupun produk Super Bubur. Menurut situs ini, superior adalah kondisi di mana seseorang berperasa lebih soal siapa yang lebih baik, lebih kaya, lebih berkuasa, lebih tinggi dalam berbagai kondisi strata dan status sosial lainnya. Menilai orang lain adalah perkara gampang, buatlah suatu standar perilaku tertentu dan lakukan analisa sederhana (sesederhana membaca rangkaian tweetnya, atau beberapa postingan facebook beserta foto profil, misalnya) lalu voila! berbagai label akan segera menempel. Mulai dari snoob, noob, hipster, alay, atau istilah apapun yang memberikan perasaan lega lebih lebih, superior.

Namun mudahkah bagi kita untuk memberikan standar perilaku tertentu dan melabeli diri kita sendiri dengan berbagai adjektifa? Atau mencoba jujur bahwa pada beberapa level kita sedikit melewati batas dan mencari perlindungan di balik kekurangan seseorang, atau sekedar merasa takut atas insekuritas lalu hidup dengan tameng bernama superioritas.


Konon, kesombongan berasal dari peraaan rendah diri yang tak terselamatkan. Seandainya logika ini bisa berlaku pada kausal kausal lain, maka saya harus berbangga diri menyebut diri saya cerdas sebab kebodohan saya nampaknya sudah tak terselamatkan. Atas asumsi pribadi, saya memandang superioritas adalah kesombongan yang lebih 'sopan' karena ia tidak melibatkan orang lain sebagai objek kesombongan kecuali dirinya sendiri.

Thursday, June 14, 2012

Japan Porn and A Slightly Annoying Explanations

Gambar nemu di google
Keinginan untuk merilis postingan semacam ini bermula dari seorang teman yang melayangkan sebuah link ke messenger saya. Adalah sebuah situs hentai yang nampaknya luput dari upaya pemblokiran kemkominfo dan masih bisa diakses dengan mudahnya. Di ujung video saya hanya mengumpat dan bersegera membalas pesannya. "That was the kinkiest, worst hentai that I've ever watch!" dan kami tertawa panjang.

Iya, saya mungkin terkesan seperti maniak yang gemar membahas hal hal mesum di media sosial. Tapi sungguh, ini kali pertama saya menonton hal tersebut dan gelisah lantaran tak tau harus menunjukkan ekspresi semacam apa. Kalau pernah nonton Two Girls One Cup, ini tuh lebih njijiki. Entah kenapa saya masih berkawan dengannya.

Yang menarik perhatian saya adalah, nyaris di setiap JAV dan hentai yang bersebar tersebut, pemeran wanita selalu dalam keadaan dipaksa melakukan seks. Teriakan dan tangisan mendominasi satu sesi video. Terasa aneh, sekinky itukah selera orang orang Jepang? Oya, satu lagi, dalam beberapa situs bahkan kesulitan mengkategorikan tayangannya ke dalam bondage, BDSM, hardcore dan bizzare. Semuanya aneh. Dalam satu video ada perempuan yang dijadikan persembahan untuk alien nudis. Rentetan keanehan terjadi sepanjang 6 menit.

Kalau tertarik bisa baca baca di sini  tentang sejarah pornografi Jepang. Setelah membaca artikel tersebut, saya semacam kaget dengan peryataan bahwa tingkat kekerasan seksual (baik pemerkosaan, pelecehan dan kekerasan seksual dalam rumah tangga) di Jepang justru kecil. Padahal, dengan logika bahwa pornografi di negara tersebut dibebaskan/legal dan akses terhadap hal tersebut yang tergolong mudah, semestinya mempertinggi angka kekerasan seksual tersebut.

Sementara di Jakarta, di mana lokalisasi sudah ditiadakan dan fatwa haram pornografi digaungkan, terjadi 68 kasus pemerkosaan terlapor sepanjang 2011. Naik 13 persen dibanding tahun sebelumnya. Dan di Indonesia terdapat 4.845 kasus sepanjang 1998-2010. Oke, ini semakin jauh dari konteks awal. Kita bicara apa tadi?

