Friday, September 17, 2010

Kerusuhan Sampit, 2001

Saya paham sepenuhnya, judul di atas merupakan isu sensitif yang pamali dibahas hingga sekarang. Di postingan kali ini saya hanya sekedar ingin berbagi mengenai apa yang saya alami ketika konflik tersebut terjadi. Bahkan dalam penyebutannyapun, semacam di’atur’ oleh –entah-siapa-
Saya sempat bekerja di media dan menemukan bahwa media massa dilarang menyebut peristiwa 18 Februari 2001 dengan istilah ‘kerusuhan’, ‘perang etnis’ maupun ‘pertikaian adat’. Kami, (saya dan redaktur sempat berdiskusi alot mengenai hal ini) kemudian memutuskan untuk mempublishnya dengan sebutan Konflik Etnik. Merujuk pada Peraturan Daerah Kab. Kotim nomor 5 tahun 2004 tentang penanganan penduduk dampak konflik etnik.
Di bawah ini adalah tulisan saya untuk media mengenai konflik etnik 2001.
(tulisan ini ketika masih mentah dan belum masuk meja redaksi, saya sendiri banyak menggunakan istilah Kerusuhan di dalamnya. Well, bagi saya apa yang terjadi layak disebut kerusuhan, even worse).
Napak Tilas Konflik Etnik 2001
Sembilan tahun sudah kerusuhan berlalu. Waktu yang lebih dari cukup untuk merefleksi dan menyadari fungsi sebenarnya keberadaan seseorang di bumi Habaring Hurung. Dua pasca kerusuhan hingga saat ini, secara alamiah warga Madura kembali ke tanah kita. Kali ini mereka membawa salam damai, keinginan tulus untuk menyatu dan menjunjung tinggi falsafah Belum Bahadat yang senantiasa digaungkan oleh petinggi adat di Kalimantan Tengah.
Rusnani Anwar, Sampit
Sempat menjabat sebagai kepala Satuan Polisi Pamong Praja pada tahun 2001 membuatnya harus terlibat langsung dalam kerusuhan antar etnis Dayak dan Madura kala itu. “Tahun 2001 adalah puncak kerusuhan, sebenarnya kerusuhan itu dimulai sejak tahun 1999,” ujar Mantil saat ditemui di kantornya Sabtu (13/2) lalu.
Konflik awal terjadi pada tahun 1999, tepatnya 23 September malam, sebuah perkelahian ditempat karaoke yang berlokasi di perbatasan Tumbang Samba menewaskan Iba Tue, seorang Dayak Manyan yang dibantai oleh sekelompok suku Madura. Warga Dayak yang kesal karena Iba Tue tidak bersalah meninggal kemudian melakukan pembalasan dengan membakar rumah dan ternak suku Madura di Tumbang Samba.
Diawali kejadian sepele tersebut, pembakaran melebar hingga nyaris ke seluruh desa. “Saat itu upaya pemerintah adalah dengan mengevakuasi warga madura,” ujar Mantil. Sebanyak 37 warga Madura diungsikan keluar dari wilayah konflik (Tumbang Samba) untuk mencegah kemungkinan munculnya korban yang lebih besar. Lepas diungsikannya warga, keadaan di Tumbang Samba meredam.
Keadaan kembali memanas ketika setahun sesudahnya, 6 Oktober 2000, terjadi pengeroyokan oleh sekelompok orang Madura terhadap seorang warga dayak bernama Sendung di sebuah lokalisasi kilometer 19 Katingan. Sendung tewas dengan kondisi mengenaskan. Merasa marah, suku Dayak akhirnya melakukan sweeping terhadap suku Madura, kali ini kuantitas korban jauh lebih besar daripada tahun 1999. Korban jiwa berjatuhan, bus bus trans milik warga Madura dibakar, sementara para penumpang (suku Madura) disekap lantas dibantai. Upaya pemerintah saat itu adalah mediasi melalui upacara adat Dayak agar konflik tidak berkelanjutan.
Keadaan pun mulai mereda. Namun siapa sangka hanya berselang empat bulan, tepatnya pada 18 Februari 2001, kerusuhan dengan skala besar terjadi. “Keadaan memang sudah labil, tapi tetap saja kita terkejut,” ungkap Mantil. Pada Minggu subuh (18 Februari) etnis Madura mengepung rumah Sehan dan Dahur, keduanya merupakan suku dayak Manyan. Sehan adalah purnawirawan TNI pada saat itu. Pengepungan itu berakhir dengan dibakarnya rumah Sehan dan Dahur, keduanya (beserta keluarga) tewas terbakar. Total sepuluh tewas pada pagi itu.
Kerusuhanpun pecah, pembakaran, pembantaian terjadi sepanjang hari itu. Polres dan TNI bekerjasama mengungsikan warga Sampit ke Palangkaraya. Di tengah perang yang mulai berkecamuk, pada Senin malam, tepatnya pada pukul 10.25, serangan balik dari suku Dayak dilancarkan. Seminggu penuh aksi balas itu berlangsung, tidak terhitung berapa rumah terbakar dan leher terpenggal selama perang itu terjadi. “Hingga seminggu setelah tanggal 18 itu, kita 18 kali mengungsikan warga madura ke Surabaya,” ujar Mantil. Jumlah total warga yang mengungsi mencapai angka 57.000 jiwa.
