Wednesday, September 28, 2011
Perspektif
Saturday, September 24, 2011
Separates
Thursday, September 22, 2011
Dawn
Saturday, September 17, 2011
Settle Down

Saya dipaksa kakak untuk memfoto dan mengedit foto anak beliau, beberapa hari yang lalu. Baru selesai tadi siang, foto foto ini, membuat saya sedikit banyak berfikir tentang masa depan.
Meski saya tau masih terlalu jauh untuk saya memikirkan kehidupan berumah tangga di usia yang bahkan belum kepala dua. Saya mencoba untuk membayangkan seperti apa saya sepuluh, duapuluh tahun mendatang. Alih alih mendapat gambaran samar tentang seorang suami dan satu-dua anak gembul yang lucu lucu, saya malah membayangkan diri saya tengah duduk di suatu taman di Austria, sendirian.
Dengan tas besar di samping saya.
Saya bukan bermaksud ingin menghabiskan umur dengan menjadi backpacker dan tidak membangun apa yang orang sebut sebagai tujuan hidup bagi setiap perempuan di seluruh dunia. Menikah. Saya sendiri gagal menemukan alasan kenapa menikah harus disebut sebagai tujuan akhir sementara di sisi lain pernikahan justru membawa banyak 'masalah' baru dan bukan sesuatu yang bisa disebut sebagai 'akhir'.
Repost : Telepon Tuhan
Sore itu kuseduh segelas kopi. Kuaduk pelan dan kusesap aromanya beberapa saat. Harum, kalau ini sebangsa teh, pastilah namanya teh poci atau teh melati. Kulirik bungkusnya, tanpa nama, putih keabuan tanpa marka. Kuangkat bahu sepintas, tak penting apa namanya, yang penting aku tau ini kopi.
Sebentar, darimana aku bisa tahu bahwa yang sedang kusesap baunya ini adalah kopi? Karena warnanya hitam pekatkah? Ah, aspal juga warnanya hitam. Oli juga, air got, dan berputarlah nama nama cairan berwarna hitam di kepalaku. Sendok kecil masih berdenting sesekali saat berbentur dengan dinding gelas.
Kuletakkan gelas berisi kopi (atau sesuatu –apapun itu-yang kuanggap sebagai kopi) di atas meja dekat telepon. Berseberang dengan meja kecil bermahkota telepon, ada televisi, tengah menyala. Suaranya pelan, kumatikan sekalian. Kulirik telepon bertombol belasan itu. Kopi masih mengepul, urung kuminum. Gagang telepon berderit gaung, gegas kupencet beberapa digit nomor. Tut.. tut..
“Halo,” aku bersuara kala nada ‘trek’ terdengar di ujung sana.
Masih diam, kuulang mengucap halo.
“Hey, kamu rupanya, lama betul tak menyapa” suaranya masih sama, selalu sama, menyejukkan dan semilir.
“Saya kangen” ujarku.
Aku sudah nyaris lupa kapan terakhir aku menghubunginya. Rasa rasanya sejak aku berhenti meminum kopi. Atau sejak aku melupakan aroma teh melati. Entahlah, suaranya kini mengetuk kepalaku.
“Ah kamu, kalau kangen kenapa tak pernah menelpon?”
Aku kini terkikik mendengar jawabannya, dia benar, bagiku kata kangen sudah seperti rutinitas semata. Setiap hari aku mengatakan kangen nyaris kepada semua hal. Lama lama kangenku menjadi blur, antara kangen sungguhan atau kangen basa basi.
“Saya sedang sibuk, dunia sedang seru akhir akhir ini,” sahutku.
Aku lantas mereka reka kejadian terakhir dalam hidupku. Kantor, rumah, buku buku, kantor, rumah, buku buku. Ya ya, seru sekali rupanya, aku melengus sendiri.
