Saturday, March 24, 2012

Cerpen: Luka

Tidak ada yang tau mengapa aku bernama Luka. Pun diriku sendiri, ibuku hidup tak cukup panjang untuk memberitau mengapa aku bernama Luka. Ayah? Sejak lahir aku tidak mengenal sosoknya. Hanya ada ibu dan bermalam malam shift kerjanya yang itupun tidak bertahan lama. Ia meninggal saat aku mulai bisa membaca.

Semula kupikir tak ada salahnya bernama Luka. Seorang guruku mengeja namaku sebagai L-U-C-C-A, ia menyebut itu nama yang indah. Hingga tahun ketiga sekolah dasar aku bahagia sebab mempunyai nama Lucca yang indah artinya. Lalu kartu pelajar yang dibuat di tahun keempat harus melongok kembali akta kelahiranku. Seluruh kelas akhirnya tau bahwa aku bernama Luka. Dan mereka mulai menyampirkan kata ‘borok’, ‘koreng’, ‘bopeng’ di belakang namaku.

Pengasuh panti asuhan sempat menambahkan nama marganya di belakang namaku. Ia kemudian diseret ke dalam sidang adat karena sembarangan memberi marga ke seorang asing yang tak jelas asalnya. Ditambah, kata Luka harus berada di depan marga yang konon katanya hanya dimiliki para bangsawan itu.

Ya, aku tinggal di panti asuhan selepas ibu meninggal. Kadang terpikir bagaimana bisa ibu tak memiliki keluarga sama sekali. Sekedar kakak, adik, ibu atau bahkan teman, ibu tidak menunjukkan tanda memiliki mereka. Pemakamannya digelar sederhana, yang bertandang hanya tetangga, yang memandikan dan menguburnya para pengurus masjid. Hingga akhirnya aku ditemukan menangis lapar di dalam kontrakan dan semua orang terusik, membuangku ke dalam panti.

Mungkin, ibu memiliki keluarga dan teman. Tapi mereka hanya enggan memelihara seorang anak dengan nama Luka. Tinggal di panti mengharuskanku untuk tidak egois dalam menuntut kasih sayang. Sebab aku harus berbagi dengan puluhan anak lain. Dipeluk sekali seminggu saja sudah beruntung. Karenanya aku terbiasa mengejar gelar terbaik agar diperhatikan. Menjadi penghafal paling cepat, murid paling pandai, hingga pencuri handal.

Di usia remaja setidaknya enam kali aku mencuri dari kotak amal masjid. Semata lantaran pengurus panti terus mengeluh soal kesulitannya mencari dana untuk memberi kami makan dan kehidupan yang layak. Uang yang kucuri banyak jumlahnya, diam diam kumasukkan ke dalam kotak amal panti. Sesorang melihat aksiku dan mengadu. Aku dikeluarkan dari panti karena mereka tidak bisa memelihara seorang pencuri.

Padahal aku hanya butuh pelukan dan tepukan bangga dari mereka.

Sebenarnya bernama Luka-pun bagiku tidak masalah. Ibuku pastilah memiliki alasan indah (setidaknya kuharap begitu) mengapa aku bernama Luka. Kadang hanya kesal sebab ibu tidak memberiku nama yang agak panjang, atau setidaknya satu kata tambahan agar aku tidak kesulitan untuk membuat akun jejaring sosial yang mengharuskanku memiliki last name. Atau agar orang orang tidak sampai di titik kesal karena berkali kali mendapat jawaban “Luka” saat merek menanyakan “Iya Luka, terus nama lengkapnya apa?”

Usiaku bertambah dan aku mengalami mimpi buruk banyak jumlahnya. Mimpi itu berupa seorang pria memukuli ibu. Aku bermimpi ibu lebam berdarah berkat sabetan ikat pinggang pria tinggi besar yang tidak pernah bisa kulihat wajahnya. Ibu terus memohon ampun dan pria itu seakan tak bertelinga. 

Mimpi itu berulang ulang hingga membuatku nyaris percaya bahwa itu adalah kenyataan.