Para pengungsi di angkut menggunakan kapal milik TNI dan perusahaan pelayaran swasta. Mereka di angkut menuju pulau Madura. Hingga kini masih terekam dalam kepala warga Sampit mengenai sungai Mentaya yang dipadati mayat tanpa kepala. Dan tentu saja, bau anyir darah yang menguar hingga sebulan lepas kerusuhan. Tidak ada kalkulasi pasti mengenai jumlah spesifik korban kerusuhan.
Saat kerusuhan terjadi, markas Madura terkonsentrasi di Jalan Sarigading dan Hotel Rama. Wajar jika kemudian temuan mayat terbanyak ada di kedua tempat tersebut. Suasana mencekam berlangsung hingga sebulan pasca kerusuhan, Sampit berubah menjadi kota mati, bau amis menyengat di setiap sudut kota. Tubuh tubuh tanpa kepala bergelimpang di tepi jalan. Mayat-mayat korban kerusuhan akhirnya dikuburkan secara massal di kilometer 13,8 Jl. Jendral Sudirman. “Saya dan asisten I Kotim saat itu, pak Duwel Rawing (bupati Katingan sekarang) sempat bingung kemana mayat-mayat itu harus dikuburkan, akhirnya, kita sepakat untuk dimakamkan ke Km 13,” ujar Mantil.
Tidak main-main, jumlah mayat yang menggunung dan sebagian besar sudah hancur itu harus dimakamkan secepatnya. Tidak memungkinkan untuk menyolati mayat satu persatu. “Saya sampai trauma makan seusai pemakaman itu,” tutup Mantil.(***)
Kala itu, saya diminta untuk membuat sebuah liputan khusus (tipenya indepth news). Saya kemudian mengisi satu halaman penuh edisi lipsus dengan tema konflik etnik. Tulisan di atas sengaja disuguhkan dengan gaya penulisan boks (ringan). Rasanya agak sulit menerjemahkannya ke dalam straight news. Lagipula, saya merasa memiliki sedikit kelebihan dalam menyusun kalimat dalam penulisan boks.
Saya menemui Mantil F Senas sebagai narasumber. Untuk alasan status jabatannya di tahun 2001, dan dari segi kesukuan beliau. Beliau seorang dayak dan beragama (?) kaharingan. Namun jujur saja, saya sempat jatuh bangun mengejar beliau. Di kalangan wartawan, Mantil merupakan sosok yang cukup sulit ditemui. Sebagai kepala dinas, mobilitas beliau cukup tinggi.
Seorang rekan (dan) saya bahkan sempat menunda penugasan hingga sebulan lebih lantaran beliau jarang ada di tempat. Jangan tanya mengenai akses komunikasi, meminta nomor handphone beliau sama susahnya dengan minta dikawini Bratt Pit (sori jayus). Dan akhirnya saa berhasil memawancarai beliau. Data yang didapat (menurut saya) sangat dayaksentris.
Untuk mencoba mengimbangkan beritanya, saya mencoba untuk mencari sisa sisa anggota Ikatan Keluarga Madura (Ikama). Yang saya belum ketahui saat itu adalah, Ikama ternyata sudah dilarang masuk ke Sampit (Kotim). Hal ini di atur dalam Perda Kotim nomor 5 tahun 2004 pasal 7 ayat (2).
“Tidak terlibat langsung pada peristiwa konflik dan tidak terdaftar dalam pengurus IKAMA”
Saya kemudian memutuskan untuk menulis :
Mereka Pasrah, Diam dan Menyerah
RUSNANI ANWAR, Sampit
Napak tilas perang etnis mengantarkan saya ke perkampungan warga Madura di kawasan Gang Kutilang, Jalan Perkutut kelurahan MBH Utara, kecamatan Baamang. Sembilan tahun lalu wilayah ini penuh dengan warga Madura. Di Sampit (dan juga banyak wilayah Kotim lainnya), banyak terdapat titik titik perkampungan madura. Mereka terbiasa hidup berkelompok. “Kita tidak pernah cekcok, damai sekali,” ujar Arifin, warga gang Kutilang memaparkan bagaimana interaksi mereka terhadap warga non Madura.
Pria yang mengaku berasal dari Surabaya ini menyatakan memang ada yang berubah dalam perihal tingkah laku warga Madura yang kembali datang ke Sampit. Mereka sekarang lebih diam, memilih untuk menekuni kehidupan mereka sendiri tanpa meributkan siapa yang harus berkuasa terhadap siapa.
Saat ini, mereka yang menjadi korban kerusuhan perlahan kembali ke tempat tinggal mereka dulu. “Saya salut dengan kemampuan orang Madura dalam hal bekerja, mereka memulai lagi semuanya dari nol, kerja keras mereka seperti tidak ada batasnya,” papar Wahidah, warga jalan Kutilang. Padahal jika bicara mengenai perasaan, mereka para warga kecil Madura layak mengeluh. Mereka yang tidak tahu menahu harus menjadi korban, tersingkir dari tanah kelahiran, kehilangan seluruh harta benda.
Tegar. Sebuah kata yang mampu merangkum seluruh perjuangan warga Madura yang kembali ke Sampit. “Saya di Madura malah bingung mau kerja apa, di sana saya tidak punya apa-apa,” ujar seorang Madura yang sedang asik meladang pada Minggu (14/2) pagi. Di atas sisa-sisa bangunan rumah yang habis diluluhlantakkan mereka membangun kembali nafas mereka. Menyusun kembali kepingan harapan di tanah ini.
Tidak sedikit dari mereka yang dulu seorang pengusaha berubah menjadi pekerja kelas rendah. Menjadi pedagang upahan, buruh usaha kecil rumahan, tukang becak, pemulung, apa saja mereka geluti. Sulit rasanya menemukan ketabahan luar biasa semacam itu di zaman sekarang.