Suara di seberang sana kini memintaku diam dan mendengarkannya. Aku terlalu sayang pada pemilik suara hingga jangankan membantah, bernafaspun rasanya tidak kulakukan saat menikmati suaranya.
“Aku mengerti, kamu terlalu sibuk memikirkan sesama manusia dan kompleksitas mereka, bukan?”
Suaranya berjeda, ada nada tanya. Entah retorik entah sungguhan menanti jawab.
Aku diam, bisa kudengar nafasnya di gagang telepon. Ah bahkan mendengar nafasnya saja, aku sudah mabuk kepayang, diam dalam diam. Kini aku dan dia sama sama diam. Aku menjawab pertanyaannya dengan menggeleng pelan. Aneh, meski kami berbicara lewat telepon, dia bisa tau bahwa aku tengah menggeleng.
Dia memang selalu memukauku dengan segala keanehannya.
“Lalu kamu sedang berfikir tentang apa?” cecarnya setelah melihatku menggeleng
“Saya memikirkan kapan saya naik pangkat, kapan saya bisa membangun rumah yang lebih besar dan kapan buku buku itu habis saya baca” jawabku. Aku tidak pernah mampu berbohong padanya.
Kini nafasku yang terdengar di gagang telepon. Tunggu, darimana aku tau bahwa ini adalah nafasku bukan nafasnya? Apa yang membuat nafas kami begitu berbeda padahal keduanya hanyalah soal menghirup dan menghela semata? Telepon bergeresak, kusepak kabel biru yang melalar keluar jendela. Kini geresaknya hilang, berganti suara.
“Kamu membuatku sedih…” ucapnya yang kemudian disusul kebekuan suara, nafasnyapun tak terdengar.
Aku panik, tak pernah kubayangkan lebih lebih kuniatkan untuk membuatnya sedih. Jemariku kini melilit lilit kabel ulir yang menautkan gagang telepon dan papan plastik berisi belasan nomor. Kini kudengar nafasku sendiri, berderu deru nyaring memburu. Sekarang aku mengerti apa yang membedakan nafasku dan nafasnya. Nafasnya selalu sama, lembut teratur menentramkan jiwa. Nafasku bermelodi, kadang tinggi kadang lambat kadang tak ada sama sekali. Rupanya nafas bukan hanya soal menghirup dan menghela semata. Ada nyanyian di sana.
Teleponku masih bungkam. Aku mulai menangis, jemariku kini mengusut lelehan airmata yang mengaliri ceruk pipi, leher hingga nyaris ke dada. Isakku rupanya tertangkap gagang telepon dan sampai ke ruang dengarnya.
“Terlalu banyak kata ‘saya’ dalam jawabmu, aku sedih, rupanya jangankan aku, orang orang di sekitarmupun tak mendapat porsi dalam pikiranmu” suaranya merdu, paling merdu,
Airmataku kering, ingin kulontarkan maaf untuknya. Tapi urung kulakukan. Saat ini tak bisa kubedakan apakah maaf yang kurasakan adalah maaf sungguhan atau sekedar maaf basa basi. Jutaan maaf kuucapkan
kepada jutaan hal setiap hari. Hingga batasan maaf sungguhan dan maaf basa basi menjadi kabur, baur.
“Aku tau kamu menyesal, oh aku terlalu menyayangimu hingga tak bisa sesaatpun menguntai benci padamu” suara paling merdu itu kembali menguar.
Heran, dia selalu bisa membaca pikiranku.
“Saya tidak suka mereka, mereka penuh benci dan prasangka” gumamku, meraih remote televisi, menghidupkannya, mencari cari kanal berita. Suara televisi kutiadakan. Aku tidak perlu suara lain jika dia yang bersuara di ujung telepon sudah mampu memenuhi segala kebutuhanku akan suara.
“Kamu tidak suka pada mereka yang penuh benci? Hahaha” dia tertawa dengan tawa paling indah yang pernah kudengar.
Heran, suara tawanya saja mampu membuatku turut senang.
