![]() |
taken from here |
Saturday, December 31, 2011
Resolusi 20
Thursday, December 29, 2011
Politik
Monday, December 26, 2011
Mereka Tidak Lagi Membaca Koran
Thursday, December 22, 2011
Perpindahan
Sesederhana itu.
Monday, December 19, 2011
Resensi Film: 3 Hati dua dunia, satu cinta
![]() |
taken from here |
Meski memiliki tema yang cukup sensitif, film ini disajikan dengan ringan. Hadirnya lelucon segar yang disampaikan oleh beberapa cameo menggiring penonton untuk tidak mengerutkan kening untuk memahami drama yang dibangun.
Sosok Abah dalam film ini akan mencuri banyak perhatian. Karakter yang begitu polos sekaligus tegas (walau pada akhirnya, luluh juga) berhasil mengingatkan penonton pada perjuangan seorang ayah untuk memastikan anaknya bahagia (dalam film ini, standar “bahagia” Rosid adalah hasil reka sang Abah)
Sayang, upaya untuk menampilkan perbedaan sebagai pembalut film terkesan berlebihan. Rosid seakan hadir sebagai pembaharu ajaran islam yang begitu dibenci (adegan penyerangan ormas islam ke hunian Mahdi) namun sekaligus dianggap biasa saja (reaksi masyarakat selepas penyerangan)
Secara keseluruhan, film ini mampu mengangkat isu yang tengah ramai di negara kita –agama- dalam sebuah sajian romantis berbalut puisi puisi W.S Rendra. Sebuah tontonan yang menghibur dan memberikan pesan baik untuk mempertahankan ingin dan terus memperjuangkannya. (*)
Tuesday, December 13, 2011
Moving
Yea, surprise!
Sabtu siang saya tiba di Jakarta, bertemu dengan orang orang baik yang membuat saya batal berburuk sangka tentang ibukota. Kawan kawan lama yang hanya saya kenal di dunia maya. Saya yakin setiap makhluk hidup memiliki instingnya sendiri. Saya, berpendapat bahwa walaupun mereka belum pernah saya temui dalam absensi fisik, mereka orang orang baik.
Eniwei, Minggu sore saya bertemu dengan pemilik production house dan kami berbicara banyak. Long story short, saya diterima dan mulai bekerja Senin depan. Di Jakarta.
Hidup di Jakarta sudah masuk dalam bucket list saya sejak beberapa tahun lalu. Berbulan bulan belakangan saya semakin intens memikirkan probabilitas untuk hidup di Jakarta atau Bandung. Apapun, asal keluar dari kota kecil ini. Tidak ada yang salah dengan Sampit, tempat yang menghidupi saya sejak lulus SMA. Saya hanya berespektasi lebih tinggi. Tentang mimpi
Jadi, mari menyilangkan jari dan doakan saya akan baik baik saja!
Tuesday, December 06, 2011
Kepala Sang Demonstran
Apa yang dilakukan si dokter sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Banyak dukun dan jejampi kampung yang bisa melakukan hal serupa. membaca isi kepala orang. Tapi si dokter menjadi fenomena. Tentu saja, lantaran gelar dokternya, dan betapa mudahnya teori si dokter dicerna logika.
Popor
Itu tengah malam. Hari sabtu.
Tiang penyangga rumah berderit. Pria berseragam berlalu dengan derum mobil bak terbuka.
Sunday, November 20, 2011
Tentang Ayah
Berapa banyak yang telah ayah berikan. Betapa saya belum bisa berbuat apa apa..