“Mereka (warga Madura), ketika kembali kesini seperti tidak kaget melihat harta bendanya hilang semua. Mereka bilang ‘Semua milik tuhan pasti akan kembali padanya’, saya sampai sedih mendengarnya,” ujar salah seorang keluarga Arifin.
Padahal, jika hendak mengenang masa lalu, tahun tahun sebelum kerusuhan adalah masa emas bagi warga Madura di Sampit. Kebanyakan dari mereka memang merupakan pekerja kerah putih. Yang sekedar berprofesi sebagai petani, pedagang pasar maupun buruh bangunan. Sempat hadir sebuah guyonan lokal yang kurang lebih menyebutkan warga Madura menyebut Sampit laksana surga, lantaran pulau asal mereka hanya ada garam.
Sebuah kisah kuno tentang sejarah suku Dayak saya temukan pada Perpustakaan dan Arsip Daerah Kotim. Kisah kuno mengenai tokoh Mangkurambang, seorang dayak yang dikisahkan berlayar dan terdampar di pulau Nipah, Madura. Entah cerita tersebut sekedar sage atau justru kisah nyata, setidaknya dapat memberikan gambaran seperti apa hubungan suku Dayak-Madura di masa lampau.
Dikisahkan dalam perjalanannya merantau, Mangkurambang membawa seekor ayam jago. Dalam pelayarannya, pemuda itu terdampar dis ebuah pulau bernama Pulau Nipah. Di sana, ayam yang ia bawa terus berbunyi gaduh. Hal ini memicu kemarahan raja Nipah, raja merasa intergritasnya sebagai pemimpin suku direndahkan karena ayam yang terus berbunyi tersebut.
Perkelahianpun digelar, raja Madura melawan Mangkurambang sang putra Dayak. Dalam dongeng itu, Mangkurambang memenangi duel tersebut. Putri raja Madurapun dipersunting oleh Mangkurambang sebagai hadiah pertandingan. Mereka lantas hidup di pulau Nipah dan memiliki keturunan berdarah Madura-Dayak.
Dalam sekali waktu, kepala ikatan keluarga madura (IKAMA) H. Marlinggi (alm) menyatakan bahwa beliau itu separuh badannya merupakan orang dayak ,”Nenek moyangnya orang Nipah, jadi pak haji (Marlinggi) saja mengakui kalau di Madura ada suatu pulau dimana seluruh orang disana keturunan Dayak,” papar Mantil F Senas, kepala Disdukcapil Kotim yang terlibat langsung dalam konflik etnis 2001 silam.
Dalam rangka sosialisasi peraturan daerah nomor 5 tahun 2004 ke kecamatan Ketapang, Madura pada 22 Agustus 2004 silam, tim sosialisasi difasilitasi warga
Ketapang untuk berkunjung ke Pulau Nipah. Mantil yang tergabung dalam tim tersebut mengaku kaget melihat kebiasaan warga Pulau Nipah. Pasalnya, warga pulau itu memiliki kebudayaan yang sangat serupa dengan suku Dayak, baik dari adanya mandau, bentuk bangunan, hingga kebiasaan teriakan Dayak dalam memanggil kera.
Sosialisasi peraturan daerah no. 5 tahun 2004-pun disambut positif oleh warga Madura, peraturan tersebut antara lain menekankan bahwa warga manapun yang menjadi pendatang di tanah habaring hurung harus menjunjung tinggi falsafah ‘Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung’, selain itu, perda tersebut juga melarang orang-orang yang memiliki hubungan dengan IKAMA (Ikatan Keluarga Madura) kembali ke kota Sampit.
Perda tersebut, menurut Mantil sudah dipahami oleh warga Madura. Pasal-pasal di dalam perna merunut persis tentang prosedur bagaimana seorang Madura bisa kembali tinggal di Sampit. Antara lain ketentuan bahwa keharusan mereka membaur dan mengikuti pola adat warga setempat. Kemudian dipaparkan bahwa yang menjadi “eksekutor” atau pemegang hak untuk memperbolehkan atau menentang keberadaan warga Madura di lingkungan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. “Jika warga lokal menolak, maka mereka harus pulang,” ujar Mantil.
Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan munculnya kecemburuan sosial seperti yang terjadi sebelum kerusuhan. Keadaan dimana pasar dikuasai oleh etnis tertentu membuat warga asli merasa cemburu. Mantil juga mengakui jika dulu, warga Madura memiliki perangai keras. “Saya sampai kesulitan mengevakuasi pasar pada saat kerusuhan itu,” tutupnya. Namun sekarang, sembilan tahun pasca bencana, keadaan sudah kondusif, warga Madura yang kembali ke Sampit telah memahami sepenuhnya peranan dan fungsi mereka sebagai warga pendatang.(***)
Ketika kerusuhan terjadi, saya baru berusia sembilan tahun. Sedari kecil saya tinggal di perkampungan Madura. Umur sembilan tahun menjadi penanda pertama kalinya saya melihat mayat tanpa kepala, menelan ‘ajian’ dayak yang bisa membuat tubuh kebal tombak, dan terjebak di dalam rumah yang tengah diserbu massa. Sama sekali bukan masa kecil yang menyenangkan.