Tuesday, June 12, 2012

Konsep Waktu

Satu satunya yang berhasil diurai dari waktu adalah kalkulasi. Hukum fisika menyebutnya t, kode untuk time, waktu. Satuannya sekon, banyak rumus yang kemudian memuatnya. Dari yang paling sederhana seperti gerak lurus beraturan (s=v.t) sampai yang ribet seperti hukum kekekalan momentum (m1.v1 + m2.v2 = m1.v’ + m2.v’) di mana sebelum mengerjakannya, v' harus dihitung dari m/s. Yes, kita harus menghitung sebelum mulai menghitung, Ini sebabnya saya tidak menjadi fisikawan :p

Setelah kalkulasi didapat, baru kita bisa menimbang nimbang waktu. Bermain di area bernama estimasi. Perkiraan. Tidak ada yang pasti, bahkan dalam ilmu pasti sekalipun. Karenanya kita mengenal phi, atau yang tengah popular berkat serial Revenge, infinity symbol. Infinity times infinity. Tak terhingga.

Saya tidak cukup pandai untuk menjabarkan waktu dari perspektif newton atau james joule. Saya bahkan tidak tau siapa mereka. Namanya cukup keren buat memberikan impresi bahwa saya cukup mumpuni soal ilmu eksakta. Itu saja, demi pencitraan. Yang saya coba sampaikan adalah, saat ini saya tengah mencoba untuk mengelabui waktu; atau setidaknya, bersembunyi darinya.

Saya 20 tahun Januari lalu. Saya tau, saya sudah di Jakarta dan berhasil menghidupi diri sendiri dengan menulis. Saya bekerja kepada orang terbaik yang pernah saya kenal dan sungguh saya bersyukur atas itu. Saya dikelilingi orang orang yang percaya terhadap kemampuan saya dan rasanya keterlaluan kalau saya tidak berterimakasih. And I do, for all of my heart, I deeply thank for everything that I already achieve.

Saya hanya lulusan SMA dengan usia baru 19 tahun saat ke Jakarta. Lack of experience, lack of knowledge and still, there's someone that believing in my ability. I'm grateful.

Kembali ke perkara waktu. Saya dihantam satu pertanyaan saat pulang ke Sampit. "What am I gonna do with my life?" saya tau, ini retorikal, saya tau betul jawabannya sejak lima tahun lalu. Bahwa saya ingin jadi penulis dan hidup sebagai penulis. Now here I am, writing and earn money. Yang saya lupa pikirkan adalah, apa yang akan saya lakukan setelah keinginan tersebut tercapai.

Waktu menjadi hal yang menakutkan belakangan ini. Akhir tahun saya akan pulang ke Sampit, mencoba membantu abah untuk menstabilkan keuangan keluarga kami pasca kabar konversi minyak tanah ke gas (baca posting sebelumnya). Kenapa pulang? bukannya Jakarta menawarkan kesempatan menghasilkan uang jauh lebih besar dibanding Sampit? Saya sadar itu dan sedikit banyak menjadi pertimbangan sebelum akhirnya saya memutuskan berhenti. But big income comes with big responsibility. Dan saya belum mampu menghadapinya, itu saja.

Waktu pula yang melemparkan saya ke masa masa silam, di mana saya tersenyum lebar di depan cermin di suatu pagi, bersiap untuk pertama kalinya terbang keluar pulau, ke Jakarta. Melemparkan saya ke gambaran antusias seorang Nani yang pertama kalinya menyentuh dan mengoperasikan mac computer. Makan di Burger King, KFC, Mc Donald, A&W, dan sederet makanan yang sebelumnya hanya saya lihat di layar televisi. Juga ada Nani yang terbengong bengong menonton Ari Reda di Bentara Budaya, teater teater di Gedung Kesenian Jakarta, Monolog Inggit di Salihara dan Nani yang mencoret satu per satu rincian mimpi di bucket list-nya. Saat ke Sushi Tei, saat nonton Bandung Berisik, dan make fun with Pizza HUT waitress.

Lalu mengapa harus pulang ke Sampit jika Jakarta menawarkan begitu banyak kemungkinan untuk mewujudkan mimpi? kenapa harus menyerah sekarang dan berhenti sebelum menjadi penulis hebat dan punya kehidupan yang settle? Bukankan selama ini saya adalah satu satunya orang yang berkoar tentang pencarian rasa nyaman di ibukota, yang menawarkan segala yang tidak Sampit punya?

Entahlah, saya tidak ingin bercerita terlampau panjang mengenai batasan rasa nyaman dan definisi settle. Yang saya tau, hidup harus terus berjalan dan keputusan tetap harus diambil. Soal resiko, kita coba untuk mengelabui waktu dan hadapi kemudian, Nan..

