Tidak ada satupun yang mengenalinya, ia hanya duduk nyaris tersungkur di jalanan aspal. Menyeruak di tengah keramaian pasar malam. Bersimbah lelah, raut wajahnya mengiba sebisanya. Ya, dengan mengiba rupiahpun datang ke tangan kumuhnya. Dua anak kecil diboyong serta. Cacat? Ya. Sebuah tongkat besi menemani langkahnya. Apa saya iba? Ya. Saya menangis sebisanya.
Permasalahan orang miskin memang lekat dengan kehidupan kita. Tatanan hirarki kependudukan laksana timpang tanpa kotak-kotak miskin-kaya, makmur-menderita. Saya tidak tahu siapa namanya, enggan bertanya, sebenarnya. Saya enggan berkawan terlalu lama dengan bau tengik dari baju kumalnya yang entah pernah mengenal deterjen atau tidak selama kurun waktu se-dekade lalu.
Sudah penat rasanya melihat para miskin menyempil dalam lensa kacamata minus empatratus saya. Mereka menggelantar di sudut pasar, tempat pembuangan sampah, bergelut sebisanya mencari nafkah. Setidaknya limapuluh sajak dan puisi saya tulis berlatar kehidupan para miskin. Terkubur dalam file-file berdebu nyonya Bleki (sebutan untuk PC tua saya).
Setiap kali saya melihat mereka, percakapan dengan kepala dinas sosial kota saya sekali waktu dulu kembali berputar di dalam kepala. “Kata siapa mereka itu beneran miskin? Ada semacam “pengepul” pengemis di kota ini, mereka itu ada yang mengelolanya!,” terngiang pernyataan berapi-api itu di kepala saya. Saya juga lumayan terhenyak mendengar bahwa sebenarnya adalah salah jika masyarakat memberi mereka bantuan. Bahkan ada peraturan daerah yang mengaturnya. Nomor tiga tahun 2008 kalau tidak salah.
Saya memang seorang tolol, saya simpulkan bahwa pemerintah tidak selaras dengan kami, para miskin negara ini. Para birokrat benci keberadaan kami, karenannya kami dikebiri, diberantas, dientaskan. But yeah, silly me, jika mereka turut memberi “keleluasaan” bagi para pengemis itu, maka mereka sudah melanggar amanah perundang-undangan untuk memberantas kemiskinan. Caranya? –apa boleh buat- memang seperti itulah adanya. Para gelandangan memang harus digusur, para pengemis memang harus dijaring razia, para terlantar memang harus diusir pergi dari kota ini.
Maka kali ini saya tidak mempermasalahkan siapa yang salah atas masalah ini. Pengemis itu berusia setengah baya, mungkin lebih muda, raut wajahnya mengiba (tentu saja, itu modal utama jika anda ingin menjadi peminta minta). Ada anak kecil turut serta, tertidur di atas kain sarung berwarna hijau yang saama kumuhnya dengan baju Ayahnya.
Ah, saya punya sebuah cerita, tentang orang miskin yang suka malu mengakui ketidakberdayaannya. “Susah mendata orang miskin di Sampit, mereka malu kalau dibilang miskin,” ck ck. Mental kota kita ini mental orang kaya. Saya masih ingat waktu SMA dulu pernah marah pada Ayah gara-gara beliau kerap mengisi minyak tanah di dekat sekolah. Ya, saya sempat malu mengatakan pada kawan-kawan (yang bapaknya orang Pemda semua) bahwa saya anak tukang minyak keliling. Anak miskin yang bisa bertahan di sekolah pongah itu berdasar beasiswa miskin.
Anak kecil itu kembali bergerak, berganti posisi setelah sebelumnya sang Ayah mengipasinya pelan, ada gumaman kecil yang sang pengemis bisikkan ke telinga anaknya. “Sabar nak, kita pulang sebentar lagi,” itu kaliat yang saya coba terka. Namun salah ternyata, pukul setengah sebelas malam saya beranjak pulang dari pasar malam, peminta-minta itu kukuh tetap di sana, tetap menengadahkan tangan dengan wajah tertunduk –entah tersipu atau malu- mengais lembar-lembar rezeki yang nampaknya berserak di arena tersebut.
Pasar malam sempat mengecewakan saya, Seno Gumira tidak saya temukan disana. Biarlah, besok saya bakal sisir lagi stan buku itu. Dari kejauhan saya melihat sang Ayah kembali berbisik pada anaknya. Oh, saya mengerti sekarang. “Sabar nak, laparmu akan hilang jika kantuk sudah datang, bapak ninabobokan padamu sebuah kehidupan. Jadilah berhasil, Ayah ciptakan dunia imajiner kegemaranmu mengenai istana putih dan meja makan penuh penganan. Sabarlah, Ayah dongengkan padamu tentang mimpi ibumu yang meninggal saat melahirkanmu ke dunia, mimpi tentang kamu berjubah hijau dan menjadi sarjana. Sabar,”.