“Saya tau, saya tak berbeda dengan mereka yang membenci jika bagi saya masih ada rasa tidak suka” Aku berpura pura menggerutu, ingin menarik perhatiannya.
Sejurus kemudian aku sadar, tak perlu berpura pura, dia selalu memberiku perhatian. Ah, rasa sayangnya padaku memang keterlaluan!
Lagi lagi dia seperti membaca pikiranku, kini bertanya.
“Kamu sayang padaku?” ucapnya, tanpa nada klise sama sekali.
Aku, entah, rasa rasanya sudah bermilyar kali mendapat pertanyaan seperti itu dari bermilyar hal dalam hidupku.
Hingga remang bagiku batasan atas pertanyaan klise dan pertanyaan basa basi dari tiga kata itu. Kamu-sayang-padaku?
Aku biasanya tak menjawab, sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk tidak menjawab segala hal yang masih (atau sudah) tak jelas batasannya bagiku. Tapi kali ini berbeda, pertanyaannya sama sekali tidak terdengar klise. Begitu tulus, paling tulus.
“Tentu, saya sayang padamu.” Kubiarkan suaraku terdengar menggantung, mengharap respon. Percuma, sebenarnya, dia selalu memberi respon atas semua pertanyaan dan pernyataanku. Hanya aku yang dibuai sibuk oleh keakuanku hingga lupa dan hilang perhatian atas responnya. Kali ini kucermati suaranya. Dia kembali menguntai tawa.
“Aku senang, kamu rupanya masih sayang pada dirimu sendiri. Susah ya, untuk berhenti tidak menyukai?” tanyanya lagi, kabel ulir menyentuh mulut gelas, nyaris menyentuh genang kopi (atau sesuatu yang kuanggap kopi) di atas meja. Kusentak perlahan, riak permukaannya kini tenang, tidak pula terlihat kepul asap berbau wangi dari dalam gelas. Sepertinya sudah dingin
“Televisi sedang menjualmu” kupaparkan padanya tentang iklan yang menjualnya secara grosir maupun eceran. Beserta sumber tenaga yang bisa diisi ulang dengan dicolokkan ke listrik. Juga tentang pernak pernik pendukungnya. Ada hijau, hijau sekali, putih, merah, biru hingga marka marka berbentuk kotak, gumpalan rumput berbuah, kepalan tangan hingga silangan senjara tajam.
“Saya kesal kamu dijual begitu” lanjutku
Dia tertawa lagi. Dia selalu menemukan cara untuk menertawakan apa yang kubenci dan mengundang
marahku. Dia humoris, paling humoris.
“Biarkan saja, yang menjualku justru bisa membuatku semakin terkenal. Kalau aku sudah terkenal, aku akan muncul di spanduk spanduk dekat kantormu, papan iklan di depan rumahmu, bahkan di setiap sampul buku yang kamu baca,” ujarnya, terdengar riang.
Dia melanjutkan dengan nada semakin riang
“Jadi, kamu akan menemukanku di kantor, rumah dan buku. Di setiap pikiranmu. Kamu akan selalu kangen padaku, duh, senangnya”
Aku tersipu, dia masih ingat hal hal kecil tentangku.
“Ah kamu! Saya jadi geer nih. Beberapa dari mereka selalu mencoba mengklaim bahwa kamu hanya milik mereka. Yang tidak setuju dimusuhi. Kadang, yang dimusuhi membalas mengklaim kamu. Mereka berebut kamu. Saya sebal sekali” gerutuku tak berbendung.
“Ciee.. kamu cemburu?” dia menjawab, dengan pertanyaan baru.
Wajahku terasa panas, kupingku apalagi, seperti ada yang mengigit gigit. Berkali kali kutepis anak rambut yang sebenarnya tak jatuh ke wajah. Gila, dia selalu tau cara membuatku salah tingkah. Jawaban terjujur kini tercetak di wajahku, aku bersyukur menghubunginya melalui telepon sehingga ia (kupikir) takkan bisa melihat wajahku. Aku berdehem, mencoba mengalihkan pertanyaannya.