Wednesday, November 16, 2011
Social Media
Monday, October 31, 2011
Wednesday, October 26, 2011
Dan Hidup (Harusnya) Berjalan Semudah Itu
Tuesday, October 18, 2011
Friday, October 14, 2011
I'm Recently in Love With
Mummy they call me names
They wouldn’t let me play
I’d run home, sit and cry almost everyday
‘Hey Jessica, you look like an alien
With green skin you don’t fit in this playpen’
Well they pull my hair
They took away my chair
I keep it in and pretend that I didn’t care
‘Hey Jessica, you’re so funny
You’ve got teeth just like Bugs bunny’
Oh, so you think you know me now
Have you forgotten how
You would make me feel
When you drag my spirit down
But thank you for the pain
It made me raise my game
And I’m still rising, I’m still rising
Yeah
So make your jokes
Go for broke
Blow your smoke
You’re not alone
But who’s laughing now
But who’s laughing now
Cos I’m in L.A
You think I’ve made my fame
If it makes us friends
When you only really know my name
‘Oh Jessie, we knew you could make it
I’ve got a track and I’d love you to take it’
So now because I’m signed
You think my pockets lined
4 years now and I’m still waiting in the line
‘Oh Jessie, I saw you on youtube
I tagged old photos from when we was at school’
*selengkapnya baca di sini*
Tidak ada alasan khusus sebenarnya. Saya ingin tinggal di Manhattan, bukan LA :D mungkin untuk lirik ‘Hey Jessica, you’re so funny. You’ve got teeth just like Bugs bunny’
*tos* *gigi kelinci united*
Well, nampaknya saya hanya ingin berbagi ini aja. Nothing happen lately, kecuali saya yang baru makan cimol tadi siang dan rasanya -uh-well-not-that-good- sesungguhnya yang menjual cimol teh telah mencemarkan nama baik dunia percimolan. Atau jangan jangan semua cimol rasanya begitu?
Ihihi. This is it. Saya harus balik siaran dan nulis post buat blog Ruang Lokal :D adios~
Wednesday, October 12, 2011
Life Change
Thursday, October 06, 2011
Senja Merah. 161-165

Saturday, October 01, 2011
Pancasila Hilang Saktinya
Kemanusiaan di ujung senapan penguasa
Kerakyatan yang dipimpin keprihatinan,
Keadilan bagi segelintir kelompok pemenang.
Pancasilaku hilang saktinya
Menjerit ia dihujani lecehan penuh murka.
Wednesday, September 28, 2011
Perspektif
Saturday, September 24, 2011
Separates
Thursday, September 22, 2011
Dawn
Saturday, September 17, 2011
Settle Down

Saya dipaksa kakak untuk memfoto dan mengedit foto anak beliau, beberapa hari yang lalu. Baru selesai tadi siang, foto foto ini, membuat saya sedikit banyak berfikir tentang masa depan.
Meski saya tau masih terlalu jauh untuk saya memikirkan kehidupan berumah tangga di usia yang bahkan belum kepala dua. Saya mencoba untuk membayangkan seperti apa saya sepuluh, duapuluh tahun mendatang. Alih alih mendapat gambaran samar tentang seorang suami dan satu-dua anak gembul yang lucu lucu, saya malah membayangkan diri saya tengah duduk di suatu taman di Austria, sendirian.
Dengan tas besar di samping saya.
Saya bukan bermaksud ingin menghabiskan umur dengan menjadi backpacker dan tidak membangun apa yang orang sebut sebagai tujuan hidup bagi setiap perempuan di seluruh dunia. Menikah. Saya sendiri gagal menemukan alasan kenapa menikah harus disebut sebagai tujuan akhir sementara di sisi lain pernikahan justru membawa banyak 'masalah' baru dan bukan sesuatu yang bisa disebut sebagai 'akhir'.
Repost : Telepon Tuhan
Sore itu kuseduh segelas kopi. Kuaduk pelan dan kusesap aromanya beberapa saat. Harum, kalau ini sebangsa teh, pastilah namanya teh poci atau teh melati. Kulirik bungkusnya, tanpa nama, putih keabuan tanpa marka. Kuangkat bahu sepintas, tak penting apa namanya, yang penting aku tau ini kopi.
Sebentar, darimana aku bisa tahu bahwa yang sedang kusesap baunya ini adalah kopi? Karena warnanya hitam pekatkah? Ah, aspal juga warnanya hitam. Oli juga, air got, dan berputarlah nama nama cairan berwarna hitam di kepalaku. Sendok kecil masih berdenting sesekali saat berbentur dengan dinding gelas.
