Dua dibawah ini mungkin paling favorit. Keduanya kutulis dengan banyak melibatkan emosi.
Sebuah Murka
Ketidakberdayaan ini membuat kami pesimis.
Ketidakmakmuran ini membuat kami apatis.
Kemiskinan ini membuat kami atheis.
Kami berdesak di antara jalan berdebu dan parit parit penuh kotoran.
Kami merajut nyawa dengan membanting segalanya di jalanan.
Kami tak lagi sekedar pemenuh peta Kalimantan.
Kami bernyawa, bersuara, tapi senantiasa teredam.
Wahai bapak bapak penjual tuhan.
Kami tak tau bagaimana perasaan bapak waktu bilang sumpah demi Allah di gedung kenegaraan.
Tapi kami orang orang desa sungguh takut bersumpah menggunakan nama tuhan.
Kami takut jika mengingkarinya kami akan berubah menjadi orang utan.
Kami tau ini terdengar klise, corny dan berlebih lebihan.
Tapi seperti biasa kami berkata “padamu harapan kami sandarkan”
Kami harap jawaban bapak tidak “seperti biasanya”, karena biasanya kami hanya menerima kata “tunggu hingga kebinet mendatang” sebagai jawaban.
Kami menjerit lewat puisi dan lagu.
sastrawan dan musisi adalah wakil kami dari dulu.
Kami hanya pesimis suara kami mampu menembus gedung kenegaraan itu.
Konon katanya temboknya tebal sekali, anti peluru.
Pantas saja, ketika kami menjeritkan kelaparan ini, mereka tidak tahu menahu.
Kami ini memang manja.
Kami memang terbiasa meraung untuk hentikan rasa lapar yang merajalela.
Habisnya, kami sudah kehabisan akal mengakali kemiskinan yang tak ada habisnya.
Sebuah sajak, berjudul Sebuah Murka. Tema kemiskinan kayaknya udah terlampau lekat ya dengan hidupku :D
Dan yang menyenangkan adalah, dua sajak di atas mampu membuatku tembus seleksi wartawan. Dan dua sajak di atas mematahkan kualifikasi 'minimal D3' mereka untuk seorang anak 17 tahun lulusan SMA sepertiku.
See, betapa mudahnya hidup dengan menulis ^^
Saya pribadi agak sulit menangkap makna dari puisi or sajak, karena perlu beberapa kali pengulangan biar dapet maknanya.
ReplyDeleteSalut.
Salam kenal. Berkunjung sekalian silaturahmi.
Salam.
hehe, saya hanya gemar menulis. dan sejauh yang saya tau, tulisan di atas masih sangat jauh dari ranah 'layak disaluti'.
ReplyDeleteTerimakasih telah sudi berkunjung ke blog ala kadarnya ini ^^
salam kenal kembali!