Rumah sakit itu tiba tiba terkenal. Seorang dokternya berhasil menemukan cara untuk melihat isi pikiran manusia. Dokter itu hanya perlu memenggal kepala orang yang sudah mati (atau yang masih hidup pun tak apa, kalau dia memang benar benar ingin dilihat isi pikirannya). Dokter itu kemudian menjadi sangat terkenal. Banyak kasus pembunuhan berantai dan perampokkan yang memakan nyawa bisa diselesaikan berkat tampilan gambar dari kepala korban.
Apa yang dilakukan si dokter sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Banyak dukun dan jejampi kampung yang bisa melakukan hal serupa. membaca isi kepala orang. Tapi si dokter menjadi fenomena. Tentu saja, lantaran gelar dokternya, dan betapa mudahnya teori si dokter dicerna logika.
Di negara itu, orang orang menjadi sangat paranoid dan ketakutan hingga tak mudah percaya pada apapun yang tak berbukti nyata.
Ketenaran si dokter dengan cepat menyebar kemana mana. Si dokter kemudian dipekerjakan oleh negara untuk membantu polisi. Si dokter awalnya menolak, ia mengatakan bahwa dirinya bukan detektif yang bisa digunakan untuk mengungkap kejahatan. Tapi tolakan itu berubah menjadi anggukan mesum dan mata berbinar kala menatap tumpukkan uang di atas meja.
Resmi sudah, si dokter bekerja untuk negara. Polisi kerap datang ke rumah sakit. Para berseragam itu biasanya sudah memenggal kepala mayat untuk dibaca oleh si dokter. “Biar bapak tak usah repot,” ujar seorang polisi seraya menyerahkan kantong kresek berisi dua buah penggalan kepala.
Rupanya sore tadi ada pengeboman di kantor pemerintahan. Lima orang tewas di tempat. Tiga orang di antaranya terkena paparan langsung bom sehingga tubuhnya berubah menjadi serpihan. Hanya dua potong kepala milik satpam gedung yang tersisa. Ada sekompi polisi yang datang, juga datang jendral serta kapolri. Semua penasaran, siapa pelaku pengeboman.
Polisi polisi itu lantas menunggu di luar ruangan si dokter. Sementara pimpinan mereka, ikut masuk ke dalam dan menyaksikan sendiri potongan ingatan kepala mayat itu kala menjelang ajalnya. Sore itu, seorang teroris kelas dunia tertangkap dalam pelariannya menuju negara seberang.
Berita menyebar cepat. Tentang si dokter yang berhasil mengungkap pelaku terorisme. Semua orang, terlebih wartawan, menunggu nunggu, kapan lagi si dokter melakukan aksinya. Polisi cenderung jarang membeberkan kapan ada mayat yang akan dipenggal kepalanya dan dibongkar ingatannya oleh si dokter.
Sore itu, ada mayat yang datang ke rumah sakit. Mayat itu merangkak rangkak dari kejauhan, ia berangkat sendiri. Di belakang mayat yang merangkak sendiri itu, ada puluhan wartawan yang sibuk mengambil gambar dan berteriak teriak “Ini saatnya!” kepada rekan wartawannya.
Mayat yang merangkak sendirian itu masuk ke pelataran rumah sakit. Tak ada yang mengindahkan, toh ia sudah mati, rumah sakit tempat orang berobat. Kalau mati pergi ke kuburan. Mayat itu akhirnya merangkak sendirian lagi menuju ruangan dokter.
“Apa ini?” si dokter kebingungan. Ia tak pernah mendapati mayat datang sendiri dan minta dibaca seperti itu.
“Tidak ada polisi, ya?” si dokter bertanya lagi. Mayat yang merangkak sendirian itu mengeram ngeram, tak bisa bicara.
Si dokter, mangkel dalam hati. Ia sudah berjanji pada pemerintah untuk hanya membaca isi kepala mayat yang berasal dari kepolisian. Ia hanya menerima penggalan kepala dalam kresek yang dibawakan para polisi.
Wartawan mulai berdengung, sibuk memfoto mayat yang merangkak sendiri. Juga memfoto si dokter yang beberapa kali menggaruk kepalanya yang landai. Si dokter dilema, reputasinya bisa buruk jika menolak mayat yang merangkak sendirian itu.
Presiden kebetulan menonton televisi dari dalam mobilnya. Iapun penasaran, tak pernah ia melihat langsung dokter fenomenal itu. Selama ini hanya anak buah dan bawahannya yang membuat laporan mengenai si dokter. “Berbeloklah, ayo ke rumah sakit itu,” seru presiden pada sopirnya. Mobil berbalik arah, menuju rumah sakit.
Si dokter masih juga dilema. Akhirnya setelah si mayat berhenti mengeram, si dokter akhirnya bersuara
“Bawa mayatnya ke ruangan saya,” ujar si dokter seraya mengenakan sarung tangan latex dan mencucinya dengan cairan disinfektan. Si dokter tak memperbolehkan satu wartawanpun untuk masuk.
