Semua ini rasanya sudah terlampau gelap. Sedari dulu. Aku tak peduli, sama sekali tak ingin peduli. Tentang bagaimana hidup ini harus berlalu dan terlewati..
Sore itu gerimis menyapa lembut kota ini. Aku baru pulang. Gerimis pelan berubah menjadi butiran raksasa, lagi lagi kehujanan. Cuaca agak menggila akhir akhir ini. Panas terik yang berlangsung seharian ditimpa hujan badai di sore hari. Bahkan cuacapun mulai lebay..
Aku melintasi satu per satu pengendara yang menepi. Ruko ruko kosong mulai berjamur di kota ini, masih baru. Keberadaannya yang dinilai strategis membuat para investor tak pikir dua kali untuk turut mengeksploitasi.
Hujan makin lebat, jarak pandang kian tipis. Aku tak peduli, tidak pada intonasi hujan yang meninggi, pada lampu jalan yang berkedip merah sejak tadi, atau pada jerit sejumlah anak berseragam putih-biru yang tengah menggigil dingin di ruko kosong.
“Awas!!!,”
Sepenggal kata itu sempat sedikit menyusup ke telinga. Sayang, kedatangannya sedikit lebih lambat dari jeritanku. Aku menjerit, terhempas lantas terpental ke trotoar. Bising suara penanti hujan di ruko kosong kian menggema. Berdengung di tengah tatapan nanarku. Darah bersimpul di sudut kacamataku yang retak. Dari kejauhan, sayup gaungan –entah ambulance atau mobil polisi- meraung.
Lantas gelap yang membekas. Diiringi sedikit ayunan, derek kereta troli dan getaran sepanjang jalan. Sakit terasa menggerayangi. Pelan ia menyentuh ujung kaki, bergerilya ke lutut, pinggul, dada, hingga kerongkongan. Sakit yang teramat sangat. Yang lantas sibuk berbisik di kepalaku adalah sepenggal sepenggal ceramah yang dulu kerap diputar Abah* dari tape tuanya.
“Ajal pasti akan datang… diriwayatkan dalam hadist nabi… rasanya seperti hewan yang dikuliti hidup hidup..”
Suara tape tua itu seakan direwind, berulang sepotong sepotong. Aku lupa bagaimana lengkapnya. Ceramah itu kerap kudengar semasa tinggal di rumah Abah, kala masih kanak kanak, belasan tahun silam. “Aku mati?” bisikku. Aku sulit menggambarkan apakah aku berbisik, bergumam atau berteriak. Lidahku kelu, tidak ada satupun desibel yang terlontar.
Pertanyaan itu terjawab. Aku akhirnya mendengar lantunan al-quran dan merasakan hal klise yang hanya kulihat di komik komik jepang. Aku melayang, benar benar melayang. Bisa kulihat aku yang terbujur tengah diarak, menuju liang kuburan. Ah! Itu Dimas, Irfan, Rahma, Qonita.. aku mulai mengingat ingat wajah yang melingkar di tepi tanah basah berlubangi itu.
Sayang, tidak ada yang berurai airmata. Sembabpun tidak. Mereka hanyalah kawan sekolah dulu, yang bahkan tidak tau apa nama belakangku. Aku terus menengok ke bawah, mencari wajah wajah yang basah. Ibu, ayah, kakak. Ah, rupanya mereka masih sayang padaku.
Atau jangan jangan mereka menangisi masalah yang kutinggalkan? Aku teringat anak kecil bersepeda yang kuhantam ketika meregang nyawa. Tiba tiba semuanya menjadi flashback. Bentakan bentakanku pada mereka, tuntutan tuntutan yang terkadang tak tercerna logika. Semuanya berputar, menyisakan sedikit pilu di sudut pikiranku. Semacam menyesal.
Tiba tiba aku merasakan tarikan yang kuat, dari belakang. Tepat ketika aku menyatakan menyesal. Punggungku seperti terbakar, panas. Tarikan itu tak kunjung berhenti, lapis demi lapis awan kulewati. Pandangan akan tanah pemakaman kian mengabur, meninggalkan titik kecil yang kian lama kian menghilang.
Seakan gravitasi terbalik, aku yang sedari tadi ditarik ke atas tiba tiba jatuh ke bawah. Terjerembab. Aku melihat batu batu raksasa bertumpuk. Tebing curam, langit yang merah dan bulan – atau matahari- bergumpal, satu, dua.. lima jumlahnya. Aku berpijak pada tanah, yang entah mengapa begitu liat, seakan mengisap. Aku yang sedari kecil terintegrasi dengan doktrin surga-neraka langsung berasumsi apa yang kulihat sekarang bukan surga.