“Kamu sedang sibuk?” tanyaku, mengambil sepotong koran dari bawah meja. Koran pagi tadi, kulipat kecil dan kukipas kipaskan pada wajahku yang merah padam.
“Hihihi, aku tidak pernah sibuk, engga seperti kamu yang sibuk terus sampai lupa buat kangen padaku,”
“Ah. Iya deh saya minta maaf,” aku kembali memasang nada merajuk padanya.
Dia kembali tertawa, “Eh, jadi kamu engga cemburu nih sama mereka yang sibuk memperebutkanku?”
Aku bergumam gumam.
Aku mengalihkan pandangan yang sedari tadi terfokus pada genangan kopi dalam gelas. Aku menatap televisi, ada ratusan orang tengah berteriak teriak sambil memukuli pria bercelana sarung. Pria itu tersungkur, wajahnya tunarupa. Bilur biru di sekujur tubuh. Aku melihat balok kayu dan laras besi menghujani tubuh si pria bercelana sarung. Sumpah serapah mengalun disela teriakan teriakan. Aneh, padahal televisi sudah kutiadakan suaranya, namun masih saja jeritan si pria bercelana sarung saat meregang nyawa hinggap di kupingku. Mungkin juga hinggap di gagang telepon, tersampaikan padanya.
“Mereka meneriakkan namamu saat membunuh pria itu,” bisikku pelan. Begitu pelan hingga aku ragu ia bisa mendengar kata kata yang bahkan tak sampai ke kuping kiriku itu.
“Siapa bilang itu namaku?” ia menjawab dengan tenang.
“Tapi televisi bilang itu kamu, namamu” aku lantas terdiam. Kata kata itu meluncur mendahului otakku untuk memikirkan maksudnya apa.
Dia masih di sana, menjawab dan terus merespon setiap nafasku.
“Jadi sekarang kamu lebih sayang televisi nih dibanding aku?”
“Huh! Nanti lama lama kamu bisa berhenti kangen padaku. Soalnya kamu fikir aku sudah ada di televisi,”
Aku tau dia hanya bercanda, tak pernah merajuk. Tidak sepertiku yang begitu mudah ngambek dan mogok menelponnya kala dia (kuanggap) tidak meresponku.
“Kalau suatu saat, mereka tau bahwa saya selalu menelepon kamu, lantas telepon ini diambil karena saya dianggap merebut kamu dari mereka, gimana?” lega, apa yang mengganggu pikiranku sejak melihat televisi tadi kini sudah kutanyakan.
Tut… tut… tut…
Telepon terputus tiba tiba.
Kutarik tarik kabel biru yang menjalar lewat jendela. Kupencet pencet tombol redial. Setengah putus asa kuguncang guncang papan plastik berisi belasan nomor. Tak sengaja tersenggol gelas kopi, prang! Pecah di lantai ubin. Aku kini menangis sejadinya, genangan pekat kopi bercampur lelehan airmata. Teleponku padanya tak pernah diputus (atau mungkin terputus) tiba tiba. Genangan kopi yang tak sempat terminum itu merembes ke karpet, perlahan mengalir hingga menyentuh steker listrik untuk televisi. Aku melihat percikan bunga api, perlahan membesar lantas terdengar letupan.
Televisi hitam, korslet.
Telepon berdering. Aneh, kabel biru yang menjalar di jendela telah kucabut. Bergegas kutempelkan
gagangnya ke kuping kanan.
“Dasar cengeng,” dia tertawa, aku merengut sambil menyeka airmata.
“Jangan lakukan lagi, saya kira kamu meninggalkan saya” suaraku tertahan tahan, mengisak isak.
