Lokomotif Beserta Rel Itu diangkut Dari Belanda
Reruntuhan pabrik yang terkenal dengan sebutan brengsel itu masih berdiri berdampingan dengan Taman Kota Sampit hingga sekarang. Berdiri di tahun 1948, NV Bruynzeel Dayak Houtbedrijven (BDH) merupakan kilang penggergajian kayu termodern di Indonesia. Masyarakat lokal yang tidak terbiasa dengan aksara Belanda melafalkannya dengan sebutan Brengsel. Sebutan itu begitu kental melekat hingga sekarang.
Rusnani Anwar, Sampit
Koran Ini dibawa ke puluhan tahun lampau oleh Muhammad Amberi H.I, warga Baamang yang bersinggungan langsung dengan kilang penggergajian milik NV Bruynnzeel sejak tahun 1951. “Saya, setelah lulus SR (sekolah rakyat), sudah berjualan di kantin Bruynzeel,” ujarnya membuka cerita.
Bapak yang akrab disapa Amberi ini memaparkan tentang kecanggihan kilang penggergajian kayu yang didirikan oleh Belanda itu. Ia dulu adalah anak dari pemilik kantin karyawan NV BDH, ayahnya seorang tentara. Setiap hari Amberi berhadapan dengan kemegahan kilang penggergajian yang memiliki penjagaan ketat itu.
Meskipun Indonesia telah dinyatakan merdeka pada tahun 1945, para penjajah tidak sepenuhnya meninggalkan negara kita. Pada tahun 1948, di tanah Sampit, Belanda mendirikan kilang penggergajian kayu tercanggih se-Indonesia. Kalimantan pada waktu itu terkenal dengan rimbunan kayu dan kekayaan hutannya. Kilang penggergajian tersebut berada di jajaran sungai Mentaya, luas bangunan utama pabrik mencapai 50 × 100 meter.
Bangunan seluas itu berlantai dua, lantai satu berfungsi sebagai tempat pengolahan kayu tahap akhir. Lantai dua difungsikan sebagai tempat pengeringan dan pengolahan kayu tahap satu. Semuanya menggunakan mesin yang langsung didatangkan dari negeri Belanda. “Canggih sekali, jumlah mesinnya puluhan,” ungkap Amberi. Mesin dan teknisinya juga dikirim langsung dari Belanda.
Gelondong-gelondong kayu diangkut dari hutan di kawasan barat Sampit dengan menggunakan kereta api. Sebutannya dulu adalah lokomotif, besi rel yang membentang hingga belasan kilometer itu diangkut dengan menggunakan kapal dari negara Belanda. Hitam legam lokomotif itu menyeruak di sela kompleks perumahan Holland yang terletak tidak jauh dari rel kereta. “Lokomotif itu besar sekali, sekali angkut ribuan gelondong kayu bisa dibawa,” papar lelaki berusia 64 tahun itu.
Kepulan asap mesin turbin penggerak lokomotif membentuk cendawan-cendawan hitam dari cerobong kereta api yang relnya terbentang dari kilang Bruynzeel hingga ke kilometer 7 (Pasir Putih sekarang). Sepanjang jalan yang dilalui lokomotif akan menunggu gelondongan kayu yang telah ditebang dan digelindingkan turun dari hutan. Berbahan bakar batubara, lokomotif berwarna legam sepanjang 50 meter itu menjadi pemandangan khas di sore hari. Hingga saat ini jalan yang dulu merupakan jalur rel lokomotif kilang Bruynzeel disebut sebagai Jalan Rel.
Ribuan gelondong kayu itu lantas dibawa lokomotif ke areal kilang. Di sana, kayu-kayu itu diceburkan ke sungai dengan tujuan untuk membersihkan sekaligus untuk menampung kayu-kayu tersebut sebelum diolah. “Dulu sebutannya Sungai Pemuatan,” ujar Amberi. Lantas, dengan menggunakan mesin hidrolik, gelondong kayu basah itu dinaikkan setinggi delapan meter ke lantai dua bangunan pabrik utama.
