
Friday, November 05, 2010
Happy Guy Fawkes Day!!

This isn't a Job. It is My Hobby
Pertama kali siaran, pas kelas 3 SMA. Di salah satu radio dalam kota. Waktu itu, satu satunya alasanku adalah iseng. Totally iseng, dan sebenarnya, aku mencoba untuk ngasih impresi baik pada ehm.. seseorang. Ah forgot it! Kenapa kemudian aku memutuskan untuk kembali siaran pas lulus SMA?
Mungkin karena aku suka musik kali ya. Dan radio, juga dengan program yang kubawakan sekarang, aku merasa seperti orang yang paling pertama tau mengenai musik. Padahal sih ga juga :D itu satu, terus alasan lainnya, karena aku illcommunication.
Ya, aku termasuk orang yang susah ngobrol dengan baik pada orang lain. Aku cenderung diam, trus mendengarkan ketika berada dalam sebuah perbincangan. Di radio, aku bisa ngomong apa saja tanpa harus khawatir dengan mimik lawan bicara.
Dan sejauh ini, aku merasa kualitas siaranku baik baik saja. hehe.
Radio tempatku membanting suara bernama Mentaya FM. Berdiri sejak tahun 1989. Umurnya udah 21 tahun. Sebagai radio uzur, Mentaya FM justru mengambil segmen 'kawula muda'. Langkah yang cukup langka untuk radio dengan usia tua.
Pelan pelan, siaran menjadi semacam candu. Aku mulai merasa bahwa siaran adalah hal yang ingin kulakukan, bukan hal yang harus kulakukan. Sesuatu yang kulakukan karena aku suka melakukannya. Hobi.
Dan entah keberuntungan macam apa yang kumiliki, aku berkesempatan dibayar untuk melakoni hobi. Seperti yang rekan rekan seprofesiku sering katakan, menjadi penyiar radio di kota kecil seperti Sampit bukanlah pekerjaan menjanjikan. Bukan pekerjaan yang bisa dijadikan topangan hidup. Aku agak sangsi, sebenarnya. Cukup-tidak cukupnya kan tergantung kebutuhan hidup. Aku 18 tahun, masih tinggal bersama orang tua. Dan aku perempuan :D
Ruang siar
Polemik Metal Satu Jari
Apa itu metal satu jari? Kurang lebih itu yang saya pikirkan selepas berbalas pesan dengan kawan saya tadi. Honestly, awalnya saya fikir ‘satu jari’ yang dimaksud adalah jari tengah (representasi punk). Tapi bukankah memang semenjak dulu kubu punk dan metal kerap bersinggungan? Apa yang baru? Apa yang harus ditakutkan kalau begitu?
Pesan dari kawan saya itu berlanjut. Menjelaskan bahwa metal satu jari adalah sekumpulan penggemar metal yang beraliran keras dalam agama (baca : islam). Alih alih menggunakan signature khas metal dengan telunjuk dan kelingking yang membentuk tanduk kambing, metal satu jari menggunakan telunjuk yang mengacung ke udara.
Jika ditilik dari sisi antropologi dan sejarah ‘telunjuk mengacung ke udara’, kita pasti teringat dengan rentetan garis keras islam. Entah Hizbullah, entah anggota FPI yang tengah berorasi. Jujur, saya bergidik membayangkannya. Garis keras islam, dengan cara entah bagaimana selalu membuat saya membayangkan vandalisme yang masif.
Sayapun menghabiskan beberapa minggu belakangan untuk menggali mengenai metal satu jari. Dugaan bahwa gerakan ini berbasis di Jakarta rupanya benar. Ini ditulis dalam portalmetal mengenai artikel metal satu jari. Di jejaring sosial seperti Facebook, saya menemukan grup mereka. Overall, saya menemukan metal satu jari ini tak ubahnya dengan metal straight edge. Mereka menulis bahwa apa yang mereka usung didasari rasa prihatin terhadap penggunaan obat terlarang, minuman keras dan anti pentagram. Kita tahu, bahwa pentagram merupakan simbolisasi pemujaan setan, khas blackmetal.
Metal satu jari, kemudian muncul dengan tujuan menampung rekan rekan muslim yang mencintai musik metal tanpa harus terjebak dalam ‘lembah kenistaan’ seperti yang saya sebutkan di atas (pardon my word. I know, it sounds so 70’s). Di titik ini, saya tidak menemukan kesalahan apapun dari metal satu jari. Mereka muslim, ingin tetap taat pada agamanya dan menikmati musik metal tanpa berbuat dosa.