“Habisnya, kamu selalu berbicara tentang televisi. Aku kan jadi cemburu,”
Aku menatap layar televisi yang hitam. Tidak lagi kulihat iklan yang menjualnya secara grosir maupun eceran. Beserta sumber tenaga yang bisa diisi ulang dengan dicolokkan ke listrik. Juga tentang pernak pernik pendukungnya. Yang berwarna hijau, hijau sekali, putih, merah, biru hingga marka marka berbentuk kotak, gumpalan rumput berbuah, kepalan tangan hingga silangan senjara tajam.
Tidak pula kulihat pria bercelana sarung yang dipukuli sampai mati oleh ratusan orang yang meneriakkan namanya di sela hujan sumpah serapah. Ruang tengah rumahku kini begitu tenang. Aku kini mengerti, bahwa dia hanya cemburu.
Bahwa dia ternyata tak ingin aku membenci orang lain karena televisi. Aku tersenyum, kuucapkan selamat malam padanya.Menuju tidur.
“Baiklah, kamu harus tidur, aku akan sangat kangen padamu. Hm.. sebelum kamu tidur, aku boleh ucapkan sesuatu?” aku menghela nafas, kusiapkan diri untuk menerima ucapannya.
“Apa itu?”
Suaranya nyaris samar. Antara udara malam dan aku yang kian mengantuk.
“Kamu tidak perlu melaporkan semua kebencian yang menguar di televisi padaku. Percayalah, aku sudah tahu
bahkan sebelum pria bercelana sarung itu mati dipukuli orang orang yang meneriakkan, kata televisimu, namaku. Aku sudah tahu bahkan sebelum iklan tentangku dimuat di televisimu. Kamu tidak membenciku karena ini, kan? Aku tahu bahwa kamu takkan menganggapku telah membiarkan mereka saling membunuh karena memperebutkanku. Aku tahu, dan aku akan bekerja dengan caraku.,”
Senyumku semakin lebar saat dia mengucapkan selamat tidur untukku. Kututup telepon dan mengulangi kata katanya.
Bahwa;
Dia ada, Paling Ada. Dia tau, Paling Tau.
***
Ditulis di hari Minggu, enam Pebruari 2011. Hari ini tiga orang meninggal dan sedikitnya 25 Jemaah Ahmadiyah Indonesia luka luka. Penyerangan dilakukan 500an orang di masjid mereka di Cikeusik, Pandeglang Banten.
Wednesday, September 07, 2011
Hello
Menimbang nimbang, lantaran jika saya ikut, ini artinya saya berada dalam kondisi tanpa sinyal ponsel, tanpa sinyal internet dan tanpa listrik di malam hari. Kampung abah terletak di Dusun Seberang, Desa Namun, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tanjung, Provinsi Kalimantan Selatan.
dan saya berkali kali menghela nafas saat mengetahui tempat itu bernama 'dusun'. Iya, ayahku orang dusun. Mau apa heh?!
Dan listrik hanya menyala sampai pukul lima sore yang listriknya bersumber dari PLTD sederhana dekat kantor desa. Kalau malam gelap gulita kecuali satu-dua rumah pemilik tanah yang memiliki harta berlebih untuk membeli bensin untuk menyalakan genset. Dan harga bensin di sana nyaris sepuluh ribu per liter lantaran tempatnya jauh dari peradaban.
Saya sudah membeli dan membongkar buku buku yang saya niatkan untuk dibaca selama sebulan di sana. Buku buku yang tidak pernah sempat saya baca berkat selalu terdistraksi untuk BBM-an, twitteran dan juga, ngeposting hal hal begini di internet. Dan juga nanti jika memungkinkan, saya ingin menulis satu dua tulisan fiksi seperti Wenggini dan Sloan.