Saat ini, hanya satu cerobong asap yang tersisa di area pabrik tersebut. Itupun sudah doyong dan berkarat, nyaris rubuh. Dulu, ada dua cerobong yang selalu mengepulkan asap putih hasil pembakaran kayu untuk mesin pengering gelondong. “Satu tinggi satu rendah, langit berasap kalau kayu lagi dikeringkan,” kenang Amberi.
Berbagai jenis kayu hasil hutan Kalimantan diolah di kilang Bruynzeel. Kayu jenis Kruing, Meranti, Jati, Bengalan hingga Agatis diolah menjadi bahan bangunan dan kerangka meubel . hasil olahan yang paling terkenal adalah Agatis dan Bengalan, semuanya kualitas ekspor. Kayu-kayu ini lantas dikirim menggunakan kapal Neel Bruynzeel milik Bruynzeel ke Batavia (Jakarta), dari sana, kayu-kayu olahan tersebut di ekspor ke India dan China.
Dulu pada awal berdiri, pabrik Bruynzeel memiliki dua armada kapal pengangkut kayu olahan, bernama Leet Bruynzeel dan Neel Bruynzeel, namun pada tahun 1957, kapal Leet Bruynzeel terbakar lantas karam lantaran terbakar di sekitar sungai Mentaya wilayah Terawan (tidak lama setelah tenggelamnya kapal Leet Bruynzeel, kapal Pelni yang hendak berlabuh turut karam di lokasi yang sama).
Kedua kapal inipun didatangkan langsung dari Belanda, kapasitasnya mencapai ribuan kubik, besar sekali. Setiap kali kapal datang, bunyinya yang lantang mampu didengar hingga radius berkilometer. Pabrik Bruenzeel merupakan bukti nyata kejayaan hutan Sampit. Sejak awal berdiri di tahun 1948 hingga 1961, hutan dan kayu seakan tidak ada habisnya untuk di eksploitasi.
Saat itu Belanda-lah yang memegang kuasa penuh atas industri kayu di Kalimantan. Menggunakan sistem bagi hasil dengan pemerintah. Sebanyak 2000 lebih warga Sampit pada saat itu menggantungkan hidupnya pada kilang penggergajian kayu NV BDH. Terjajahkah kita? Secara harfiah mungkin ya, kita terjajah.
Warga asing merampas kekayaan hutan kita dan menjualnya untuk kekayaan pribadi. Kita mungkin terjajah karena mereka menjadikan kita budak di tanah sendiri. Di ajukan pernyataan seperti ini, Amberi hanya tertawa. Ia menyatakan, jika bisa memilih, dirinya lebih baik bekerja di Bruynzeel daripada menjadi pegawai negeri (pekerjaannya sekarang).
Rupanya, kaum feodal itu memperlakukan pekerjanya dengan sangat baik. Jika dibuat perumpamaan, upah bekerja di pabrik Bruynzeel selama seminggu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan. Selain itu, setiap bulan pimpinan perusahaan akan membagikan jatah sembako kepada setiap pekerja pabrik. “Sampai tepung juga diberi, mereka baik sekali,” ujar Amberi.
Tidak hanya pangan, seluas satu kilometer tanah yang membentang mulai Taman Kota hingga Gatot Subroto ujung merupakan kepunyaan NV Bruynzeel Dayak Houtbedrijven. Tanah dengan luas 1000 × 500 meter itu diprioritaskan untuk perumahan pekerja. Jalan Gatot Subroto hingga daerah Pesawahaan ujung diperuntukkan sebagai Kompleks Perumahan Belanda. Jejeran rumah di kompleks itu sama persis, jumlahnya ratusan buah, khusus untuk pekerja dari Belanda. Sisanya menyebar kaum pribumi menempati areal tanah milik Bruynzeel. Dalam pengadaan tanah ini, Belanda memiliki hak pakai tanah dengan sistem kontrak.
Disiplin. Sebuah kata yang mampu menggambarkan sistem kerja di kilang penggergajian Bruynzeel. Waktu kerja masing-masing divisi adalah 07.00 hingga 16.00 WIB. Pekerja pabrik yang rata-rata tinggal di daerah sekitar pabrik akan diperingatkan dengan sirine setiap menjelang pukul 07.00 pagi. Ada berbagai jenis pekerjaan di kilang tersebut, mulai dari petugas sortir, pengering kayu, penggergaji, mekanik, hingga cleaning service.