Yang menjadi keprihatinan banyak pihak kemudian adalah pergerakan metal satu jari ini. Saya mungkin akan beranalogi seperti penyebaran komunisme di awal tahun 1950an di Indonesia. Tujuan, visi dan misinya benar, sangat mulia karena ingin mewujudkan ekonomi kerakyatan dan memerangi kapitalis. Namun kemudian, dalam perjalanannya, komunisme mendapat kecaman lantaran dalam penyebaran pahamnya, mereka tak segan menggadai nyawa.
Berlebihan memang, jika mengkomparasikan metal satu jari dan komunisme. Lebay karena belum ada sejarah yang menulis pertumpahan darah akibat metal satu jari. Kekhawatiran tetap ada lantaran kita bisa membayangkan. Metal yang begitu identik dengan hal hal maksiat (oh.. maafkan saya sekali lagi) harus berbaur dengan metal satu jari yang notabene begitu murka dengan kemunkaran. Pelan tapi pasti, saya melihat kemungkinan eksplosifitas metal satu jari.
Berbeda dengan straight edge yang menolak ‘pernik’ metal dengan alasan yang sifatnya pribadi, metal satu jari mendasari pergerakannya dengan nama satu agama. Agama yang kuat dan berdasar ribuan tahun. Radikalisme atas nama agamalah, yang kemudian ditakutkan banyak pihak. Saya sempat berguaru dengan mengatakan “Jangan jangan metal satu jari ini sub cabang FPI”. Sebagai seseorang yang anti FPI, saya kerap kesulitan mencari pembenaran atas pemaksaan kehendak terhadap orang orang yang berbeda keyakinan macam itu.
Well, this post heading to nowhere. Saya hanya menuliskan sesuatu yang mengganjal kepala saya. Perkara apakah saya mendukung atau justru opposite dengan metal satu jari, saya sendiri tak tau jawabannya. Saya setuju, dengan niatan mereka menampung pecinta metal yang anti berbuat dosa. Saya tidak setuju, jika kemudian niatan itu dipaksakan kepada pecinta metal lain yang sudah memilih untuk mabok, giting dan sebagainya sebagai jalan metalnya.
Rusnani Anwar
Thursday, November 04, 2010
Macet
Nah, aku mengalami hal kaya gitu. Aku lagi semangat semangatnya ngegarap beberapa hal nih. Mulai dari nulis, bikin format clock, ngumpulin ide siaran, sampai bikin novel. Serius, penulis bukan.. tapi bikin novel. Pas lagi semangat semangatnya mikir, suddenly I lose my power. Tiba tiba ga napsu ngapa ngapain.
Sekarang, aku lagi ngerancang liburan Sabtu-Minggu. Berhubung di hari itu aku bebas siaran, jadi bisa nyolong waktu dan berjalan jalan. Rencananya, aku mau ngelanjutin perjalanan ke arah Bagendang Hulu. Jembatan gantung 2. Yang ini agak lebih jauh daripada jembatan gantung 1 yang kusambangi bareng Ayu empat bulanan lalu.
Aku dan Ayu, menghabiskan waktu untuk sekedar berfoto dan duduk di dermaga. Rumah rumah tepi sungai, langit yang setengah cerah setengah mendung, wah perpek deh. Ada dua jembatan, yang di atas adalah jembatan 1. Kata Ayu sih, jembatan 2 letaknya berdekatan dengan PT. Indo Balambit. Untuk menuju ke sana, harus ke arah selatan beberapa kilometer lagi. Ah semoga Minggu ini sempat main ke sana yak ^^
Biasanya sih, kalo aku lagi 'macet' kaya gini, berlibur singkat bisa jadi obatnya. Ini cuma jenuh ringan, hehehe.
o iya, bad news hit me.
1. Tuan Hitam Sakit
Ebetewe, Rest in Peace, my dear kitten..
Wednesday, November 03, 2010
I'm Looking for 'the one'!
I make a video, during radio time. I'm airing this video with no reason. Just fun, so.. please, don't take it too seriously!
Tuesday, November 02, 2010
I Need More Courage!
Hari ini, aku nyalon.
Banyak orang yang pasti salah kaprah mengenai perempuan dan salon. Aku ga tau sih, apa yang cewek cewek lain rasakan. Bagiku, ke salon itu mirip seperti wajib militer. Sesuatu yang nggak menyenangkan tapi mau ga mau ya harus dilakukan. Aku, terlahir dengan rambut keriting.

