Saturday, September 25, 2010

Fiksi

kembali beres beres kamar, setelah sebelumnya menemukan naskah drama kancut (baca disindang), kali ini nemu naskah mini novel yang udah keprint. Sekitar dua pertiga. Sepertiganya masih belum selesai. Heran, aku ini paling susah nulis sesuatu yang lebih dari tig lembar. Cepet bosenn.

Naskah ini ditulis pas kelas 2 SMA. Umur masih 15 taun, abege abegenya, gila gilanya. Waktu itu, aku punya hobi menyakiti diri sendiri. Mulai ga makan, nindik kuping, sampai doyan nabrak nabrakin motor ke truk sampah. (oke, yang terakhir lebay).

yang warna ungu, diketik oleh Aulia Mandasari, kawan seperjuangan hahaaha. Waktu itu masih belum punya komputer, Lia yang baik hati itupun rela menerjemahkan tulisan tanganku (yang sumpah jelek abis) ke dalam ketikan komputer. i love u dah, aw.

Isinya, kurang lebih seperti hiperbolanya diariku. Believe me, itu mungkin termasuk salah satu dari karyaku yang paling makan emosi. Pas nulis endingnya (yang sampai saat ini masih berbentuk tulisan tangan), aku sampai nangis guling guling. Sambil makan beling.

hahahaha. Kali ini kuposting ah...

Bernafas dengan nafas baru…

Take a deep breath…

Aku harus “menyelesaikan” kegilaan ini, kutatap langit, aku sudah terlalu lama tak ber “emosi”, hanya memasang wajah datar, sekacau apapun badai dalam hidupku (atau memang sudah tak ada lagi rasa yang tersisa? Atau memang tak pernah ada badai dalam hidupku?), rasanya sudah terlalu lama sekali aku gak pure tertawa.

Kututup laptop. Mengambil selembar kertas dari binder maple

geologi. Lantas mengobrak abrik tas demi menemukan pulpen.

Benar, aku harus mengakhiri kegilaan ini.

Aku harus lepas dari depresi ini.

(sebelum aku mengidap disorder bipolar, gila, atau bahkan kecenderungan menjadi psycho).

Belum juga kutulis sepatah kata di atas kertas, airmata telah menetes. tapi ini harus berakhir.

Dia harus tau perasaanku.

Sooner or later.

Confession

“bohong namanya kalau aku tak kehilanganmu

Sosok indah pengisi gelap hariku.

Bohong kalau aku bilang

“tak apa-apa, aku baik-baik saja”

Ketika kau memutuskan untuk menghilang dariku.

Ketika kau pergi…

Bahkan tanpa mengucapkan kata “selamat tinggal” untukku.

Tapi akan amat sangat konyol sekali jika aku datang ke hadapanmu dan berkata “jangan pergi karena aku mencintaimu”.. isn’t?

Aku hanya mencoba bertindak rasional, berfikir realistis. Siapa “aku” sampai begitu egoisnya mengharap cintamu, aku hanya ananta bodoh, yang begitu mudah terbang, dan begitu tersakiti ketika jauh ke tanah.

“aku” hanya ananta bodoh, yang senang melayang, lantas terantuk langit-langit keterbatasannya.

Jadi,ini adalah surat cinta berisi perasaan bodoh yang kupendam selama 3 tahun untukmu.

Pernyataan bahwa..

Aku bahagia bertemu denganmu.

Karena kamu mengajarkanku untuk berdiri di atas segala cacatku.

Pernyataan bahwa..

Tak akan pernah ada kata menyesal untuk perasaan ini.

Sekonyol, segoblok, sesakit apapun rasa ini berimbas kepadaku.

Pernyataan bahwa.

AKU MENCINTAIMU.

Dan aku ingin menghentikannya.

So,farewell for u.

Find ur expectation.

god luck”.

Kubaca sekali lagi, segera aku beranjak, sebelum aku berubah pikiran, aku harus menyelesaikan ini.

Sekarang.

Tak perduli sudah jam 2 malam atau apapun.

Sekarang.

Ku gas motorku secepat mungkin, hingga nafasku terasa sesak. 80.. 90…. 100, kerumunan komunitas jalanan menatapku dengan tatapan garang. Dengan kecepatan seperti itu, sama saja dengan menantang keotoritasan mereka. Tapi aku tak peduli, go head, kejar, tabrak, bunuh saja..

Rumahnya sepi, kupencet bel di pagar rumahnya. Lama kutunggu. Kupencet lagi. Sedikit tersentak dengan bunyi kunci rumah yang dibuka. Ben keluar.