Sirine pertama artinya seluruh pekerja harus bersiap-siap, sirine kedua berarti gerbang pabrik akan ditutup. “Ketika pekerja dinyatakan terlambat, ia tidak diperbolehkan masuk bekerja,” terang Amberi. Kedisiplinan yang diterapkan pimpinan Bruynzeel ini berlaku rata, baik kaum pribumi maupun pekerja Belanda.
Sayang, kejayaan kaum Belanda dan Bruynzeel-nya hanya bertahan selama 13 tahun. Pada tahun 1961, tampuk kepemimpinan pabrik berpindah ke tangan pemerintah kota. Hal ini menyusul dikeluarkannya Peraturan Perusahaan Negara (PN) Perhutani oleh pemerintah. Kemudian pada tahun 1972, pemerintah mengeluarkan PP no. 15/1972 tentang perubahan PN. Perhutani Kalimantan menjadi PT. Inhutani I (kaltim), PT. Inhutani II (kalsel) dan PT. Inhutani III (kalteng dan kalbar). Ini merupakan upaya pemerintah dalam meningatkan pendapatan negara melalui sektor perkayuan. Ditambah dengan gempuran politik orde lama yang perlahan lahan “mengusir” kaum Belanda yang menanam modal dari tanah air.
Saat ini tak banyak yang tersisa dari kejayaan kilang penggergajian kayu NV Bruynzeel Dayak Houtbedrijven. Areal pabrik yang dulu sempat dinoktahkan sebagai pabrik terbesar dan tercanggih se-Indonesia itu berubah menjadi lahan rimbun semak belukar. Tanaman rambat liar menyesapi sela-sela bangunan yang sebagian runtuh dan tidak terurus.
Reruntuhan pabrik yang terkenal dengan sebutan brengsel itu masih berdiri berdampingan dengan Taman Kota Sampit hingga sekarang. Berdiri di tahun 1948, NV Bruynzeel Dayak Houtbedrijven (BDH) merupakan kilang penggergajian kayu termodern di Indonesia. Masyarakat lokal yang tidak terbiasa dengan aksara Belanda melafalkannya dengan sebutan Brengsel. Sebutan itu begitu kental melekat hingga sekarang.
Rusnani Anwar, Sampit
Koran Ini dibawa ke puluhan tahun lampau oleh Muhammad Amberi H.I, warga Baamang yang bersinggungan langsung dengan kilang penggergajian milik NV Bruynnzeel sejak tahun 1951. “Saya, setelah lulus SR (sekolah rakyat), sudah berjualan di kantin Bruynzeel,” ujarnya membuka cerita.
Bapak yang akrab disapa Amberi ini memaparkan tentang kecanggihan kilang penggergajian kayu yang didirikan oleh Belanda itu. Ia dulu adalah anak dari pemilik kantin karyawan NV BDH, ayahnya seorang tentara. Setiap hari Amberi berhadapan dengan kemegahan kilang penggergajian yang memiliki penjagaan ketat itu.
Meskipun Indonesia telah dinyatakan merdeka pada tahun 1945, para penjajah tidak sepenuhnya meninggalkan negara kita. Pada tahun 1948, di tanah Sampit, Belanda mendirikan kilang penggergajian kayu tercanggih se-Indonesia. Kalimantan pada waktu itu terkenal dengan rimbunan kayu dan kekayaan hutannya. Kilang penggergajian tersebut berada di jajaran sungai Mentaya, luas bangunan utama pabrik mencapai 50 × 100 meter.
Bangunan seluas itu berlantai dua, lantai satu berfungsi sebagai tempat pengolahan kayu tahap akhir. Lantai dua difungsikan sebagai tempat pengeringan dan pengolahan kayu tahap satu. Semuanya menggunakan mesin yang langsung didatangkan dari negeri Belanda. “Canggih sekali, jumlah mesinnya puluhan,” ungkap Amberi. Mesin dan teknisinya juga dikirim langsung dari Belanda.
