
Friday, April 29, 2011
Ruang Lokal

Monday, April 25, 2011
In Memoriam, Gus Dur

Telah gugur pahlawan bangsa
Seorang pembela pluralitas dengan jargon sederhana
“Tuhan Tidak Perlu Dibela”
Seorang pemimpin yang lebih sipil dari jelata dan lebih gagah dari panglima.
Seorang pembela minor, kembali pada-Nya.
Dianggap gila untuk alasan luar biasa.
DPR korup, berperilaku labil layaknya anak remaja.
Yang labil, harus dicabut hingga ke akarnya.
Ah, jika bapak masih jadi presiden negara ini,
Saya yakin tak akan ada Crown Royal seharga 1,3 miliar terbuang untuk para mentri
Tapi apa boleh buat pak, perlu sebuah mobil mewah agar para petinggi itu “terlihat” kompeten dalam tugasnya mengatur negeri.
Jujur,
Kami takut, duhai bapak yang telah kembali padanya.
Kami takut tak lagi bisa bersuara.
Kami takut, tak lagi bisa merdeka.
menemukan tulisan ini di folder folder lawas komputer.
Rupanya aku sempat menulis ini beberapa hari setelah Gus Dur wafat.
Dalam kenangan, Gus Dur.
Wednesday, April 20, 2011
Bagaimana Caranya Pacaran di Sampit?
Monday, April 18, 2011
Siapa Bilang Kami Jalan di Tempat?
Wednesday, April 13, 2011
Ventriloquist
Postingan kali ini, saya tiba tiba terfikir tentang siapa yang ‘menggerakkan’ kita. Yang berbicara melalui kita, yang membut kita tertawa, menangis, bersuara, segalanya. Teori sains akan mengatakan semua itu merupakan reaksi neurotik yang kompleks pada otak besar yang memerintahkan syaraf untuk menggerakkan bibir, mengeluarkan suara, tertawa, semuanya.
Teori teologinya lebih kompleks lagi. Ada Tuhan dibalik semua kejadian. Manusia tertawa, menangis, bersuara, segalanya berkat ‘lillahi ta’ala’, kehendak Tuhan yang maha tinggi. Atas restu dan keinginan-Nya manusia berjalan, berfikir, berniat, berdetak dll.
Apakah juga Tuhan yang menggerakkan setiap perilaku cela manusia? Atau adakah konspirasi setan-malaikat dalam setiap tindakan yang manusia ambil?
Sebagai seorang realis-relatif, maka saya percaya pada teori sains yang sudah disepakati sebagai ke-be-nar-an dalam mengambil simpulan terhadap apapun (termasuk di dalamnya teori teori filsafat). Bahwa yang menggerakkan manusia adalah self-conscious, pertimbangan pribadi, dan reaksi tubuh atas perintah yang diberikan syaraf syaraf neurotik dari otak.
Bahwa tidak ada konspirasi setan-malaikat serta pihak ketiga dalam wujud yang menggerakkan manusia untuk berfikir, bernafas, mengunyah, berjalan, berbuat apapun. Sebagian besar merupakan tindakan natural yang terjadi secara begitu saja. Neither lantaran tubuh memang terbiasa melakukannya atau memang harus dilakukan demi stabilisasi organ tubuh (baca: denyut nadi, bernafas dan lain sebagainya)
Fokus saya kali ini, adalah apa yang menggerakkan pikiran manusia. Sebagai pusat gerak, tubuh harus diperintah oleh pikirannya. Mencuri, membunuh, tindakan tindakan yang disepakati secara sosial sebagai ‘perbuatan tercela’ itu tentu telah mendapat stimulasi dari pikiran untuk mencuri, membunuh dan sebagainya, oleh pikiran manusia.
Apa betul, tindakan jahat manusia digerakkan oleh setan? Sementara perbuatan baik digerakkan oleh malaikat? Saya, memilih untuk belum mempercayainya. Pihak ketiga yang menggerakkan manusia secara pasif untuk berfikir dan mencerna segala sesuatu itu berbentuk kasatmata. Pola pikir manusia dipengaruhi oleh lingkungan, latar pendidikan, asupan pengetahuan dan tentu saja: pengalaman hidup.