Mimpi itu terulang hingga sekarang. Seperti pemutar kaset yang rusak tombolnya kepalaku mengulang mimpi itu setiap malam. Hingga kemarin akhirnya aku percaya, itu adalah kenyataan. Sebab aku bernama Luka, ibuku mengeram benci saat melahirkanku ke dunia. Aku memberinya luka. Tidak terhitung banyaknya. Ia menyabetkan ikat pinggang dan membenturan kepalaku ke tembok hingga aku lupa akan lukaku dan selalu mengira ia adalah ibu terbaik yang kupunya.

Aku bernama Luka. Aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku. Usiaku 23 tahun, tidak perlu khawatir saat menemukan tubuhku yang mungkin berserak hancur. Makamkan aku selayaknya manusia, tak perlu repot mencari kerabat sebab aku tak memiliki mereka. Urusan duniaku sudah usai, tidak ada hutang maupun dendam yang belum terpunahkan.

Tidak ada yang tau mengapa aku bernama Luka. Pun diriku sendiri, ibuku hidup tak cukup panjang untuk memberitau mengapa aku bernama Luka. Ayah? Sejak lahir aku tidak mengenal sosoknya. Hanya ada ibu dan bermalam malam shift kerjanya yang itupun tidak bertahan lama. Ia meninggal saat aku mulai bisa membaca..

Thursday, March 15, 2012

Saturday, March 10, 2012

Yang Sampai dan Tidak dalam Kebersampaian dan Ketidaksampaian

Tadinya berniat untuk menulis sedikit review tentang pementasan teater Nabi Darurat Rasul Ad Hoc yang diglar di Gedung Kesenian Jakarta tadi malam. Tapi saya kehabisan kalimat untuk dituliskan. Tak berhasil pula menyaripatikan meski sudah sepanjang jalan pulang saya pikirkan. Jadi ya sudahlah, tinimbang saya berputar putar dalam bahasa sederhana yang nyaris tak memiliki makna, maka saya simpulkan bahwa pementasan teater yang naskahnya ditulis Emha Ainun Nadjib itu luar biasa.

Mengapa? entahlah, ini kali pertama saya menonton pertunjukan seni dalam skala 'serius' (dalam artian tidak ada properti asal jadi dan pemain yang berulang kali keselimpet membaca naskah) sebagai yang pernah membaca tulisan2 cak nun dan dua tiga kali menghadiri kenduri cinta, saya terkagum dengan visualisasi dalam bentuk teater ini. 

Sisanya, mungkin berupa senyum lebar saya yang susah pergi hingga menjelang pagi lantaran untuk pertama kalinya saya menonton Letto secara langsung. #EAAAA #GrupisMurtad
photo was taken here


Sepenggal kalimat kesukaan dari pementasan ini yang saya coba ingat dengan berpayah payah:

"Keluarlah, bermain kelereng dan mengejar layang layang! sebab yang terpenting adalah mengalami" ~ Ruwat Sengkolo

Thursday, March 08, 2012

Kelahiran Tanpa Marka

Hari ini saya menemukan setidaknya empat orang memposting “Selamat Ulang Tahun Ayah/Ibu” di twitter dan facebook. Saya langsung teringat pada ibu dan ayah. Keduanya tak memiliki tanggal lahir. Mereka tidak ingat atau memang tak tau kapan mereka dilahirkan. 

Keluarga ayah adalah para pekerja yang hidup di desa, tak penting kapan bayi itu dilahirkan, yang penting tumbuh dan bisa berladang. Sementara ibu, adalah anak sulung dari tujuh bersaudara. Nenek mungkin terlalu sibuk hingga tak sempat mengurus surat surat kelahiran, atau mengabadikan tanggal di sebuah kalender di masa lalu.

Yang saya tau, ibu lahir di tahun 1968 dan ayah dua tahun lebih tua. Itupun hasil meraba saat ibu sudah menjelang 40an. Untuk kartu keluarga dan KTP, ibu dan ayah mengarang tanggal lahir mereka. Ibu di 23 Nopember dan ayah sekitar bulan Juli.