Gelondong-gelondong kayu diangkut dari hutan di kawasan barat Sampit dengan menggunakan kereta api. Sebutannya dulu adalah lokomotif, besi rel yang membentang hingga belasan kilometer itu diangkut dengan menggunakan kapal dari negara Belanda. Hitam legam lokomotif itu menyeruak di sela kompleks perumahan Holland yang terletak tidak jauh dari rel kereta. “Lokomotif itu besar sekali, sekali angkut ribuan gelondong kayu bisa dibawa,” papar lelaki berusia 64 tahun itu.
Kepulan asap mesin turbin penggerak lokomotif membentuk cendawan-cendawan hitam dari cerobong kereta api yang relnya terbentang dari kilang Bruynzeel hingga ke kilometer 7 (Pasir Putih sekarang). Sepanjang jalan yang dilalui lokomotif akan menunggu gelondongan kayu yang telah ditebang dan digelindingkan turun dari hutan. Berbahan bakar batubara, lokomotif berwarna legam sepanjang 50 meter itu menjadi pemandangan khas di sore hari. Hingga saat ini jalan yang dulu merupakan jalur rel lokomotif kilang Bruynzeel disebut sebagai Jalan Rel.
Ribuan gelondong kayu itu lantas dibawa lokomotif ke areal kilang. Di sana, kayu-kayu itu diceburkan ke sungai dengan tujuan untuk membersihkan sekaligus untuk menampung kayu-kayu tersebut sebelum diolah. “Dulu sebutannya Sungai Pemuatan,” ujar Amberi. Lantas, dengan menggunakan mesin hidrolik, gelondong kayu basah itu dinaikkan setinggi delapan meter ke lantai dua bangunan pabrik utama.
*Daerah sisir Sungai Mentaya*
Saat ini, hanya satu cerobong asap yang tersisa di area pabrik tersebut. Itupun sudah doyong dan berkarat, nyaris rubuh. Dulu, ada dua cerobong yang selalu mengepulkan asap putih hasil pembakaran kayu untuk mesin pengering gelondong. “Satu tinggi satu rendah, langit berasap kalau kayu lagi dikeringkan,” kenang Amberi.
Berbagai jenis kayu hasil hutan Kalimantan diolah di kilang Bruynzeel. Kayu jenis Kruing, Meranti, Jati, Bengalan hingga Agatis diolah menjadi bahan bangunan dan kerangka meubel . hasil olahan yang paling terkenal adalah Agatis dan Bengalan, semuanya kualitas ekspor. Kayu-kayu ini lantas dikirim menggunakan kapal Neel Bruynzeel milik Bruynzeel ke Batavia (Jakarta), dari sana, kayu-kayu olahan tersebut di ekspor ke India dan China.
Dulu pada awal berdiri, pabrik Bruynzeel memiliki dua armada kapal pengangkut kayu olahan, bernama Leet Bruynzeel dan Neel Bruynzeel, namun pada tahun 1957, kapal Leet Bruynzeel terbakar lantas karam lantaran terbakar di sekitar sungai Mentaya wilayah Terawan (tidak lama setelah tenggelamnya kapal Leet Bruynzeel, kapal Pelni yang hendak berlabuh turut karam di lokasi yang sama).
Kedua kapal inipun didatangkan langsung dari Belanda, kapasitasnya mencapai ribuan kubik, besar sekali. Setiap kali kapal datang, bunyinya yang lantang mampu didengar hingga radius berkilometer. Pabrik Bruenzeel merupakan bukti nyata kejayaan hutan Sampit. Sejak awal berdiri di tahun 1948 hingga 1961, hutan dan kayu seakan tidak ada habisnya untuk di eksploitasi.
Saat itu Belanda-lah yang memegang kuasa penuh atas industri kayu di Kalimantan. Menggunakan sistem bagi hasil dengan pemerintah. Sebanyak 2000 lebih warga Sampit pada saat itu menggantungkan hidupnya pada kilang penggergajian kayu NV BDH. Terjajahkah kita? Secara harfiah mungkin ya, kita terjajah.
Warga asing merampas kekayaan hutan kita dan menjualnya untuk kekayaan pribadi. Kita mungkin terjajah karena mereka menjadikan kita budak di tanah sendiri. Di ajukan pernyataan seperti ini, Amberi hanya tertawa. Ia menyatakan, jika bisa memilih, dirinya lebih baik bekerja di Bruynzeel daripada menjadi pegawai negeri (pekerjaannya sekarang).