Keputusan yang diambil seseorang yang tidak pernah tau bahwa karbondioksida itu zat berbahaya tentu berbeda dengan keputusan seseorang yang mengetahui bahwa zat karsinogenik dari karbondioksida bisa memicu kanker dan flek paru paru saat keduanya sama sama dihadapkan pada masalah serupa: menyetujui atau tidak menyetujui pembangunan pabrik pengolahan Crude Palm Oil di dekat rumahnya, dengan iming iming kompensasi yang cukup besar.
Setidaknya itu merupakan contoh bahwa campur tangan pihak ketiga yang kasatmata (dalam hal ini pengetahuan) bisa membuat perbedaan dalam tindakan manusia. Simpulannya, ventriloquist saya adalah akal, nurani, asupan pengetahuan dan keinginan untuk terus berkembang.

Monday, April 11, 2011
Tanned Nani
It been FUN. However, anything that you do for the first time always fun. Including 'Goes to Palm Oil Plantation', though :P
Here's some picture:


*uhuk* Oks. Saatnya lanjut siaran :)) selamat siaaaaaaanggg!!!
Friday, April 08, 2011
Review: Headquarter - Kekasih Hatiku Berbadan Dua (demo single)
Bank punk-rock Palangkaraya, lagu lagunya sempat menggema dalam LokalKarya dan Boneka Tanah #2 yang digelar di Sampit, nyaris setahun lalu. Impresi pertama lagu ini? Liriknya gila! hahaha. Siapa sangka dibalik lagu yang notabene sekeras ini memiliki lirik yang aduhai. Mengingatkan saya pada lirik lirik 'binal' milik Kung Pow Chicken.
Tidak banyak, saya rasa tidak banyak band punk seperti Headquarter. Kebetulan Anggri, vokalis mereka kerap wara wiri di halaman facebook saya dengan postingan postingannya. Sulit menyebut Headquarter sebagai band punk kebanyakan yang identikal dengan booze, hal hal njelimet soal filosofi hidup dan kosakata jalanan jika sudah terbiasa dengan status facebook Anggri yang begitu.... lah (speechless, mending temenan aja deh sama dia di sini). Maka maafkanlah jika saya salah menyimpulkan bahwa Headquarter adalah kumpulan jejaka (yang entah masih perjaka) nan alim.
"impresi anda tentang kami sangat benar! kami ingin jauh jauh dari hal rumit, kebusukan politik, etc... hal hal kayak gitu udah porsi band lain... hahahaha mengangkat tema yang dekat dengan kita sajalah... realita yang dibalut dengan jenaka dan agak binal namun sesungguhnya semua itu adalah sebuah teguran kepada kaum muda tanpa harus sok mengajari... makasih reviewnya! PLUR!" ~ Anggri, dalam commentnya.
Setidaknya saya diajak bertobat dan merenungi kenakalan remaja di era informatika (loh ini kenapa jadi Efek Rumah Kaca?). Ga sabar untuk menikmati EP kalian, Headquarter!
Ini lagu mereka:
Teringat lagi pertama kali
Kudapat nomornya di dinding w.c.