Kuletakkan gelas berisi kopi (atau sesuatu –apapun itu-yang kuanggap sebagai kopi) di atas meja dekat telepon. Berseberang dengan meja kecil bermahkota telepon, ada televisi, tengah menyala. Suaranya pelan, kumatikan sekalian. Kulirik telepon bertombol belasan itu. Kopi masih mengepul, urung kuminum. Gagang telepon berderit gaung, gegas kupencet beberapa digit nomor. Tut.. tut..
“Halo,” aku bersuara kala nada ‘trek’ terdengar di ujung sana.
Masih diam, kuulang mengucap halo.
“Hey, kamu rupanya, lama betul tak menyapa” suaranya masih sama, selalu sama, menyejukkan dan semilir.
“Saya kangen” ujarku.
Aku sudah nyaris lupa kapan terakhir aku menghubunginya. Rasa rasanya sejak aku berhenti meminum kopi. Atau sejak aku melupakan aroma teh melati. Entahlah, suaranya kini mengetuk kepalaku.
“Ah kamu, kalau kangen kenapa tak pernah menelpon?”
Aku kini terkikik mendengar jawabannya, dia benar, bagiku kata kangen sudah seperti rutinitas semata. Setiap hari aku mengatakan kangen nyaris kepada semua hal. Lama lama kangenku menjadi blur, antara kangen sungguhan atau kangen basa basi.
“Saya sedang sibuk, dunia sedang seru akhir akhir ini,” sahutku.
Aku lantas mereka reka kejadian terakhir dalam hidupku. Kantor, rumah, buku buku, kantor, rumah, buku buku. Ya ya, seru sekali rupanya, aku melengus sendiri.
Suara di seberang sana kini memintaku diam dan mendengarkannya. Aku terlalu sayang pada pemilik suara hingga jangankan membantah, bernafaspun rasanya tidak kulakukan saat menikmati suaranya.
“Aku mengerti, kamu terlalu sibuk memikirkan sesama manusia dan kompleksitas mereka, bukan?”
Suaranya berjeda, ada nada tanya. Entah retorik entah sungguhan menanti jawab.
Aku diam, bisa kudengar nafasnya di gagang telepon. Ah bahkan mendengar nafasnya saja, aku sudah mabuk kepayang, diam dalam diam. Kini aku dan dia sama sama diam. Aku menjawab pertanyaannya dengan menggeleng pelan. Aneh, meski kami berbicara lewat telepon, dia bisa tau bahwa aku tengah menggeleng.
Dia memang selalu memukauku dengan segala keanehannya.
“Lalu kamu sedang berfikir tentang apa?” cecarnya setelah melihatku menggeleng
“Saya memikirkan kapan saya naik pangkat, kapan saya bisa membangun rumah yang lebih besar dan kapan buku buku itu habis saya baca” jawabku. Aku tidak pernah mampu berbohong padanya.
Kini nafasku yang terdengar di gagang telepon. Tunggu, darimana aku tau bahwa ini adalah nafasku bukan nafasnya? Apa yang membuat nafas kami begitu berbeda padahal keduanya hanyalah soal menghirup dan menghela semata? Telepon bergeresak, kusepak kabel biru yang melalar keluar jendela. Kini geresaknya hilang, berganti suara.
“Kamu membuatku sedih…” ucapnya yang kemudian disusul kebekuan suara, nafasnyapun tak terdengar.
Aku panik, tak pernah kubayangkan lebih lebih kuniatkan untuk membuatnya sedih. Jemariku kini melilit lilit kabel ulir yang menautkan gagang telepon dan papan plastik berisi belasan nomor. Kini kudengar nafasku sendiri, berderu deru nyaring memburu. Sekarang aku mengerti apa yang membedakan nafasku dan nafasnya. Nafasnya selalu sama, lembut teratur menentramkan jiwa. Nafasku bermelodi, kadang tinggi kadang lambat kadang tak ada sama sekali. Rupanya nafas bukan hanya soal menghirup dan menghela semata. Ada nyanyian di sana.
