Saya sempat online twitter dan menemukan sepatah kalimat disana. Kurang lebih berisikan : ‘Entah lantaran sekarang kita mudah membeli baju dan memperoleh uang, Lebaran jadi terasa istimewa hanya ketika kita masih anak anak’
Ingat zaman SD? Waktu angpao isi sepuluh ribu rasanya seperti harta karun. Disimpan rapi, lantas dipamerkan ke saudara dan kawan kawan, banyak banyakan duit. Lebaran seperti moment sangat istimewa. Yang sejak awal puasa dihitung pelan pelan, sambil wanti wanti jangan sampai bolong demi bisa dibeliin baju baru.
Meski sebenarnya bolongpun orangtua tetap akan membelikan baju, tapi puasa tetap anti dibolongkan kala itu. “Uh, pokoknya waktu masih kekanakan tu, supan banar mun sampai ketahuan orang tuha bolong,” kenang seorang kawan.
Atau ingat ketika saat itu kita seakan berlomba berangkat tarawih, demi mengejar tanda tangan sang Imam, mengisi buku ramadhan. Ketika buku ramadhan yang biasanya berisi checklist sholat, puasa, tarawih hingga hapalan ayat itu penuh terisi, nilai agama bisa naik loh! Dan ketika banyak bolongnya, saya yang sekolah di sekolah islamipun terbayang penggaris kayu milik wali kelas yang tak gentar melayang ke lengan dan pantat. Saat itu, didikan keras guru masih dinilai wajar, kalau sekarang mah orangtua si murid bakal lebay kalo tau anaknya dipukul guru.
Jujur, saat ini saya seperti kehilangan euforia lebaran. Saya bisa saja dengan mudahnya mendapatkan uang dan membeli baju setiap saat. Saya tidak lagi merasa membolongkan puasa adalah pelanggaran berat. Dan sekarang, saat malam takbiran seperti ini saya malah memilih mengurung diri di kamar. Sekedar menulis dan bermain Zuma.
Euforia itu memudar saat saya memasuki umur limabelas tahun. Saat saya menyadari bahwa saya memiliki kuasa penuh atas hidup saya. Kuasa penuh. Saya tidak bisa dan tidak boleh dikekang aturan dan perintah. Proses pendewasaan diri? Kok malah terdengar sangat egois?
Sejak itu, saya seperti ‘mencari’ rasa gegap gempita masa kanak kanak setiap kali menjelang lebaran. Saya mencoba membuat target sendiri perihal absensi puasa, atau mencoba bepergian bersama kawan saat malam lebaran. Mencari euforia itu. Hasilnya? Saya tetap merasa lebaran tak ada bedanya dengan hari biasa, pun halnya dengan ramadhan.
Karenanya, tahun ini saya semacam menyerah. Lelah mencari, saya putuskan untuk berdiam diri di kamar, mendengarkan lantunan takbir lamat lamat dari masjid depan gang. Meski kemudian suara takbir itu tenggelam ditelan belasan lagu keras dari dalam headphone.
Mungkin, ini karena iman saya yang lemah, atau lantaran saya yang sedari kecil hanya tau kalau arti lebaran adalah baju baru dan setumpuk angpao. Atau justru Iman saya kala bocah tak lebih dari sekedar rasa takut terhadap penggaris kayu…
No comments:
Post a Comment