Berikut beberapa foto terkait kerusuhan yang diwariskan kakek pada saya :
(semacam petisi perihal permintaan backup personil keamanan)


(as u can see, Basis Madura Untuk Menyerang Sampit, P.Bun dan P.Raya)



berikut semacam 'kegilaan media' hingga berbulan bulan lepas konflik :



Berikut hasil terbitan dua tulisan saya :


Saya menyadari sepenuhnya indepth news yang saya coba bangun ini gagal. Saya tidak berhasil cover both side. Saya belum mampu menafsirkan apa yang terjadi dengan warga Madura hingga nekat menyerang warga dayak di Tumbang Samba. Jika berdasarkan konflik perorangan, mengapa bisa meluas menjadi begitu besar?
Sejauh ini, yang saya ketahui mengenai percikan awal kerusuhan hanyalah pertikaian seorang Madura terhadap Dayak. Ini hanya pendapat saya, mungkin ada semacam kecemburuan sosial terhadap kaum Madura yang secara implisit ‘menguasai’ Kotim dalam segi ekonomi. Iri? Atau justru ada semacam kesetiakawanan yang sangat besar dalam tubuh masing masing suku hingga rela mati demi terinjaknya harga diri seorang warganya?
Entah.
*Terbit untuk SKH Radar Sampit edisi 18 Februari 2010*

27 comments:

  1. bagus tulisannya, boleh saya tahu mbak rusnani sendiri keturunan dayak atau madura? hanya untuk lebih bisa memahami tulisan mbak, saya sendiri tidak ada turunan darah dari keduanya, jadi tak perlu curiga kalo saya menanyakan hal tersebut.