“Nanta?”, katanya, kebingungan melihat sosokku

“ini”, kuserahkan kertas itu, tanpa amplop, tanpa serpihan mawar, tanpa airmata.

Dia menatapku lama, aku tertunduk, lantas terkejut mendengar suara wanita dari depan pintu, mengganggu adegan “tersipu-sipu” ku.

“beib…itu siapa?”,

Deg! Perempuan di took kaset tempo hari ada disana.

“oh, ini Nanta, temanku”,

Sejuta paku, jarum, tetesan air raksa terasa menghujaniku.

“masuk aja nan, dirumah lagi ga da sapa-sapa, lagi pada liburan”, ujar ben, membukakan pagar lebih lebar.

Suaraku terasa tercekat di tenggorokanku,

“gak usah, aku pulang aja”.


Kupacu motor sepelan-pelannya, melalui jalan-jalan sepi, anehnya, tak ada airmata, hanya sesak.

Aku menuju gedung belum jadi di pinggiran kota, naik ke atas sana, menampar tembok hingga tangan memar dan berdarah, beringsut pelan aku duduk. Berteriak sekuat-kuatnya.

Kutatap tembok kosong, kutatap awan hitam.

Anjing!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Konyolnya aku berharap 3 tahun berlalu dan ia masih menginginkanku.

Gobloknya aku yang mengira dia sibuk dengan kuliahnya dan fokus terhadap karirnya hingga ia menolak untuk mencintaiku.

Goblok!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Kuambil cutter dari dalam tasku,

Kuiris pelan ke pergelangan tangan,

Hanya darah yang kulihat, mengalir pelan. Bukan kematian, bukan malaikat maut.

“kurang dalam”, batinku

Ku ambil lagi cutter,

Hapeku bergetar,

Mama, calling..

Kuurungkan niatku untuk mati, aib apa lagi yang harus ditanggung orangtuaku??

Mereka sudah “melarikan diri” ke kota lain demi menghindari malu karena Rara menikah dengan perut membesar, kemana lagi mereka harus lari jika dunia sampai tau, kalau Ananta, anak kedua yang selalu mereka banggakan karena mendapat beasiswa dan mampu menghidupi dirinya sendiri mati bunuh diri hanya karena patah hati?? Hanya demi masalah sepele?

HP ku bergetar lagi,

Kudiamkan, kembali ku terbang ke dunia lamunan.

Kali ini benda sialan itu mengeluarkan nada, ada pesan. Pelan memang, tapi sangat mengganggu.

Benda sialan ini bergetar lagi,

Kulemparkan benda itu ke tembok kosong, serpihannya melayang, benda itu sekarang tergeletak diam, mati.

Lama aku duduk dan termenung di gedung itu, menatap dinding, memikirkan betapa konyolnya perasaan ini.

Gak penting.

Pagi menjelang, kutatap ke bawah gedung yang menghadap ke arah jalan raya, rombonga ibu-ibu penjaja sayur lewat, anak-anak pergi ke sekolah, petugas PU menyapu jalanan.

Hidup ini sebenarnya sengat sederhana, aku saja yang berlebihan menanggapi semua peristiwa.

Beranjak aku pergi, darahku sudah mulai kering meski memar kebiruan masih tersisa disana.


Ruang tamu rumah rara kosong, tumben, biasanya celoteh adinda mengikuti acara sesame street menggema. Aku benci anak-anak, menarik simpati dengan kpolosan mereka. Munafik. -Biasanya aku pulang dari kampus pagi hari, kerumah Rara sekedar berganti baju atau sarapan, lalu pergi, rumah Rara hanya tempat transitku untuk mandi-. Kumasukkan kunci serep ke dalam tas, mengambil handuk, HVS yang menempel di kulkas menarik perhatianku.

Nan, cepat susul kami ke Banjarmasin, ayah sakit, aku sudah berangkat tadi malam, kamu dihubungi gak bias, tiket bus ada di bawah taplak meja makan”

Batal aku mandi, bergegas mencari tiket, jam keberangkatan bus adalah jam 8. Kuputar pandanganku, menyapu dinding, damn!, di mana benda sial itu berada?? Panik aku menghambur menuju kamar. Jam 7.34. kupacu ngebut motorku menuju terminal.

Jam 2 siang, Palangkaraya, ini sebabnya aku benci bus, terlalu sering transit, entah untuk makan penumpang, ke WC, ateu sopir yang napsu buat beli rokok!, lambat!!!! Teriakku dalam hati, perasaanku tidak enak, entah mual, luka-luka ditanganku yang mulai berdenyut perih, entah apa.