Dan lantunan doa mengalir dari bibir kering peminta-minta itu.
Dzikrullah, Nak, Nisaya selamat dunia akhirat.
Permasalahan orang miskin memang lekat dengan kehidupan kita. Tatanan hirarki kependudukan laksana timpang tanpa kotak-kotak miskin-kaya, makmur-menderita. Saya tidak tahu siapa namanya, enggan bertanya, sebenarnya. Saya enggan berkawan terlalu lama dengan bau tengik dari baju kumalnya yang entah pernah mengenal deterjen atau tidak selama kurun waktu se-dekade lalu.
Sudah penat rasanya melihat para miskin menyempil dalam lensa kacamata minus empatratus saya. Mereka menggelantar di sudut pasar, tempat pembuangan sampah, bergelut sebisanya mencari nafkah. Setidaknya limapuluh sajak dan puisi saya tulis berlatar kehidupan para miskin. Terkubur dalam file-file berdebu nyonya Bleki (sebutan untuk PC tua saya).
Setiap kali saya melihat mereka, percakapan dengan kepala dinas sosial kota saya sekali waktu dulu kembali berputar di dalam kepala. “Kata siapa mereka itu beneran miskin? Ada semacam “pengepul” pengemis di kota ini, mereka itu ada yang mengelolanya!,” terngiang pernyataan berapi-api itu di kepala saya. Saya juga lumayan terhenyak mendengar bahwa sebenarnya adalah salah jika masyarakat memberi mereka bantuan. Bahkan ada peraturan daerah yang mengaturnya. Nomor tiga tahun 2008 kalau tidak salah.
Saya memang seorang tolol, saya simpulkan bahwa pemerintah tidak selaras dengan kami, para miskin negara ini. Para birokrat benci keberadaan kami, karenannya kami dikebiri, diberantas, dientaskan. But yeah, silly me, jika mereka turut memberi “keleluasaan” bagi para pengemis itu, maka mereka sudah melanggar amanah perundang-undangan untuk memberantas kemiskinan. Caranya? –apa boleh buat- memang seperti itulah adanya. Para gelandangan memang harus digusur, para pengemis memang harus dijaring razia, para terlantar memang harus diusir pergi dari kota ini.
Maka kali ini saya tidak mempermasalahkan siapa yang salah atas masalah ini. Pengemis itu berusia setengah baya, mungkin lebih muda, raut wajahnya mengiba (tentu saja, itu modal utama jika anda ingin menjadi peminta minta). Ada anak kecil turut serta, tertidur di atas kain sarung berwarna hijau yang saama kumuhnya dengan baju Ayahnya.
Ah, saya punya sebuah cerita, tentang orang miskin yang suka malu mengakui ketidakberdayaannya. “Susah mendata orang miskin di Sampit, mereka malu kalau dibilang miskin,” ck ck. Mental kota kita ini mental orang kaya. Saya masih ingat waktu SMA dulu pernah marah pada Ayah gara-gara beliau kerap mengisi minyak tanah di dekat sekolah. Ya, saya sempat malu mengatakan pada kawan-kawan (yang bapaknya orang Pemda semua) bahwa saya anak tukang minyak keliling. Anak miskin yang bisa bertahan di sekolah pongah itu berdasar beasiswa miskin.
Anak kecil itu kembali bergerak, berganti posisi setelah sebelumnya sang Ayah mengipasinya pelan, ada gumaman kecil yang sang pengemis bisikkan ke telinga anaknya. “Sabar nak, kita pulang sebentar lagi,” itu kaliat yang saya coba terka. Namun salah ternyata, pukul setengah sebelas malam saya beranjak pulang dari pasar malam, peminta-minta itu kukuh tetap di sana, tetap menengadahkan tangan dengan wajah tertunduk –entah tersipu atau malu- mengais lembar-lembar rezeki yang nampaknya berserak di arena tersebut.
Pasar malam sempat mengecewakan saya, Seno Gumira tidak saya temukan disana. Biarlah, besok saya bakal sisir lagi stan buku itu. Dari kejauhan saya melihat sang Ayah kembali berbisik pada anaknya. Oh, saya mengerti sekarang. “Sabar nak, laparmu akan hilang jika kantuk sudah datang, bapak ninabobokan padamu sebuah kehidupan. Jadilah berhasil, Ayah ciptakan dunia imajiner kegemaranmu mengenai istana putih dan meja makan penuh penganan. Sabarlah, Ayah dongengkan padamu tentang mimpi ibumu yang meninggal saat melahirkanmu ke dunia, mimpi tentang kamu berjubah hijau dan menjadi sarjana. Sabar,”.
Dan lantunan doa mengalir dari bibir kering peminta-minta itu.
Dzikrullah, Nak, Nisaya selamat dunia akhirat.
kasian anak ini
ReplyDelete