    ReplyDelete
  2. hehe, kedua orang tua saya memiliki darah dayak :) saya besar di lingkungan adat dayak namun bertetangga baik dengan kaum madura. Saya sama sekali tidak curiga ^^ beberapa memang curiga sy madura lantaran tulisan saya cenderung pro pada mereka. hehehe

    ReplyDelete
  3. hal-hal luar biasa hanya terjadi pada orang-orang yang luar biasa. :)

    ReplyDelete
  4. karena nila setitik rusak susu sebelanga
    hukum ditegakkan walau langit runtuh,
    inilah pembiaran yang akibatnya meruntuhkahkan
    nilai kebangsaan

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. Luar Biasa...
    ini sdikit tambahan cerita tentang tragedi tersebut...

    Click Here

    ReplyDelete
  7. Suka dengan penulisannya, saya rasa hal diatas tidak berat sebelah, karna objektif dan tidak dayaksentris, saya hanya tidak habis pikir dengan cara licik dan "sadisnya" orang dayak yang sangat terencana, jika didaerah saya (Jawa Timur) surat atau selebaran spt diatas benar2 kampungan dan tidak mungkin digubris oleh penduduk, sekalipun ada konflik. Karna kita sadar hal itu tidak ada gunanya, malah seperti anak SMA yg begitu riangnya melakukan tawuran, sangat memalukan...
    Saya tidak bermaksud apa2 hanya berharap hal diatas tidak akan pernah terulang kembali

    ReplyDelete
    Replies
    1. terimakasih atas apresiasinya. Tentu, tidak satupun dari kita yang ingin hal ini terulang, namun kawan saya menyebut, penulisan akan hal ini harus terus dilakukan. Sebab sejarah adalah hal yang kabur di negara ini. Sejarah sejarah yang dituliskan pemenang membuat generasi sekarang dan mendatang harus bersusah payah untuk menggali kebenaran. Atau sekedar mempertanyakan.

      Mungkin karena usia peradaban kita sebagai negara merdeka masih sangat muda sehingga pola pikir dan tanggap masyarakat masih sangat prematur. Naif jika mengharapkan rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan memendam amarah terhadap kesenjangan sosial bersikap tenang dan bijak layaknya kaum borjuis yang lebih baik menghindari perpecahan daripada hartanya tidak aman :D

      Delete
    2. @IE: lain padang, lain ilalangnya pak. disinipun kami heran melihat seringnya jawa timur rusuh terkait sepakbola,. yg terakhir juga soal syiah sampang bagaimana pak...?

      Delete
    3. ITANG EVRIANTO28 Februari 2013 02.34 (ne tulisan lo)
      APA JADINYA BILA SETELAH TRAGEDI SAMPIT, ORANG -ORANG SUKU MADURA YANG TIDAK HANYA BERASAL DARI P. MADURA MELAINKAN MAYORITAS KABUPATEN SE-JATIM YANG MEMANG SEBAGIAN BESAR BER-ETNIS MADURA BENAR - BENAR MENYERBU P. KALIMANTAN? UNTUNGLAH TOKOH UTAMA MEREKA MASIH MENAHAN DIRI. JADI BERHATI - HATILAH MENGUNGKAPKAN FAKTA YANG DAYAKSENTRIS
      kacung itang, kamu petantang-petinting nantang org dayak di blog2 kerusuhan sampit. liat di sini: cuma anak usia belasan ghost warrior dayak mengayau (memenggal kepala) jagoan tokoh madura. sebaiknya kamu nyadar kalau di setiap tempat sukumu selalu bikin ulah, di kalimantan, ambon, jakarta, surabaya. apa mau seperti saudara2mu, sadarlah cung.... lebih baik kamu jd anak yg berbakti, nyari kepala2 saudaramu kek yg ada ribuan di rumah adat org dayak atau jiarah kek ke kubur saudara2 dan leluhurmu yg dikubur tanpa kepala di sampit, begitu khan lebih terhormat.