Jam 6 sore aku tiba di Banjarmasin, ganti bus, menuju desa ayah di perbatasan Kalimantan timur, jam 10 malam akhirnya benda rongsok ini tiba di desa ayah, diluar mendung, seberkas cahaya mulai menyala redup di tiap-tiap rumah di kampung yang nyaris seuruh pendududknya dalah petani karet. Nyaris tertatih aku berjalan, menapaki jalan kecil di pinggir sawah, menuju kampung ayah….


Rasanya gelegar petir, segala rupa kepedihan menyambarku saat itu juga, alunan tahlil, mura’tal alqur’an, bendera hijau di depan rumah ayah adalah satu-satunya mimpi buruk, mimpi terburuk yang bahkan tak berani untuk kumimpikan.

DAN ITU TERJADI.

Aku terlambat 2 jam, aku terlambat meminta maaf pada beliau di helaan nafas terakhirnya, aku terlambat atas segala salah dan maafku.

Satu minggu aku disana, bukannya ikut manyibukkan diri dengan mengurus pemakaman, aku hanya pergi ke bukit hjau di pinggir sawah, ketika pagi, lalu pulang saat matahari mulai tenggelam, selama seminggu penuh.

Malam ini, setelah acara tahlil 7 harian, aku minta izin untuk pulang, cuti kerja selama 7 hari penuh, tanpa pemberitahuan, aku takut tidak ada toleransi lagi untukku.

“pulang saja, jaga kesehatan ya”, kata ibu, menatap wajah beliau rasanya begitu berat, terlalu banyak sedih menggantung disana.

“iya ma”, jawabku singkat,lantas kembali memulai perjalanan panjang dan melelahkan, menuju tempat yang bahkan tak berani ku panggil rumah. Tak ada satupun tempat di dunia ini yang mampu kusebut “rumah”.

Aku mengutuk cinta ini.

Aku mengutuk ben dan perempuan itu.

Aku mengutuk aku.

Aku mengutuk tuhan.

Aku mengutuk takdirku.

I’ve been so unconcious for a long time. I wanna wake up. Wake me up!. Aku harus berhenti sadomasokis, aku harus berhenti menyakiti diriku sendiri, aku harus berhenti “sendiri”, aku tak ingin tak ada satu orangpun yang nantinya datang di pemakamanku. AKU HARUS BERHENTI.

Mencintainya.

Aku merelokasi hidupku. Tak lagi berkutat dengan dunia “kedua”, tapi fokus terhadap dunia nyata. Kuhentikan kegilaanku pada dunia cyber, mencoba untuk bersosialisasi, menemui hal-hal baru. Dan kuharap. Bertemu dengan seseorang yang mampu sembuhkan kegilaanku pada Ben.

Malam tiba dan aku masih selalu berada di lantai teratas gedung kampus. Kukemasi semua barang, memasukkannya ke dalam tas tua yang setia menemaniku sejak bertahun-tahun lalu. (bukti kegilaan lainnya, aku masih memakai barang yang pernah kupakai waktu Ben masih bersamaku. Kusimpan untuk alasan nilai historisnya tertalu tinggi, hingga ia tak layak dibuang). Menuruni tangga sepi, gedung ini Cuma 3 lantai, khas daerah tertinggal.

Menyusuri jalan-jalan dalam kota, hingga tiba pada daerah pinggir kota, kutatap gedung yang pernah menjadi saksi ketololanku karena mendiamkan panggilan mama tentang kematian ayah, malah lantas melempar benda itu, hanya untuk alasan bodoh : mengganggu konsentrasiku meratapi kepedihan karena berhenti mencintai Ben.

Sebenarnya tak ada yang salah pada gedung tua ini. Sama layaknya gedung-gedung terlantar lainnya. Yang membuatnya istimewa adalah, cerita di balik pembangunan gedung ini. Sebuah gedung yang di alokasikan sebagai hotel berlantai 7 di hentikan pembangunannya Karena pemiliknya bangkrut, lantas bunuh diri. Selain itu, setelah kematian sang pemilik, 2 orang pekerja tewas tertimbun batu kasar. Semenjak saat itu, gedung ini ditelantarkan, tak ada yang berani membelinya, alih-alih mendirikan bangunan di atasnya, karena konon katanya, arwah ketiga orang itu masih berkeliaran di sekitar gedung. Well, sekali lagi, sangat khas daerah terpencil, menggantungkan hidup pada mitos konyol yang belum tentu benar.