Dan ribetnya punya rambut keriting kayak gitu, sama ribetnya kaya punya pacar abege. Tiap pagi mesti dikasi anti-frizz, mesti dirawat ekstra, de el el. Waktu itu istilah rebonding masih asing (dan mahal). Semenjak kelas 2 SMA, aku baru dikasih pencerahan sama tuhan kalo ada solusi buat meluruskan rambut ke jalan yang benar. Since then, aku rebondingan tiap empat bulan.
Nah, bagiku, ke salon adalah kebutuhan primer. Yang kalo ga dilakuin, ya rambutku bakal ribet lagi. Lagian siapa sih yang suka duduk selama lima jam lebih dan menjalani proses -diguyur-dikeringin-ditariktarik-diguyur-dikeringin-ditariktarik dan begitu seterusnya sampe mbak mbak salon bosen.
Eniwei..
Nah, empat harian ini aku lagi bersemangat banget ngegarap novel. Idenya tercetus pas mau tidur, ngebayangin tentang bule dan jugun ianfu. Tiba tiba aja bleber kemana mana gitu. Yang pengen baca silahkan ke sini. Kisahnya sih terus bekembang, sampai hari ini aku udah nyelesain 20an halaman A4.
Tujuannya sih ga ada, cuma pengen nulis aja :D dan entah kenapa, ini kali pertama aku begitu excite nulis cerita fiksi panjang kayak gini. Mungkin gara gara itu tadi kali ya, mencari kesibukan. Akhir akhir ini juga lumayan banyak yang nyaranin aku buat ngirim tulisan ke media besar. Kompas, Tempo, Suara Merdeka.
Setiap kali dikomporin kaya gitu, aku bakal menarik diri dan bergumam
"Aku masih perlu banyak keberanian.."
Monday, November 01, 2010
Am I a Flat Girl?
Sebagai seorang yang sangat kolot, aku sempat khawatir ketika dia berkata bakal menjemputku bermobil. Those time, aku takut diculik, kawan :D silly me. Kami bertemu, jalan dan akhirnya menepi di dermaga pelabuhan. Saat itu belum ada kapal yang merapat. Pelabuhan sepi lantaran gerimis sesekali jatuh.
“Dalam rangka apa nih, ke Sampit?”
Aku mencoba memecah kebekuan. Aneh, kadang kita bisa begitu heboh ketika ngobrol di YM/skype, tapi menjadi begitu kaku ketika bertemu.
“Besok aku mau ke PT. MAP, ada rapat senin pagi”
“Parenggean?”
“Ya,” jawabnya singkat seraya membuka dashboard yang ada di dekatku.
Sebuah coklat
“Nih.” Katanya.
Sambil berterima kasih aku potek potekkin coklat itu.
Ia mulai bercerita bahwa ia tengah mengalami masalah dengan tunangannya.
Aku, sebenarnya punya teori mengenai ‘laki laki buaya yang sedang merayu perempuan,”
Salah satu dari barisan penunjang teori itu adalah:
Menyebutkan bahwa sedang bermasalah dengan pasangannya untuk menarik simpati perempuan yang dirayu.
Untuknya, aku bingung apakah teoriku dapat teraplikasi.
Pertama, teori itu hanya berlaku untuk cowok ababil usia 14-23 tahun
Kedua, aku sama sekali tidak merasa pantas dirayu oleh pria semapan dia.
Ketika aku tengah sibuk dengan pikiranku, dia menegur dan meminta maaf sudah membeberkan masalah pribadinya pada pertemuan pertama kami.
Aku bilang tak apa.
Jika dia merasa bahwa itu bisa membantu, aku akan mendengarkan.
Kisahnya bergulir. Dan akhirnya aku mengerti, ia mengambil keputusan untuk membatalkan pertunangannya.
"menurutmu aku salah?"
Pertanyaan itu dia tanyakan padaku.
Senja turun di luar sana, kami masih memandangi sungai. Mendung masih menggelayut.
Sesekali ia hidupkan wiper mobil, menghalau tetesan air yang menghalau pemandangan.
"Kamu menyesal dengan keputusan itu?" tanyaku balik
Dia bilang, “Keputusan yang berat, Nan. Tapi aku tidak menyesal, rasanya plong,” ujarnya seraya menurunkan AC mobil. Dingin menusuk hingga ke tulang.
“Berarti kamu nggak salah,”
“Kok bisa? Dia (mantan tunangannya) selalu bilang aku salah dengan keputusanku ini,”
“Menyesal adalah perasaan yang timbul setelah seseorang melakukan kesalahan. Kamu tidak menyesal, kamu tidak salah,” ujarku, menuntaskan gigitan terakhir pada coklat pemberiannya.