      Delete
    4. ITANG EVRIANTO28 Februari 2013 02.34 (ne tulisan lo)
      APA JADINYA BILA SETELAH TRAGEDI SAMPIT, ORANG -ORANG SUKU MADURA YANG TIDAK HANYA BERASAL DARI P. MADURA MELAINKAN MAYORITAS KABUPATEN SE-JATIM YANG MEMANG SEBAGIAN BESAR BER-ETNIS MADURA BENAR - BENAR MENYERBU P. KALIMANTAN? UNTUNGLAH TOKOH UTAMA MEREKA MASIH MENAHAN DIRI. JADI BERHATI - HATILAH MENGUNGKAPKAN FAKTA YANG DAYAKSENTRIS
      kacung itang, kamu petantang-petinting nantang org dayak di blog2 kerusuhan sampit. liat di sini: (fajar-permadi.blogspot.sg/2011/07/sejarah-terjadinya-perang-sampit.html) cuma anak usia belasan ghost warrior dayak mengayau (memenggal kepala) jagoan tokoh madura. sebaiknya kamu nyadar kalau di setiap tempat sukumu selalu bikin ulah, di kalimantan, ambon, jakarta, surabaya. apa mau seperti saudara2mu, sadarlah cung.... lebih baik kamu jd anak yg berbakti, nyari kepala2 saudaramu kek yg ada ribuan di rumah adat org dayak atau jiarah kek ke kubur saudara2 dan leluhurmu yg dikubur tanpa kepala di sampit, begitu khan lebih terhormat.

      Delete
  8. ...lantaran tulisan saya cenderung pro pada mereka. hal ini menurut sy haram dilakukan seorang penulis, kecuali kalau penulis itu merupakan corong bagi golongan tertentu...

    ReplyDelete
  9. tulisannya bagus mbak, saya suka :)

    ReplyDelete
  10. Aneh. Padahal menurut saya sifat suku madura sudah laten, yaitu sifat keras kepala, budaya kekerasan (carok) untuk menyelesaikan permasalahan, baik di tingkat personal, ekonomi, sosial, dan politik, sifat tidak mau mengalah, serta aggressor. Terdapat pelbagai tulisan ilmiah yang mengkaji hal ini. Sehingga sekarang kembali kepada suku madura untuk lebih intropeksi ke dalam. Karena bagaimanapun juga, suku madura adalah suku pendatang di kalimantan.
    Ini adalah pendapat pribadi sy. # Salam

    ReplyDelete
  11. sap[u bersih madura dari NKRI...

    ReplyDelete
  12. jadikan jakarta sampit kedua....musnahkan madura ...jangan sisakan satu pun

    ReplyDelete
  13. Hukum adat kayau & ritualnya ditetapkan oleh para Tetua Adat (Damung Adat, Mantir Adat, Balian Adat) dengan tiga unsur pertimbangan : 1. Darah telah tumpah di tanah Borneo. 2. Roh leluhur/Roh Kepala Adat Suku Dayak yg sangat dihormati telah dihina & dilecehkan. 3. Pelaku yg menumpahkan darah di tanah Borneo tdk mendapat hukuman yg setimpal ditinjau dari sudut hukum adat dayak.
    Hukum Adat Kayau berlaku bagi siapa saja yg berdiam di tanah Borneo bahkan berlaku utk suku dayak itu sendiri. Ini pernah terjadi di jaman dulu di mana para tetua suku dayak hulu menetapkan hukum adat kayau kepada suku dayak hilir karena suku daya hilir telah melakukan 3 unsur tsb kepada suku dayak hulu. Dalam hukum adat kayau yg di kayau hanya kelompok yg telah melakukan 3 unsur tsb. Tetapi dalam pelaksanaan kayau, sering kali terjadi, org-org yg tdk ikut melakukan ritual adat mengayau yg dipimpin Balian Adat, malah ikut melakukan kayau karena mempunyai dendam terhadap suku/kelompok yg dikenakan hukum adat kayau. Sehingga terjadilah hal-hal yg diluar kendali dari hukum adat kayau tsb.
    Ritual adat sebelum mengayau disebut Nyaru Tariu & dilakukan di Pandagi (tempat yg dianggap keramat) bukan DI SEMBARANG TEMPAT. Org-org yg ikut dalam ritual Nyaru Tariu setelah selesai ritual akan kerasukan & org yg tdk sanggup malah bisa pingsan. Org yg kerasukan setelah ritual ini akan mempunyai sifat sangat sadis & tdk mengenal rasa takut (ini yg disebut oleh dunia sebagi Ghost Warrior atau ada yg menyebutnya Pasus Dayak) apa pun itu namanya. Bahkan dalam kejadian kayau yg dilakukan dayak hulu seperti tsb di atas, tdk cuma memenggal kepala tapi jantung & hati para tetua adat dayak hilir telah dimakan mentah dalam keadaan masih berlumuran darah. Ini tdk akan sanggup dilakukan oleh manusia manapun apabila dalam keadaan sadar.
    Org-org yg telah kerasukan dalam ritual Nyaru Tariu di Pandagi secara fisik dapat dilihat dengan ciri-ciri : Tatapan matanya seperti mayat hidup, berperilaku seperti pembunuh berdarah dingin & pada warna putih bola matanya akan banyak muncul urat yg berwarna merah darah sehingga kalau dari jauh warna putih bola matanya terlihat menjadi merah darah. Itu ciri umum yg banyak diketahui org tapi ada satu hal yg tdk pernah diketahui org & hanya diketahui oleh para Damung Adat Suku Dayak. Hal ini telah menjadi rahasia beberapa generasi Damung Adat Suku Dayak tapi karena begitu banyaknya org-org yg salah mengartikan & mendefinisikan kayau & bahkan mengaku-ngaku pernah menjadi Ghost Warrior hanya utk kesombongan & keangkuhan maka fakta tentang kayau ini harus diungkapkan. Ciri yg menjadi rahasia tsb adalah : org-org yg kerasukan tsb mempunyai ciri khas tersembunyi yaitu di bagian dalam pada kedua kelopak mata bawah terdapat tanda merah dari darah seperti tahi lalat. Hal ini yg membuat mereka bisa melihat utk membedakan mana musuh yg sebenarnya & satu tanda merah darah lagi yaitu bagian dalam bibir atas mereka. Hal ini membuat mereka bisa mencium bau musuh sebenarnya bahkan sanggup memakan jantung&hati musuhnya yang masih berlumuran darah. Apabila tanda itu hilang maka mereka akan kembali normal sadar dari kerasukan. Setiap org berbeda tingkat & lama kerasukannya, apabila ada org yg kerasukannya berlangsung lama maka akan di bawa kembali kepada Balian Adat utk mengakhiri kerasukan tsb.
    Hukum Adat Kayau di jaman ini seharusnya di terjemahkan dalam definisi yg berbeda. Kayau (memenggal KEPALA) seharusnya didefinisikan sebagai cara utk membuat para KEPALA pemerintahan di Negeri ini (Bupati/Walikota, Gubernur dll bahkan Presiden) agar bisa berbuat utk kesejahteraan tanah leluhur. & org yg memenangkan cara tsblah yg harus diagungkan sebagai THE GHOST WARRIOR atau SANG KESATRIA HANTU.
    Inilah pesan seorg kakek yg pernah menjadi Kepala Adat Suku Dayak & diberi gelar kehormatan adat sebagai DAMUNG TINGANG RUAI JALAYA di pedalaman Sampit yg tahun ini berusia genap 100 tahun, kepada cucunya yg telah menceritakan tentang pendapat org-org tentang kayau.
    SALAM DAMAI SELALU BORNEO