Gambaran fisik surga yang kukenal adalah lautan madu dengan ribuan bidadari. Lamunan itu buyar ketika sesosok hitam menghampiriku. Pikiranku melayang pada sebuah komik mengenai shinigami, dewa kematian. Ia berjubah hitam panjang. Dengan wajah yang hampa, hanya ada hamparan lubang hitam di tempat seharusnya wajah sosok ini berada.
“Imelda Ningrum?” suaranya berat, mengingatkanku pada seorang penyanyi bariton yang kerap tampil di televisi.
“I. iya,” kurasakan dingin yang amat sangat ketika makhluk tak berwajah ini menatapku.
Ia lantas menjentikkan jarinya –atau sesuatu mirip jari- yang panjang kurus berwarna kelabu. Sebuah perkamen melayang mendekatinya. Aku tersungkur, siapapun dia, ia telah mendorongku dengan sentakan udara dingin. Sosoknya tiba tiba menjadi terlihat begitu tinggi. Lama aku tidak merasakan perasaan ini. Aku merasa takut.
Sosok pekat itu lantas bersuara.
“Kamu akan ke neraka, atas tuduhan bunuh diri,”
Tercekat, aku mencoba mereka kembali proses kematianku. Demi tuhan aku tidak akan melakukan perbuatan pendosa seperti itu.
“Saya tidak bunuh diri!,” sanggahku, namun entah kenapa kurasakan sedikit gentar dalam suara itu.
Ia melebarkan perkamen yang sedari tadi dipegangnya. Kertas itu lantas membentang, menjadi layar raksasa. Di sana, aku melihat hidupku.
Kilatan pertama hadir di kala lebaran, tiga tahun lalu. Layar itu menampilkan aku yang membentak kedua orangtuaku lantaran mereka menolak memberiku uang untuk berlibur. Kulihat aku yang memutuskan tidur selama hari raya, memutus semua telepon kawan yang ingin bertandang.
Ini bukan dosa, wajar aku marah terhadap orangtua yang gagal membahagiakanku itu.
Malaikat kematian itu seakan membaca pikiranku, berdehem pelan dan berkata
“Seperti apa bahagia yang kau mau? Memiliki banyak materi?”
Aku tau itu retoris, namun kujawab juga
“Sejak kecil aku tak pernah dimanjakan. Selepas dewasa aku malah dituntut menafkahi mereka,”
Protesku dijawab dengan kilatan cahaya dari layar.
Tampak sosok ibu ibu yang setengah mati ngeden, sambil sesekali mencengkeram tepian ranjang. Sekali dua ia seperti nyaris pingsan. Akhirnya si bayi keluar, darah menggenang.
Aku merasa jijik, kupalingkan muka.
Lalu seperti menonton film lawas, aku melihat potongan potongan masa kanak kanakku. Namun di sudut pandang lain. Tenyata uang untuk menyekolahkanku di sekolah elit itu berasal dari hasil ayah berhutang. Di layar kulihat terkadang ayah menundukkan wajah, seperti diceramahi oleh si empunya pinjaman.
Juga sesekali melintas sosok ibu yang menghitung uang tengah malam. Serius memandang tombol kalkulator dan menggumam. Uang lantas disisihkan dengan desisan “Kurang lagi..” sesekali.
Lalu muncul aku dua tahun lalu. Saat pulang kerumah dan meminta uang untuk membeli formulir universitas. Wajah kuyu mereka muram, lalu menggeleng lemah. Marah, kubanting televisi empatbelas inci satu satunya milik keluarga kami di ruang tengah. Selepas itu, seminggu aku tak pulang, ngambek dan bermalam di kontrakan kawan.
Saat itu aku fikir mereka tidak memperdulikan rengekanku untuk masuk universitas. Bahkan mencetuskan ultimatum untuk tidak akan pulang kalau permintaanku ditangguhkan.
Yang tidak ku tahu, selama seminggu aku kabur dari rumah, ayah ibu mati matian mencari pinjaman. Namun tak ada yang percaya, hutang menyekolahkanku saja belum lunas. Berbelas pintu menolak ajuan hutang ayah ibuku. Hari ketujuh mereka seakan menyerah, atau malu lantaran keseringan berhutang hingga tak lagi dipercaya. Layar itu menjawab semuanya.