Teleponku masih bungkam. Aku mulai menangis, jemariku kini mengusut lelehan airmata yang mengaliri ceruk pipi, leher hingga nyaris ke dada. Isakku rupanya tertangkap gagang telepon dan sampai ke ruang dengarnya.
“Terlalu banyak kata ‘saya’ dalam jawabmu, aku sedih, rupanya jangankan aku, orang orang di sekitarmupun tak mendapat porsi dalam pikiranmu” suaranya merdu, paling merdu,
Airmataku kering, ingin kulontarkan maaf untuknya. Tapi urung kulakukan. Saat ini tak bisa kubedakan apakah maaf yang kurasakan adalah maaf sungguhan atau sekedar maaf basa basi. Jutaan maaf kuucapkan
kepada jutaan hal setiap hari. Hingga batasan maaf sungguhan dan maaf basa basi menjadi kabur, baur.
“Aku tau kamu menyesal, oh aku terlalu menyayangimu hingga tak bisa sesaatpun menguntai benci padamu” suara paling merdu itu kembali menguar.
Heran, dia selalu bisa membaca pikiranku.
“Saya tidak suka mereka, mereka penuh benci dan prasangka” gumamku, meraih remote televisi, menghidupkannya, mencari cari kanal berita. Suara televisi kutiadakan. Aku tidak perlu suara lain jika dia yang bersuara di ujung telepon sudah mampu memenuhi segala kebutuhanku akan suara.
“Kamu tidak suka pada mereka yang penuh benci? Hahaha” dia tertawa dengan tawa paling indah yang pernah kudengar.
Heran, suara tawanya saja mampu membuatku turut senang.
“Saya tau, saya tak berbeda dengan mereka yang membenci jika bagi saya masih ada rasa tidak suka” Aku berpura pura menggerutu, ingin menarik perhatiannya.
Sejurus kemudian aku sadar, tak perlu berpura pura, dia selalu memberiku perhatian. Ah, rasa sayangnya padaku memang keterlaluan!
Lagi lagi dia seperti membaca pikiranku, kini bertanya.
“Kamu sayang padaku?” ucapnya, tanpa nada klise sama sekali.
Aku, entah, rasa rasanya sudah bermilyar kali mendapat pertanyaan seperti itu dari bermilyar hal dalam hidupku.
Hingga remang bagiku batasan atas pertanyaan klise dan pertanyaan basa basi dari tiga kata itu. Kamu-sayang-padaku?
Aku biasanya tak menjawab, sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk tidak menjawab segala hal yang masih (atau sudah) tak jelas batasannya bagiku. Tapi kali ini berbeda, pertanyaannya sama sekali tidak terdengar klise. Begitu tulus, paling tulus.
“Tentu, saya sayang padamu.” Kubiarkan suaraku terdengar menggantung, mengharap respon. Percuma, sebenarnya, dia selalu memberi respon atas semua pertanyaan dan pernyataanku. Hanya aku yang dibuai sibuk oleh keakuanku hingga lupa dan hilang perhatian atas responnya. Kali ini kucermati suaranya. Dia kembali menguntai tawa.
“Aku senang, kamu rupanya masih sayang pada dirimu sendiri. Susah ya, untuk berhenti tidak menyukai?” tanyanya lagi, kabel ulir menyentuh mulut gelas, nyaris menyentuh genang kopi (atau sesuatu yang kuanggap kopi) di atas meja. Kusentak perlahan, riak permukaannya kini tenang, tidak pula terlihat kepul asap berbau wangi dari dalam gelas. Sepertinya sudah dingin
“Televisi sedang menjualmu” kupaparkan padanya tentang iklan yang menjualnya secara grosir maupun eceran. Beserta sumber tenaga yang bisa diisi ulang dengan dicolokkan ke listrik. Juga tentang pernak pernik pendukungnya. Ada hijau, hijau sekali, putih, merah, biru hingga marka marka berbentuk kotak, gumpalan rumput berbuah, kepalan tangan hingga silangan senjara tajam.