Jakarta, 13 Juni 2012
Cipete tengah malam
Sore - Freiman





Tuesday, June 05, 2012

Konversi Minyak Tanah ke Gas, Berita Gembira (?)

foto diambil dari sini
Masih ingat kebijakan pemerintah berupa peralihan pengggunaan minyak tanah ke gas beberapa tahun lalu? saat itu kompor gas dan tabung gas 3 kilo berwarna hijau menjadi buah bibir. Di Jakarta, konon program ini sudah digalakkan dan tergolong berhasil. Tak heran jika kini susah menemukan minyak tanah dijual di warung warung depan gang. Berganti dengan tabung tabung hijau unyu, berderet banyaknya. 

Program nasional ini secara perlahan diterapkan ke daerah daerah. Tercatat Aceh, Banjarmasin dan beberapa kota lain tergolong sukses dalam upaya konversi ini. Tujuannya jelas, pasokan minyak tanah dunia menipis dan negara ini mulai keteteran untuk melakukan impor. Dengan penggunaan gas, semoga kita semua bahagia. iya, sesederhana itu.

Di Kalteng sendiri, kampanye penggunaan gas mulai bergaung. Didukung dengan kelangkaan BBM yang saya alami sendiri dua minggu terakhir saat berlibur di Sampit, kota kelahiran saya. Minyak tanah melonjak di harga 7.600 per liter di tingkat pangkalan. Di eceran, harganya bisa mencapai 8.000 per liter. Sementara untuk kebutuhan memasak -contoh penggunaan mitan paling sederhana- setidaknya untuk sehari akan menghabiskan satu liter minyak tanah untuk satu kompor. 

Sementara di rumah tangga konvensional, rata rata memiliki kompor dua buah. Enambelas ribu rupiah sehari untuk bahan bakar memasak. Tentu saja, menggunakan gas tampak seperti kabar baik untuk kantong kita. Kabarnya, dalam enam bulan ke depan, konversi minyak tanah ke gas ini akan digalakkan dan goalnya adalah, seluruh rumah tangga di kalimantan tengah menggunakan kompor gas dan kita semua bahagia.

Kabar ini tidak sepenuhnya menyenangkan bagi keluarga saya. Abah, adalah pedagang minyak tanah keliling. Beliau berada di tingkat pengecer yang mencari keuntungan 400 rupiah perliter minyak tanah yang berhasil dijualnya. Dengan adanya konversi ini, Abah mau jualan apa? beralih menjadi pedagang gas berarti memerlukan modal. Sementara dalam kondisi sekarang.. ah pokoknya ribetlah.

Bukan saya tak senang dengan adanya kebijakan yang konon akan membuat kita semua bahagia ini. Bukan pula berdoa agar kampanye konversi ini gagal. Kita hanya tengah bingung, setelah enam bulan nanti, bayar kredit motor, mesin cuci dan bayar sekolah adik gimana caranya...

Tuesday, May 22, 2012

Kilasan Bandung Berisik 6

Lima sore di 18 Mei saya dan Alfi menuju Bandung. Berwanti wanti akan tertinggal banyak penampil di Bandung Berisik 6 yang sudah open gate sejak pukul satu siang. Benar saja, kami tiba di leuwipanjang pukul delapan malam dan harus berkutat dengan macet sepanjang kopo, menuju lanud sulaiman, tempat acara digelar. Ratusan orang sudah mengantri keluar venue. Untuk hari pertama acara hanya sampai pukul sepuluh malam.

Setengah sepuluh malam kami tiba di venue. Tertahan di depan lantaran tiket belum di tangan. Melewatkan Burgerkill, the Sigit dan beberapa band yang tampil di hari pertama. Kami terlupa bahwa di hari kedua libur panjang 17-20 Mei, Jakarta-Bandung akan dibanjiri kendaraan dengan volume berkali lipat dari hari biasa. Sebagai konsekuensi, di bandung berisik hari pertama saya harus terpuaskan dengan merekam Jasad, Besok Bubar dan Raja Singa dalam ingatan. 