Aku masih menolak kenyataan. Kubilang pada malaikat kematian bahwa ini tidak ada hubungannya dengan bunuh diri.
Ia mengeram, lantas berteriak lantang.
“Dua tahun aku mengawasimu! Dua tahun kamu tidak pulang kerumah orangtuamu!,” suaranya menggelegar, aku kian gentar.
Layar berkedip menampilkan aku yang memenuhi ultimatumku dan minggat ke kota lain. Aku yang kala itu berhasil melamar pekerjaan di sebuah kantor penerbitan mulai bekerja sebagai penulis. Hasilnya bahkan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Tulisanku laku keras, padahal aku hanya menuliskan khayalan khayalanku.
Tentang terlahir di keluarga kaya raya, menjadi anak tunggal kemudian hatuh cinta kepada rekan kerja ayah. Hidup sempurna tokoh utamaku rupanya mengundang minat jutaan remaja. Buku sold out, produser melirikku sebagai penulis naskah sinetron. Rupanya masih banyak anak muda yang gemar berkhayal terlampau tinggi di negara ini.
Lama aku tak pulang, hanya ketika dinyatakan meninggallah pihak penerbit memulangkan jenazahku ke kota kelahiran.
Sayang aku keburu menjadi mayat ketika pulang, sehingga tak tau seperti apa keadaan orangtuaku sekarang.
Lagi lagi layar yang menjawab gumamku.
Sebuah rumah reot terlintas, kedua orangtuaku yang sudah separuh baya, duduk di atas dipan. Sesekali mereka melongok ke jendela. Rupanya longokan itu di arahkan ke sepeda pak pos yang memang lewat setiap hari di depan rumah.
“Mereka menanti tukang pos itu berhenti dan membawa kabar tentangmu,”
Suara malaikat kematian itu kontan meluruhkan hatiku, aneh, sudah matipun tenyata masih bisa menangis.
Bayangkan seperti apa perasaan mereka setelah satu satunya kabar tentangmu yang ditunggu selama dua tahun hanyalah sebuah kematian.
Namun, aku dengan sangat keras kepalanya bersikukuh aku tidak bunuh diri.
“Baik, aku berdosa pada orangtuaku. Aku lalai atas mereka, tapi kenapa aku dianggap bunuh diri??” uraiku.
Malaikat kematian tiba tiba menghilang, pun dengan perkamen-layar tadi.
Hanya sebuah suara yang terdengar, seperti doa, yang lamat lamat kutangkap sebagai suara abah.
“Ya Allah.. anakku telah durhaka. Tidak ada ampunan bagi seorang pendurhaka. Jangan siksa ia dalam pedihmu ya Allah. Biarlah kami anggap dia telah meninggal, asal jangan golongkan ia ke dalam pendurhaka. Dosa bunuh dirinya biarlah kami yang menanggung, anggap ia telah mati agar dosanya terhadap kami tidak lagi bertambah ya Allah,”
Tiba tiba semuanya terasa kedap cahaya.
Tadi malam aku bertemu malaikat kematian,
Begitu tenang duduk disampingku..
Kami berbicara.
Dengan bahasa yang sama dengan angin ketika ia menyapa daun kering di pucuk pohon tua..
Dengan kata yang air sampaikan pada sang hujan..
Semalam aku bertemu malaikat kematian,
Aku bertanya..
“Apa guna kelahiran jika harus ada kematian?”
Malaikat kematian tersenym padaku,
Berkata pelan..
“Apa guna awal jika harus ada akhir?”
Kulayangkan pandanganku pada ribuan bintang di atas kami.
Mengabaikan kepakan distorsi sayap nyamuk di sekitar..
Merasakan embun di rumput basah tempat kami berpijak..
Kembali kusuarakan kata dengan bahasa rumit itu.
“Bukankah yang kekal tak kan menyisakan kesedihan?”
Dia tertawa kali ini,
Memejamkan matanya..
“Lalu apa yang harus kukerjakan jika kekekalan itu abadi?”
Kuteguk kopi yang mulai mendingin..
“Kau senang melihat yang bersedih?”
Dia beranjak berdiri, membenahi jubah hitamnya dari rumput liar.
“Yang bersedih tak tau betapa menyenangkannya kematian itu”
Di antara riuh rendah alunan jangkrik..
Dia pergi.
No comments:
Post a Comment