    ReplyDelete
  14. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  15. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  16. Maaf smua, saya hairul juga asli org madura. Saya tidak tau asli kejadian tu, karna waktu kejadian tu saya msh kelas 4 SD. Tp jika kami org madura yang membuat masalah atas konflik tu, saya/kami atas nama org madura mohon maaf bagi suku dayak, kita mulai hidup damai dan saling menghargai, sbnarnya saya benci dngan berita2 orang madura yang memulai masalah/orang dayak yang memulai masalah, dr pada membahas hal yang udah terjadi kehancuran antar suku kita, mnding kita fikirkan gmna caranya agar pemuda2 madura dan pemuda2 dayak jadi penerus yang berhubungan baik saling mengangkat derajat/nama baik suku masing2 dngan baik, dak tidak bersifat saling menjatuhkan. Sbenarnya saya benci jika ada org madura bikin masalah atau kekacaun, dan juga sbaliknya saya benci jika ada org non-madura bikin masalah, sbnarnya hidup rukun antar daerah/suku jika perlu antar negara lain itu lbih menenangkan hidup kita, saya sudah membaca posting2 d brbagai blog2 tentang konflik madura dan sampit ne, tp kebanyakan yg menanggapi postingan pristiwa ne hanya dngan kekerasan jiwa, ayolah rubah cara hidup kita dr yg buruk mnjadi baik, jgn sia2kan hidup ne. Manusia hnya mengandalkan ke egoisan smata, maka dr itu kta blajar u/ menanggapi atau melakukan ssuatu dngan baik. Tu saran dr saya buat suku saya madura atau suku2 lain. Jgn kta trpancing dngn akal buruk kita sndiri...!!!

    Ok skdar kata2 biar hudup ini tidak rumit dan kacau.
    Bersatu kita teguh, Bercerai kasian anak2 kita.

    Salam damay sodara2 ku madura dan sodara2 ku dayak.

    Thanx...

    www.style.id.ai

    ReplyDelete
  17. artikelnya menarik ... berbeda dengan yang lain .... ada bukti surat edaran lagi ..... 100 buat yg punya blog

    ReplyDelete
  18. madura..selalu jadi masalah...kenapa sih gk bisa sopan..santun.. kalo cari makan di daerah orng ...ya harus sopan dong...