Gadis sexy, pujaan hati, idaman semua kaum lelaki
Seragam ketat sungguh memikat
Membuat jantung ingin melompat
Lupa makan ampe lupa sholat
Teringat tatto di bawah pusat
Pendekatan kulancarkan
Tak lama kami jadian
Tiga bulan tlah berjalan
Awalnya semua aman
Hingga tiba di suatu malam
Dia mengajak ku berkencan
Check up ke dokter kandungan
Enaknya lima menit
Sembilan bulan aku menderita
Kekasih hatiku tercinta mengaku tlah berbadan dua
Enaknya lima menit
Dan selamanya ku kan menderita
Kami kan jadi orang tua, saat naik kelas dua sma
Sedihnya lagi, semua terjadi
Disaat kami tak sadar diri
Sehabis party, seusai pensi
Bersama empat orang lelaki
Tak dapat ku membayangkan
Hidupku yang berantakan
Cita cita tinggal angan
Yang tersisa penyesalan
Tiada harapan, masa depan
Semua hanyalah impian
Karna cinta satu malam
Enaknya lima menit
Sembilan bulan aku menderita
Kekasih hatiku tercinta mengaku tlah berbadan dua
Enaknya lima menit
Dan selamanya ku kan menderita
Kami kan jadi orang tua, saat naik kelas dua sma
Thursday, April 07, 2011
Tanda Tanya
Monday, April 04, 2011
Pencuri Tuhan
Bapaknya juga sama, selepas solat subuh di surau depan rumah, pria yang selalu mengenakan sarung itu tak kalah sibuk memenuhi karung karung gandum dengan buku buku sekolahnya. Hari itu tanggal 15 Februari, Aryo tidak sekolah, kanjeng nabi tengah berulang tahun.
“Cepat le, cepat mandi, nanti keburu pagi,” Ayahnya terus melongok ke arah jendela, mencari cari pagi. “Ono opo tho Pak?” Aryo tetap bertanya, ditepisnya cantelan kain dekat jendela, ruangan temaram berpenerangan lampu pijar sedikit menyala. Nyaris pagi.
Jam dinding tersenyum di pukul lima dan ayah ibunya telah selesai berkemas. Aryo dipakaikan celana jins bekas lebaran tahun lalu oleh ibunya. Pintu rumah digembok, mereka menuju surau bersama karung karung gandum dan tas tas besar berisi pakaian dan buku sekolah.
Di surau ada belasan orang dengan kondisi serupa, orang orang tua berwajah cemas sambil terus melongok ke arah depan gang. Sementara anak anak kecil berpakaian baik sisa sisa lebaran. Aryo melihat Wati, Imin, Abdul, Rahmat, Lisa, dan banyak teman teman sepertetanggaannya sedang mencoreti susunan batu di halaman surau dengan sebatang kapur.
“Ada apa?” tanya Aryo sambil mencomot arang. Turut menggambari susunan batu di halaman surau.
Kawannya Rahmat yang menjawab, sisanya masih sibuk mencoret coret. “Ndak tau juga, bapak bilang kita mau ke pulau”
Imaji Aryo membumbung tinggi mendengar kata pulau. Ia yang sering menonton televisi minggu pagi mulai membayangkan pulau pulau di kartun aksi. Penuh naga, harta karun dan penjahat bercodet. Ia juga membayangkan pulau tempat neneknya tinggal. Berlaut bersih dan setiap hari dia bisa makan ikan.
“Jauh tha?” Kali ini kawannya yang lain, rupanya sedari tadi menguping.
“Ndak tau, bapak bilang mau ke pulau, itu saja” Rahmat mengangkat bahu.
Aryo memandang belasan pasang suami istri di teras surau, semuanya berwajah suram. Ayahnya membolak balik alquran kecil sambil terus menggumam gumam. Ibunya tafakur sambil menggenggam tasbih, sama seperti ayahnya, ibunya juga sibuk menggumam gumam. Belasan wajah lain kian murung saat matahari meninggi.
“Katanya tuhan kita ndak bener,” Kali ini suara Imin menghampiri kuping Aryo.
“Ndak bener gimana tho? Wong kita udah solat setiap hari,” bocah itu kini melepas arang dari genggamnya, batal menggambar figur action favoritnya. Ia mendengarkan ocehan Imin yang bapaknya terkenal sebagai imam di kampungnya.
Imin kemudian bercerita bahwa sebulan lalu rumahnya disambangi banyak orang orang. Rata rata meminta agar ayahnya bertobat dan mengembalikan tuhan kepada yang berhak.
“Bapakmu mencuri tuhan? Kok disuruh mbalikin?” Wati menyahut.
Imin hanya menggeleng, ia kembali pada ceritanya bahwa ayahnya dan seluruh warga kampung harus pindah dari tempat itu. Kaumnya dianggap merusak tatanan perdamaian. Orang orang di kampung itu disebut sebut sebagai pencuri tuhan, semua orang berang, semua orang marah.