Gedung itu tua, berlumut, dan tanaman liar merambat dimana-mana. Kusembunyikan motorku ke ruangan yang seharusnya dijadikan lobi hotel. Tak lucu saja rasanya jika aku digaruk satpol PP atas dugaan melakukan tindakan terlarang disini. Kukeluarkan charge lamp dari dalam tas, lampu kecil itu menyala, menerangi ruangan dalam gedung ini. Kontur gedung yang seharusnya jika selesai dibangun ini akan bergaya minimalis, mempermudahku untuk menapaki bongkahan-bongkahan beton yang mulai runtuh dimakan usia, setelah “mendaki” bongkahan beton, aku menuju lantai 2, disini tangga yang terputus dilantai 1 tadi utuh, menjulang tinggi hingga lantai teratas, aku dapat melihat beberapa sisa-sisa pot bunga besar di samping lift, lukisan-lukisan yang mungkin beberapa tahun lalu masih utuh bentuk rupanya.

Lantai ketiga, aku dapat melihat bahwa pembangunan gedung terhenti di lantai ini, bekas-bekas kayu tempat semen, kuas, dan banyak sekali peralatan pertukangan tertinggal disini. Ada fiberglass yang menutupi lantai ini. Mungkin untuk melindungi pekerja dari hujan pada saat pembangunannya. Sekarang fiberglass itu tak lagi utuh, tapi kurasa cukup untuk melindungiku terhadap peluang hujan. Di sela-sela fiberglass, aku dapat melihat bintang, bertebaran. Jika aku adalah tipe perempuan melankolis, aku pasti akan membayangkan menatap bintng ini bersama kekasih tercinta, diiringi lagu answer dari Sarah Mclachlan. Haha. Poor me, nop, poor the stars, I just ignore ‘em. My romantic mood already gone.

Kupilih tempat di pojok gedung, meletakkan charge lamp. Rasa tekut sudah menguap pergi. Entah kemana. Kuambil binder, menggambar sketsa untuk “lukisan” pertamaku. Pathetic me, tercetak lumayan indah di kertas ku. Kuambil beberapa pilox dari dalam tas, menghamburkannya ke dinding polos berwarna putih yang sudah mulai berwarna kekuningan di sudut gedung. Tak lupa kububuhkan inisialku pada pojok graffiti. “lumayan”, batinku, tak sia-sia rasanya semenjak SD aku sudah aktif menggambar sailormoon (hahaha).

Suasana kampus riuh. Kerumunan orang menyemut di sekitar panggung, kampus mengadakan pensi hari ini, acara di gelar hingga larut malam, kredibilitas atap gedung kampusku terancam dengan banyaknya panitia yang memutuskan untuk menginap di kampus.

Jam 11 malam, crowd mulai memudar, tinggal penitia dan beberapa orang dari pihak sponsor menata panggung dan stand, untuk besok pagi. Menuju gerbang, ada Ben, di parkiran, memeluk nanda, suasana memang sepi, agak gelap. Whadda perfect moment. Aku rasa mataku memanas, “untung saja gelap” batinku. Tanpa mengindahkan mereka sama sekali, aku berlalu. Kukira aku akan sampai dengan selamat ke gerbang, hingga saat tanganku ditarik olehnya.


Tangannya memegang bahuku. Menatapku dalam, damn! Airmata sial ini tak mau kompromi padaku sama sekali, dengan riang gembiranya mereka bermain perosotan dipipiku.

“nanda, kamu duluan ya, nanti kususul, aku mau bicara dengan nanta”, bisik Ben pada nanda yang saat itu berada disisinya.

“iya beib, nanda tunggu yah”

Lama aku membatu, hingga akhirnya suara Ben menyadarkanku kalau ternyata aku masih ada di bumi.

“Nan,mengenai suratmu”, suara Ben tertahan, tangannya memegang pipiku, membimbing wajahku yang tertunduk dan dibanjiri airmata untuk menatapnya. Tangannya mengusap pelan airmataku. Aku terpaku. Tak mampu ucapkan apa-apa, tak mampu bergerak barang seincipun.

“Aku dan nanda sudah berpacaran sejak aku SMA, saat mengenalmu, aku sama sekali tak berharap agar kau jatuh cinta padaku, aku menganggapmu sama seperti Rara, teman”

suaranya pelan, bahkan nyaris berbisik, namun terdengar layaknya aku sedang berdiri di samping soundsystem konser bleeding corpse. Terasa mendenging, pusing, menyakitkan.

“Nan?”tanyanya pelan, seolah-olah meyakinkan ku bahwa aku benar-benar mendengar pernyataan indah itu.

“bukankah hal yang wajar jika seorang teman datang dan pergi dalam hidupmu? Aku meresa tak layak bilang selamat tinggal pada saat itu, karena kurasa kamu adalah temanku, dan kita akan tetap berteman, no matter how long I’ve been passed away from your life!” terang ben panjang lebar.