Ini, sebenarnya adalah kalimat andalanku. Kalimat andalan ketika seseorang menanyakan pendapatnya atas suatu keputusan yang telah ia buat. Akupun begitu, ketika tengah mengambil keputusan, aku akan diam beberapa saat. Dan menerka nerka apa yang sedang kurasakan. Jika aku menyesal, berarti aku sudah berbuat kesalahan.
Ia menepuk pundakku. Berterimakasih. Di luar mulai gelap, ia nyalakan lampu bangku belakang.
“Sebenarnya kita ini masing masing menunggu lapar. Kamu lapar?” ia melirik jam, nyaris setengah tujuh. Artinya sudah dua jam kami duduk di dalam mobil.
“Ingin jawaban jujur atau basa basi?”
Segera ia nyalakan mobil, menuju rumah makan.
Sambil menatap hujan, menunggu makanan. Ia bertanya.
“Kita udah tiga tahun kenal loh, Nan,”
“Yeah, suprisingly,” aku menjawab seraya meniup niup gelas teh panas.
“Kamu ga pernah cerita tentang ‘love story’mu,”
“Maybe because I never had one?” aku balik tanya
“Ah bohong!
“Serius, selama tiga tahun, kamu pernah ga liat status facebookku yang menyerempet ke perkara cinta cintaan?”
Makanan datang. Hujan mulai turun.
“Kamu tidak jelek”
“Pinter”
“Lucu”
“Kurang apa”
Ujarnya
Aku tertawa
“Kamu posisikan diri sebagai aku deh, kira kira apa penyebab aku belum berpacaran juga?”
Dia diam sejenak.
“Kamu belum menemukan yang cocok?”
Aku tersenyum, merasa tak perlu mengiyakan penyataannya.
“Aku tak tau, apa ini lantaran espektasiku yang ketinggian atau gara gara para laki laki sering merasa terintimidasi olehku,”
“Espektasi, intimidasi, define!”
“Well, aku berharap menemukan seseorang yang bisa kuajak ngobrol. Dan mengimbangi obrolanku. Yang bisa di ajak berdebat mengenai politik, sejarah, apa saja, hanya itu, seseorang yang bisa berbicara denganku tanpa harus bergidik dan mengataiku sok pintar,”
“Kemudian yang terjadi, ketika aku berada dalam tahapan PDKT nih, saat seseorang itu menjemputku, mengajakku jalan. Mereka akan bilang “Kmu terlalu baik bwtku” lewat SMS dan hubungan kami terputus saat itu,”
“Apa yang kamu lakukan saat PDKT?” ia mengunyah ngunyah ayam bakar pesanannya.
“Just be me,” jawabky singkat
“Ah.. I see, kamu akan jomblo selamanya kalau gitu,” ia tertawa
“Jahat! Kamu fikir aku mau gitu selamanya kaya gini,”
“Hm.. yang PDKT denganmu pasti para fans kamu dari radio kan?” tebaknya
“Sigh, fans, bukanlah. Kebanyakan kawannya kawan, comblangan gitu”
“Berarti kusimpulkan, seusia denganmu”
Ia melanjutkan kalimatnya. Kalimat yang mungkin akan sulit kulupakan. Kalimat itu terasa sangat benar
“Kotamu ini kota kecil. Anak anak seusiamu, 18-20 tahun, tak akan punya kesadaran tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Lebih lebih politik dan sejarah internasional. Usia ini, tidak hanya di Sampit, adalah usia sibuk. Sibuk memikirkan kuliah, pacaran, dan jalan jalan. Usia senang senang. Manusia normal, kemudian akan begitu concern terhadap isu populer saat mereka menginjak usia 25 tahun ke atas. Ini usia kritis.”
“Aku tidak normal?” ujarku, setengah cemberut.
“Kamu hanya dewasa sebelum waktunya
“Solusinya.. ya.. kalau kamu ingin pacaran dengan anak seusiamu, berpura pura bodohlah” ia menuntaskan kunyahan terakhirnya, lalu melanjutkan
“Atau, jika ingin berpacaran sehat seperti keinginanmu. Carilah pria yang setidaknya 10 tahun lebih tua. Biar bisa seimbang,”
“Gimana kalau denganku?” dia mengerling
Aku tertawa, memukul bahunya.
“Aku tidak ingin berpacaran dengan kawan. Aku jarang punya teman, kalau putus nanti repot,” ia menirukan suara perempuan. Mencoba membaca hatiku.
Malam itu berakhir dengan dentang jam ke sepuluh. Perut kenyang dan dingin yang menusuk tulang.