Berlumpur
Saya mendapat kabar bahwa bandung tengah sering hujan hingga H-2 bandung berisik diadakan. Sudah terbayang seperti apa bentuk venue yang notabene adalah lapangan rumput setelah diguyur hujan dan dijadikan arena moshing-pogo di hari pertama. Sebagai antisipasi, sempat terpikir untuk berbekal jas hujan dan boots. Tapi kemudian batal, anak metal kok takut ujan :P
Tong, sabaraha dapet lelenya tong?
Tidak saya maupun Alfi mengira kondisi depan stage bakal seperti di atas. Kami baru memutuskan untuk merapat ke stage saat Beside menggeber panggung jam lima sore. Kondisi lapangan sangat, sangat berlumpur bekas guyuran hujan di hari pertama. Tanah yang liat membuat pergerakan menjadi susah sehingga tak heran jika ada yang berkomentar begini di laman resmi facebook Bandung Berisik.

Selain boots dan jas hujan, kita mungkin perlu berbekal cangkul...
Pengamanan ketat yang terkesan diketat ketatkan membuat banyak kawan berkomentar tentang betapa tidak nyamannya proses masuk ke dalam venue. Namun terlepas dari segala kendala teknis, Bandung Berisik hari kedua berhasil memenuhi espektasi tertinggi saya dari pagelaran ini. Secara personal tentu saja ini adalah kali pertama saya ke Bandung dan menonton event yang sejak lama ingin dihadiri ini. Lebih dari itu, tiga panggung (Apocalypse, Inferno dan Holocaust) menggeber tanpa jeda dan membuat semua hasrat akan musik keras, terpuaskan!

Sing a long Aku Adalah Tuhan, Beside. Tepat setelah mereka mengumumkan bubarnya mereka adalah hoax



Catatan Personal
Pergi dan melihat langsung pagelaran Bandung Berisik adalah keinginan yang saya simpan sejak lama. Tepatnya setelah membaca buku Myself Scumbang di tahun 2007. Namun kondisi serba tidak memungkinkan. Saya berada di tengah kalimantan, tidak memiliki rekan berpetualang dan sebagainya dan sebagainya. Dan ketika ini akhirnya terpenuhi, banyak momen emosional yang mungkin terdengar berlebihan, saya rasakan sepanjang Bandung Berisik 6, Maximum Aggression.
 
Untuk pertama kalinya, saya berada di tengah puluhan ribu metalhead, menyanyikan lagu yang sama, menyukai musik yang sama. Saya tersenyum kecil saat mengingat kelompok metal kami di Sampit yang tak sampai sepuluh orang jumlahnya. Bukan lantas merasa rendah diri atau gimana, lebih kepada terharu, seandainya saya bisa membawakan semua kesenangan itu dan membaginya kepada kawan kawan. Karenanya, tulisan ini dibuat.

Bandung Berisik 6 menjawab semua keinginan saya terkait pagelaran metal. Sound yang kenceng, crowd yang bersemangat (dan berlumpur), tata panggung dan konsep acara yang luar biasa. Bandung Berisik menegaskan posisinya sebagai yang akan selalu menjadi wadah bertemunya sahabat lama, kawan kawan baru dan tempat membagi cerita yang tak habis habis mengenai metal.

Sebelum masuk stage di hari kedua, saya dan Alfi banyak berbicara mengenai komunitas metal Bandung-Jakarta, kultur dan berbagai analisa yang kami telisik sendiri. Tepat sebelum akhirnya membeli tiket on the stage, saya melontarkan pernyataan: "Sampai saat ini gue masih mencari jawaban apa yang membuat mereka (menunjuk antrian panjang di gerbang masuk) mau berjauh jauh, berpanas panas, tanpa permudahan akses kaya kita, berkorban tidak hanya materi tapi juga fisik selama dua hari penuh."

Lalu malamnya, saya menemui diri saya sendiri berada di depan stage Inferno, terbenam lumpur hingga di atas mata kaki. Tersenyum lebar sepanjang Karinding Attack menghajar panggung dengan lagu lagu berbahasa sunda yang tidak sepenuhnya saya mengerti :)

Kalau Hyde L'Arc en Ciel melempar marshmallow dan coklat, Man Jasad melempar gehu ke penonton. oh well.
21 Mei siang saya meneruskan perjalanan sepulang dari Bandung menuju Sampit. Saat tengah mengantri di A&W bandara Soetta, seorang pemuda tanggung dengan sepatu yang masih berbercak lumpur mengangkat tangannya ke udara, menatap saya. Saya tersenyum lebar dan turut mengangkat tangan, kita sama sama mengenakan gelang merah bertuliskan Bandung Berisik. Gelang yang hingga saat ini terus saya pakai tanpa jeda.