Suaraku terasa bergetar saat aku berkata

“kalau begitu, aku mengerti, jawabanmu sangat sederhana. Cinta itu tak pernah datang padamu, aku yang berlebihan menanggapi semuanya”

Kali ini Ben menggeleng

“apa yang kumaksud tidaklah se gamblang itu, aku hanya merasa, kita adalah teman, dan selamanya hubungan pertemanan ini tak akan berubah!”

Kujawab dengan sangat pelan

“Aku tak berharap kita dapat berteman, aku sama sekali tak inginkan orang sepertimu menjadi temanku”. Kulepaskan tangannya yang menggenggam tanganku sedari tadi, kemudian melangkah pergi.

Suara Ben setengah berteriak saat langkahku makin jauh menyentakku. Membuat airmata tolol itu tak berhenti hingga pagi.

kalau begitu fine! Anggap saja aku tak pernah datang dalam hidupmu. I mean it. Farewell for you!!”


Aku akhirnya punya hobi baru, terasa sangat menyenangkan untuk menuangkan segala rasa dalam bentuk umpatan berformat graffiti, longgarnya pengamanan daerah-daerah pinggir kota mempermudahku untuk “melancarkan aksi”, haha. Sebuah umpatan kekeceewaam mendalam, terhadap kisah konyol yang membuatku tertahan selama bertahun-tahun, kisah yang menghentikanku bertingkah normal, berhenti berfikir rasional. Inisial namaku selalu menyertai pojok-pojok graffiti asal tanpa basic seni itu. Kembali aku mengingat suara Ben yang terpeta cukup jelas pada surat kecil di lokerku pagi itu.

“aku sudah meyakini ini akan terjadi, kau datang padaku dan menawarkan cinta. Maaf Nan, sekali lagi ini bukan salahmu. Ini salahku yang terlalu menyepelekan batasan pertemanan kita. Aku terlupa hingga tak menyadari telah memberimu sebuah rasa, maaf.”

“cowo anjing”, gumamku tanpa sadar, jadi selama ini dia ada dibelakangku, tertawa sepuasnya atas segala rupa kekonyolanku dalam rangka mencintainya?. Aku merasa malu, tapi lebih di atas itu, ada sebongkah rasa marah yang amat sangat, yang tak bisa ku ungkapkan, there is no other way but struggle, melawan hari-hari selanjutnya dengan tatapan menghina Ben di setiap langkahku..

“aarrgghhh.. kok aku jadi parno gini sih?” umpatku, menendang kaleng-kaleng pilox kosong. Biar mampus aku tak mau peduli, sudah ancur, sudah selesai. Kunyalakan rokok, jam 1 malam, gedung pajak yang batal dibangun gara-gara proposal pembangunannya ditolak pemda. Sebuah tindakan yang amat bodoh sebenarnya, melakukan tindakan sia-sia, seharusnya jangan buang-buang APBD buat hal-hal yang gak pasti.

Kutatap graffiti ke 3 ku minggu ini. Diambil dari band favoritku. Necrophagist, “hahaha”, aku tertawa dalam hati membayangkan muka pekerja bangunan yang membangun gedung ini, melihat karyaku, dari kejauhan terdengar deru motor, kutajamkan telinga, ini hanya motor biasa, bukan suara engine motor polisi. “paling juga gank motor”, batinku. Dan benar saja, rombongan anak-anak muda beserta motor mereka lewat, mereka menamakan diri sebagai KMM, Komunitas Motor Modifikasi, isinya, ya anak-anak muda dengan orangtua kaya raya yang mampu membelikan anak-anaknya motor super mahal, lantas membiayai modifikasi yang harga nya naujubile, komunitas ini sendiri lumayan disegani di kota ini, anak bupati menjadi salah satu membernya. “ah, peduli”, batinku, mengemasi kaleng-kaleng yang belum sepenuhnya habis. Tepat saat rombongan itu melintasi gedung pajak ini.

Kulihat salah satu dari rombongan itu memelankan laju motornya, menunggu jalanan sepi, lantas berputar arah, menujuku, aku tersentak, mereka-reka apa salahku padanya. Kucoba bersikap tenang, damn, terlalu lama tak pernah berhubungan dengan manusia, penyakit “speechless” ku makin parah, gugup, kaku, tak bias bicara apa-apa, dia mematikan motornya. Melangkah ke arahku, lantas melakukan hal yang kuduga sebelumnya(tadinya kupikir dia akan melakukan tindakan kriminal: memalakku misalnya), dia mengulurkan tangannya. Setengah kebingungan aku berkata.

