Sepotong Kesal Sang Penyair Muda
Sore itu aku bertandang ke rumah dokter.
Pohon Akasia menyala di tepi teduh gedung praktiknya.
Dokter ini lulusan fakultas psikologi. Entah dokter entah psikolog.
Dengan segala keterprofesionalisannya ia bertanya.
Mengenai apa yang kukeluhkan akhir akhir ini.
Tergelitik rasanya untuk menunjukkan slip gaji yang angkanya mengecil.
Atau menunjukkan segunung kewajiban yang masih harus digenapi.
Dokter berkacamata kotak itu lantas menyilakanku berbaring di kursi malas di sudut ruangannya.
Aku mulai mengeluh, kubilang aku tidak lagi bisa menulis.
“Kenapa Anda merasa demikian?” kejarnya.
“Saya adalah penulis sajak penuh penderitaan. Saya menulis apa yang rakyat kecil kebanyakan derita,” termangu mangu aku menjawab seraya tak bisa lepaskan pandang pada televisi portable di sisi ruang.
Ia tersenyum. Kemudian mencoba menebak nebak tulisan seperti apa yang kuhasilkan.
Lantas, entah mengapa, ia menanyakan latar belakang ekonomiku.
Ya sudahlah, toh memang pekerjaannya menjajah wilayah pribadi pasien.
Kujawab ayahku dulu jendral, ibuku dosen. Keduanya kini hidup bahagia dengan uang pensiun masing masing. Sedari kecil aku hidup berkecukupan. Namun kemiskinan tetanggaku membuatku tersentuh. Simpati.
Aku yang terdorong menjadi penulis, berhenti kuliah, berangkat ke kota asing, mencoba menggali sisi miris rakyat kecil.
“Banyak yang memuji tulisan saya. Mereka bilang saya mampu menangkap sisi muram negri ini. Anehnya tak satupun penerbit menarik saya untuk menjadi penulis mereka, “
“Lantas bagaimana caramu membuat orang lain tau tentang tulisanmu?” sang dokter seakan memberi pertanyaan retoris.
Aku menjelaskan mengenai upayaku bergabung dengan komunitas gratisan untuk bisa menulis dengan upah gratis tentu saja. Dan betapa lelahnya aku memenuhi hidup dengan menjadi penyiar lepas di radio.
Dan betapa tulisan itu lantas dibaca banyak orang. Mungkin efek gratisan.
“Sekarang saya kesulitan menulis lagi, dok. Redaktur majalah gratisan terus mencecar tulisan saya yang tak lagi mengiba iba seperti dulu.”
Lalu kujelaskan bahwa sekarang tulisanku penuh kemarahan. Protes bahkan mulai mencerca kemiskinan. Mencerca apa yang menjadi ladang inspirasiku.
“Marah?” tanya dokter seraya menaikkan sebelah alisnya.
“Ya. Dok. Saya merasa marah pada para miskin yang hanya bisa mengeluh dan mengiba atas nasib mereka. Saya merasa jengkel pada pengemis yang selalu merasa iri pada nasib bermobil yang tiap hari ia ketuk jendelanya,” ungkapku berapi.
Aku juga menjelaskan betapa sebalnya aku pada tangisan bayi mendamba susu, loper putus sekolah dan pengemis kereta api.
“Ah. Aku tau..” dokter itu lantas mengambil gelas berisi air putih, menjulurkannya padaku.
“Anda, dalam hati seakan berontak dan berteriak. ‘Aku juga menderita, aku juga kesulitan. Sulitkah bagi kalian untuk mengerti dan setidaknya bersyukur aku sudah menyuarakan sakit kalian? “ lanjutnya.
Hebat, tak percuma aku habiskan tujuh kali berganti angkutan kota untuk mendatanginya.
“Saya hanya merasa,. Tidak lagi mampu mengerti perasaan mereka. Apa lantaran saya sudah menjadi bagian dari mereka?”
Dokter kembali berdiri, mempersilakan saya menuju pintu keluar.
“Tidak ada yang perlu Anda khawatirkan. Anda telah menjadi manusia sepenuhnya,”
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Ditelan Zaman
Kuterka, usianya lebih dari 70 tahun. Mungkin 80. Sulit menebaknya di sela keriput dan tatapan mata sayu itu.
Aku sedang menikmati makan siangku. Sengaja kupilih warung pinggir jalan, harganya murah, meski harus berkawan dengan pengamen dan kuli bangunan.
Siang itu terik, sang kakek melepas topi baretnya. Aku pesimis topi lusuh itu mampu menangkal matahari dari wajah rentanya.
Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang tak kalah lusuh dari baretnya.
Semacam naskah, entah. Kulanjutkan menyeruput es jeruk, tapi tak lepas juga pandangan atasnya.
Sang kakek lantas menggumam sendiri. Aku bisa mendengarnya dari seberang meja kecil yang berjajar sekenanya di warung kumuh ini.
Kurang lebih “Mau kemana lagi” yang ia senandungkan*, lirih.
Iseng. Kucoba tanya apayang sedang ia lakukan,
Rupanya kakek ini sorang penulis. Sastrawan sejak tahun enampuluhan.
Tampak matanya bersinar ketika bercerita mengenai zaman perang.
Penasaran. Kuminta izin untuk membaca naskah yang ia pegang.
Waktu istirahat siang tinggal seperempat jam.
Bait huruf yang ada di dalam naskah itu diuntai menggunakan mesin tik. Terlihat guratan putih bekas ditimpa pembersih.
Kurang lebih bercerita tentang fiksi-nyata seorang pejuang. Dan kisah cinta klasik yang polos.
Bagiku, seorang kakek yang hidup di zaman sulit seperti kala itu, bisa membuat novel adalah hal luar biasa.
Kakek itu lantas menyebutkan namanya, tidak kukenal. Tapi ia mengaku tulisannya dulu dipuji para pejuang. Karyanya membangkitkan semangat, jujur, dan mengena meski kadang terlampau sarkastik.
Kini, ia baru saja pulang dari penerbit ke enam. Belum ada yang berminat.
Waktu istirahat habis, kutinggal sang kakek kembali tenggelam dalam kopi dan gumamnya.
Perjalanan kembali aku tersenyum. Aku teringat sosokku sepuluh tahun lalu. Kala masih duapuluhan. Masih beridealis tinggi. Merasa bisa hidup dengan tulisan melawan pasar.
Sama seperti sang kakek. Aku merasa hebat dengan pujian atas segala kekritisan itu. Lantas pelan merasa dikhianati tulisan sendiri.
Aku menyerah, sang kakek tampaknya belum goyah.
Menghela nafas, aku kembali ke kubikal sempit tempatku menghabiskan belasan waktu setiap harinya.
*kok aku kebayang si kakek nyanyi lagu Armada ‘Mau dibawa Kemana’ yak..
hehehehe. Dua sajak sok nyastra inipun berhasil ditelurkan.
(terimakasih untuk bacaan bagus yang sungguh menginspirasi, Aku Ingin Menjadi Peluru -Widhi Thukul)
Selamat Menjelang Lebaran!
No comments:
Post a Comment