***
Penulis yang mejeng di tengah lanud. Sok Kece.


Thursday, May 10, 2012

Kereta Berhenti Terlalu Lama


Stasiun dipenuhi gemuruh penumpang yang kian menyemut di muara lintasan. Kereta sudah terlambat dua setengah jam. Lelaki perempuan mencoba membunuh waktu dengan pikirannya masing masing. Ada yang melirik arloji berkali kali, ada yang mengeraskan volume pemutar musik yang digenggamnya sedari tadi.

Petugas stasiun terbata menenangkan segerombol pekerja yang menanyakan kapan kereta akan tiba. Senja sudah menggantung, langit sebentar lagi menjadi malam. Satu dua pekerja tak henti menggedor kaca kubikal penjual karcis. Kereta tak pernah terlambat selama ini.

“Aneh ya mbak, pas lebaran aja keretanya ndak sampai begini.”

Gemuruh suara penumpang yang terlambat keretanya makin menguar nyaring.

Puluhan orang menyesak di belakang garis polisi. Beberapa dari mereka menyalakan senter demi bisa melihat apa yang sedang terjadi. Penduduk sekitar lintasan kereta dikejutkan dengan suara lengking perempuan senja tadi. Suara lengking itu meningkahi deru kereta yang menjadi rutin bagi mereka.

Seorang polisi sibuk menyisir semak dan puing puin sampah, tangan kirinya memegang mangkuk dan tangan kanannya terselip sumpit. Tubuh pemilik lengking itu terhantam laju kereta hingga hancur. Serpihannya berserak di sekitar lintasan kereta.

Petugas polisi lain sibuk mengambil foto, bola mata yang terselip di sela rerumputan.

"Kita tidak mengenal konsep seperti itu Ratri!"

Pria itu menggegas langkahnya


"Ratri!"


Saturday, May 05, 2012

Jakarta

Menginjak semester kedua di Jakarta, dalam kegamangan kegamangan tak bertuan.

Saya terus merasa memerlukan penghiburan. Atas hidup, atas rutin, atas segalanya. Semakin ke sini, saya seperti terlepas dan melesak terlampau jauh dari titik saya berasal. Tidak menuju ke titik terbaik, saya justru kehilangan arah dan akhirnya, tidak lagi memiliki alasan kuat untuk tetap berada di Jakarta.

Berinteraksi dan berproses dengan makhluk hidup itu ternyata sulit. Saya kesulitan menyampaikan maksud, terbentur keterbatasan keterbatasan yang tidak bisa saya ungkapkan. Atas nama harga diri dan etika dalam bekerja. Saya seharusnya tidak asing dengan keadaan ini. Di beberapa tempat sebelum ini, sayapun mengalami kondisi serupa. Hanya saja, saya keburu berhenti, keluar dan pergi tanpa belajar tentang cara mengatasinya.

Maka sebutlah saya tidak cukup bekal untuk menghadapi keterkejutan keterkejutan ini. Perubahan yang rasa rasanya terlampau besar untuk saya peluk. Paradoks terbesar adalah jakarta berisi 10 juta manusia dan saya merasa benar benar sendirian di sini.

Tapi, bukankah tinggal dan hidup di Jakarta telah menjadi mimpi besar saya sejak, sebutlah, 5 tahun belakangan? bukankah saya menghabiskan waktu untuk menakar nakar probabilitas hidup di kota ini nyaris setiap malam? bukankah keinginan untuk keluar dari kota kecil yang tidak menawarkan apa apa kecuali kebosanan tak berujung begitu menggebu selama bertahun tahun?

Lalu apa yang membuat saya seperti kehilangan semangat, dan seperti disebutkan di atas, kehilangan alasan kuat untuk tetap berada di Jakarta?