“apa maksudmu?”,

Dia hanya tersenyum, meraih tangan ku, menjabatkan tanganya dengan tanganku.

“aku Dimas”.

Kurasakan suaraku bergetar ketika kusebutkan namaku.

“Nanta.”

“kamu…kenapa ? langsung ngajak aku kenalan?” lanjutku hati-hati, mewaspadainya, takut ia mengeluarkan pisau dan menodongku. Haha.

“aku suka graffitimu, necrophagist adalah band teknikal favoritku”.

Aku hanya mampu ber-“oo”, meskipun aku sedikit kaget ada orang yang tau necrophagist di kota sekecil ini.

Tanpa memperdulikan aku yang sudah totally confuse, dengan ringannya ia menarikku untuk duduk di salah satu bongkahan gedung.

“untuk necrophagist,aku kurang suka semenjak Romain Guilon diganti Hannes grossman”, katanya, memaksaku untuk ngobrol dengannya.

Merasa tertarik dengan topik pembicaraan, aku pun menimpali ceritanya dengan seru.

“hm, makanya aku lebih suka album onset of putrefaction daripada epitaph, kurang maksimal, ditambah lagi, Hannes Grossman sudah keluar dan digantikan Marco Minneman, Hannes bikin band Obscura bareng Christian Muenzner,mantan gitaris necro, hehe”, cengirku tak keruan.

Dimas terdiam, terlihat seperti terkejut tatu menahan kentut(aku kurang pandai membaca ekspresi).

“kamu tau??? Kamu adalah makhluk langka!!!”. Teriaknya memecah orchestra jangkrik di semak-semak sekitar.

Aku bekakakan ga kepalang.

“jarang ada cewek seneng metal, apalagi di kota sekecil ini!”,

Dia mengeluarkan mp4 dari dalam ranselnya, menawariku memakai headphone kecilnya, kukenakan, terdengar raungan distorsi dari dalam sana.

Dia tersenyum.

“gimana?”. Tanyanya, menanti jawabanku.

Kulepas headset, tersenyum.

“brutal death ya?” tanyaku.

“ah, nyaris!, itu hyperblast”.

Aku cekikikan.

“hehe, keren lho.. sekilas rasanya aku kaya dengerin disgorge, atau jangan-jangan ini album barunya opium ya? Band bandung yang mirip disgorge itu”.

Kulihat dimas merengut, tampak tak terima mendengar nama opium.

“itu band dari Jakarta…”

Belum selesai kalimat dimas, lantas kupotong.

“HM.. grausig yaaa”, sahutku dengan napsunya.

Dimas terlihat makin ngambek, ekspresinya kocak banget, tanpa sadar ku tertawa, lepas, tawa yang tak pernah kukenal selama 3 tahun belakangan ini.

“ini kan bandku Nan.. memang sih, belum sebesar grausig..”

“tadi cuma becanda kok, grausig vokalnya beda dengan ini, aku suka bandmu, inhale-nya manteb” komentarku,

“bener kamu suka?aku lho vokalnya”,

Obrolan kami pun berlanjut hingga pagi, benar-benar malam yang menyenangkan, tanpa kusadari, ada setitik perasaan gembira kurasakan, seperti menemuka orang yang “sama” sepertiku. Melangkah ringan ke rumah Rara. Bersenandung riang menuju kampus.


Namanya Dimas, dialah pengisi hariku saat ini, dialah yang selalu menemani malam-malam ku, sekedar sharing tentang musik, atau bertukar pendapat tentang suatu masalah, kegemarannya pada music metal membuatnya menjadi sosok orang yang unik, yang dewasa, struggle, dan selalu berjuang. Pernah pada suatu malam di gedung tua yang sudah kami noktahkan sebagai “markas” kami, pembicaraan seru tentang album terbaru cannibal corpse, evascreation plaque, tehenti, dimas tiba-tiba diam, aku sempat bingung, apakah efek terlalu banyak minum arak lokal, dia jadi kencang tak keruan, atau memang ada yang tiba-tiba mengusik pikirannya (aku bahkan sempat mengira Dimas kesambet).

“kamu..”

Suaranya terhenti, menatapku lama. Membuatku berfikir keras, ada apa? Apa yang begitu mengusiknya hingga membuat pembicaraan tentang fatalnya kesalahan slipknot yang berubah jadi “tidak-matal-lagi”.

“aku baru aja..”

“ya, Dim?”, tanyaku penasaran.

Dimas tiba-tiba tertawa kencang,

“aku barusan kentut Nan!, itu memerlukan konsentrasi penuh!”

Teriaknya sambil berdiri, menghindari sambitan kaleng pilox ku.