Satu bulan tanpa internet adalah tantangan tersendiri buat saya :D
Eviwei, ini sudah September dan sebentar lagi nampaknya saya akan publish tulisan fiksi saya yang berjudul Senja Merah, Wenggini dan Sloan sebentar lagi. Menepati janji yang berbunyi jika sampai akhir tahun saya tidak mendapat tanggapan dari penerbit terkait kiriman naskah saya, maka tulisan itu akan saya bagikan gratis. Juga, akan berhenti bercita cita menjadi penulis karena sepertinya itu bukan bakat alami saya.
Mungkin lebih tepat jika disebut sebagai bakat 'paksaan' karena jujur saja, saat pertama kali mulai membaca dan menulis dulu, tujuan saya adalah ingin membangun impresi bahwa saya anak hebat, cerdas dan berbakat. Walaupun kemudian keterusan jadi suka, tapi saya tidak merasa cita cita itu begitu hebat dan istimewa hingga harus saya kejar sedemikian rupa dan (bahkan) melakukan segalanya demi bisa terwujud.
Walaupun sebenarnya, saya ga tau apa yang menjadi semangat saya menulis 78 halaman legal HVS Senja Merah, kalau bukan 'cita cita'
Mengenai kapan Senja Merah saya publish, nantilah. Masih berkutat dengan bagaimana-caranya-membuat-akun-di-rapidshare. Sepertinya ini saja untuk hari ini. Saya bakal kembali kapan kapan :D
Friday, September 02, 2011
September
Lebaran, ulang tahun kawan kawan baik, event event yang digarap radiopun biasanya memuncak di akhir tahun xD
Dan tentu saja, tahun baru hingga kemudian finalnya ulang tahun saya di 10 Januari. Saya memiliki banyak janji di tahun ini. Janji kepada orang lain dan juga diri sendiri. Self proclaimed bahwa saya akan menghilangkan semua cita cita jika nanti menginjak usia 20, janji untuk memberikan kehidupan yang lebih layak untuk saya dan orang tua.
Dan janji, untuk melupakan segalanya di belakang dan menseriusi kehidupan :D
Bulan bulan hujan di akhir tahun merupakan saat paling sempurna untuk kembali membenahi, memilah dan pelan pelan menjalankan kumpulan janji itu. Doakan sajalah, semoga beberapa hutang atas resolusi tahun tahun baru saya bisa terpenuhi.
Life been good so far. Lebaran yang lewat saya isi dengan reuni bersama kawan kawan SMA. Selama dua jam durasi silaturahmi ke rumah seorang kawan, saya mendapati bahwa saya tidak sepenuhnya bisa lepas dari menya menye masa lalu.
Saya yakin kawan jauh bernama Iiw akan memperkenankan saya mengkopi paste notes di facebooknya yang bernama Persona Non Grata di sini :)
KENANG-KENANGAN
Siapa yang pergi? Siapa yang memberi kenangan? Senantiasa terjadi di dekat kita, seorang teman pergi, pindah rumah, pindah sekolah, dan kita seperti tidak tahu kapan akan bertemu lagi. Bahkan mungkin tidak akan pernah. Begitu juga dengan teman-teman yang baru kita kenal dari berbagai jaringan pertemanan dunia maya, kadang ada yang hanya lewat berlalu begitu saja namun tak jarang juga ada yang singgah dan menggoreskan kenangan walau tak lama.
Sering pula kita merasa begitu kehilangan, dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Ketika itu, teman atau saudara kita dipanggil oleh-Nya. Sejumlah kenangan manis dan pahit melintas, lalu dengan terang benderang seperti berhenti di depan mata dan kepala kita. Bagaikan sebuah televisi besar.
Puluhan, ratusan, ribuan, bahkan mungkin jutaan orang pernah merasakan sebuah suasana hati yang sama. Yaitu ketika ia harus melepas seseorang yang begitu dicintai, di sebuah stasiun kereta atau terminal udara. Ia pergi dengan lambaian tangan yang makin lama makin menghilang. Lalu yang tinggal adalah derit rel atau desing pesawat terbang. Makin lama, makin perlahan. Lalu tinggal bau – semacam asap – dan akhirnya hening. Sepi.