“Saya kesal kamu dijual begitu” lanjutku
Dia tertawa lagi. Dia selalu menemukan cara untuk menertawakan apa yang kubenci dan mengundang
marahku. Dia humoris, paling humoris.
“Biarkan saja, yang menjualku justru bisa membuatku semakin terkenal. Kalau aku sudah terkenal, aku akan muncul di spanduk spanduk dekat kantormu, papan iklan di depan rumahmu, bahkan di setiap sampul buku yang kamu baca,” ujarnya, terdengar riang.
Dia melanjutkan dengan nada semakin riang
“Jadi, kamu akan menemukanku di kantor, rumah dan buku. Di setiap pikiranmu. Kamu akan selalu kangen padaku, duh, senangnya”
Aku tersipu, dia masih ingat hal hal kecil tentangku.
“Ah kamu! Saya jadi geer nih. Beberapa dari mereka selalu mencoba mengklaim bahwa kamu hanya milik mereka. Yang tidak setuju dimusuhi. Kadang, yang dimusuhi membalas mengklaim kamu. Mereka berebut kamu. Saya sebal sekali” gerutuku tak berbendung.
“Ciee.. kamu cemburu?” dia menjawab, dengan pertanyaan baru.
Wajahku terasa panas, kupingku apalagi, seperti ada yang mengigit gigit. Berkali kali kutepis anak rambut yang sebenarnya tak jatuh ke wajah. Gila, dia selalu tau cara membuatku salah tingkah. Jawaban terjujur kini tercetak di wajahku, aku bersyukur menghubunginya melalui telepon sehingga ia (kupikir) takkan bisa melihat wajahku. Aku berdehem, mencoba mengalihkan pertanyaannya.
“Kamu sedang sibuk?” tanyaku, mengambil sepotong koran dari bawah meja. Koran pagi tadi, kulipat kecil dan kukipas kipaskan pada wajahku yang merah padam.
“Hihihi, aku tidak pernah sibuk, engga seperti kamu yang sibuk terus sampai lupa buat kangen padaku,”
“Ah. Iya deh saya minta maaf,” aku kembali memasang nada merajuk padanya.
Dia kembali tertawa, “Eh, jadi kamu engga cemburu nih sama mereka yang sibuk memperebutkanku?”
Aku bergumam gumam.
Aku mengalihkan pandangan yang sedari tadi terfokus pada genangan kopi dalam gelas. Aku menatap televisi, ada ratusan orang tengah berteriak teriak sambil memukuli pria bercelana sarung. Pria itu tersungkur, wajahnya tunarupa. Bilur biru di sekujur tubuh. Aku melihat balok kayu dan laras besi menghujani tubuh si pria bercelana sarung. Sumpah serapah mengalun disela teriakan teriakan. Aneh, padahal televisi sudah kutiadakan suaranya, namun masih saja jeritan si pria bercelana sarung saat meregang nyawa hinggap di kupingku. Mungkin juga hinggap di gagang telepon, tersampaikan padanya.
“Mereka meneriakkan namamu saat membunuh pria itu,” bisikku pelan. Begitu pelan hingga aku ragu ia bisa mendengar kata kata yang bahkan tak sampai ke kuping kiriku itu.
“Siapa bilang itu namaku?” ia menjawab dengan tenang.
“Tapi televisi bilang itu kamu, namamu” aku lantas terdiam. Kata kata itu meluncur mendahului otakku untuk memikirkan maksudnya apa.
Dia masih di sana, menjawab dan terus merespon setiap nafasku.
“Jadi sekarang kamu lebih sayang televisi nih dibanding aku?”
“Huh! Nanti lama lama kamu bisa berhenti kangen padaku. Soalnya kamu fikir aku sudah ada di televisi,”
Aku tau dia hanya bercanda, tak pernah merajuk. Tidak sepertiku yang begitu mudah ngambek dan mogok menelponnya kala dia (kuanggap) tidak meresponku.