Rupanya, kaum feodal itu memperlakukan pekerjanya dengan sangat baik. Jika dibuat perumpamaan, upah bekerja di pabrik Bruynzeel selama seminggu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan. Selain itu, setiap bulan pimpinan perusahaan akan membagikan jatah sembako kepada setiap pekerja pabrik. “Sampai tepung juga diberi, mereka baik sekali,” ujar Amberi.
Tidak hanya pangan, seluas satu kilometer tanah yang membentang mulai Taman Kota hingga Gatot Subroto ujung merupakan kepunyaan NV Bruynzeel Dayak Houtbedrijven. Tanah dengan luas 1000 × 500 meter itu diprioritaskan untuk perumahan pekerja. Jalan Gatot Subroto hingga daerah Pesawahaan ujung diperuntukkan sebagai Kompleks Perumahan Belanda. Jejeran rumah di kompleks itu sama persis, jumlahnya ratusan buah, khusus untuk pekerja dari Belanda. Sisanya menyebar kaum pribumi menempati areal tanah milik Bruynzeel. Dalam pengadaan tanah ini, Belanda memiliki hak pakai tanah dengan sistem kontrak.
Disiplin. Sebuah kata yang mampu menggambarkan sistem kerja di kilang penggergajian Bruynzeel. Waktu kerja masing-masing divisi adalah 07.00 hingga 16.00 WIB. Pekerja pabrik yang rata-rata tinggal di daerah sekitar pabrik akan diperingatkan dengan sirine setiap menjelang pukul 07.00 pagi. Ada berbagai jenis pekerjaan di kilang tersebut, mulai dari petugas sortir, pengering kayu, penggergaji, mekanik, hingga cleaning service.
Sirine pertama artinya seluruh pekerja harus bersiap-siap, sirine kedua berarti gerbang pabrik akan ditutup. “Ketika pekerja dinyatakan terlambat, ia tidak diperbolehkan masuk bekerja,” terang Amberi. Kedisiplinan yang diterapkan pimpinan Bruynzeel ini berlaku rata, baik kaum pribumi maupun pekerja Belanda.
Sayang, kejayaan kaum Belanda dan Bruynzeel-nya hanya bertahan selama 13 tahun. Pada tahun 1961, tampuk kepemimpinan pabrik berpindah ke tangan pemerintah kota. Hal ini menyusul dikeluarkannya Peraturan Perusahaan Negara (PN) Perhutani oleh pemerintah. Kemudian pada tahun 1972, pemerintah mengeluarkan PP no. 15/1972 tentang perubahan PN. Perhutani Kalimantan menjadi PT. Inhutani I (kaltim), PT. Inhutani II (kalsel) dan PT. Inhutani III (kalteng dan kalbar). Ini merupakan upaya pemerintah dalam meningatkan pendapatan negara melalui sektor perkayuan. Ditambah dengan gempuran politik orde lama yang perlahan lahan “mengusir” kaum Belanda yang menanam modal dari tanah air.
Saat ini tak banyak yang tersisa dari kejayaan kilang penggergajian kayu NV Bruynzeel Dayak Houtbedrijven. Areal pabrik yang dulu sempat dinoktahkan sebagai pabrik terbesar dan tercanggih se-Indonesia itu berubah menjadi lahan rimbun semak belukar. Tanaman rambat liar menyesapi sela-sela bangunan yang sebagian runtuh dan tidak terurus.
Cerobong tinggi tempat dimana asap mesin pengering kayu masih berdiri gamang, renta ditelan karat dan hujan selama berpuluh tahun. Saat ini lebatnya hutan Kalimantan hanya tinggal ode pengantar tidur. Kisah tentang kilang penggergajian terbesar dan kejayaannya itu kian memudar, pelaku sejarah yang terlibat langsung dengan pabrik itu perlahan tutup usia seiring fade out-nya lantunan sejarah kota kita. (***)
apakah anda punya sumber lain tentang bruinzeel? saya sdg riset soal sejarah sawmill ini.
ReplyDelete