Keduanya tak punya marka kelahiran. Tak punya tanggal untuk dirayakan. Sedari kecil kami ketiga anaknya tidak sekalipun berkesempatan merayakan ulang tahun ibu atau ayah. Tidak juga menghambur peluk saat pulang sekolah mengucapkan “Selamat ulang tahun mama “ seperti iklan susu formula di televisi.

Namun sebenarnya, perayaan ulang tahun bukanlah hal lumrah di keluarga kami. Kami dibesarkan tanpa kebiasaan menyantap keik manis dan lilin yang ditiup setiap tahun. Saya hanya ingat perayaan ulang tahun di umur sembilan, saat saya mengenakan gaun hijau dan menangis lantaran tak ada kue. Lalu di umur duabelas, saat kelas satu SMP dan saat lulus SMA.


Ini ditulis untuk membayar keinginan saya untuk merayakan ulang tahun ibu dan ayah. Untuk membayar tahun tahun yang terlewat tanpa ucapan “Selamat ulang tahun” dan perayaan perayaan.
photo was taken here

Selamat Ulang Tahun abah, Selamat Ulang Tahun, Mama. Kapan kalian dilahirkan bukanlah perkara yang sebenarnya. Itu hanya tanggal dan marka. Bagian terbaiknya adalah saya bisa mengucapkan selamat ulang tahun kepada kalian kapanpun saya mau, sepanjang tahun, berkali kali :D


Sekali lagi. Selamat Ulang Tahun!!

Tuesday, March 06, 2012

Blurry Blue

It been three month I invaded Jakarta. every night I spend half of hour to think and write down every sense that i've sensed  that day. Named Jurnal Jakarta, handwriting, lay next to my Frank Sinatra cassette. And every single night I wrote "I miss home" on the bottom of it.

I do, its kinda lonely to live in a strange place, barely without friends or family so I rarely in touch with others. But the saddest part is, I have no place called home. I feel insecure, cold, and.. lonely :') maybe I have to re-think about this dream. Yes, I'm the one who refuse to stay at a small place named Sampit. Yes, I'm, the one who insist to share my dream with this monstrous city.

But still, I hate this homeless thingy. The traffic, the poisonous air, the sun that bright too damn hot, the weather that impersonating old-just-had-men-o-pouse-lady, the language that sounds like anger in every words, it takes three month for me to hate Jakarta, yet I'm not entirely see this city.

There, saya akhirnya mengeluh juga terhadap Jakarta :D

Friday, February 24, 2012

Okay

Saya tau saya akan baik baik saja. Saya akan bersinergi dengan dunia dan segala keterasingannya. Saya tau saya mampu.

Hanya saja.. kadang sulit untuk menutupi rindu.

Disponsori Ingrid Michaelson - Be OK

Friday, January 27, 2012

Cerpen: Taksi

Pria itu menyimpan dendam. Pekerjaan sebagai supir taksi di Jakarta membuatnya merasa perlu untuk menumpuk dendam. Sekian tahun ia bekerja dan daftar dendamnya kian panjang.

Ia sepenuhnya tau, tidak ada yang salah dengan pekerjaannya. Tidak dengan jalan yang macet berjam jam. Tidak dengan penumpang penuh keluh yang membuat kupingnya jenuh berjam jam. Ia hanya kesal, dengan dirinya sendiri.

Pria itu menaruh dendam pada dirinya sendiri. Tentang ia yang tak kunjung mengunjungi anak istrinya di kampung. Tentang ia yang tak mampu memberi alasan jelas mengapa kontrakannya tak kunjung dibayar.

Hari itu matahari terbit lebih awal. Orang orang terbangun dan memulai rutinitas pagi, seperti biasa. Pria itu menguap panjang dan mengumpat kepada matahari. Kelambu berbau tembakau disingkapnya. Jalan jalan sempit, rumah rumah petak, anak anak kumuh. bau sampah menguar..