“Kalau suatu saat, mereka tau bahwa saya selalu menelepon kamu, lantas telepon ini diambil karena saya dianggap merebut kamu dari mereka, gimana?” lega, apa yang mengganggu pikiranku sejak melihat televisi tadi kini sudah kutanyakan.
Tut… tut… tut…
Telepon terputus tiba tiba.
Kutarik tarik kabel biru yang menjalar lewat jendela. Kupencet pencet tombol redial. Setengah putus asa kuguncang guncang papan plastik berisi belasan nomor. Tak sengaja tersenggol gelas kopi, prang! Pecah di lantai ubin. Aku kini menangis sejadinya, genangan pekat kopi bercampur lelehan airmata. Teleponku padanya tak pernah diputus (atau mungkin terputus) tiba tiba. Genangan kopi yang tak sempat terminum itu merembes ke karpet, perlahan mengalir hingga menyentuh steker listrik untuk televisi. Aku melihat percikan bunga api, perlahan membesar lantas terdengar letupan.
Televisi hitam, korslet.
Telepon berdering. Aneh, kabel biru yang menjalar di jendela telah kucabut. Bergegas kutempelkan
gagangnya ke kuping kanan.
“Dasar cengeng,” dia tertawa, aku merengut sambil menyeka airmata.
“Jangan lakukan lagi, saya kira kamu meninggalkan saya” suaraku tertahan tahan, mengisak isak.
“Habisnya, kamu selalu berbicara tentang televisi. Aku kan jadi cemburu,”
Aku menatap layar televisi yang hitam. Tidak lagi kulihat iklan yang menjualnya secara grosir maupun eceran. Beserta sumber tenaga yang bisa diisi ulang dengan dicolokkan ke listrik. Juga tentang pernak pernik pendukungnya. Yang berwarna hijau, hijau sekali, putih, merah, biru hingga marka marka berbentuk kotak, gumpalan rumput berbuah, kepalan tangan hingga silangan senjara tajam.
Tidak pula kulihat pria bercelana sarung yang dipukuli sampai mati oleh ratusan orang yang meneriakkan namanya di sela hujan sumpah serapah. Ruang tengah rumahku kini begitu tenang. Aku kini mengerti, bahwa dia hanya cemburu.
Bahwa dia ternyata tak ingin aku membenci orang lain karena televisi. Aku tersenyum, kuucapkan selamat malam padanya.Menuju tidur.
“Baiklah, kamu harus tidur, aku akan sangat kangen padamu. Hm.. sebelum kamu tidur, aku boleh ucapkan sesuatu?” aku menghela nafas, kusiapkan diri untuk menerima ucapannya.
“Apa itu?”
Suaranya nyaris samar. Antara udara malam dan aku yang kian mengantuk.
“Kamu tidak perlu melaporkan semua kebencian yang menguar di televisi padaku. Percayalah, aku sudah tahu
bahkan sebelum pria bercelana sarung itu mati dipukuli orang orang yang meneriakkan, kata televisimu, namaku. Aku sudah tahu bahkan sebelum iklan tentangku dimuat di televisimu. Kamu tidak membenciku karena ini, kan? Aku tahu bahwa kamu takkan menganggapku telah membiarkan mereka saling membunuh karena memperebutkanku. Aku tahu, dan aku akan bekerja dengan caraku.,”
Senyumku semakin lebar saat dia mengucapkan selamat tidur untukku. Kututup telepon dan mengulangi kata katanya.
Bahwa;
Dia ada, Paling Ada. Dia tau, Paling Tau.
***
Ditulis di hari Minggu, enam Pebruari 2011. Hari ini tiga orang meninggal dan sedikitnya 25 Jemaah Ahmadiyah Indonesia luka luka. Penyerangan dilakukan 500an orang di masjid mereka di Cikeusik, Pandeglang Banten.