Kita pun pulang, menapaki perjalanan, langkah demi langkah. Lalu, bagaikan membuka album, kita mengingat kembali segala yang manis dan pahit, yang dilakukan bersama. Ada sedikit perasaan menyesal, jika itu pernah membuat teman atau pacar kita sakit atau terluka.
Pada saat itulah kita seperti menengok ke belakang. Membuka album lama itu, melihat kembali kenang-kenangan itu, menatap balik saat indah dan buruk itu, apakah bukan berarti menengok ke belakang?
Banyak orang mengatakan, menengok ke belakang itu hanyalah sebuah perbuatan menghabiskan waktu, manja. Hanyalah kelakuan melankolis, sentimentil. Kenangan-kenangan itu cuma akan membuat kita menggigil karena sedih, sementara kenangan hanyalah barang mati yang dibuang sayang.
Namun toh kita bisa melihat sendiri, betapa kenang-kenangan begitu laris diperdagangkan. Orang mengejar-ngejarnya dengan wajah penuh harap, bahkan seperti terhibur. Kaset-kaset oldies , radio yang memutar lagu lama, kartu pos tempo dulu, dandanan nostalgia, semua dijual di pasar. Dan, laku.
Otobiografi yang mengaduk peristiwa lama di sebuah kurun waktu hidup seseorang, ditulis, lalu diperbanyak. Orang memburunya. Katanya, “demi pelajaran hidup” .
Restoran dengan desain yang membangkitkan atmosfer suatu masa tertentu, tumbuh di berbagai sudut kota. Tiap malam, atau istirahat tengah hari, orang berduit berdatangan dan memuaskan perasaan nostalgianya disana. Bersama teman, keluarga, atau sendirian sembari melamun.
Lihatlah, reuni pun berlangsung dimana-mana. Reuni SD, SMP, SMU, sampai perguruan tinggi. Panitianya sibuk berat, dan selalu berharap seluruh rekannya bersedia berkumpul lagi, seolah-olah ingin mendirikan kembali kelas mereka yang telah lama bubar karena semua siswanya sudah lulus. Lalu, mereka yang diundang pun menunggu hari H reuni itu dengan ketidaksabaran yang tinggi. Satu sama lain saling menelepon, jika sempat, menanyakan banyak hal: dari keluarga, karir, sampai gaya rambut yang mungkin sudah berubah bentuk.
Toko cinderamata juga tumbuh di sana sini. Dari yang bentuknya sederhana sampai yang canggih punya. Dari yang tradisional sampai yang modern. Dari yang kekanak-kanakan sampai yang dewasa dan elegan. Semua memanjakan sebuah benda untuk dipakai sebagai kenang-kenangan. Suatu benda pemberian yang akan dioper kepada orang lain, dan diharap dapat “berusia panjang”. Orang itu akan selalu ingat dengan yang memberi, begitulah.
Lalu untuk apa semua kenang-kenangan di sekitar kita? Dalam berbagai bentuknya itu, kenang-kenangan memang membuat kita berhenti sebentar dari derap rutinitas kegiatan sehari-hari. Kita lalu menengok ke belakang, semacam introspeksi.
Kenangan itu, betapapun kurang enak dan menyakitkan, memberi pelajaran hidup. Ah, terlalu mengada-ada? Tidak. Kenangan seperti mengaduk lagi patahan-patahan perjalanan kita. Kisah sedih, menyakitkan, pahit, yang bersinggungan dengan teman, sahabat, pacar, saudara, guru, tetangga, dan entah siapa lagi, seolah terangkat kembali.
Kita tercenung untuk menyadari sebuah perjalanan. Dengan itu, kita bersiap jalan kembali, dengan langkah yang lebih kuat. Kenangan memang memberi nafas baru, karena kita menyempatkan diri berhenti sebentar dari sebuah perjalanan.[]