Ia mengeluh lebih banyak hari itu. Mengeluh atas matahari yang menyala terlalu panas. Mengeluh terhadap jalanan pagi yang lebih macet dari biasanya. Mengeluh pada pengamen yang bersepakat untuk memulai paduan sumbang lebih nyaring dari hari hari sebelumnya. Pria itu terlalu banyak mengeluh hingga ia mengeluh karena terlalu banyak mengeluh.

Pria itu tau betul bahwa pekerjaannya tidaklah terlampau pelik. Ia hanya datang di pagi hari, mengendarai mobil dari satu titik ke titik lain dalam rentang jarak yang tak terlampau jauh. Ia duduk di kursi nyaman dengan embusan AC, menepi sesekali jika merasa penat. Kota itu terlampau kaya hingga pria itu nyaris tak pernah kuatir atas tenggat setoran. Pun ia terus mengeluh atas gajinya yang terlampau sedikit untuk menghidupi dirinya sendiri.

Istrinya di kampung tak pernah meminta materi. Pria itu tidak menemui sekalipun masa di mana istrinya meminta kiriman uang. Wanita yang dinikahinya tak berapa lama itu hanya meminta kehadirannya dalam ujud fisik. Itupun sulit dipenuhinya, dua hari libur dalam sebulan bukan waktu yang cukup untuk pulang ke tempat terpencil serupa kampung halamannya.


Pria itu terus menggerutu hingga siang datang. Ia mulai merasa ada yang aneh. Tak satupun orang di sepanjang jalan yang melambai ke arahnya. 


#eaaaaa #NaniAnakYangKeabisanIdediTengahCerita #DilanjutinNantiYaa


Thursday, January 12, 2012

Menepati Janji

Dua tahun lalu, akhir desember tahun 2009, saya bangun tidur dengan sebuah ide.

"Kayaknya kalau bisa punya novel sendiri, seru nih"

Dan sebulan setelahnya, awal Pebruari 2009, Senja Merah lahir. Ia mengalami pergantian judul berkali kali. Atas pertimbangan kelabilan saya, tentu saja :D Senja Merah sempat berjudul Jejak Darah, Kisah Sejarah, dan beberapa judul gajelas lain yang sayapun ga ngerti apa maksudnya.

Naskah novel itu tersimpan selama dua tahun dalam sebuah folder di komputer rumah. Dalam perjalannya, meski sempat diedit satu-dua kali, Senja Merah nyaris tak tersentuh. Hingga pada suatu malam di tahun 2011, seorang kawan mengenalkan saya dengan mbak Nita, ia adalah editor di Kurnia Esa Writers Management. Senja Merah mendapatkan atensi penuh dari saya, diedit dan perbaiki hingga menurut saya, sempurna.

Tapi ia tak pernah terbit, ia tak pernah disentuh pemilik mata yang kerap disebut pembaca. Sebagai seseorang yang telah melahirkan naskah itu dalam perjuangan (well, ini overrated) selama sebulan, saya semacam merasa bertanggung jawab untuk memberi penghargaan kepadanya. Untuk menemui dunia luas, atau setidaknya, dunia maya.

Dan inilah naskah penuh Senja Merah yang saya janjikan untuk dibagikan gratis jika selepas 2011 ia tak tertuang dalam wujud nyata. Selamat menikmati :)

Sinopsis

Wenggini adalah gadis remaja yang lahir dan tumbuh pada sebuah desa kecil di kaki gunung. Ia hidup sebagai pribadi takut yang dirongrong teror dari negara. Hingga sebuah kejadian mengubah hidupnya. Ia bertemu Sloan, pria yang mengajari Wenggini untuk menjadi berani. 

Kehidupan berputar dan keduanya harus melalui banyak hal. Perjuangan, Perubahan, dan tentu saja, Cinta...

Download di sini


Terimakasih untuk yang mengunduh dan mengapresiasi Senja Merah. Namun perlu diingat ini merupakan sebuah karya yang memakan banyak korban (mostly kepala saya yang pening dan jemari yang mengkaku) sehingga diminta untuk tidak mengubah dan menyadur isi dalam tulisan tersebut tanpa seizin saya selaku penulis :)