    ReplyDelete
  19. numpang nimbrung karna saya berada disampit...
    pendapat saya.. sekarang bukanlah seperti kita hidup dijaman peimitif yang kemana2 meski bawa senjata buat perlindungan.. (lazim dan sangat wajar jika bepergian dijaman dulu kudu bawa senjata. disebablah banyak hewan liar yang bisa saja menyerang swaktu2..) tp agan" realitanya kita sudah memasuki era modern dan globalisasi..) dijaman sekarang mengedepankan senjata hanya dperuntukan bagi militer penjaga keamanan negara...) dan bagi kita warga sipil harus menyAdari bahwa persaingan sekarang bukanlah lagi selektif antar suku manapun., persaingan sekarang bukan lagi pada peperangan etnis. . faktanya kita sedang dalam peperangan yang disebut politik .dan harus kita sadari bahwa: jika warga pribumi maupun pendatang masih mengedepankan kekuatan fisik hal itu menambah presentasi kemenangan politik warga asing.. saya melihat dipulau borneo ini banyak suatu yang tidak seimbang. disini makanan mahal padahal tanah nganggur masih sangatlah luas.. dan harga ekspor hasil bumi cenderung murah.. contohnya minyak sawit yang kecenderunganya tidak mensejahterakan.. dan masih banyak poin lg yang menghantar pada kerugian kita sebagai warga asli..
    yang perlu digaris bawahi adalah: kita sedang perang ekonomi globAL persaingan dagang antar negara.. BAGI PELAKU POLITIK DAGANG WARGA ASING KEPRIMITIFAN KITA ADALAH TITIK KEBODOHAN KITA.. SAYA MENYEBUT PERANG KARNA HAL SEPELE BUDAYA PRIMITIF( SAYA TIDAK TAU BAGI AGAN") . sangat disayangkan jika kita NKRI tak segera menyatu dengan kebutuhan hidup dijaman modern..
    siji tambah papat iku limo. menawi lepat nyuwun ngapuro.. sampit akan damai sejahtera.. semoga para korban konflik sampit bisa dihikmahkan oleh kita supaya para korban mendapat kikisan ampunan dari hikmah nasib mereka

    ijin share

    ReplyDelete
  20. numpang nimbrung karna saya berada disampit...
    pendapat saya.. sekarang bukanlah seperti kita hidup dijaman peimitif yang kemana2 meski bawa senjata buat perlindungan.. (lazim dan sangat wajar jika bepergian dijaman dulu kudu bawa senjata. disebablah banyak hewan liar yang bisa saja menyerang swaktu2..) tp agan" realitanya kita sudah memasuki era modern dan globalisasi..) dijaman sekarang mengedepankan senjata hanya dperuntukan bagi militer penjaga keamanan negara...) dan bagi kita warga sipil harus menyAdari bahwa persaingan sekarang bukanlah lagi selektif antar suku manapun., persaingan sekarang bukan lagi pada peperangan etnis. . faktanya kita sedang dalam peperangan yang disebut politik .dan harus kita sadari bahwa: jika warga pribumi maupun pendatang masih mengedepankan kekuatan fisik hal itu menambah presentasi kemenangan politik warga asing.. saya melihat dipulau borneo ini banyak suatu yang tidak seimbang. disini makanan mahal padahal tanah nganggur masih sangatlah luas.. dan harga ekspor hasil bumi cenderung murah.. contohnya minyak sawit yang kecenderunganya tidak mensejahterakan.. dan masih banyak poin lg yang menghantar pada kerugian kita sebagai warga asli..
    yang perlu digaris bawahi adalah: kita sedang perang ekonomi globAL persaingan dagang antar negara.. BAGI PELAKU POLITIK DAGANG WARGA ASING KEPRIMITIFAN KITA ADALAH TITIK KEBODOHAN KITA.. SAYA MENYEBUT PERANG KARNA HAL SEPELE BUDAYA PRIMITIF( SAYA TIDAK TAU BAGI AGAN") . sangat disayangkan jika kita NKRI tak segera menyatu dengan kebutuhan hidup dijaman modern..
    siji tambah papat iku limo. menawi lepat nyuwun ngapuro.. sampit akan damai sejahtera.. semoga para korban konflik sampit bisa dihikmahkan oleh kita supaya para korban mendapat kikisan ampunan dari hikmah nasib mereka

    ijin share

    ReplyDelete