Aryo teringat kisah bapaknya. Bahwa ada banyak orang yang menyatakan bahwa ada yang salah dengan kaumnya. Mereka harus pergi atau dipergikan. Mengasingkan diri atau diasingkan. Dari sanalah, Imin kembali merenda cerita bahwa orang orang di desanya harus pergi.
Terjawab sudah pertanyaan Aryo, bahwa mereka akan pergi ke pulau asing.
“Jadi, kalau kita nanti tinggal di pulau, ndak akan ngganggu yang lain. Biar damai, katanya” Imin menutup kisahnya.
Aryo diam saja, dia tidak begitu mengerti apa yang tengah terjadi. Tentang tuhan tuhan yang dicuri sudah sejak lama ia lihat di televisi. Juga tentang orang orang yang tidak menginginkan mereka untuk mencintai tuhan yang sama.
Di kepalanya kini berdesing desing berbagai reka ingatan tentang ayah, ibunya, bapaknya Imin dan ingatan ingatan laun tentang pria pria kota yang sering datang ke kampungnya.
Bocah itu juga melihat kepala desanya yang sudah berjam jam mondar mandir. Terlihat panik dan telepon genggam tak lepas dari kuping, sesekali tinggi suaranya. Rahmat menyelesaikan coretan di atas susunan batu halaman masjid. Kawannya itu sangat pandai menggambar, beberapa kali pernah ikut lomba nggambar dan kaligrafi di tingkat kabupaten.
Tapi hari ini Aryo mendesis dan mengatakan gambar Rahmat kawannya jelek. Hanya ada titik titik panjang seperti antrian dan bulatan besar dengan tulisan Pulau Tuhan besar besar di tengahnya. Aryo urung bertanya saat suara sirene meraung di kejauhan.
Belasan tubuh yang terkantuk kantuk di teras surau tersentak bangun. Lenguhan sirene kian nyaring. Beberapa anak bayi tersentak kaget dan menangis sejadinya. Bersama sirene tumpah ribuan pria berbaju putih dengan wajah penuh amarah. Sirene rupanya diraungkan untuk memenangi lomba. Lomba siapa cepat menyelamatkan dan menghancurkan surau.
Aryo lupa apa dia sudah bangun atau belum dari tidurnya. Ia mengingat ingat bahwa dirinya sudah mengerjakan PR, minum teh dan nonton acara lawak di televisi. Ia ingat betul, ia tidur setelahnya. Tapi apakah Aryo sudah terbangun? Atau jangan jangan potongan potongan gambar yang melintas di depan matanya sekarang hanyalah mimpi?
Potongan potongan gambar itu melintas, membentuk wajah wajah, teriakan teriakan, batu batu yang melayang, darah dan mayat Ayahnya, yang dadanya menganga mengeluarkan linangan darah merah kehitaman bekas sabetan senjata tajam. Aryo juga melihat, ibunya yang diinjak kepalanya, dihantamkan ke susunan batu halaman surau. Mungkin ibunya sudah mati, Aryo tidak tahu pasti, dari mulut perempuan yang selalu menyapihnya sebelum berangkat sekolah itu keluar darah, sama merahnya dengan yang keluar dari lubang menganga di dada ayahnya.
Potongan potongan gambar itu kini membentuk surau berlumuran darah. Ada belasan pasang wajah yang terkantuk kantuk dan kini berubah menjadi darah. Aryo lupa apakah dirinya berteriak, meraung atau menangis setengah gila seperti yang dilakukan Wati, Imin, Abdul, Rahmat, Lisa dan semua anak sebayanya.
Aryo hanya ingat tubuhnya dipeluk pria berseragam coklat, digendong menuju truk dengan bak terbuka. Dari bak terbuka yang perlahan lahan menjauh dari lautan pria berwajah penuh amarah, bocah itu masih melihat coretan Rahmat kawannya, yang tertimpa genangan darah dari tubuh tubuh terluka tanpa nyawa di susunan batu halaman surau. Tulisan besar besar di tengah bulatan besar itu terbaca samar:
Pulau Tuhan.