Temporarily emotion? rasa rasanya bukan, kejenuhan ini terjadi nyaris setiap malam sebulan setelah saya berada di sini. Dan tak kunjung hilang. Tak kunjung merasa nyaman. Selama itu pula saya berusaha mencari tau dan mengentaskannya. Dengan bepergian, dengan mengunjungi kawan kawan, bertemu orang orang baru, dan menghamburkan uang :p

Hasilnya sama saja, saya tidak lagi memiliki pendar ketakjuban anak kampung yang membayangkan kehidupan di kota besar seperti pertama mendapat kesempatan ke Jakarta. Tidak lagi ada keinginan untuk hidup di tengah kemajuan teknologi dan keserbaadaan ibukota. Saya justru terus membayangkan kemungkinan kemungkinan yang bisa saya gali di Sampit.

Membuka kembali dan memperluas percetakan alifa, membangun counter pulsa untuk kakak dan mengembangkan bisnis laundry untuk emak. Semua itu bisa saya lakukan jika kala itu pikiran saya tidak berkutat perihal tinggal di Jakarta dan menjadi besar di sini. Naif, Nani adalah anak 19 taun yang naif pada saat itu.

Simpulan terdekat saya adalah selama ini saya membentuk set pikiran berupa "Saya terlalu besar untuk Sampit." dan resultnya sekarang "Jakarta terlalu besar untuk saya" :D 

photo was taken here
so, yea, I'm going back home..

Monday, April 23, 2012

Cerpen: Terminal

Ia duduk cukup lama di kursi panjang, menunggu. Sesekali pandangannya beredar, melihat yang berlalu. Yang datang, yang pergi..

Jakarta pengap. Sudah lama orang meninggalkan istilah 'panas' atau 'dingin' sebagai definisi cuaca kota itu. Siang itu, panas tidak dingin tidak, Jakarta sedang pengap. Pria bersepeda tua melintas di tikungan pasar, beberapa pedagang mengumbar serapah, pedagang lain sibuk bergosip.

Pria bersepeda tua limbung kayuhnya, nyaris menabrak perempuan yang tengah terengah menyeret koper besar. Ia akhirnya terjungkal, perempuan dan pedagang pasar tak peduli, meneruskan apa yang semestinya mereka lanjutkan. mengumbar serapah, menggunjing dan menyeret koper besar sepanjang jalan.

Belasan taksi menawarkan jasanya kepada perempuan yang kini nafasnya hampir putus itu. Berpuluh angkutan lain menyorakkan seru agar dirinya segera melompat naik. Namun ia tak peduli, langkahnya terus diseret, seiring roda besar kopor besarnya. Sepanjang jalan, sepanjang siang.

Terminal lengang, hari itu bukan hari besar. Ditambah tempat yang ia tuju bukan rute favorit petualang ibukota. Ada satu-dua petugas sibuk mengatur gambar gambar, peringatan peringatan di dinding dalam terminal. Petugas loket menguap panjang, pengap Jakarta memenangi perputaran kipas angin ringkih dalam kubikalnya.

Di satu kursi panjang di sudut terminal, koper besar perempuan itu disandarkan. Ia menenggak air mineral botol yang digenggamnya sedari tadi. Nafasnya kini teratur, tak lagi terengah. Kini ia sibuk mengatur rambutnya yang lepek bermandi keringat. Semilir angin muncul entah dari mana. Wajah perempuan itu terlihat damai saat angin menyentuh anak rambutnya.

Bising menguar di udara. Deru deru dan debu debu menari dalam lantunan pengap Jakarta. Lalu suara itu perlahan berlalu, meninggalkan bau asap dan debu debu yang harus kembali mengecup bumi Sesekali suara gesek sapu dan lantai semen beradu, perempuan paruh baya terbungkuk memungut bekas permen karet yang menempel mesra di sandalnya.

Terminal masih sepi, perempuan itu bersandar pada koper besarnya, kakinya diselonjorkan. Telapak kakinya berdebu, air dalam botol yang digenggamnya sedari tadi dipercikkan ke sepotong tissu. Perempuan paruh baya yang menyerah atas kemesraan bekas permen karet dan sandalnya berdehem keras saat tissu kecoklatan itu menyentuh semen.

Dari dalam koper diambilnya sebuah tas kecil. Earphone menempel di kupingnya sejurus kemudian. Lantunan suara Sara Bareilles memenuhi rongga dengarnya, beriringan dengan rasa nyaman yang seketika memeluk. Sepotong tiket ia genggam tanpa dibaca. Semalaman dipelototinya kertas itu, menghapal nomor terminal, jam keberangkatan sampai seri kendaraan yang akan ditumpanginya.

"Dua jam lagi.."