“Nanti filmnya rusak kalau terkena blitz kamera anda,” sanggah si dokter. Cukup ampuh, para wartawan berhenti merangsek masuk. Si dokter berjanji akan memperlihatkan video dari isi pikiran mayat yang merangkak sendiri itu. Presiden akhirnya datang, si dokter sudah membredel pintu. Presiden duduk di luar ruangan seraya meladeni pertanyaan wartawan.
“Ya.. saya ke sini lantaran penasaran dengan kinerja si dokter, kepala kepolisian negara antah berantah sibuk memujinya sejak seminggu lalu,” presiden tersenyum pada kamera. kepala kepolisian negara antah berantah yang tengah dibicarakan juga datang. Ia tampak berkeringat, seperti lepas berlari. Ia tersenyum gugup pada presiden, mengangguk sepintas dan menuju ruangan si dokter.
“Eee.. ada pak kepala kepolisian negara antah berantah, mari sini pak, kita berfoto. Biar si dokter bekerja sendirian di dalam, nanti juga kita di kasih tau apa isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu,” kapolri tak berkutik, presiden memergokinya ingin mendobrak masuk ke ruangan dokter. Kapolri lantas mengambil duduk di samping presiden dengan wajah cemas. Wartawan mengabadikan kapolri dengan wajah seperti hendak buang air besar.
Si dokter tak tau mengenai keributan di luar. Profesionalitasnya memaksa si Dokter untuk benar benar melihat isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu padahal ia bisa saja berbohong.
“Aku bisa saja memenggal kepala mayat ini, membawanya keluar dan mengatakan kalau ia mati gara gara narkoba.” Gumamnya. Si dokter lantas melihat tubuh mayat yang merangkak sendirian itu sambil menerka nerka kehidupan macam apa yang ia miliki semasa hidup. Badannya tegap, berisi. Mayat yang merangkak sendirian itu berdarah di sekujur tubuhnya. Kacamatanya remuk, tapi masih melekat di wajahnya. Ada lubang merah kehitaman tepat di tengah jidatnya.
Si dokter penasaran sendiri. Ia lantas memenggal kepala si mayat, memasangkan banyak selang dan kabel. Dari lubang telinga kanan penggalan kepala itu, dikorek korek hingga seutas kabel dengan ujung berlubang keluar. Ia hubungkan kabel yang keluar dari kepala mayat yang merangkak sendirian itu ke proyektor.
Di layar besar, si dokter melihat kuburan, dan spanduk spanduk. Si dokter sibuk mempercepat, memperbesar dan kadang kadang menghentikan video isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu. Spanduk diperbesar, si dokter mencoba membaca. Viva.. ah, gambarnya tiba tiba buram. Mayat yang merangkak sendirian itu rupanya terkena hantaman benda tumpul di kepala belakang. Si dokter sibuk mencatat,
“Ini dia sebab kematiannya,” gumamnya.
Gambar di video terlihat horizontal. Mayat yang merangkak sendirian itu pasti sudah tumbang ke tanah.
“Tunggu, kalau dia sudah tumbang, kenapa videonya masih hidup?” si dokter mengguncang guncang penggalan kepala mayat yang merangkak sendirian itu.
“Ah.. ia hanya sekarat! Belum mati,” si dokter menyadari kesalahannya dan tertawa kecil.
Dari gambar horizontal itu si dokter melihat mayat bertumbangan. Satu satu seperti terpukul mundur dan kemudian tumbang. Dikeraskannya suara video dari penggalan kepala mayat yang merangkak sendirian itu.
Suaranya seperti letusan tembakan.
Senjata mesin, terdengar seperti rentetan.
Tubuh tubuh bertumbangan. Tiba tiba gambar video menghadap langit. Sebuah wajah terlihat menodongkan senjata.
Dor.
Mayat yang merangkak sendirian akhirnya mati.
Si dokter menganga.
Tercenung.
Wajah itu adalah wajah kepala kepolisian negara antah berantah, dalam versi setidaknya lebih muda 20 tahun.
Si dokter segera keluar dari ruangannya. Ia kembali terkejut, ada ratusan wartawan, presiden, dan kepala kepolisian negara antah berantah dalam versi 20 tahun lebih tua dari isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu. Semuanya berdiri, menunggu nunggu jawaban.
Si dokter menarik nafas panjang, mulai merangkai kata sebagai konferensi pers
“Demi kepentingan privasi dan arsip rumah sakit, saya tidak bisa memperlihatkan rekaman isi kepala mayat yang merangkak sendirian itu..”
Si dokter lagi lagi menarik nafas panjang
“..Mayat yang merangkak sendirian itu, nampaknya tewas karena terlalu banyak menonton film film sadis..”
Kapolri tersenyum lega. Senyum itu menjanjikan sesuatu pada si dokter.
Mereka berdua kini punya rahasia.
Si dokter dan kepala kepolisian negara antah berantah tahu,
Mayat yang merangkak sendirian itu datang dari masa lalu.
No comments:
Post a Comment