“Nan, tolong packing in barang baru ya”, kata Tyo, manager toko menyuruhku, aku tak di pecat semenjak terakhir kali aku bolos hingga 7 hari, alasan menghadiri pemakaman ayah ampuh buat tetap mempertahankan posisiku di toko ini.

Selesai packing, aku kembali ke meja kasir, tempatku bertugas selama ini. Memutar lagu limp bizkit, yah.. band industrial metal ini cukup memuaskan daripada aku harus memutar lagu-lagu ungu sebagai backsound toko. Kualihkan pandangan pada mobil VW biru muda yang memesuki pelataran toko. Pelanggan, batinku sambil berdiri, satu kebijakan konyol toko bahwa selama customer ada dalam toko, para pegawai wajib berdiri, dalam posisi siap melayani. Sucks,. Ternyata yang datang adalah Nanda, tanpa Ben.

Dia melangkah menuju ke arahku. Menyerahkan amplop merah muda berenda, tersenyum kecil, (entah mengapa aku menginterprestasikan senyum itu sebagai senyum kemenangan). Lantas berlalu. Tak perlu dibaca seluruhnya, aku sudah tau, itu undangan pernikahan, cukup dengan melihat foto dan tulisannya. “to : Nanta and partner”, ada perasaan aneh, perih sekali, sangat sakit, membayangkan orang yang mengisi pikiranku bertahun-tahun, akan menikah dengan orang lain.

Pulang kerumah. Kesepian membuatku semakin gila. Kuputuskan buat gak ke kampus hari ini. Aku terlalu lelah untuk menghadapi kehidupan, Rumah kosong, Rara dan suami beserta anaknya pergi liburan, ke Bali, kuhabiskan waktu hingga pagi hanya dengan tidur. Berangkat bekerja seperti biasa, tapi Tyo akhirnya menyuruhku pulang cepat kerena pekerjaanku tak ada yang beres, seharian itu, aku menjadi orang linglung, stuck, tak mampu melakukan apapun, karena bayangan akan Ben yang duduk di pelaminan, bersama Nanda, terus mengusik prikiranku.

Pernikahan itu akhirnya terjadi, seperti seorang “geek”, aku mengamati prosesinya dari kejauhan, ya, ada harapan konyol di dalam hatiku bahwa akan ada badai Katrina, angin puting beliung, atau bencana besar lainnya, yang mampu menggagalkan pernikahan ini, lebih-lebih, membunuh Nanda dan meninggalkan Ben hanya untukku.

Tertatih pulang, hidupku terasa terhenti pada hari itu,I feel nothing but empty, aku merasa kosong, aku merasa hampa. Aku lupa akan segalanya, kuputuskan untuk tidur, hari Minggu, dan kupaksakan untuk bangun pada sore senin. Tidur rupanya tak mampu membuatku lupa akan segalanya. Aku menuju pojokan kamar, menangis pelan hingga pagi menjelang.

Ini hari kelima aku “berduka cita”,akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan hidup, 5 hari tak bekerja, 5 hari tak pergi ke kampus, aku hanya takut jika dunia berhenti peduli padaku. Kuraih tas bututku. Akhirnya, seletah sekian lama, aku memutuskan untuk berhenti menggunakan tas ini, berharap dengan membakarnya, kenanganku bersama Ben juga akan terbakar lenyap bersamanya. Selagi membongkar tas, aku baru sadar bahwa telah melupakan sesuatu, Dimas!, bisa-bisanya aku lupa dengannya,kuraih handphone. 5 hari handphone ini kumatikan, buset. 29 pesan, semuanya dari Dimas (betapa menyedihkannya aku, hanya ada satu oreng yang peduli padaku, bahkan setelah 5 hari aku tak melakukan apa-apa). Kubaca dari bawah.

Nan, ad hal pnting yg gw mw ksih tau. Mlam ini ke markas ya”.

Message sent : 17 februari 2009.

Kulewati beberapa sms, menuju sms teratas.

gw brngkat ke Jakarta hari ini Nan, lo dmana? Please temenin gw..”.

Message sent : 22 Februari 2009.

“ke Jakarta? Ngapain dim?”, aku balas smsnya. Lama kutunngu laporan pengirimannya. Kok pending?, kucoba untuk menghubunginya. Namun operator yang maha baik di ujunga sana memberitahukan bahwa pulsaku sangat-sangat tidak mencukupi untuk melakukan penggilan, 56 rupiah.

Damn, ini jam 2 malam dan dimana ada counter yang buka selarut ini. Kubaca semua sms Dimas, aku tidak mengerti, dia seperti sangat membutuhkanku, sms-smsnya berisi nada kebingungan. Hingga akhirnya di satu smsnya aku menemukan titik terang.

Nan, aku tinggalkan sebuah cerita untukmu, cerita yang sbnarnya ingin q crtakan sjak dlu, di markas kita, sbuah kotak hitam ada untukmu”.

Message sent : 22 februari 2009

Tanpa berfikir panjang aku bergegas menuju gedung itu. Memarkir motor seadanya, setengah berlari -seakan Dimas yang menungguku disana- menuju lantai teratas. Apa yang dimas katakan benar, 5 hari aku tak kesini, graffiti sudah bertambah 1, tulisannya sederhana. “Nan, I miss u”. that’s it. Tulisan-tulisan didinding seolah mewakili perasaan Dimas, semuanya bertema gore, khas Dimas, damn, aku sangat menyesal tidak pernah mengenal dimas begitu jauh. Aku tak tau dia anak siapa, kuliah dimana, apa alasannya pindah dari Jakarta ke kota sekecil ini, aku bahkan tak tau apa nama panjangnya!. Padahal selama ini, seluruh malam-malam gilaku, kulalui bersamanya.

Melihat semua ini, aku jadi teringat sebuah perdebatan sengit kami tentang masalahku, aku akhirnya membagi masalah ini, entah mengapa, pada malam itu aku hanya perlu teman bicara. Kutanyakan padanya sebuah pertanyaan yang menggantung di benakku selama ini.

coba kamu pikir Dim, untuk apa tuhan ciptakan seorang Ananta, jika pada akhirnya aku hanya merasakan derita? Untuk apa aku dilahirkan, jika aku seakan tak punya hak sama sekali untuk merasa bahagia?”

Dimas terdiam, cukup lama, dia mengusap kepalaku pelan.

Ben itu goblok. Dia kehilangan kesempatan untuk memiliki seorang cewe, yang sehebat kamu, secerdas kamu, sepinter kamu.”

Aku menggeleng, aku merasa tak sehebat itu.

Dimas menggeser duduknya, menghadapku.

kamu masih cinta sama dia?”,tanyanya.

Dengan semua rasa yang tersisa, aku tak dapat memungkiri, aku mengangguk pelan, sambil terdiam-terisak.

“kalau begitu. Yang goblok itu sebenarnya kamu.”ujarnya, membuatku bertanya-tanya apa salahku sebenarnya.

“kamu punya kesempatan untuk bahagia dengan melupakannya, dengan tidak terhenti hanya untuk makhluk gak berguna kaya dia. Tapi kamu sia-siain, sekarang siapa yang bodoh sebenarnya?”lanjutnya.

Aku termenung. Memikirkan letak kebenaran kata-katanya.

tapi…”kilahku

apa salahnya jika aku jatuh cinta padanya?”

Dimas tertawa, seakan menertawakan seonggok badut yang berusaha tidak melucu, memungkiri takdirnya.

ga ada salahnya kamu jatuh cinta dengannya, itu normal, itu sangat manusiawi, yang salah adalah, kamu yang berhenti buat terus hidup, hanya demi mengenang cinta yang pernah kamu rasakan padanya..”.

Terangnya panjang lebar.

Itu adalah pembicaraan terakhir kami, perdebatan yang tak menemukan akhir, karena terhenti olehku yang merasa Dimas terlalu sok tau. Kutinggalkan ia malam itu, malam ketika paginya Nanda datang, membawakan surat “kematian’ untukku. Haha. Aku masih mengganggap pernikahan mereka adalah bencana.

Lama aku terdiam di sudut ruangan, botol-botol minuman, puntung rokok dan kaleng-kaleng bekas menyampah di ruangan ini. Bekas kami, kupungut satu diantaranya, meremukkan kaleng itu. Mencoba mengusir kenangan pernikahan mereka dengan resa sakit. Akhirnya kutemukan kotak yang Dimas maksudkan, kotak hitsm, bertuliskan “untuk nanta” di pojoknya.

Kubawa kotak itu, mendekati charge lamp yang kuletakkan di dekat graffiti. Membukanya. Ada sebuah buku disana, dahiku berkerut, serasa mengenal buku itu, ah iya! Ini deathnote, bonus sebuah majalah manga bulan Desember lalu, Dimas berjanji akan mencarikannya untukku setelah aku jejeritan tak keruan melihat Kenichi Matsuyama saat kami membeli beberapa kaset minggu lalu, aku sangat tergila-gila pada komiknya, dan Kenichi Matsuyama adalah salah satu karakter di filmnya, sebagai L. aku tersenyum melihat buku itu.

Aku selalu ada, akan selalu ada.



No comments:

Post a Comment